“
Saya meminta cinta, dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk
dibantu” – Adib Suryawan.
Setidaknya ada dua hal yang
membuat saya tergerak untuk menuliskan ini. Hal yang pertama adalah
gambar di jejaring sosial mengenai dua ekor kelinci dimana salah satu kelinci
mencibir kelinci yang lain karena dianggap tak seberuntung dirinya yang memperoleh
daun wortel yang ditanamnya lebih besar.
Padahal buah wortel yang ada didalam tanah berbanding terbalik dengan daun
diatasnya. Success is not always what you
see. Hal kedua adalah karena saya dianggap tak mensyukuri pekerjaan saya
sekarang.
Bagi para perintis karir baru,
membandingkan antar pekerjaan adalah sudah bukan hal yang asing. Mungkin sudah
menjadi hal yang lumrah, terutama bagi sesama pekerja baru saling menanyakan
pekerjaan dan job desk, bahkan lebih ekstrim lagi menanyakan perihal insentif
atau gaji. Ada yang sangat percaya diri menjelaskan job desk atau bahkan gaji,
namu tak sedikit pula yang memendam kekecewaan, atau memendam rasa: kenapa saya tak seperti dia?
Mungkin anda pernah mengalami apa
yang saya alami. Entah karena kerendahan hati, tingkat kejujuran yang cukup
tinggi, saya jarang mendengar orang yang mencetuskan kalimat: I Love My Job!
Ketika ditanya mengenai pekerjaan pertama mereka. Jawaban yang lebih sering
saya dengar atas kesan dari pekerjaan mereka adalah: Ya begitulah, namanya kerja mana ada yang enak. Yang penting ngga
menganggur dan gaji lumayan. Atau bagi yang pernah bekerja mereka biasanya
menjawab: Dibandingkan dengan yang
kemarin sih lebih enak yang ini. Meski diucapkan tanpa nada antusias.
“Jauh lebih mudah untuk berdecak kagum atas apa yang dimiliki orang
lain, atas daerah asing yang bukan tempat tinggal kita, untuk menganggap
sesuatu yang beda dan baru itu lebih bagus” – Margaretha Astaman.
Hegemoni para perintis karir baru itu pun melanda
saya.
Sekitar 6 bulan yang lalu, saya
dan teman-teman sekelas saya yang tergabung dalam Officer Development Program sebuah Bank BUMN yang terdepan, terpercaya, tumbuh bersama Anda, harus
(mau-tak-mau) memulai fase hidup baru. Moment yang paling menegangkan setelah
lulus kuliah itu bernama: Penempatan. Singkat cerita waktu itu saya harus
menerima bahwa hidup saya untuk beberapa tahun kedepan tak akan jauh-jauh dari
label: Micro Collection Unit.
Setidaknya ada 3 alasan bagi saya
untuk kaget pada awal pengumuman penempatan saya dan hari-hari awal saya
menjalani peran baru saya. Alasan pertama, saya tak pernah mendengar sekalipun
divisi/departement tersebut sebelumnya. Entah tak mendengar atau memilih untuk
tak mendengar, minimal dalam rentang waktu 4 bulan saya mempelajari dunia perbankan - konon otak manusia hanya mengingat apa yang ingin ia ingat. Oleh karena saya
tak ingin menginggat tentang divisi/unit Collection maka saya pun berkilah tak
pernah mempelajari unit tersebut sebelumnya. Jangankan tau, ingat saja tidak.
Alasan kedua, bagi seorang knowledge worker (pembahasanya ada di
2 artikel sebelum ini) saya selalu mencintai hal-hal strategis, sedangkan
Collection lebih banyak pekerjaan yang Clerical, dalam benak saya ini ngga jauh
jauh dari white-collar worker, general
office task, atau keeping record.
Tanyakan pada teman sekelas saya atau teman kampus saya dulu. Betapa saya
mencintai hal-hal yang bersifat data dan strategis. Bahkan sampai sekarang saya
masih sering kepikiran kenapa struktur organisasi perusahaan saya berubah awal tahun nanti
menjadi sedemikian rupa, padahal itu sama sekali bukan tugas saya.
Alasan yang terakhir, saya tak
menyukai mikro. Didunia ini jika mau disederhanakan hanya ada dua jenis
karakter orang, pertama yang menyukai mikro (detail, aplikatif, dan hal-hal
kecil lainya) dan yang menyukai makro (konsep besar dan general theory). Sebagai
lulusan ilmu ekonomi, karakter saya dapat dikenali dengan mudah, tengok saja
transkrip lalu bandingkan nilai matakuliah Ekonomi Makro dan Mikro saya lebih
bagus mana? Saya masih ingat nilai mikro saya tak pernah lebih tinggi dari B - (minus).
But, time changes.
Mungkin ini pekerjaan paling
menantang bagi perintis karier baru di dunia perbankan. Tak ada tekanan yang
lebih menantang dari pekerjaan ini. Saya tak mengatakan pekerjaan lain tak
menantang, saya yakin setiap orang diberi batasan-batasan oleh Tuhan untuk
diperjuangkan bahkan dilewati. Semua punya tantanganya sendiri. Namun,
setidaknya saya merasa beruntung, diawal pekerjaan saya, saya mendapati tekanan
dari empat sisi sekaligus, saya menyebutnya tekanan dari atas, bawah, kiri, dan
kanan. Tekanan dari atas (atasan) jelas semua pekerja merasakanya. Tekanan dari
bawah, tak semua pekerja memilikinya, apalagi memiliki 12 orang bawahan
langsung di awal karier seperti saya. Dari kiri saya menyebutnya tekanan dari
rekan kerja, dalam hal ini business unit (karena saya hanyalah seorang
supporting unit). Dan tekanan terakhir
tekanan dari kanan adalah tekanan dari debitur-debitur bermasalah, karena selalu
ada masalah disetiap debitur bermasalah. Tak ada perintis karir seberuntung
saya.
Tak hanya itu. Pekerjaan saya
sekarang sangat membutuh strategi dan managing people. Sesuatu yang saya
dambakan sejak dulu. Saya menyukai hal yang berbau strategic planing, dan saya
juga menikmati managing people. Sedari awal saya masuk perusahaan ini saya
mendambakan posisi di bagian Strategic Performance and Management, namun
pekerjaan saya sekarang juga tak kalah menantangnya untuk menyusun strategi
terbaik dalam penagihan, meskipun strategi yang saya pikirkan bukan strategi
bank-wide.
Saya pun menyadari ternyata
pekerjaan ini juga sangat makro. Benar pekerjaan saya mengenai tukang tagih
mikro, namun analisis yang saya gunakan sangat makro. Karena tiap hari saya
menganalisis portofolio yang bersifat mass product, saya dapat melihat behavior
debitur dalam level makro.
Saya mulai
menikmati pekerjaan ini karena saya bisa menjadi motivator tiap harinya.
Profesi sebagai motivator belakangan menjadi tenar karena banyak orang
membutuhkan stimulus dari pihak luar (eksternal) atas permasalahan hidup yang
semakin komplek. Namun bagi seorang motivator, kita takk dituntut untuk dapat
mengatasi semua kompleksitas hidup, yang dituntut oleh motivator adalah membaca
dan menyelami kehidupan dengan baik. Kita tidak bisa melakukan semuanya dengan
benar namun setidaknya kita dapat membaca dan melihat orang lain melakukan
sesuatu dengan benar. Saya menikmati proses itu.
Pada akhirnya saya tak perlu
meminjam mata orang lain untuk melihat begitu beruntungnya kehidupan dan
pekerjaan saya sekarang.
Bisa jadi frasa: Tuhan tak selalu
memberi apa yang kita inginkan namun tuhan selalu memberi apa yang kita
butuhkan, itu memang benar adanya. Bukan sekedar pembenaran oleh seorang yang
telah putus asa.