ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

17 November 2014

Satu Hal yang Masih Mengganjal pada Kenaikan Harga BBM Bersubsidi.

"Syarat mutlak sebuah benda mencapai tujuan/tempat tertentu adalah meninggalkan sesuatu (Hukum Newton) - Interstellar

Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.

Kali ini saya ingin bernostalgia, kembali ke masa dimana saya bebas menikmati menulis dan berdiskusi mengenai industri energi nasional. Sekarang saya sudah tak lagi punya banyak waktu untuk memikirkan banyak hal diluar pekerjaan saya. Karena mau tak mau, pekerjaan membuat pandangan saya dan banyak pekerja lainnya laksana memakai kaca mata kuda, kita dipaksa hanya bisa melihat kedepan (itupun kalau bisa) dan tidak diperbolehkan menengok ke kiri-kanan – selama belum ditemukan kaca mata kuda transparan.

Sabtu kemarin saya pulang menggunakan kereta menuju kampung halaman. Saat melewati sebuah stasiun, saya melihat kereta pengangkut bahan bakar minyak yang sangat panjang, saya sesaat terpaku melihat rangkaian kereta itu. Ada lebih dari 15 gerbong tanki minyak bertuliskan Pertamina, dalam benak saya saat itu adalah: kelak ketika harga BBM Bersubsidi naik dan mendekati harga keekonomianya (istilah populer yang sebenarnya dipaksakan), apakah Pertamina masih akan “besar” seperti ini?

Tulisan pendek ini, sebenarnya soal ke gusaran saya mengenai industri migas tanah air. Saya tak akan membahas mengenai 300 Triliun rupiah yang negara habiskan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) dalam satu tahun. Atau membahas kenapa Presiden justru menaikan harga BBM justru saat harga minyak dunia turun ke level 80 dollar perbarrel. Atau bahkan bahasan sepele soal pemerintah tak bisa lagi menggunakan bahasa “Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” karena kata “penyesuaian” itu lebih tepat jika harga minyak dunia tinggi sedangkan harga BBM kita rendah, yang akan saya bahas adalah soal monopoli alamiah Pertamina.

Sebenernya cukup terusik dengan hal sepele, jika nanti harga BBM Bersubsidi naik, lalu yang terjadi kemudian adalah spread (perbedaan/selisih) yang tak terlalu lebar antara harga BBM dari SPBU Lokal (Pertamina) dengan SPBU Asing yang ada di Indonesia (Shell, Petronas, Total). Bisa ditebak akhir dari cerita ini adalah runtuhnya monopoli alamiah oleh Pertamina atas Bahan Bakar Minyak.

Memang benar Pertamina tak dapat untung melimpah atas jualan premiumnya, namun patut di ingat Pertamina besar karena jualan premium-nya. Jika kini Pertamina sudah kalah telak di pertarungan industri hulu minyak, dimana hasil lifting minyak harian pertamina (23 persen produksi minyak nasional) kalah dengan Chevron (42 persen) dan Conoco Philips (25 persen). Akankah beberapa tahun kemudian perusahaan ini juga harus kalah di pertarungan industri hilir minyak?

Setidaknya ada 2 industri yang masih belum bisa banyak di-explore oleh investor asing di negeri ini. Keduanya kebetulan adalah sama-sama bidang energi. Industri pertama adalah minyak dan gas, sedangkan industri kedua adalah listrik. Kedua industri tersebut kurang menarik bagi investor asing karena ada perbedaan harga yang ditentukan oleh pemerintah – untuk industri kelistrikan lebih tertutup lagi, karena investasi untuk instalasi listrik bukan perkara yang mudah.  Namun, kini satu barrier to entry industri minyak di negeri ini sudah dipastikan terbuka besok pagi, bukan tidak mungkin industri kelistrikan juga akan menyusul kemudian. Pada akhirnya industri energi tanah air cepat atau lambat akan seperti industri perbankan saat ini, yang liberalisasinya sudah ada jauh sebelum didengung-dengungkanya liberalisasi ekonomi.

Saya tidak kecewa atau khawatir harga BBM bersubsidi dinaikkan, karena dana 300 Triliun untuk pos subsidi sangat luar biasa besar, bisa untuk membangun 30 stadion sepakbola termahal di dunia seperti Wembley. Saya hanya khawatir suatu saat nanti tak ada yang benar-benar bisa dikuasai oleh negeri ini. Tebakan saya ini akan terjadi jika setelah ini pemerintah juga akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDK).

Atau jangan-jangan kenaikan harga BBM ini hasil jualan presiden baru kita di 3 forum internasional minggu lalu: KTT APEC, ASEAN Summit, dan G-20. Saat itu presiden kita berulang kali menyebut: it's your opportunity? - undangan tersirat untuk masuk ke Indonesia.

Pada akhirnya anda tak harus sepakat atau percaya pada tulisan mengenai industri energi yang ditulis oleh seorang bankir, terlebih jika tulisan ini hanyalah sebuah nostalgia belaka.

It's your opportunity, but our warning, right?

15 November 2014

Balada Tukang Tagih (Part 1)




Saya meminta cinta, dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk dibantu” – Adib Suryawan.

Setidaknya ada dua hal yang membuat saya tergerak untuk menuliskan ini. Hal yang pertama adalah gambar di jejaring sosial mengenai dua ekor kelinci dimana salah satu kelinci mencibir kelinci yang lain karena dianggap tak seberuntung dirinya yang memperoleh daun wortel  yang ditanamnya lebih besar. Padahal buah wortel yang ada didalam tanah berbanding terbalik dengan daun diatasnya. Success is not always what you see. Hal kedua adalah karena saya dianggap tak mensyukuri pekerjaan saya sekarang.

Bagi para perintis karir baru, membandingkan antar pekerjaan adalah sudah bukan hal yang asing. Mungkin sudah menjadi hal yang lumrah, terutama bagi sesama pekerja baru saling menanyakan pekerjaan dan job desk, bahkan lebih ekstrim lagi menanyakan perihal insentif atau gaji. Ada yang sangat percaya diri menjelaskan job desk atau bahkan gaji, namu tak sedikit pula yang memendam kekecewaan, atau memendam rasa: kenapa saya tak seperti dia?

Mungkin anda pernah mengalami apa yang saya alami. Entah karena kerendahan hati, tingkat kejujuran yang cukup tinggi, saya jarang mendengar orang yang mencetuskan kalimat: I Love My Job! Ketika ditanya mengenai pekerjaan pertama mereka. Jawaban yang lebih sering saya dengar atas kesan dari pekerjaan mereka adalah: Ya begitulah, namanya kerja mana ada yang enak. Yang penting ngga menganggur dan gaji lumayan. Atau bagi yang pernah bekerja mereka biasanya menjawab: Dibandingkan dengan yang kemarin sih lebih enak yang ini. Meski diucapkan tanpa nada antusias.

“Jauh lebih mudah untuk berdecak kagum atas apa yang dimiliki orang lain, atas daerah asing yang bukan tempat tinggal kita, untuk menganggap sesuatu yang beda dan baru itu lebih bagus” – Margaretha Astaman.

Hegemoni para  perintis karir baru itu pun melanda saya.

Sekitar 6 bulan yang lalu, saya dan teman-teman sekelas saya yang tergabung dalam Officer Development Program sebuah Bank BUMN yang terdepan, terpercaya, tumbuh bersama Anda, harus (mau-tak-mau) memulai fase hidup baru. Moment yang paling menegangkan setelah lulus kuliah itu bernama: Penempatan. Singkat cerita waktu itu saya harus menerima bahwa hidup saya untuk beberapa tahun kedepan tak akan jauh-jauh dari label: Micro Collection Unit.

Setidaknya ada 3 alasan bagi saya untuk kaget pada awal pengumuman penempatan saya dan hari-hari awal saya menjalani peran baru saya. Alasan pertama, saya tak pernah mendengar sekalipun divisi/departement tersebut sebelumnya. Entah tak mendengar atau memilih untuk tak mendengar, minimal dalam rentang waktu 4 bulan saya mempelajari dunia perbankan - konon otak manusia hanya mengingat apa yang ingin ia ingat. Oleh karena saya tak ingin menginggat tentang divisi/unit Collection maka saya pun berkilah tak pernah mempelajari unit tersebut sebelumnya. Jangankan tau, ingat saja tidak.

Alasan kedua, bagi seorang knowledge worker (pembahasanya ada di 2 artikel sebelum ini) saya selalu mencintai hal-hal strategis, sedangkan Collection lebih banyak pekerjaan yang Clerical, dalam benak saya ini ngga jauh jauh dari white-collar worker, general office task, atau keeping record. Tanyakan pada teman sekelas saya atau teman kampus saya dulu. Betapa saya mencintai hal-hal yang bersifat data dan strategis. Bahkan sampai sekarang saya masih sering kepikiran kenapa struktur organisasi perusahaan saya berubah awal tahun nanti menjadi sedemikian rupa, padahal itu sama sekali bukan tugas saya.

Alasan yang terakhir, saya tak menyukai mikro. Didunia ini jika mau disederhanakan hanya ada dua jenis karakter orang, pertama yang menyukai mikro (detail, aplikatif, dan hal-hal kecil lainya) dan yang menyukai makro (konsep besar dan general theory). Sebagai lulusan ilmu ekonomi, karakter saya dapat dikenali dengan mudah, tengok saja transkrip lalu bandingkan nilai matakuliah Ekonomi Makro dan Mikro saya lebih bagus mana? Saya masih ingat nilai mikro saya tak pernah lebih tinggi dari B - (minus).

But, time changes.


Mungkin ini pekerjaan paling menantang bagi perintis karier baru di dunia perbankan. Tak ada tekanan yang lebih menantang dari pekerjaan ini. Saya tak mengatakan pekerjaan lain tak menantang, saya yakin setiap orang diberi batasan-batasan oleh Tuhan untuk diperjuangkan bahkan dilewati. Semua punya tantanganya sendiri. Namun, setidaknya saya merasa beruntung, diawal pekerjaan saya, saya mendapati tekanan dari empat sisi sekaligus, saya menyebutnya tekanan dari atas, bawah, kiri, dan kanan. Tekanan dari atas (atasan) jelas semua pekerja merasakanya. Tekanan dari bawah, tak semua pekerja memilikinya, apalagi memiliki 12 orang bawahan langsung di awal karier seperti saya. Dari kiri saya menyebutnya tekanan dari rekan kerja, dalam hal ini business unit (karena saya hanyalah seorang supporting unit).  Dan tekanan terakhir tekanan dari kanan adalah tekanan dari debitur-debitur bermasalah, karena selalu ada masalah disetiap debitur bermasalah. Tak ada perintis karir seberuntung saya.

Tak hanya itu. Pekerjaan saya sekarang sangat membutuh strategi dan managing people. Sesuatu yang saya dambakan sejak dulu. Saya menyukai hal yang berbau strategic planing, dan saya juga menikmati managing people. Sedari awal saya masuk perusahaan ini saya mendambakan posisi di bagian Strategic Performance and Management, namun pekerjaan saya sekarang juga tak kalah menantangnya untuk menyusun strategi terbaik dalam penagihan, meskipun strategi yang saya pikirkan bukan strategi bank-wide.

Saya pun menyadari ternyata pekerjaan ini juga sangat makro. Benar pekerjaan saya mengenai tukang tagih mikro, namun analisis yang saya gunakan sangat makro. Karena tiap hari saya menganalisis portofolio yang bersifat mass product, saya dapat melihat behavior debitur dalam level makro.

Saya mulai menikmati pekerjaan ini karena saya bisa menjadi motivator tiap harinya. Profesi sebagai motivator belakangan menjadi tenar karena banyak orang membutuhkan stimulus dari pihak luar (eksternal) atas permasalahan hidup yang semakin komplek. Namun bagi seorang motivator, kita takk dituntut untuk dapat mengatasi semua kompleksitas hidup, yang dituntut oleh motivator adalah membaca dan menyelami kehidupan dengan baik. Kita tidak bisa melakukan semuanya dengan benar namun setidaknya kita dapat membaca dan melihat orang lain melakukan sesuatu dengan benar. Saya menikmati proses itu.

Pada akhirnya saya tak perlu meminjam mata orang lain untuk melihat begitu beruntungnya kehidupan dan pekerjaan saya sekarang.


Bisa jadi frasa: Tuhan tak selalu memberi apa yang kita inginkan namun tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan, itu memang benar adanya. Bukan sekedar pembenaran oleh seorang yang telah putus asa.