ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

10 October 2013

Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan (Part 2 - Habis)

Perepuan adalah mahluk gaib urutan satu, urutan kedua baru Tuhan” – Jalaluddin Rumi

Akhirnya saya memiliki kesempatan untuk meneruskan postingan sebelum ini, meski waktu banyak saya miliki, namun kesempatan tak selalu berbanding lurus dengan waktu. Izinkan saya untuk membaca tulisan saya sebelum ini, sembari mengingat ingat apa yang ingin saya ceritakan.

Seingat saya malam itu tak terlalu dingin, matahari baru saja masuk ke peraduan setelah seharian menghangatkan mahluk bumi. Kedamaian pergantian siang dan malam ketika langit sedikit menggelap sehabis magrib adalah kombinasi suasana yang indah. Saya pun masih khidmat memandangi sudut bangunan megah yang menjadi rumah siang saya selama 4 tahun terakhir − karena biasanya saya hanya kembali ke kosan hanya untuk tidur.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, menjelang malam itu tak banyak orang yang hilir mudik seperti layaknya kampus dikala malam. Maka tak banyak yang mengalihkan perhatian saya saat itu. Hanya terlihat seorang gadis berpawakan agak tinggi, berdandan sekenanya sehingga lebih terlihat urakan, namun terlihat nyaman, tengah berjalan bergegas entah kemana. Dengan menenteng beberapa buah buku teksbook dan buku catatan canggih buatan Cupertino, California dengan logo buah yang terkenal itu, gadis tinggi yang terlihat urakan ini berjalan sembari menempelkan telpon genggamnya ke telinganya. Saya tak yakin ia benar-benar menelpon atau hanya kamuflase ditengah keramaian saja.

Saya memutuskan tak terlalu mengamatinya lebih jauh lagi. Namun, tiba-tiba saya dikagetkan oleh gadis berkacamata, berbaju polo biru menenteng tas berwarna biru bergaris putih dipundaknya lewat disebelah saya. Entah dari mana datangnya tiba-tiba gadis itu lewat disamping saya, dia-pun seketika tersenyum melihat saya sedikit terkagetkan. Sempertinya saya mengenali senyumanya gadis itu, senyuman yang khas melengkung indah dan membuat lekukan di ujung bibir dan mengangkat sebagian pipinya. Saya pun menimpali senyumanya meski dengan perasaan yang sedikit masih terkaget-kaget.

Setelah gadis berbaju polo biru lewat, saya mendapati dua mahasiswi sedang mengobrol serius dibawah salah satu pohon besar di kampus saya. Mahasiswi yang pertama terlihat anggun sekali dengan mengunakan baju motif batik terusan sampai sedikit diatas lutut. Baju terusan yang membuat saya teringat pada pramugari Singapore Airlines namun yang ini hadir dengan versi lebih pendek. Mahasiswi yang kedua lebih simpel, hanya memakai kaos berwarna abu-abu dengan lengan berwarna merah maroon serta jilbab tipis berwarna krem. Melihat raut muka keduanya, nampaknya mereka sedang berdiskusi membicarakan organisasinya. Ah saya tak terlalu peduli apa yang sedang mereka bicarakan, bisa jadi sedang membicarakan saya.

Entah kenapa malam itu lebih banyak wanita yang saya temui ketimbang laki-laki. Bisa jadi seperti kutipan diawal tulisan ini benar adanya. 

Aktivitas saya mengamati sekeliling sembari memasukan kepingan memori yang ada dikampus saya untuk dikenang suatu saat ternyata membuat saya tak sadar saya telah diamati dari jauh. Iya saya sedang diamati dari jauh ternyata − atau saya yang terlalu percaya diri. Terlihat ada dua mahasiswa berada dibawah tenda yang berpadu dengan kegelapan. Bahkan saking berpadunya saya tak bisa melihat dengan jelas salah satu mahasiswi tersebut hanya mahasiswi berjilbab merah muda dan atasan merah muda namun lebih tua dari jilbabnya. Dirinya tertangkap membuang pandanganya ketika saya pergoki dirinya mengamati saya dari kejauhan.

Mungkin sebaiknya saya mengakhiri proses perekaman kenangan di kampus saya malam itu, daripada saya mengetahui lebih banyak lagi yang mengamati ku dari jauh, terlebih tak baik rasanya berdiri seorang diri ditengah plasa kampus ketika hari semakin larut malam. Namun sebelum beranjak pulang menyempatkan untuk sholat Magrib terlebih dahulu.

Selepas Sholat Magrib saya bergegas menuju tempat parkir, namun ditengah perjalanan saya melihat gadis yang sepertinya beberapa saat lalu saya melihatnya di bawah pohon besar itu, namun kali ini ia sendirian duduk di sebuah bangku panjang dan mencoba menyibukan diri dengan telepon genggamnya, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Dalam keadaan satu-lawan-satu tersebut keputusan untuk menyapa atau sekedar senyum seperti kasus prisoner’s dilemma pada mata kuliah Game Theory. Teori tersebut menyebutkan bahwa payoff tertinggi hanya didapat ketika dua pihak melakukan hal yang sama. Pada kasus ini saya memutuskan untuk tidak memberikan senyum atau sekedar menyapa karena hal itu pula yang dilakukanya dan berpura-pura tak melihat saya, mungkin demi payoff yang maksimal juga.

Ah.. saya jadi lupa ingin menceritakan apa sebenernya, saya cuman ingat, suatu saat, jika kamu meninggalkan suatu tempat, tapi sama sekali tak dikenang oleh orang-orang ditempat itu, itu salah mu.

Selesai.

Oh iya saya ingin menceritakan pada adik baru saya yang belum ada satu semester aku memanggilnya adik. Biasanya dia tau lanjutan cerita ini akan seperti apa. Biasanya.

01 October 2013

Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan (Part 1)

“Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup — yang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah” — Goenawan Muhamad.

Malam itu saya berdiri ditengah-tengah halaman kampus saya. Tak banyak mahasiswa yang hilir mudik, hanya beberapa terlihat duduk melingkar semacam berdiskusi, dan beberapa yang lewat hendak menunaikan sholat Maghrib. Tak banyak yang saya lakukan saat itu, saya hanya berdiri tepat ditengah plasa kampus lalu menyapu pandangan ke segala penjuru kampus, sembari menangkap semua momen yang masih teringat dalam kepala. Saya memaksakan potongan-potongan moment yang telah saya kumpulkan selama 4 tahun ini kemudian memaksakanya masuk kedalam kepala. Dalam benak saya saat itu hanya: Suatu saat saya akan merindukan tempat ini.

Entah kenapa ada orang yang sangat menikmati nostalgia seperti saya ini, meski ada pula orang yang dengan mudahnya melupakan darimana ia berasal dan lupa bagaimana bisa menjadi seperti yang sekarang. Saya tak tahu mana yang lebih baik, seperti saya menganggap Extrovert itu yang terbaik (seperti pada tulisan-tulisan kepribadian, Extrovert lebih sering di asosisiakn positif) karena merupakan pribadi yang seru, tak membosankan, ramah, dan selalu terlihat bersemangat. Namun ternyata Tuhan juga menciptakan Introvert sosok yang lebih bijak karena berbagi hanya hal tertentu dan pada orang tertentu pula, mereka juga lebih sempurna memperhatikan detail. Semua akan benar pada tempatnya.

Bagi sosok penikmat nostalgia, saya dapat dengan jelas mengingat kala pertama kali saya menuntut ilmu di kampus ini, hari itu hari senin akhir Agustus 4 tahun yang lalu, perkuliahan dimualai jam 7.00 tepat, dan saya sampai dikelas pukul 6.50 dan mendapati dosen sudah berada diruangan kelas pengantar bisnis tersebut. Tentunya saya ingat kuliah terakhir di kampus ini — sekitar 3 bulan yang lalu. Saya mengingatnya karena saya ingin mengingatnya.

Ada yang bilang bahwa apabila seorang hidup dengan cinta maka dia sudah hidup di surga sebelum mati. Seperti sajak Dr. Leo Buscalgia dalam bukunya yang berjudul “Love” menceritakan dirinya ketika diilhami membuka “Love Class” di University of Southern California karena pada musim dingin 1969 salah satu muridnya yang pintar dan cantik serta berasal dari keluarga berkecukupan bunuh diri di pantai Pasific Palisades di Los Angeles. Inti buku tersebut dinyatakan dalam kalimat “Love requires one to be strong”, cinta membutuhkan seseorang untuk menjadi kuat.

Mungkin dalam konteks mahasiswa kekinian, keputusan bunuh diri dirasa terlalu kejam, namun bukan tidak mungkin banyak mahasiswa sekarang menjalani masa-masa menjadi mahasiswa dengan hati yang telah terbunuh, menjadikan hari-hari perkuliahanya hanya sebatas rutinitas nan kering makna — jika saya tak berlebihan.

Saya mencintai kehidupan 4 tahun terakhir ini, cinta ini membuat segala sesuatunya menjadi menarik untuk diceritakan. Namun pada akhirnya saya tak boleh terlena atas cinta yang saya ciptakan. Jika saya tak salah ingat Goenawan Mohamad pernah berujar: ada sebuah negeri yang ingin sekali anda tinggalkan, namun entah kenapa anda tak bisa meninggalkanya, saya ingin menggantinya dengan bisa jadi ada tempat yang sebenernya tidak ingin kau tinggalkan, tapi bagaimanapun anda harus meninggalkanya.

Terima kasih Tuhan, telah memberikan saya kesempatan untuk menunaikan mimpi ini dengan baik.

Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi

Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua

Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan

Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian

Bersambung... Karena saya harus mengemas barang-barang yang begitu banyak agar muat di koper. 

26 September 2013

September 2013: Momentum Awal Lari Marathon

“Anak muda jangan hanya menyiapkan diri untuk lari Sprint, tapi harus siap untuk lari Marathon” – Bima Arya

Begitulah kira-kira tulisan yang ada pada back cover semacam buku biografi dari seorang pemuda yang kini telah menjadi bupati Bogor. Saya tak terlalu penasaran untuk membuka segel buku tersebut, oleh karenanya saya hanya melihat back cover dari biografi tersebut dan langsung tertarik dengan kutipan tersebut.

Kutipan tersebut selaras dengan yang saya lakukan tadi sore di kampus tercinta – yang sebentar lagi akan saya tinggalkan ini. Sore tadi saya memilih menghabiskan waktu untuk menguji ketahanan fisik saya dengan berlari non-stop mengelilingi sebagian kampus yang memang biasa digunakan oleh muda-mudi untuk berlari atau sekedar jalan-jalan sore. Ditempat itu banyak sekali terlihat yang menggunakan segala tenaganya untuk berlari sekencang mungkin, lalu satu putaran berikutnya mereka hanya bisa berjalan untuk mengembalikan energinya, lalu putaran berikutnya mereka berlari kembali. Sore tadi saya tak tertarik untuk melakukan hal serupa. Saya memilih menggunakan energi saya dengan bijak, its means saya tidak berambisi untuk beradu lari dengan mereka, namun saya hanya melakukan lari-lari kecil dengan kecepatan konstan, tanpa henti, sembari mengukur seberapa kuat tenaga bijak yang telah saya miliki dalam tubuh saya.

Frasa sprint dalam kutipan diatas mengacu pada memaksakan fisik untuk melesat secepat mungkin dalam jangka pendek. Poin penting didalamnya adalah kecepatan dan jangka pendek. Dalam lari Sprint tidak ada istilah menyimpan tenaga, yang ada memaksakan tenaga utuk melesat dengan kecepatan maksimal. Konteks sprint juga hanya diasosiasikan dengan jangka pendek, karena jarak lari sprint yang diperlombakan juga tak pernah lebih jauh 400 meter, jika lebih dari itu semua akan mati atau kalau meminjam kata ekonom paling terkenal se-kolong jagad, John Meynard Keynes: In the long run we are all dead.

Sedangkan frasa Marathon dalam kutipan diatas mengacu pada perlombaan lari jarak jauh, untuk menjadi yang tercepat sampai pada suatu lokasi. Nama marathon berasal dari legenda Pheidippides, seorang prajurit Yunani, yang dikirim dari kota Marathon, Yunani ke Athena untuk mengumumkan bahwa bangsa Persia telah dikalahkan pada Pertempuran Marathon. Marathon tidak meninggalkan hakekatnya sebagai perlombaan adu cepat, namun penekanan selanjutnya ada pada jangka panjang dan ketahanan tubuh. Tanpa daya tahan mustahil bisa memenangi lari Marathon, dan bisa saja berujung seperti pada kisah prajurit marathon Yunani tersebut dimana ia berlari tanpa berhenti tapi meninggal begitu berhasil menyampaikan pesannya tersebut.

Lalu apa urusanya lomba lari dengan saya?

Pada bulan September ini semua tenaga yang telah saya curahkan dan investasikan selama 4 tahun ini menuai hasil. Saya berhasil mendapatkan dua buah pencapaian yang bisa jadi sangat signifikan dalam hidup saya. Pada bulan ini saya berhasil menyelesaikan studi saya tepat pada hari ulang tahun saya 20 September lalu. Sungguh pencapaian yang luar biasa bagi saya mengingat menjadi mahasiswa Gadjah Mada adalah sesuatu yang membanggakan, namun menjadi alumni Gadjah Mada adalah kehormatan. Jika seorang Anies Baswedan berujar “Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai” maka di tangan saya kalimat itu sedikit mengalami gubahan menjadi “Kuliah yang baik adalah kuliah yang selesai” ya saya bisa berkata demikian sombongnya karena saya telah merasakan kesombongan serupa dari orang lain. Kuliah bukan perkara seberapa tinggi indeks prestasi, atau seberapa banyak pengalaman organisasi, tapi kuliah yang baik cukup dituntaskan dengan kata kelulusan.

Belum hilang efek kesenangan saya pada tanggal 20 September lalu, empat hari berselang saya mendapati kabar bahwa saya lolos seleksi masuk pekerjaaan pada sebuah Bank BUMN dengan asset terbesar di negeri ini yang proses panjangnya saya ikuti sejak sebulan silam. Sungguh rezeki yang tak terduga-duga di bulan bahagia ini, karena saya tak perlu menunggu prosesi wisuda kemudian mencari-cari pekerjaan, namun sudah dihamparkan jalan rezeki jauh sebelum saya wisuda bulan November nanti. Keduanya berkombinansi menjadi hadiah ulang tahun saya yang menyenangkan. Sungguh Tuhan mempunyai rencana-rencana yang dahsyat bagi hambanya yang mempercayaiNya.

Oleh karena anugerah-anugerah tersebut, saya jadikan bulan ini tak hanya menjadi September Ceria, tapi juga menjadi momentum awal Marathon kehidupan saya. Saya sebut awal karena kelulusan bukan sebuah akhir bagi perjalanan seorang pemuda, tapi awal baginya untuk mengarungi kehidupan yang sebenarnya. Marathon, karena ini perjalanan jangka panjang, saya harus mengatur energi dengan bijak agar tak kehabisan ditengah jalan.

Beberapa orang diluar sana, terutama orang-orang ambisius, telah sibuk menciptakan semacam tag-line untuk menyadarkan anak-anak muda bahwa sukses secepat mungkin adalah sebuah tujuan hidup. Fenomena pengusaha muda, kaya di umur 30 tahun, Young on Top, Nikah Muda dan kata-kata tendensius yang lain. Menggantinya dengan pengusaha seumur hidup, kaya di umur berapapun, Everlasting on Top, Nikah di saat yang tepat (untuk bagian ini saya agak susah menggantinya karena nikah muda itu konon asik) bagi saya lebih bijak ketimbang memaksa orang lain untuk menghabiskan energinya di awal untuk mendapat pencapaian secepat mungkin. Saya tak mengatakan mereka salah, tapi saya mengatakan tak tertarik untuk mengikuti jalan hidup mereka. Kalo kata bio twitter teman saya bunyinya kira-kira begini: It does not matter how slow you go so long as you do not stop.

“Rezeki itu bertebaran dimuka bumi bagi orang yang kompetitif” ― Denny Puspa Purbasari

Bagaimanapun anak muda adalah seorang yang ambisius namun tak pandai mengatur nafas. Semoga keyakinan yang saya percayai benar ini dapat membawa saya ketempat yang lebih tinggi suatu saat nanti. Namun, jika keyakinan ini salah, semoga Tuhan memberikan pelajaran dan makna dibalik kesalahan saya ini.

Oh iya jika ditanyakan kepada pasangan suami-istri, perihal pilihan sprint atau marathon, jawabanya mereka saya yakin seperti ini: Marathon lebih asik daripada Sprint.

25 September 2013

Semacam Halaman Persembahan

Untuk Bapak yang meninggalkanku 10 hari sebelum saya diterima di kampus ini,
Untuk Ibu guru spiritual yang senantiasa mendoakan perjuanganku selama 4 tahun ini,
Untuk Kakak, yang menjadi tulang punggung keluarga, sumber penghidupanku kini.

Tiada kata lain yang lebih indah dan patut diucapkan pertama kali, ketika penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, selain mengucapkan syukur alhamdullilah kehadirat Allah SWT, sang pencipta langit dan bumi, serta yang menghamparkan ilmu pengetahuan tak terhingga didalamnya untuk kita pelajari hakekat dan makna dibalik penciptaan Nya. Berkat rahmat dan hidayah Nya, penulis bisa menyelesaikan satu butir pasir dari miliaran butir pasir ilmu pengetahuan yang ada di hamparan Nya.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Harga Minyak Dunia Terhadap Kinerja Pasar Modal di Indonesia: Analisis Tingkat Industri, Tahun 2001-2013” ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis di jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada dalam mencapai gelar Sarjana Ekonomi.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapa pihak yang berandil besar dalam pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini, antara lain:

Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc., Ph.D., Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM atas dedikasinya dalam mewujudkan fakultas yang menjadi kebanggaan seluruh penghuninya, Ad augusta per augusta.
Prof. Tri Widodo, M.Ec.Dev., Ph.D., Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UGM, atas kebaikan hati dan kebijaksanaanya mengelola jurusan Ilmu Ekonomi tercinta.

Dr. Anggito Abimanyu, M.Sc., dosen pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing penulis disela-sela kesibukan beliau sebagai Dirjen Haji Kementrian Agama RI, semoga segala kebaikan yang bapak berikan dibalas Yang Maha Kuasa. Jazakumullah Khairan Katsira.

Prof. Mudrajad Kuncoro, M.Soc.Sc., Ph.D., yang telah membimbing penulis dalam berbagai proyek dan penulisan karya ilmiah, terima kasih atas pelajaran berharganya.

Prof. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc., Ph.D., Drs. Dumairy, M.A., Akhmad Akbar Susamto, SE., M.Phil., dosen penguji skripsi atas kebaikan dan kemurahan hatinya.

Dosen-dosen FEB UGM lain atas inspirasi dan ilmu pengetahuan yang diberikan selama 4 tahun ini, sebaik-baik ilmu pengetahuan adalah yang tersampaikan kepada khalayak dan menjadi bermanfaat.

Harris Darmawan, atas bantuan dan perdebatan sengitnya selama ini, Muhammad Hasan Putra, atas bantuan dalam mencari data dalam penulisan skripsi ini, dan Galuh Iqbal SAS atas diskusi format skripsi yang baik dan benar.

Rekan-rekan penulis yang senantiasa mengispirasi: Graha Ganindra Goutama, Dikanaya Tarahita, Adlan Syahmi, Made Wiweka Wijaya, Reinardus Suryandaru, Arham Nurulloh, Azim Amirin, Raditya Nugraha, Zaffira Amalia, Syaiful Arifin.

Segenap warga Ilmu Ekonomi 2009, FEB UGM 2009, BEM FEB UGM, KKN PPM UGM unit 131, Kakak-kakak angkatan, dan adik-adik angkatan yang tak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaanya.

Akhirul kalam, semoga skripsi ini bisa diterima dengan baik di kalangan akademis dan memberi sumbangsih pada ilmu pengetahuan. Tak ada pujian terindah bagi akademisi selain ilmu yang bermanfaat bagi sesamanya. Wallahu a’lam bishowab.



13 September 2013

(Bukan) Kajian Kesombongan

Sesungguhnya dari mata ini keluar kotoran, dari hidung ini keluar kotoran, dari mulut ini keluar kotoran, dari telinga ini keluar kotoran, dan dari seluruh lubang-lubang ditubuh ini keluar kotoran, mana mungkin benda yang senantiasa mengeluarkan kotoran ini layak untuk menyombongkan diri?” ― Khatib Sholat Ied Fitri, satu bulan yang lalu.

Beberapa hari yang lalu saya dituduh telah melakukan sebuah kesombongan yang terencana. Saya dianggap tidak mengakui sebuah proses yang dilakukan orang lain dan melakukan pembenaran atas kesalahan yang telah saya perbuat itu. Benak saya pun berontak, kesombongan saya yang manakah yang saya lupakan?
Berangkat dari sanalah saya mencoba untuk mengadakan sebuah kajian ilmu kesombongan.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah mencari definisi sombong yang ada.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia Sombong diterjemahkan sebagai: Menghargai diri secara berlebihan; congkak; pongah: tabiatnya agak aneh, sebentar - sebentar rendah hati ― saya tak tau maksud frasa yang terakhir ini dalam terjemahan tersebut.

Lebih lanjut dari aspek spiritual-relegius, sombong juga telah dibahas mendalam oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Tarmidzi dan Muslim disebutkan bahwa: Sombong adalah perbuatan melecehkan orang lain dan menolak kebenaran.

Dalam kontek psikologi yang sempat sedikit saya pelajari adalah mekanisme pertahanan ego. Sebuah strategi psikologis yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa untuk berhadapan dengan kenyataan dan mempertahankan citra-diri. Mekanisme tersebut menjadi patologis bila penggunaannya secara terus menerus membuat seseorang berperilaku maladaptif sehingga kesehatan fisik dan atau mental orang itu turut terpengaruhi. Kegunaan mekanisme pertahan ego adalah untuk melindungi pikiran/diri/ego dari kecemasan, sanksi sosial atau untuk menjadi tempat "mengungsi" dari situasi yang tidak sanggup untuk dihadapi.

Saya menduga ada suatu pemahaman yang tertukar antara konsep kesombongan dengan mekanisme pertahanan ego. Proyeksi misalnya, merupakan sebuah mekanisme pertahanan ego yang paling mudah dilihat, yaitu ketika orang memproyeksikan apa yang ada atau dirasakan orang lain kepada dirinya, atau sebaliknya (seperti: Bukan aku kok yang suka, tapi dia yang suka padaku). Saya khawatir orang tertukar menamakan proyeksi sebagai kesombongan, atau kesombongan diterjemahkan sebagai proyeksi.

Bagaimana dengan kesombongan yang tak di sengaja?

Tidak semua orang bisa melihat dan merasakan apa yang telah mereka lakukan dengan sadar. Hanya orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal-lah yang dapat melihat kedalam diri sendiri dengan baik dan melakukan pemaknaan terhadap segala aktivitasnya dengan baik pula. Sedangkan saudara kandung kecerdasan ini, adalah kecerdasan interpersonal, orang yang mempunyai kemampuan memahami dan membedakan suasana hati, kehendak, motivasi dan perasaan orang lain. Mereka tak selalu melakukan semuanya dengan benar namun dapat melihat orang lain melakukanya dengan benar. Contoh orang yang memiliki kedua kecerdasan ini adalah orang yang sering mengucapkan kalimat kutip-able, mereka tau apa yang ada didalam dirinya dan mereka sadar apa yang terjadi pada orang lain. Tanyakan bab perihal kesombongan pada mereka pasti mereka akan menjawabnya dengan mudah.

Banyak orang memvonis orang lain sombong, padahal dirinya juga bisa dinilai orang lain sebagai orang sombong. Bahkan banyak orang tidak tahu bahwa, orang yang merasa dirinya tidak sombong justru orang yang sombong. Pada saat saya berhenti mengetik kalimat ini bisa jadi saya telah mengucapkan sebuah kesombongan.

Pada akhirnya saya selalu takut pada kesombongan, saking takutnya, saya dapat mengingat raut wajah khatib yang berkhotbah sebagaimana tertulis di awal tulisan ini. Bak pisau bermata dua, kesombongan bisa menjadi pertahanan diri sekaligus penyandera realitas. Saya selalu takut kesombongan akan merubah jalan hidup, bukankah kita sering mengalami kejadian yang seharusnya tak terjadi namun terjadi karena kita sombong. Saya tak meneruskan bahasan ini karena takut Vicky mengutuk saya karena telah mempertakut khalayak.

"Mending sombong terang-terangan, dosanya tunggal. daripada nge-low profile tapi hatinya sombong. Dosanya ganda, dosa sombong dan dosa munafik" - Soejiwotedjo

Semoga Tuhan mengampuni kesombongan-kesombongan yang tak (sempat) terucap. Termasuk tulisan saya pagi ini.

09 August 2013

Siaga 1 Fans Manchester United


"It's an honour United makes two bids, but there have been no talks. I didn't talk with any club since I joined Barça two years ago. My dream has always been to play at Barça and nothing has changed. I'm very, very happy here and I never thought about leaving" – Cesc Fabregas

Seharusnya setelah mendengar kalimat dari bintang iklan Biskuat itu, perasaan David Moyes hancur seperti saat dirinya masih muda dan mencoba melamar gadis impianya namun gadis itu menolaknya. Tentunya Fabregas bukanlah seorang gadis yang hanya ingin menguji seberapa jauh usaha, perjuangan dari laki-lakinya dalam menggapai dirinya. Kecil pula kemungkinan Fabregas akan merasa kasihan pada Moyes setelah beberapakali tawaran dan menyetujui untuk menjalin hubungan bersama. Ini bukan cerita romantisme percintaan cinta Abelard dan Heloise, namun bagi saya ini bak kisah mitologi Yunani antara dewa musik Apollo dengan Dafne adalah putri dari dewa sungai Peneus.

Jawaban dari bidikan utama Moyes di bursa transfer perdananya bersama Manchester United itu sangatlah jelas, tak lagi tersirat. Maka akan terlihat bodoh jika Moyes terus ngotot mendapatkan tanda tangan mantan kapten Arsenal tersebut. Itu artinya bursa tranfer United era Moyes hanyalah cerita tentang penolakan. Setelah Kevin Strootman lebih memilih AS Roma ketimbang United, Thiago Alcantara yang melipir ke sekumpulan alien di Jerman, Bayern Munich. Kini United harus kembali mengalami penolakan oleh Cesc Fabregas, meski kali ini alasan penolakanya bukan berpindah ke lain hati, namun Fabregas mendadak menyanyikan lagu Fatin Sidqia, “Maafkan diriku memilih setia... Walaupun ku tahu cintamu lebih besar darinya...

Beberapa hari yang lalu, saya terjebak pada sebuah perdebatan di jejaring sosial mengenai seberapa perlukah Fabregas bagi kebutuhan tim saat ini. Topik yang sengaja dilontarkan oleh akun fanbase (non official) United berbahasa Indonesia dalam memperingati saga tranfer Cesc Fabregas. Saya tak mau terjebak pada debat antara pihak yang tahu dan yang tidak, karena hal ini bukan semata persoalan kebutuhan dalam tim. Lebih jauh lagi, prosesi bursa tranfer bagi tim-tim besar (atau yang berambisi jadi besar) juga bermakna sebagai kebutuhan flagship, pencitraan, atau sekedar pengukuran seberapa mampu sebuah tim merekrut pemain.

Masih ingatkah dengan aktivitas transfer Real Madrid pada era Los Galacticos jilid 1? Jika alasan kebutuhan dan kekuatan tim, seharusnya Real Madrid tak harus membelanjakan banyak kas-nya hanya untuk mempertemukan Zenedine Zidan, Ronaldo, Luis Figo, dan David Beckham dalam satu hamparan rumput yang sama. Bahkan yang terbaru bisa tanyakan pada Sandro Rosell, kenapa dirinya ngotot mendatangkan Neymar dari Santos, atau jika menjadi kenyataan, tanyakan urgensi Real Madrid mendatangkan Garreth Bale, saat mereka masih memiliki C. Ronaldo, Mesut Ozil, dan Angel Di Maria. Benarkah kebutuhan tim?

Bagi saya ini semacam early warning system bagi seluruh keluarga besar Manchester United. Saya sebut demikian karena serangkaian kegagalan di bursa transfer kali ini sejalan dengan pencapaian tim pada tur pra-musim. Meski hanya bertajuk pemanasan, rapor 2 kali kemenangan, 2 kali seri, dan 2 kali menelan kekalahan, bukanlah hasil yang melegakan. Jika Moyes masih berdalih skuad yang ia turunkan belumlah yang utama, para pemain belum mencapai level kebugaran yang optimal, sang lawan juga demikian, lawan united di laga pramusim kali ini jika mau tega bisa dibilang beberapa level dibawah united, bahkan ada tim yang baru dibentuk beberapa minggu khusus untuk menghadapi United. Terlalu kejam jika ini semua ditumpahkan kepada pelatih anyar David Moyes, karena ini bukan keraguan terhadap kapasitas dirinya, namun lebih besar lagi keraguan pada Manchester United

Dua hari lagi Manchester United akan menghadapi Wigan di Community Shield, kemudian tujuh hari berselang dari laga versus Wigan itu genderang perang Liga Inggris pun di mulai. Artinya tak banyak waktu lagi untuk berbenah dan berburu pemain meski masa transfer window masih dibuka sampai September mendatang. Kemungkinan besar laga di Community Shield dua hari lagi ini menjadi penentu harapan para fans untuk musim mendatang, optimisme atau pesimisme bisa direvisi saat laga itu.

Saya tak menyarankan Fans United untuk ragu pada tim kesayanganya. Saya hanya ingin para fans merevisi harapanya pada musim mendatang. Karena layaknya di kehidupan nyata, kebanyakan orang jatuh karena tak pandai mengelola harapannya. Percaya diri itu penting, tapi sadar (akan kekuatan) diri sendiri lebih penting. 

Rasa-rasanya saya mesti bersyukur tak banyak pertandingan Liga Inggris yang disiarkan televisi non-berbayar, karena saya dan pendukung United lainya tak akan sering di ejek oleh para awam sepakbola kala musim 2013/14 bergulir nanti.

Sir Alex pun berujar: Piye Kabare, Enak Jamanku Toh?

07 August 2013

Tentang Keluarga, Mudik, dan Kerinduan Primordial


Hikmat kebijaksanaan para pemudik adalah pulang ke haribaan asal usul, tanah kelahiran, puak yang melahirkan dan membesarkannya, juga kenangan masa kecil yang tak ternilai harganya. Dan ini momen yang spesifik, merujuk pada waktu yang khusus, bukan sembarang waktu Zenrs

Kutipan diatas saya ambil dari sebuah esai karangan Zenrs di Yahoo yang berjudul: Mudik ke Haribaan Mata Air, dalam karangan bebasnya itu ia mencoba menganalogikan mudik dengan menggunakan pergerakan air dari mata air di pegunungan menuju laut melalui sungai sebagai metafora, udik adalah hulu dan rantau adalah muara. Maka perjalanan mudik, atau meng-udik, adalah gerak dari muara untuk pulang ke pangkuan hulu. Mudik sesungguhnya adalah aktivitas melawan arus.

Entah sejak kapan saya tumbuh menjadi penikmat mudik dan kini berujung pada pencarian makna filosofis - artifisial mengenai momen dimana ada perpindahan penduduk yang sangat besar dalam kurun hanya waktu satu minggu itu ― bahkan konon perpindahan penduduk terbesar didunia. Sekitar 35 juta orang melakukan perpindahan tempat dan kembali ketempat semula dalam waktu yang relatif singkat. Sebuah angka yang luar biasa menurut saya, karena jumlah penduduk negara tetangga kita saja, Malaysia, Singapura, Brunei dan Timor Leste jika digabungkan hanya sekitar 27 juta. Saking menikmatinya saya bercita-cita melakukan mudik dengan keluarga suatu saat nanti, tentunya jika saya masih memiliki tempat berpulang.

Oleh karena itu saya merasa tertantang untuk menemukan arti mudik bagi saya. Maka sore tadi saya langsung mencoba melakukan apa yang khalayak lakukan ketika menjelang hari raya itu, yaitu berkunjung ke tempat saudara, orang tua (baik kandung atau mertua) dan kerabat yang lain. Dengan menggunakan baju putih dan sarung saya bergegas memacu sepeda motor matik saya menuju suatu rumah. Rumah yang akan saya kunjungi itu bukanlah rumah dari orang jauh, melainkan rumah baru Ayah saya. Beberapa menit berselang sayapun sudah sampai dirumah Ayah saya, kebetulan jika musim lebaran seperti ini rumah ayah saya ramai dikunjungi orang.

Saya pun langsung duduk diantara dua nisan yang bertuliskan nama Ayah saya.

Ya mudik saya kali ini merupakan suatu kontemplasi mendalam terhadap keluarga saya. Sebelum saya berkomunikasi dengan Ayah saya, saya sempat memandangi sekeliling rumah itu. Nampak banyak orang yang seperti saya membawa buku doa kecil, kantong kresek hitam yang berisi bunga, dan beberapa ada yang membawa botol air. Meski ramai pengunjung, saya sempat merasakan kedamaian di rumah itu mungkin karena banyak orang, kalau tak banyak orang saya tentu tak berani mengatakan demikian. Batinku berbisik jadi ini suasana rumah setiap orang ketika kembali ke haribaan, tempat kembali yang paling kembali.

Perjalanan spiritual sore tadi membawa saya ke kerinduan primodial. Maka sayapun teringat semuanya mengenai keluarga saya. Dimana keluarga inti saya tak banyak, bahkan bisa dikatakan sedikit sejak Ayah pindah ke rumah barunya. Kini hanya tinggal ibu, kakak, dan saya. Bahkan saat saya menulis tulisan ini, saya hanya berdua dengan ibu saya, sedang kakak saya berada sekitar 195 kilometer jauhnya dari tempat ini. 

Pada berbagai kesempatan, saya juga sering menceritakan keluarga saya ― tentunya bukan dalam rangka menjual penderitaan atau meminta belas kasihan. Orang-orang yang mendengar cerita saya biasanya kagum (secara formalitas) dan memuji keberuntungan keluarga saya. Namun bagi saya, keluarga saya bukanlah keluarga yang sempurna. Premis itulah yang saya pahami, yakini, dan coba saya maknai pada perjalanan spiritual saya sore tadi. 

Setidaknya ada tiga hal dalam ingatan saya yang dapat digunakan sebagai alasan kenapa saya menyebut demikian. Pertama keluarga saya tak mengajarkan meminta maaf secara langsung, ini jelas melahirkan pribadi-pribadi dengan ego yang tinggi jika dilestarikan. Kedua, cukup konservatif, saya tak tau bagaimana menjelaskan hal ini kedalam kata-kata. Ketiga, yang paling saya resahkan selama ini, keluarga ini tak terbiasa mengungkapkan perasaan cinta, asmara, atau sejenisnya secara gamblang. Berbicara cinta di keluarga saya lebih tabu daripada berbicara politik dan kekinian yang lain. Saya pun lantas berniat belajar dari kekurangan keluarga saya.

Terlepas beberapa kekurangan. Keluarga bagi saya adalah seperti karet gelang yang mengikat jari-jari. Karet gelang terdiri dari berbagai macam ukuran, dari yang besar hingga yang kecil, dari yang tebal hingga yang tipis, dimana karet gelang tentu memiliki daya lentur yang beragam pula, ada yang kuat, ada yang daya lenturnya lemah, dan adapula karet gelang yang kaku dan mudah putus. Sedangkan jari kita bisa saja menyatu ditengah, bisa saja menyebar ke segala penjuru telapak tangan. Nah, peran keluarga seperti karet gelang yang mengikat jari-jari, mengembalikan jari tangan yang bergerak menjauh untuk merapat ke tengah. Namun ada kalanya benda temuan Stephen Perry itu tak mampu mengembalikan jari-jari ke tengah atau bahkan bisa putus jika ada jari yang terlalu jauh meninggalkan titik tengahnya. Tapi ini hanya analogi tak ada yang mengikat karet gelang di jari-jarinya, kecuali anak kecil.

Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya. 

Pada akhirnya waktu terus berjalan. Membawa kepingan usia untuk tak lagi muda. Saya, kakak, dan ibu saya atau saudara yang lain takkan selalu berdiri di tempat yang sama, di usia yang sama. Akan ada perubahan dalam diri mereka. Seperti menua, menikah atau meninggal. Saya harus bersiap untuk perubahan yang tak mengenakkan, seperti tak memiliki tempat untuk meng-udik.

Saya tak bisa bercanda ketika membicarakan hal ini, karena gema Takbir menemani saya dalam menulis tulisan pengganti tidur ini sementara ibu saya sedang mengolesi roti untuk dibawa ke surau sehabis sholat ied nanti.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434. 

Semoga orang-orang yang telah lebih dulu mudik ke haribaan Tuhan, dapat merasakan kemeriahan hari ini. :)

01 August 2013

Ketika Tuhan Menertawai Saya


Saat manusia berpikir, Tuhan justru sedang tertawa” – Milan Kundera

Akhir-akhir ini teman saya yang memiliki leissure time lebih banyak dalam proporsi tiap harinya seringkali bergumam: Kalau menganggur begini pikiran jadi macam-macam, kadang tak terkendalikan. Saya pun begitu.

Sungguh ini bukan merupakan tulisan penyadaran diri mengenai bahaya pengangguran, namun saya hanya ingin menyambungkan dengan pernyataan Milan Kundera diatas, yang sebenarnya ia kutip dari salah satu sastra kaum Yahudi kuno. Kalimatnya sederhana, namun membawa banyak pesan didalamnya. Beberapa sastrawan lain dalam monolognya mengartikanya ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya. Sebab, semakin manusia berpikir, semakin pikiran seseorang terpisah dari lainnya. 

Saya pun langsung membayangkan apa yang terjadi jika sastra berhasil bergabung bersama ilmu psikologi dan rasionalitas ilmu ekonomi.

Saya sebenarnya cukup sebal dengan para sastrawan, mereka seringkali membuat sesuatu apa yang ada di kepalanya sendiri, lalu dituankanya sesuka hati, dan kemudian memaksa pembacanya untuk memahami apa yang ada di dalam kepala sastrawan tersebut. Saya menyebutnya sebuah-pemaksaan-tersirat-akan-makna-dan-kedalaman. Belum lagi mengenai puisi, deretan kata yang tak saling terhubung, beberapa diantaranya bersajak, dan konon memiliki makna itu. Sepanjang hidup saya tak pernah menyukai hal-hal tersirat seperti itu meski saya terkadang masih sering khilaf melakukannya.

Namun dalam proses penolakan saya tersebut, saya kini justru terjebak dengan tulisan-tulisan lepas yang memadukan berbagai perspektif, lugas dan ringan seperti bahasa surat kabar, namun dengan pemilihan diksi yang amat kaya sehingga menambah kadar keindahan seperti karya sastra. Saya sebut karya seperti itu dengan jurnalis semi sastra ― ini hanya sebutan saya saja, istilah yang sengaja saya ciptalan agar tidak menimbulkan dikotomi sastra modern dan klasik. Entah kenapa tulisan seperti ini banyak sekali saya temukan setahun belakangan ini. Sedangkan sesuatu yang sering kita jumpai biasanya menimbulkan daya tarik tersendiri, atau hanya saya yang puber intelektual.

Setelah saya tertarik pada tulisan jurnalis semi sastra itu, kemudian saya menjadi tertarik kepada personaliti penulisnya. Seakan ada yang menuntun saya untuk membuktikan personaliti dengan gaya menulis seseorang. Saya ingin melihat bagaimana orang dengan kemampuan menulis yang luar biasa itu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya secara lisan. Berhubung dalam benak saya masih terngiang-ngiang mengenai Skripsi maka pertanyaan penelitian saya adalah apakah kemampuan menulis sama baiknya dengan kemampuan berbicara? 

Kebetulan bebrapa waktu lalu, teman saya mengritik pembawaan seorang jurnalis semi sastra favorit saya yang terlihat mengebu-gebu di layar kaca. Beberapa jurnalis semi sastra lain yang pernah ada di layar kaca juga sering terlihat seperti kehilangan sentuhan magisnya dalam mengolah kata. Entah persoalan media menuangkan ide atau cara yang berbeda, mereka terbata-bata didepan layar kaca. Namun pembelaan saya pada mereka jelas karena faktor kemampuan saja, bukan masalah ideologis.
Akhirnya keingintahuan saya berujung pada sebuah hipotesis, seorang penulis yang baik, tidak selalu merupakan pembicara yang baik. Seandainya ada yang memiliki keduanya, bisa jadi ia bukan pemikir yang baik. Sulit menemukan tiganya dalam satu paket.

Perbedaan dimensi ketiganya membawa sekat-sekat tersendiri pada persepsi saya. Sebab-musabab dari keahlian tersebut pun menurut saya berbeda. Saya berani bertaruh seorang penulis yang hebat pasti adalah seorang pembaca yang hebat juga. Sedangkan para pembicara yang baik, juga bisa menjadi pendengar yang sama baiknya. Sedangkan para pemikir adalah yang mampu melihat dengan jeli apa yang tak terlihat oleh orang lain.

Kebenaran hipotesis saya pun sudah sejatinya diragukan, karena ini hanya pekerjaan pemilik waktu senggang saja.

Jelas saya bukan seorang penulis yang baik. Saya juga bermasalah ketika berbicara didepan khalayak. Kebiasaan saya memikirkan banyak hal kecil juga membuat hidup saya terkadang tak terlalu nyaman. Memikirkan pikiran orang lain ketika memikirkan sesuatu salah satunya, akan membawa keruwetan tersendiri dalam kepala saya seperti awal kalimat ini ketika anda baca. Sebaliknya saya sepakat dengan Daniel Atlas mengenai kegagalan melihat gambaran besar karena saya melihat terlalu dekat.

Sepertinya saya lebih baik saya berhenti memikirkan hal ini, daripada saya ditertawai Tuhan terus-menerus.

15 July 2013

Liga Inggris 2013/14: Antara Harapan dan Prediksi




"Jose kembali dan itu menarik. Tapi, saya masih berpikir bahwa United akan menjuarai liga. Saya fan Manchester United!" - David Beckham

Pagi buta ini seharusnya saya menyelesaikan revisi akhir skripsi yang saya janjikan sejak minggu lalu, namun sampai saat ini saya lebih memilih menulis tulisan tak berguna ini, hanya sekedar obat anti kantuk menjelang sahur dan pelampiasan rindu saya pada olahraga ini saya sudah dua minggu lebih tak merasakan berada di tengah lapangan futsal dan ini menyakitkan bagi saya. Ini cuma intro, jangan dibaca, tulisan sebenarnya ada setelah kalimat ini selesai, saya ulangi lagi: jangan dibaca.

Bagi para penikmat bola, terlebih para analis dan jurnalis, akan terlihat hebat jika anda bisa memprediksi pertandingan dengan tepat jauh sebelum pertandingan itu dimulai. Jadi hal-hal berbau prediksi, bursa taruhan, dan tebak-tebakan yang lain menjadi hal yang lumprah bahkan belakangan menjadi parameter kedalaman seseorang atas sepakbola. Meski sebenarnya kita sama-sama tau sebuah prediksi hanyalah sebuah roll of the dice, sebuah keberuntungan semata, menerka-nerka apa yang akan terjadi di masa depan adalah pekerjaan yang menyenangkan terlebih bagi saya yang gemar memainkan Fantasy Premiere League. Saya juga senang menerka-nerka siapa yang akan jadi jodoh saya kelak.

Oleh karena itu saya kali ini saya tertarik untuk mencoba menulis apa yang akan terjadi pada liga Inggris yang sebenarnya baru akan dimulai Agustus mendatang. Saya tak tertarik untuk menulisnya dengan frontal di bagian judul: “Prediksi Liga Inggris musim 2013/14”. Karena kemungkinan saya akan disebut kurang kerjaan dan mengada-ada akan sangat tinggi mengingat masih ada 31 hari lagi sebelum liga dimulai dan 301 hari lagi sebelum liga benar-benar berakhir, meskipun sebenarnya ini merupakan pekerjaan yang aman, karena ketika musim 2013/14 berakhir nanti, besar kemungkinan mereka yang menyebut saya mengada-ada sudah lupa dengan tulisan saya ini. Saya pun bisa jadi seperti mereka.

Bicara mengenai prediksi, banyak dari kita masih mencampur-adukkan dengan harapan. Terlebih jika dalam prediksi kita memuat harapan-harapan. Seperti kutipan dari aristrokrat sepak bola di awal tulisan ini adalah harapan. Terlepas berbagai faktor keberuntungan dan lain-lain, Beckham sebagai pesepakbola sadar betul kekuatan dan kelemahan Manchester United sekarang, maka dalam hal ini terlihat dirinya seakan menutupi fakta yang ada dengan optimisme sebuah harapan. Oh iya, saya belum sampaikan bahwa harapan itu selalu positif, sedangkan prediksi bisa positif maupun negatif. 

Baiklah mungkin lebih baik saya langsung memulainya saja. Saya kali ini akan mencoba memprediksi kelasemen akhir Premiere League 2013/14. Paragraf-paragraf setelah ini merupakan urutan peringkat masing-masing klub dimulai dari peringkat lima, saya ulangi: dari peringkat lima.

Liverpool, tim yang memiliki semboyan the next year is our year ini sepertinya akan bernasib lebih baik musim mendatang. Bukan karena semboyan tersebut kerap dilontarkan musim lalu, namun lebih karena kematangan tim. Steven Gerrard, satu-satunya pemain idola saya di klub ini, nampaknya tidak akan sudi jika harus mengucapkan lagi semboyan tersebut musim depan. Saya bahkan melihat tim ini bisa kembali menjadi big four musim mendatang, namun untuk menerobos tiga besar sepertinya masih sulit, sesulit memasukan pesil ke dalam botol dalam acara tujuh-belasan.

Manchester City, tim yang menjadi penantang juara serius sejak tiga tahun yang lalu ini, sepertinya akanmengalami restart. Dengan bergantinya manajer tim dari Mancini menjadi Pellegrini, membuat tim ini tak hanya berganti rasa dari rasa Italia menjadi rasa Spanyol, namun juga terjadi perubahan skema permainan. Perubahan inilah yang menurut hemat saya akan melemah, terlebih sang pelatih harus belajar banyak mengenai sepakbola Inggris, bahkan harus rela kalah 2-0 dengan klub antah berantah asal Afrika Selatan di laga perdananya bersama tim bergelimang uang ini. Entah kenapa saya susah memasukan tim biru muda ini ke 3 besar, jika saya tak segan sama sahabat khayalan saya Sheikh Mansoer pasti saya sudah menempatkan Liverpool di posisi ini.

Manchester United, sebenarnya saya mau meletakkan united diluar tiga besar, namun karena beberpa alasan saya urung melakukanya. Pertama, tim ini tak pernah keluar dari tiga besar sejak digulirkan format Premiere League di tahun 1992. Kedua, tim ini adalah juara bertahan, tak etis melemparkan jauh-jauh juara bertahan dari daftar penantang juara tahun ini. Ketiga, karena tim ini jagoan saya ― saya akan menulis panjang-lebar tentang tim ini di tulisan terpisah. Manutd musim depan bagi saya seperti acara realiti show “Tukar Nasib” yang mempertontonkan orang kaya merasakan kehidupan orang miskin dan sebaliknya orang miskin merasakan kehidupan orang kaya. Nah, David Moyes sebagai pelatih anyar Manutd berperan sebagai orang miskin yang dikasih kesempatan menghuni rumah si kaya. Sulit membayangkan Moyes langsung bisa menjalankan perannya sebagai orang kaya di musim pertamanya, dan ketika melihat debutnya melawan Singha All Star (Thailand) kemaren saya justru khawatir jangan-jangan Manutd dibawanya menjadi tim medioker yang irit belanja pemain seperti yang dilakukanya 11 tahun di Everton.

Arsenal, bukan karena tim ini telah menghempaskan tim nasional kebanggaan saya 7 gol tanpa balas di GBK kemarin, lalu saya mengangkatnya ke tempat yang lebih tinggi daripada juara bertahan sekaligus jagoan saya. Lebih dari itu, sepeninggal Sir Alex Ferguson, kini praktis tak ada yang lebih tau mengenai Premiere League selain Arsene Wenger dan Ryan Giggs. Nama pertama kini menjadi pelatih terlama yang menangani klub di premiere league musim depan, tentu saja predikat ini membuat dirinya malu jika harus kembali disalip oleh rival-rivalnya yang lebih hal ini bisa dilihat kebijakan transfer sang profesor yang lebih atraktif dan berani. Menurut saya, kali ini Wenger hanya perlu memikirkan bagaimana cara men-charge baterai tim nya agar tidak lekas habis di paruh kedua musim, seperti sebelum-sebelumnya.

Sebenarnya sulit bagi saya untuk mengakui musim depan Chelsea akan melenggang mulus, tapi itulah kenyataanya. Ibarat seorang yang sedang berpacaran, Chelsea sekarang ini memutuskan untuk merajut kembali hubungan dengan mantan pacarnya dulu, Jose Mourinho. Sejak memutuskan berpisah ditahun 2007, Chelsea sempat berpacaran 7 kali (Grant, Scolari, Anceloti, Hiddink, Villas Boas, Di Matteo, Banitez) sedangkan Mourinho sempat berpacaran 2 kali dengan Inter milan dan Real Madrid. Namun takdir mempertemukan keduanya kembali, bisa dibayangkan apa yang terjadi jika kisah cinta lama dipertemukan kembali. Ada dua kemungkinan: Pertama, Mourinho berjanji dan mengupayakan hubungan yang lebih baik daripada enam tahun silam. Kedua, Mourinho mengulangi kesalahan yang sama. Namun jika yang terjadi opsi yang kedua, toh kesalahan Mourinho dulu tetap membuahkan trofii Premiere League dua kali bagi Chelsea. Rasa-rasanya Mourinho dengan kekasih lamanya masih tak akan terbendung di musim 2013/14.

Akhirnya saya selesaikan karya ilmiah saya pagi ini di bagian ini saja. Selain lima tim diatas sejujurnya saya masih memikirkan dimana saya musti meletakan Tottenham Hospur dan Everton. Karena memprediksi Liga Inggris musim mendatang tak semudah memprediksi Liga Spanyol yang tinggal melempar koin bergambar Barcelona atau Real Madrid, atau di Jerman musim 2013/14 lebih mudah lagi, tinggal menghitung kancing sembari mengucap Bayern Munchen, Bayern Munchen, Bayern Munchen, Bayern Munchen,,,

Selesai.

Oh iya, ternyata tak tidur semalaman itu membuat kerja otak sedikit terganggu loh. Tulisan ini buktinya.

"Sejarah diawali dengan lelucon dan diakhiri dengan tragedi, atau bisa sebaliknya" - Argo

Foto: Official Ball Premiere League 2013/14

13 July 2013

Soekarno Le Grand Séducteur (Part 2)



Kalau aku pilek, aku ingin dipijatnya, kalau aku lapar aku ingin makan makanan yang dimasaknya sendiri, manakala bajuku koyak aku ingin istriiku sendiri yang menjahitnya, dengan Oetari keadaanya terbalik. Aku yang menjadi orangtuanya dan dia sebagai anak.

Begitulah kekecewaan Soekarno muda terhadap Oetari, istri pertama yang dinikahinya. Lebih jauh beliau menuturkan ketidakbahagiaannya bersama istri pertamanya tersebut ketika menuturkan sementara ia belajar dan sedikit bekerja untuk menghidupi dirinya dan istrinya di Bandung, Oetari sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dengan kawan-kawanya di pekarangan belakang rumah Haji Sanusi tempat mereka berdua menginap di Bandung. Bahkan selama menikah dengan Oetari, Soekarno tak melakukan hubungan badan layaknya suami-istri kebanyakan. Tak berapa lama berselang, Soekarno mengutarakan niatanya untuk berpisah dengan kepada ayah Oetari, Tjokroaminoto mengenai kisahnya dengan Oetari dan akhirnya keduanya berpisah. 

Pertanyaan saya setelah membaca kisah tersebut adalah, kenapa Soekarno memilih mengakhiri dengan Oetari setelah sederetan ketidaknyamanan melanda hubungan mereka? Kenapa beliau tidak mencoba memperbaiki hubungan mereka, entah dengan cara apapun ― saya bukan seorang konsultan asmara dan tak ada pula niatan menghakimi beliau. Bukankah jika menjalin hubungan itu didasarkan oleh keputusan dan keyakinan bersama, maka jika keyakinan itu masih ada seharusnya ada keinginan untuk keluar dari ketidaknyamaan tersebut. Hal yang berbeda jika sedari awal keputusan menjalin hubungan tidak dilakukan oleh dua pihak dan keyakinan Soekarno terhadap Oetari, ataupun sebaliknya, karena pada sebagian literatur sejarah menyebutkan Soekarno menikahi Oetari hanya karena belas kasihan terhadap keluarga Tjokroaminoto.

Setelah berpisah dari Oetari, Soekarno pun lekas menemukan tambatan hatinya, namanya Inggit Garnasih, yang ternyata bukan orang jauh, melainkan ibu kos dari Soekarno saat tinggal di Bandung. Inggit telah menikah dengan Haji Sanusi. Kata dosen saya sebenarnya hanya dua istri Soekarno yang amat di cintainya, dia adalah Inggit dan Hartini. Hingga pencarian saya mengenai alasan kenapa dosen saya berujar seperti itu, kini membuahkan hasil dengan temuan satu paragraf di buku The Love Story of Bung Karno karangan Ipnu Rinto yang membuat saya takjub.

Setelah menikah dengan Soekarno, Inggit memberi segalanya untuk suami. Kepandaianya menjahit pakaian, menjual kutang, bedak, rokok, meramu jamu dan menjadi agen sabun kecil-kecilan terus dimanfaatkan untuk mencari uang untuk dirinya dan Soekarno. Sementara itu keberhasilan Soekarno menamatkan studinya di THS, membuat inggit senang tak terkira. Bagi Inggit, kesuksesan Soekarno meraih gelar insinyur merupakan salah satu bukti keberhasilanya mendampingi Soekarno.

Saya langsung ingat pada kutipan dari seseorang yang sering saya katakan: Membina hubungan itu seperti layaknya berada di atas prahu berdua. Satu mendayung, satunya lagi menentukan arah. Kalian bisa bertukar posisi kapan saja, tapi tidak akan bisa melakukan keduanya sekaligus.

Sedangkan kekaguman saya pada Hartini berhasil saya temukan pada paragraf ini (dari buku yang sama).
Hartini tau betul bahwa Soekarno adalah seorang pria beristri. Hartini pun meminta waktu untuk berpikir ketika dipinang Soekarno. Dalam penantianya tersebut, Hartini semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Soekarno. Hartini pun tak bisa terlalu lama membohongi perasaanya, hingga akhirnya menerima pinangan Soekarno tapi dengan satu syarat. Hartini berkatakepada Soekarno, “Ibu Fat tetap First lady, saya istri kedua saja. Saya tidak mau ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”

Beberapa sahabat Soekarno menyebutkan bahwa Hartini merupakan pasangan terbaik bagi Soekarno. Hal itu bisa dilihat dari sikap dan tata bahasa Hartini yang sangat santun kepada Soekarno, baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hartini selalu tahu unggah-ungguh baik saat bersantai, resmi, atau saat memadu cinta dengan Soekarno.

“Saya cinta pada orangnya, pada Soekarnonya, bukan pada presidennya.. Saya akan perlihatkan kepada masyarakat bahwa saya bisa setia, dan akan mendampingi Soekarno dalam keadaan apapun juga , juga dalam kedudukanya” – Hartini 

Namun kisah cinta Soekarno tak habis di keduanya (Inggit dan Hartini) masih ada the first lady ibu Fatmawati yang resmi menjadi istri presiden pertama Indonesia itu. Setelah Hartini yang setia itu juga masih ada pramugari cantik bernama Kartini Menoppo yang di Peristri Soekarno ditahun 1959. Pun yang terjadi dengan gadis jepang Naoko Nemato yang kelak dikenal dengan nama Ratna Sari Dewi juga dinikahi tiga tahun berselang . Setahun kemudian giliran penari Istana Haryanti yang di peristri Soekarno, namanya Haryanti, yang tiga tahun kemudian akhirnya diceraikan Soekarno dengan alasan sudah tidak cocok ― dengan mudahnya seperti itu. 

Belum berakhir, kisah cinta Soekarno masih berlanjut ke dua gadis barisan muda Bhineka Tunggal Ika, kedua gadis yang beruntung masuk buku sejarah itu adalah Yurike Sanger dan Heldy Fajar. Saya sebut gadis karena saat dinikahi sang proklamator usia kedua gadis itu adalah 18 tahun sedangkan Soekarno berumur sekitar 65 tahun.

Pada akhirnya cinta tak senantiasa berjalan semudah dan seindah seperti dikisahkan, ketika sebagian besar dari kita menganggap pernikahaan adalah hal yang dilakukan sekali seumur hidup ― yang membedakannya dengan masa pacaran. Kemudian merawat kisah itu sepenuh hati karena memang sekali seumur hidup. Namun ada pula sebagian kecil yang lain menganggap hal yang dilakukan Soekarno ini adalah hal yang wajar, meski wajar juga tak selalu berarti benar.

Sebenarnya saya berbohong mengenai sedikitnya tulisan mengenai kisah cinta Bung Karno, sama seperti motivasi saya dalam menulis essai ini. Namun, setidaknya saya kembali tertarik pada sejarah berkat kisah cinta Soekarno ini.

07 July 2013

Soekarno Le Grand Séducteur (Part 1)


“Aku memuji Tuhan karena telah menciptakan mahluk-mahluk yang cantik seperti perempuan ini. Bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi seseorang perempuan yang cantik, dan aku tidak malu berbuat begitu karena dengan melakukan hal itu pada hakekatnya aku memuji tuhan dan memuji aoa yang telah diciptakan-Nya. Aku hanya seorang pecinta keindahan” ― Presiden Soekarno.

Sudah lama sekali saya ingin menulis mengenai seorang pria yang diagung-agungkan lebih dari 200 juta orang karena kharisma, wibawa dan jiwa kepemimpinan yang besarnya yang dianggap telah mampu merubah nasib bangsa ini. Namanya Soekarno, founding fathers negara ini danggap salah satu pemimpin besar dunia yang pernah dilahirkan. Namun kali ini saya tak akan membahas mengenai kepemimpinan beliau  ― karena anda dapat dengan mudah mencarinya di mesin pencari atau perpustakaan terdekat, saya akan membahas sisi yang lebih manusia dari beliau yaitu seseorang pengagum wanita sekaligus dikagumi wanita.

Sekitar satu setengah tahun yang lalu saya pernah diberi tugas oleh dosen saya untuk mempresentasikan mengenai Ekonomi Pancasila namun dengan menitik beratkan pada kehidupan pribadi Soekarno. Sejak saat itu saya mulai mengagumi Soekarno sebagai sosok hebat dalam dunia percintaan ― meski saya tidak sepenuhnya sepakat dengan jalan cinta beliau. Sebagai orang dewasa yang tumbuh besar di negeri ini, sudah seharusnya kita tau sama tau bahwasanya presiden pertama kita itu punya banyak istri, namun saya pikir tidak semua dari kita tau dari sekian banyak perempuan yang pernah disampingnya siapa yang paling beliau agungkan? Siapa istri beliau yang paling beruntung? Siapa wanita yang paling tulus mencintai dia? Dan masih banyak pertanyaan kisah percintaan beliau yang tak semua dari kita tahu keberadaanya.

Terkadang kita hanya mengandalkan mesin pencari untuk kisah yang ada di permukaan, lalu menemukan nama-nama seperti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryanti, Kartini Menoppo, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar pernah menjalin kisah asmara dengan presiden pertama republik ini. Namun, sesungguhnya jika kita mau membaca tulisan-tulisan karya Cindy Adams, Rosihan Anwar, Benrhard Dahm, atau tulisan Wijanarko Aditjondro yang mempunyai judul hampir sama dengan judul blog ini Bung Karno: The Untold Stories, kita tak hanya mendapati sembilan nama istri presiden pertama kita tersebut, kita bisa menemukan nama Rika Meelhuysen, seorang Noni Belanda yang pertama kali di cium oleh Bung Karno pada saat berumur 14 tahun. Sayangnya saya juga tak begitu banyak membaca tulisan-tulisan sejarah diatas, sama seperti anda.

Maaf, saya memutuskan mengahiri tulisan dibagian ini saja. Karena menulis mengenai kisah asmara seharusnya dengan perasaan yang berbinar, sedangkan perasaan saya malam ini tidak dalam kondisi terbaik yang ditandai fokus yang amat mudah berganti.

Biarlah tulisan ini menjadi intro dari tulisan-tulisan sesudahnya ― dimana saya akan menulis mengenai detai kisah cinta tokoh pujaan baru saya ini, dan biarkan pula judul tulisan ini pun terpaksa saya tambah (part 1) sembari saya mencari foto Soekarno dengan sembilan istrinya dalam satu frame foto.
.

06 July 2013

Terjebak Nostalgia: Bukan Judul Lagu

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja...

Judul tulisan ini memang sengaja dibuat berbeda dengan lirik lagu dibawahnya. Bukan karena saya yang masih terpesona dengan suara seseorang wanita yang mengunggah lagu yang dipopulerkan oleh Raisa tersebut ke situs Cloud Coumputing berbasis suara. Namun jika saya boleh ber-alasan, hal ini hanya untuk kepentingan me-match-kan dengan postingan sebelum ini saja.

Sekitar dua tahun yang lalu, saya selalu sedih tiap kali memutuskan untuk kembali ke Jogjakarta dari kota kelahiran saya Pekalongan. Hati saya selalu tak tega melihat ibu saya yang harus pura-pura kuat melepas saya kembali menuntut ilmu di kota pelajar ini. Sangat tergambar jelas raut muka ibu saya yang melambaikan tangan di depan pintu rumah, kemudian berjalan sampai pagar hanya untuk melihat saya sampai menghilang di perempatan. Saya malah terkadang sering menitikkan air mata dalam perjalanan menuju Jogja ketika membayangkan kesepian dan kehampaan ibu saya menghabiskan waktu sendirian sepanjang hari dirumah tua kami. Sesampainya di Jogja pun saya pasti lekas menyibukkan diri sebagai ritual untuk melupakan apa yang dirasakan ibu saya, kesibukan yang membungkus perasaan rasa bersalah terhadap orang tua.

Namun yang terjadi dua hari yang lalu sedikit berbeda. Kali itu saya berjalan mondar-mandir di dalam rumah tua saya, dengan fokus yang berganti-ganti seperti bergantinya pandangan mata saya menyapu beberapa sudut ruangan di rumah saya. Malam itu saya sedang menunggu teman saya yang meminta saya untuk menjadi tour guide dalam lawatanya ke kota Jogja. Rupanya aktivitas mondar-mandir dan mudahnya berganti fokus kala itu adalah manifestasi perasan saya antara perasaan yang saya alami sekitar dua tahun lalu itu dengan perasaan antusias saya kembali ke kota pelajar setelah 5 hari saya berada dirumah. Sebenarnya 5 hari bukanlah waktu yang lama, perasaan rindu yang membuatnya terasa lama.

Malam ini pun seakan menjadi puncak dari cerita panjang ini, katika saya memilih mengabadikan perasan saya ini secepatnya, ketimbang untuk berbaring dan menyimpan tenaga karena besok musti harus kembali ke kota kelahiran saya, Pekalongan lagi. Meski saya belum akan meninggalkan kota ini (menyelesaikan pendidikan sarjana saya dan berpindah ke kota lain) dalam waktu singkat ― saya bahkan belum tau kapan, tapi nampaknya saya membenarkan kata-kata dosen pembimbing skripsi saya saat memberikan wejangan kepada mahasiswanya “Manfaatkan waktu sebaik mungkin saat kalian jadi mahasiswa, kelak ketika kelulusan sudah didepan mata, kalian akan merasakan kegalauan yang amat sangat, karena semuanya akan berubah seketika


Orang-orang yang saya temui dua hari ini pun mendadak menjadi seperti malaikat yang meperlihatkan raut wajah seraya mengingatkanku atas pencapaian selama ini. Bagaimana orang-orang di pelayanan kuliah menggoda saya dengan gurauan-gurauan yang sebenarnya biasa saja tapi entah kenapa terasa begitu akrab.  Para penjual Burjo langganan saya yang tersenyum penuh makna beberapa jam yang lalu, seperti mengingatkanku pada berapa puluh Nasi Ayam, Nasi Telor dan Gorengan yang saya pesan selama kurang lebih  empat tahun ini. Bahkan Masjid Kampus saya berdiri diap tanpa raut ekspresi ataupun berusaha menguraui saya pun jum’at lalu mengingatkan saya pada moment 6 tahun yang lalu ketika saya berdoa agar bisa diberi kesempatan kembali beribadah di masjid ini lagi, yang pada akhirnya saya akan mengenang doa itu sebagai alasan kenapa saya berada di masjid itu.

Ah, semoga saja ini semua hanya karena tanda tangan saya yang menyerupai tiga huruf awal nama saya. Padahal kata seorang ahli pembaca tulisan tangan, tanda tangan yang diawali dengan huruf awal dari nama adalah tanda bahwa orang tersebut selalu meletakkan aktivitas nostalgia di tempat yang tinggi ―sedangkan tanda tangan saya tak hanya menyerupai satu huruf awal nama saya, tetapi tiga huruf awal sekaligus. Mungkin bisa dibayangkan hidup saya yang selalu melompat-lompat dari nostalgia yang satu ke nostalgia yang lain, seakan hidup adalah rangkaian mengoreskan hidup baru dan mengenangnya, begitu seterusnya, berulang-ulang. Saya harus mengganti tanda tangan saya.

Pada akhirnya, malam ini saya sangat mengerti kenapa lirik lagu Kla Project di awal tulisan ini menggunakan kata ‘pulang ke kotamu’ karena setiap orang yang datang ke jogja akan disambut layaknya seseorang yang pulang ke tanah kelahiranya, kota ini menyapa dengan tangan terbuka sembari mengingatkan darimana kita berasal, karena Jogja terbuat dari rindu, angkringan dan keramah-tamahan.


Semoga saya tak berlebihan jika saya mengucapkan: saya mencintai kota ini seperti cinta saya pada kota kelahiran saya.

30 June 2013

Hampir Empat Tahun: Ini Kenangan Saya, Mana Kenangan Kamu?



"Sejarah diawali dengan lelucon dan diakhiri dengan tragedi, atau bisa sebaliknya" ― Argo

Entah kenapa sebagian orang di dunia ini masih mendefinisikan nostalgia itu adalah urusan asmara. Dalam pemahaman dangkal saya, anda seperti menyebut ‘Coca-Cola’ jika ditanya mengenai apa yang terlintas di benak anda ketika saya menyebut minuman ringan ― padahal didunia ini banyak sekali minuman ringan yang lebih nikmat ketimbang Coca-cola. Jika anda sepakat minuman ringan didunia tak hanya Coca-cola, seharusnya anda sepakat dengan saya bahwa nostalgia itu tak hanya mengenai kisah percintaan antar anak manusia. Kalaupun ada kisah percintaan dalam tulisan ini, saya pastikan itu hanya kisah cinta saya pada kehidupan.

Siang tadi saya mencoba merapikan kamar kos saya (sejujurnya saya tak merapikannya sendiri) yang sudah tak lagi seperti kamar kos. Saya menemukan fakta bahwa penyebab penuhnya kamar kos saya dengan inferior goods adalah karena saya seorang kolektor kenangan. Jika dalam film my name is khan, Shahrukh Khan membawa papan bertuliskan “Repair Almost Anythings” mungkin jika saya yang memerankan peran itu saya akan menggantinya dengan tulisan “Collect Almost Anythings”.

Saya cukup kaget mendapati beberapa temuan saya dalam prosesi bersih-bersih tadi: semua kartu ujian kuliah saya selama 8 semester ini lengkap tak ada yang raib satupun, hampir semua id card yang pernah saya dapatkan pun masih lengkap dengan tali nya, transkrip nilai dari tiap semester ― namun sengaja tidak ditampilkan di foto karena masalah etika saja, bagi saya transkrip itu ibarat slip gaji, dan masih banyak temuan akademik lain seperti: Tiket nonton XXI selama 4 tahun ini yang cukup panjang jika di letakan memanjang, tumpukan (sampah) selebaran dari pameran komputer, dan price tag dari jersey-jersey non ori koleksi saya yang sebenarnya tak seberapa banyak.

Tak terasa sudah hampir 4 tahun saya menjalani salah satu impian saya. Bukan waktu yang singkat, bukan waktu yang lama juga untuk dilalui. Banyak pelajaran yang telah saya dapatkan, namun banyak pula yang saya lewatkan. Jika dulu saya memulainya dengan sebuah keajaiban, entah saya akan mengakhiri perjalanan saya disini seperti apa, saya belum tau akhir dari sejarah ini.

Bagi saya moment 'bersih-bersih', apapun bentuknya itu, adalah momen yang tepat untuk mengingat seberapa jauh kita melangkah sejauh ini. Membuangnya atau menyimpanya adalah pilihan bagi setiap orang. Membuangnya berarti anda siap untuk mendapatkan space kosong untuk menyimpan banyak hal baru, sedang menyimpannya berarti anda sangat ingin belajar dari apa yang telah anda dapatkan selama ini atau dengan menyimpanya minimal anda telah menghargainya apa yang telah anda lakukan.

Tulisan pendek ini sebenarnya hanya ingin menjelaskan foto yang ada di atas tulisan ini. Mengenang apa yang akan menjadi nostalgia saya dimasa depan.

Selesai.

23 June 2013

Overview Dua Forum Penyesuaian Harga BBM: Formalitas Vs Prestisius


Satu bisul telah pecah tadi malam, oleh karena itu pada hari ini kita tidak akan membahas kapan pecahnya tapi bagaimana keadaan setelah bisul itu pecah” – Dr. Elan Satriawan, Moderator Forum Diskusi Kebijakan Energi.

Dalam tiga hari terakhir ini saya sengaja menyempatkan untuk menimba ilmu mengenai prosesi kenaikan harga BBM ― sebagian yang lain menyebutnya penyesuaian harga BBM. Bentuk dari usaha saya adalah menghadiri 2 forum diskusi mengenai topik ini dan semoga tulisan ini sebagai laporan informal saya. Yang menarik, forum pertama diadakan pada hari Jum’at (21 Juni 2013) atau sehari sebelum kenaikan harga BBM resmi diumumkan oleh pemerintah, sedangkan forum kedua pada hari berikutnya, setelah harga baru benar-benar ditetapkan. Bagi saya ini semacam analisis pertandingan sepakbola namun yang pertama dilakukan sehari sebelum matchday, dan yang kedua analisis setelah mengetahui hasil pertandingan. Seharusnya analisis yang pertama lebih menarik.

Spesifikasi forum pertama: Berlabel sosialisasi, diadakan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) bekerjasama dengan Direktorat Kemahasiswaan dan Pertamina regional Jogja. Bisa ditebak acara yang diadakan oleh sebuah lembaga pemerintah (BPH Migas) dengan lembaga pemerintah lainnya (Dirmawa UGM) terlebih dilaksanakan satu hari jelang kenaikan harga BBM, pasti acara yang diadakan se-kena-nya saja, tak lebih dari formalitas, dan biasanya bertujuan untuk sekedar penyerapan anggaran. Dugaan saya pun tak meleset.

Spesifikasi forum kedua: Berlabel diskusi, diadakan oleh kerjasama antara GIZ (sebut saja lembaga internasional asal Jerman, karena namanya terlalu panjang untuk dihafal) dengan P2EB (Lembaga Penelitian dan Pelatihan FEB UGM) dan Kementrian Keuangan. Menghadirkan 6 pembicara dengan latar belakang dan keilmuann yang berbeda-beda. Dengan komposisi audience perpaduan antara mahasiswa, dosen, dan beberapa bule ― saya sebut demikian karena saya tak sempat bertanya kenapa mereka mendatangi forum tersebut. Dengan alasan forum yang kedua lebih prestisius, maka yang akan saya ulas di tulisan ini adalah forum yang kedua. Untuk menyingkat saya share per pembicara, jadi minimal ada 6 paragraf (6 pembicara) dibawah kalimat yang sedang anda baca ini.

Pembicara pertama adalah Dr. Arif Budimanta seorang anggota DPR RI dari Fraksi PDI perjuangan. Dalam benak saya, ketika pertamakali mendengar anggota DPR pasti yang terlintas adalah: Seorang yang pandai ber-retorika, jago bersilat lidah, dan memiliki kedalaman yang kurang. Namun kali ini saya kurang tepat, meski judul presentasi beliau “Subsidi BBM dalam Kehidupan Nasional” agak berbau retoris, dalam penyampaian-nya beliau terlihat sangat flesksibel dan lugas. Sebagai partai oposisi sikap belia dalam kasus ini sangat bisa ditebak, namun satu hal yang saya kagumi dari politisi PDI Perjuangan yaitu landasan filosofis-nasionalis begitu kentara  pada setiap argumenya. Tak peduli untuk kasus apa dan siapa yang berbicara, konsistensi partai ini patut untuk menuai pujian ― terlepas benar atau salah sikap tersebut.

Pembicara kedua adalah Dr. Irfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) ― nama jabatan yang cukup panjang. Beliau membawakan presentasi berjudul “Ekonomi Hijau dan Postur APBN”. Meski matri yang ada dalam handout cukup lengkap dan informatif, namun karena penyampaian beliau terlampau kalem, maka saya urung menangkap garis merah yang ingin disampaikan, dan saya pun seakan terbuai oleh sejuknya ruangan auditorium tersebut sampai saya kembali tersadar pada bagian kesimpulan, beliau berujar: Solusi penyesuaian subsidi harga BBM digunakan untuk mendorong daya saing energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi serta menekan tingkat emisi.

Pembicara ketiga adalah Bapak Sayono Hadiwijoyo, komite BPH Migas. Secara sekilas, ibarat pemain sepak bola beliau seperti gelandang semenjana yang keberadaanya nyaris tak diperhitungkan pada forum ini, namun ternyata saya dugaan kembali salah. Beliau membuka presentasinya dengan kalimat sarkasme yang menggelitik: “Saya senang sekali hari ini, biasanya ketika saya berdiskusi dengan para mahasiswa pasti serunya dapet, tapi solusinya tidak”. Meski dalam handout beliau terdapat 57 slide yang berisi data dan sekema industri hilir migas dan road map bauran energi, beliau tidak membahas semuanya, sepertinya beliau hanya ingin menunjukan kompleksitas sektor hilir migas sesuai judul presentasi beliau: Kompleksitas sektor hilir migas. Yang menarik bagi saya, adalah ketika beliau membahas mengenai stockpiling in japan, tidak seperti pejabat pemerintah yang lain yang menahan diri untuk tidak mengkritik pihaknya yang lain, beliau secara tersirat mencibir kebijakan cadangan migas dalam negeri (yang hanya bisa bertahan dalam 21 hari) dengan membandingkanya dengan cadangan minyak Jepang yang bisa bertahan 203 hari. Pertanyaan sindiran yang saya ingat: Apa yang terjadi di Indonesia jika 10 gunung berapi (saja) meletus secara bersamaan? Berapa lama kita bisa bertahan?

Pembicara empat adalah perwakilan dari mahasiswa, Didit Putra Kusuma, mantan ketua komite kedaulatan energi. Bukan nama yang asing bagi saya, saya sudah pernah mendengar namanya dari beberapa teman, mungkin karena ada ungkapan sesama nelayan selalu saling melihat dari kejauhan. Pembawaannya yang lebih mirip seperti comic (stand-up komedian) langsung membawa keceriaan di segenap penjuuru ruangan, sesekali saya pun ikut terbawa. Terlepas dari slide yang bertumpuk-tumpuk dan judul presentasi yang begitu tremendous: Subsidi BBM dari perspektif Science, Teknis, Sosial dan Ekonomi, saya memberikan pujian yang tinggi kepada beliau. Pertama, karena beliau sama sekali tidak merasa inferior di forum bergengsi tersebut. Kedua, pemaparan yang penuh semangat a.k.a. khas mahasiswa banget. Ketiga, karena beliau menggunakan logo KKE yang saya desain di setiap slide-nya.

Pembicara kelima, Prof. Danang Parikesit seorang Guru besar Transportasi UGM dan juga ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Pembicara yang satu ini nampaknya memenangkan hati saya, bahkan sebelum beliau menyampaikan presentasinya. Cara beliau duduk pun bagi saya telah memancarkan kharisma dan kepercayaan diri yang tinggi, namun sama sekali tak terlihat raut kesombongan. Beliau menyampaikan presentasi yang berjudul: “Missing Link” Pengurangan Subsidi BBM, namun dalam pemaparanya beliau lebih menitikberatkan dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor transportasi: “Kebijakan pengurangan subsidi saat ini lebih fokus pada kebijakan fiskal namun tidak diikuti kebijakan progresif investasi dan insentif untuk mendorong moda pemakain transportasi angkutan umum termasuk bis listrik dan elektrifikasi kereta api”. Setidaknya ada tiga poin penting yang saya petik dari beliau. Pertama, ketiadaan pilihan membuat masyarakat tetap bernafsu nembeli BBM, akan lebih elegan jika pemerintah memberikan pilihan dahulu baru menaikan harga. Kedua, kebijakan energi, transportasi, industri otomotif dan fiskal haruslah merupakan paket kebijakan yang konvergen. Ketiga, yang terpenting bukan seberapa tinggi dampak kenaikan harga BBM, namun pemerintah harus meningkatkan pula daya beli masyarakat agar bisa membeli BBM pada harga berapapun. “Yang dilakukan pemerintah bukanlah yang dijanjikan pemerintah, namun apa yang terjadi setelah kenaikan ini”

Pembicara terakhir adalah Dr. Rimawan Pradiptyo, deputi penelitian dan basis data P2EB FEB UGM. Meskipun materi yang disampaikanya sangat menarik, namun bagi saya yang telah mengambil kelas beliau tiga kali dalam 4 tahun ini, semacam ada de javu ketika beliau menyampaikan materi yang berjudul: kompleksitas rumah tangga menghadapi penurunan subsidi BBM. Dalam lembaran highlight saya ada beberapa catatan diantaranya. Pertama, diperlukanya kebijakan yang parsial seperti yang telah diungkapkan oleh Prof Danang, meskipun orang Indonesia pada dasarnya tidak mau bekerjasama. Kedua, diperlukan analisis berbasis bukti (evidance-based policy) dalam membuat kebijakan bukan anecdotal evidence (mitos). Ketiga, Menunda bukanlah kebijakan yang baik. Diluar tiga hal diatas, sebenernya saya menantikan kisah pasukan super jerman yang menyerang rusia namun kalah hanya karena kehabisan bahan bakar, sebuah cerita yang diceritakan dengan detail di tiap kelas beliau.

Pada akhirnya, seperti yang ditutup oleh moderator forum, saya tak akan menyimpulkan banyak dari keenam pembicara yang menggunakan sudut pandangnya masing-masing, meski pada benang merah diperlukan kebijakan yang konvergen, dari berbagai sudut pandang keilmuan. Meminjam penutup dari Didit Putra Kusuma: “Last Warning untuk pemerintah: Yang sekarang mendukung, bukan tidak mungkin berikutnya akan menentang, bahkan lebih keras!


Saya juga penasaran apa yang akan dilakukan pemerintah setelah ini. Terima kasih para panitia diskusi. Danke!

video streaming Forum Diskusi Kebijakan Ekonomi (FDKE) FEB UGM: