10 October 2013
Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan (Part 2 - Habis)
3:19 AM
0 comments
“Perepuan adalah mahluk
gaib urutan satu, urutan kedua baru Tuhan” – Jalaluddin Rumi
Akhirnya saya memiliki kesempatan
untuk meneruskan postingan sebelum ini, meski waktu banyak saya miliki, namun
kesempatan tak selalu berbanding lurus dengan waktu. Izinkan saya untuk membaca
tulisan saya sebelum ini, sembari mengingat ingat apa yang ingin saya ceritakan.
Seingat saya malam itu tak
terlalu dingin, matahari baru saja masuk ke peraduan setelah seharian
menghangatkan mahluk bumi. Kedamaian pergantian siang dan malam ketika langit
sedikit menggelap sehabis magrib adalah kombinasi suasana yang indah. Saya pun masih khidmat memandangi sudut
bangunan megah yang menjadi rumah siang saya selama 4 tahun terakhir − karena biasanya
saya hanya kembali ke kosan hanya untuk tidur.
Seperti yang saya ceritakan
sebelumnya, menjelang malam itu tak banyak orang yang hilir mudik seperti
layaknya kampus dikala malam. Maka tak banyak yang mengalihkan perhatian saya
saat itu. Hanya terlihat seorang gadis berpawakan agak tinggi, berdandan
sekenanya sehingga lebih terlihat urakan, namun terlihat nyaman, tengah
berjalan bergegas entah kemana. Dengan menenteng beberapa buah buku teksbook dan buku
catatan canggih buatan Cupertino,
California dengan logo buah yang
terkenal itu, gadis tinggi yang terlihat urakan ini berjalan sembari
menempelkan telpon genggamnya ke telinganya. Saya tak yakin ia benar-benar
menelpon atau hanya kamuflase ditengah keramaian saja.
Saya memutuskan tak terlalu
mengamatinya lebih jauh lagi. Namun, tiba-tiba saya dikagetkan oleh gadis berkacamata,
berbaju polo biru menenteng tas berwarna biru bergaris putih dipundaknya lewat
disebelah saya. Entah dari mana datangnya tiba-tiba gadis itu lewat disamping
saya, dia-pun seketika tersenyum melihat saya sedikit terkagetkan. Sempertinya
saya mengenali senyumanya gadis itu, senyuman yang khas melengkung indah dan membuat
lekukan di ujung bibir dan mengangkat sebagian pipinya. Saya pun menimpali senyumanya meski dengan perasaan yang sedikit masih terkaget-kaget.
Setelah gadis berbaju polo biru lewat,
saya mendapati dua mahasiswi sedang mengobrol serius dibawah salah satu pohon
besar di kampus saya. Mahasiswi yang pertama terlihat anggun sekali dengan
mengunakan baju motif batik terusan sampai sedikit diatas lutut. Baju terusan yang
membuat saya teringat pada pramugari Singapore Airlines namun yang ini hadir
dengan versi lebih pendek. Mahasiswi yang kedua lebih simpel, hanya memakai
kaos berwarna abu-abu dengan lengan berwarna merah maroon serta jilbab tipis
berwarna krem. Melihat raut muka keduanya, nampaknya mereka sedang berdiskusi
membicarakan organisasinya. Ah saya tak terlalu peduli apa yang sedang mereka
bicarakan, bisa jadi sedang membicarakan saya.
Entah kenapa malam itu lebih banyak wanita yang saya temui
ketimbang laki-laki. Bisa jadi seperti kutipan diawal tulisan ini benar adanya.
Aktivitas saya mengamati
sekeliling sembari memasukan kepingan memori yang ada dikampus saya untuk
dikenang suatu saat ternyata membuat saya tak sadar saya telah diamati dari
jauh. Iya saya sedang diamati dari jauh ternyata − atau saya yang terlalu percaya
diri. Terlihat ada dua mahasiswa berada dibawah tenda yang berpadu dengan
kegelapan. Bahkan saking berpadunya saya tak bisa melihat dengan jelas salah
satu mahasiswi tersebut hanya mahasiswi berjilbab merah muda dan atasan merah
muda namun lebih tua dari jilbabnya. Dirinya tertangkap membuang pandanganya
ketika saya pergoki dirinya mengamati saya dari kejauhan.
Mungkin sebaiknya saya mengakhiri
proses perekaman kenangan di kampus saya malam itu, daripada saya mengetahui lebih banyak lagi yang mengamati ku dari jauh, terlebih tak baik rasanya berdiri
seorang diri ditengah plasa kampus ketika hari semakin larut malam. Namun
sebelum beranjak pulang menyempatkan untuk sholat Magrib terlebih dahulu.
Selepas Sholat Magrib saya
bergegas menuju tempat parkir, namun ditengah perjalanan saya melihat gadis
yang sepertinya beberapa saat lalu saya melihatnya di bawah pohon besar itu,
namun kali ini ia sendirian duduk di sebuah bangku panjang dan mencoba
menyibukan diri dengan telepon genggamnya, sepertinya ia sedang menunggu
seseorang. Dalam keadaan satu-lawan-satu tersebut keputusan untuk menyapa atau
sekedar senyum seperti kasus prisoner’s
dilemma pada mata kuliah Game Theory.
Teori tersebut menyebutkan bahwa payoff tertinggi
hanya didapat ketika dua pihak melakukan hal yang sama. Pada kasus ini saya
memutuskan untuk tidak memberikan senyum atau sekedar menyapa karena hal itu
pula yang dilakukanya dan berpura-pura tak melihat saya, mungkin demi payoff
yang maksimal juga.
Ah.. saya jadi lupa ingin menceritakan apa sebenernya, saya cuman
ingat, suatu saat, jika kamu meninggalkan suatu tempat, tapi sama sekali tak
dikenang oleh orang-orang ditempat itu, itu salah mu.
Selesai.
Oh iya saya ingin menceritakan pada adik baru saya yang
belum ada satu semester aku memanggilnya adik. Biasanya dia tau lanjutan cerita
ini akan seperti apa. Biasanya.
01 October 2013
Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan (Part 1)
6:43 PM
0 comments
“Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa
depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup — yang sebentar, tapi
menggugah, mungkin indah” — Goenawan Muhamad.
Malam itu saya berdiri
ditengah-tengah halaman kampus saya. Tak banyak mahasiswa yang hilir mudik,
hanya beberapa terlihat duduk melingkar semacam berdiskusi, dan beberapa yang
lewat hendak menunaikan sholat Maghrib. Tak banyak yang saya lakukan saat itu,
saya hanya berdiri tepat ditengah plasa kampus lalu menyapu pandangan ke segala
penjuru kampus, sembari menangkap semua momen yang masih teringat dalam kepala.
Saya memaksakan potongan-potongan moment yang telah saya kumpulkan selama 4
tahun ini kemudian memaksakanya masuk kedalam kepala. Dalam benak saya saat itu
hanya: Suatu saat saya akan merindukan tempat ini.
Entah kenapa ada orang yang sangat
menikmati nostalgia seperti saya ini, meski ada pula orang yang dengan mudahnya
melupakan darimana ia berasal dan lupa bagaimana bisa menjadi seperti yang
sekarang. Saya tak tahu mana yang lebih baik, seperti saya menganggap Extrovert itu yang terbaik (seperti pada
tulisan-tulisan kepribadian, Extrovert
lebih sering di asosisiakn positif) karena merupakan pribadi yang seru, tak
membosankan, ramah, dan selalu terlihat bersemangat. Namun ternyata Tuhan juga
menciptakan Introvert sosok yang
lebih bijak karena berbagi hanya hal tertentu dan pada orang tertentu pula,
mereka juga lebih sempurna memperhatikan detail. Semua akan benar pada
tempatnya.
Bagi sosok penikmat nostalgia,
saya dapat dengan jelas mengingat kala pertama kali saya menuntut ilmu di kampus
ini, hari itu hari senin akhir Agustus 4 tahun yang lalu, perkuliahan dimualai
jam 7.00 tepat, dan saya sampai dikelas pukul 6.50 dan mendapati dosen sudah
berada diruangan kelas pengantar bisnis tersebut. Tentunya saya ingat kuliah
terakhir di kampus ini — sekitar 3 bulan yang lalu. Saya mengingatnya karena
saya ingin mengingatnya.
Ada yang bilang bahwa apabila
seorang hidup dengan cinta maka dia sudah hidup di surga sebelum mati. Seperti sajak
Dr. Leo Buscalgia dalam bukunya yang berjudul “Love” menceritakan dirinya ketika diilhami membuka “Love Class” di University of Southern
California karena pada musim dingin 1969 salah satu muridnya yang pintar dan
cantik serta berasal dari keluarga berkecukupan bunuh diri di pantai Pasific
Palisades di Los Angeles. Inti buku tersebut dinyatakan dalam kalimat “Love requires one to be strong”, cinta
membutuhkan seseorang untuk menjadi kuat.
Mungkin dalam konteks mahasiswa
kekinian, keputusan bunuh diri dirasa terlalu kejam, namun bukan tidak mungkin
banyak mahasiswa sekarang menjalani masa-masa menjadi mahasiswa dengan hati
yang telah terbunuh, menjadikan hari-hari perkuliahanya hanya sebatas rutinitas
nan kering makna — jika saya tak berlebihan.
Saya mencintai kehidupan 4 tahun
terakhir ini, cinta ini membuat segala sesuatunya menjadi menarik untuk
diceritakan. Namun pada akhirnya saya tak boleh terlena atas cinta yang saya
ciptakan. Jika saya tak salah ingat Goenawan Mohamad pernah berujar: ada sebuah negeri yang ingin sekali anda
tinggalkan, namun entah kenapa anda tak bisa meninggalkanya, saya ingin
menggantinya dengan bisa jadi ada tempat yang sebenernya tidak ingin kau
tinggalkan, tapi bagaimanapun anda harus meninggalkanya.
Terima kasih Tuhan, telah memberikan saya kesempatan untuk
menunaikan mimpi ini dengan baik.
Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir
kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa
depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang kan kita banggakan di
hari tua
Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian
Bersambung... Karena saya harus mengemas barang-barang yang begitu banyak agar muat di koper.
26 September 2013
September 2013: Momentum Awal Lari Marathon
12:11 PM
0 comments
“Anak muda jangan hanya
menyiapkan diri untuk lari Sprint,
tapi harus siap untuk lari Marathon” –
Bima Arya
Oh iya jika ditanyakan kepada pasangan suami-istri, perihal pilihan sprint atau marathon, jawabanya mereka saya yakin seperti ini: Marathon lebih asik daripada Sprint.
Begitulah kira-kira tulisan yang
ada pada back cover semacam buku
biografi dari seorang pemuda yang kini telah menjadi bupati Bogor. Saya tak
terlalu penasaran untuk membuka segel buku tersebut, oleh karenanya saya hanya
melihat back cover dari biografi
tersebut dan langsung tertarik dengan kutipan tersebut.
Kutipan tersebut selaras dengan
yang saya lakukan tadi sore di kampus tercinta – yang sebentar lagi akan saya
tinggalkan ini. Sore tadi saya memilih menghabiskan waktu untuk menguji
ketahanan fisik saya dengan berlari non-stop
mengelilingi sebagian kampus yang memang biasa digunakan oleh muda-mudi untuk
berlari atau sekedar jalan-jalan sore. Ditempat itu banyak sekali terlihat yang menggunakan segala tenaganya untuk berlari sekencang mungkin, lalu satu putaran
berikutnya mereka hanya bisa berjalan untuk mengembalikan energinya, lalu
putaran berikutnya mereka berlari kembali. Sore tadi saya tak tertarik untuk
melakukan hal serupa. Saya memilih menggunakan energi saya dengan bijak, its
means saya tidak berambisi untuk beradu lari dengan mereka, namun saya hanya
melakukan lari-lari kecil dengan kecepatan konstan, tanpa henti, sembari
mengukur seberapa kuat tenaga bijak yang telah saya miliki dalam tubuh saya.
Frasa sprint dalam kutipan diatas mengacu pada memaksakan fisik untuk
melesat secepat mungkin dalam jangka pendek. Poin penting didalamnya adalah
kecepatan dan jangka pendek. Dalam lari Sprint tidak ada istilah menyimpan
tenaga, yang ada memaksakan tenaga utuk melesat dengan kecepatan maksimal. Konteks
sprint juga hanya diasosiasikan dengan jangka pendek, karena jarak lari sprint
yang diperlombakan juga tak pernah lebih jauh 400 meter, jika lebih dari itu
semua akan mati atau kalau meminjam kata ekonom paling terkenal se-kolong jagad,
John Meynard Keynes: In the long run we
are all dead.
Sedangkan frasa Marathon dalam
kutipan diatas mengacu pada perlombaan lari jarak jauh, untuk menjadi yang
tercepat sampai pada suatu lokasi. Nama marathon berasal dari legenda
Pheidippides, seorang prajurit Yunani, yang dikirim dari kota Marathon, Yunani
ke Athena untuk mengumumkan bahwa bangsa Persia telah dikalahkan pada
Pertempuran Marathon. Marathon tidak meninggalkan hakekatnya sebagai perlombaan
adu cepat, namun penekanan selanjutnya ada pada jangka panjang dan ketahanan
tubuh. Tanpa daya tahan mustahil bisa memenangi lari Marathon, dan bisa saja
berujung seperti pada kisah prajurit marathon Yunani tersebut dimana ia berlari
tanpa berhenti tapi meninggal begitu berhasil menyampaikan pesannya tersebut.
Lalu apa urusanya lomba lari
dengan saya?
Pada bulan September ini semua
tenaga yang telah saya curahkan dan investasikan selama 4 tahun ini menuai
hasil. Saya berhasil mendapatkan dua buah pencapaian yang bisa jadi sangat
signifikan dalam hidup saya. Pada bulan ini saya berhasil menyelesaikan studi
saya tepat pada hari ulang tahun saya 20 September lalu. Sungguh pencapaian
yang luar biasa bagi saya mengingat menjadi mahasiswa Gadjah Mada adalah
sesuatu yang membanggakan, namun menjadi alumni Gadjah Mada adalah kehormatan.
Jika seorang Anies Baswedan berujar “Skripsi yang baik adalah skripsi yang
selesai” maka di tangan saya kalimat itu sedikit mengalami gubahan menjadi “Kuliah
yang baik adalah kuliah yang selesai” ya saya bisa berkata demikian sombongnya
karena saya telah merasakan kesombongan serupa dari orang lain. Kuliah bukan
perkara seberapa tinggi indeks prestasi, atau seberapa banyak pengalaman
organisasi, tapi kuliah yang baik cukup dituntaskan dengan kata kelulusan.
Belum hilang efek kesenangan saya
pada tanggal 20 September lalu, empat hari berselang saya mendapati kabar bahwa
saya lolos seleksi masuk pekerjaaan pada sebuah Bank BUMN dengan asset terbesar
di negeri ini yang proses panjangnya saya ikuti sejak sebulan silam. Sungguh
rezeki yang tak terduga-duga di bulan bahagia ini, karena saya tak perlu
menunggu prosesi wisuda kemudian mencari-cari pekerjaan, namun sudah
dihamparkan jalan rezeki jauh sebelum saya wisuda bulan November nanti.
Keduanya berkombinansi menjadi hadiah ulang tahun saya yang menyenangkan. Sungguh
Tuhan mempunyai rencana-rencana yang dahsyat bagi hambanya yang mempercayaiNya.
Oleh karena anugerah-anugerah
tersebut, saya jadikan bulan ini tak hanya menjadi September Ceria, tapi juga
menjadi momentum awal Marathon kehidupan saya. Saya sebut awal karena kelulusan
bukan sebuah akhir bagi perjalanan seorang pemuda, tapi awal baginya untuk mengarungi
kehidupan yang sebenarnya. Marathon, karena ini perjalanan jangka panjang, saya
harus mengatur energi dengan bijak agar tak kehabisan ditengah jalan.
Beberapa orang diluar sana,
terutama orang-orang ambisius, telah sibuk menciptakan semacam tag-line untuk menyadarkan anak-anak
muda bahwa sukses secepat mungkin adalah sebuah tujuan hidup. Fenomena
pengusaha muda, kaya di umur 30 tahun, Young
on Top, Nikah Muda dan kata-kata tendensius yang lain. Menggantinya dengan
pengusaha seumur hidup, kaya di umur berapapun, Everlasting on Top, Nikah di saat yang tepat (untuk bagian ini saya
agak susah menggantinya karena nikah muda itu konon asik) bagi saya lebih bijak
ketimbang memaksa orang lain untuk menghabiskan energinya di awal untuk
mendapat pencapaian secepat mungkin. Saya tak mengatakan mereka salah, tapi
saya mengatakan tak tertarik untuk mengikuti jalan hidup mereka. Kalo kata bio twitter
teman saya bunyinya kira-kira begini: It
does not matter how slow you go so long as you do not stop.
“Rezeki itu bertebaran dimuka bumi
bagi orang yang kompetitif” ― Denny Puspa Purbasari
Bagaimanapun anak muda adalah
seorang yang ambisius namun tak pandai mengatur nafas. Semoga keyakinan yang
saya percayai benar ini dapat membawa saya ketempat yang lebih tinggi suatu
saat nanti. Namun, jika keyakinan ini salah, semoga Tuhan memberikan pelajaran
dan makna dibalik kesalahan saya ini.
Oh iya jika ditanyakan kepada pasangan suami-istri, perihal pilihan sprint atau marathon, jawabanya mereka saya yakin seperti ini: Marathon lebih asik daripada Sprint.
25 September 2013
Semacam Halaman Persembahan
6:55 PM
0 comments
Untuk Bapak yang meninggalkanku 10 hari sebelum saya diterima di kampus ini,
Untuk Ibu guru spiritual yang senantiasa mendoakan perjuanganku selama 4 tahun ini,
Untuk Kakak, yang menjadi tulang punggung keluarga, sumber penghidupanku kini.
Tiada kata lain yang lebih indah dan patut diucapkan pertama kali, ketika penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, selain mengucapkan syukur alhamdullilah kehadirat Allah SWT, sang pencipta langit dan bumi, serta yang menghamparkan ilmu pengetahuan tak terhingga didalamnya untuk kita pelajari hakekat dan makna dibalik penciptaan Nya. Berkat rahmat dan hidayah Nya, penulis bisa menyelesaikan satu butir pasir dari miliaran butir pasir ilmu pengetahuan yang ada di hamparan Nya.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Harga Minyak Dunia Terhadap Kinerja Pasar Modal di Indonesia: Analisis Tingkat Industri, Tahun 2001-2013” ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis di jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada dalam mencapai gelar Sarjana Ekonomi.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapa pihak yang berandil besar dalam pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini, antara lain:
Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc., Ph.D., Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM atas dedikasinya dalam mewujudkan fakultas yang menjadi kebanggaan seluruh penghuninya, Ad augusta per augusta.
Prof. Tri Widodo, M.Ec.Dev., Ph.D., Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UGM, atas kebaikan hati dan kebijaksanaanya mengelola jurusan Ilmu Ekonomi tercinta.
Dr. Anggito Abimanyu, M.Sc., dosen pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing penulis disela-sela kesibukan beliau sebagai Dirjen Haji Kementrian Agama RI, semoga segala kebaikan yang bapak berikan dibalas Yang Maha Kuasa. Jazakumullah Khairan Katsira.
Prof. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc., Ph.D., Drs. Dumairy, M.A., Akhmad Akbar Susamto, SE., M.Phil., dosen penguji skripsi atas kebaikan dan kemurahan hatinya.
Dosen-dosen FEB UGM lain atas inspirasi dan ilmu pengetahuan yang diberikan selama 4 tahun ini, sebaik-baik ilmu pengetahuan adalah yang tersampaikan kepada khalayak dan menjadi bermanfaat.
Harris Darmawan, atas bantuan dan perdebatan sengitnya selama ini, Muhammad Hasan Putra, atas bantuan dalam mencari data dalam penulisan skripsi ini, dan Galuh Iqbal SAS atas diskusi format skripsi yang baik dan benar.
Rekan-rekan penulis yang senantiasa mengispirasi: Graha
Ganindra Goutama, Dikanaya Tarahita, Adlan Syahmi, Made Wiweka Wijaya,
Reinardus Suryandaru, Arham Nurulloh, Azim Amirin, Raditya Nugraha, Zaffira
Amalia, Syaiful Arifin.
Segenap warga Ilmu Ekonomi 2009, FEB UGM 2009, BEM FEB UGM,
KKN PPM UGM unit 131, Kakak-kakak angkatan, dan adik-adik angkatan yang tak
bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaanya.
Akhirul kalam, semoga skripsi ini bisa diterima dengan baik di kalangan akademis dan memberi sumbangsih pada ilmu pengetahuan. Tak ada pujian terindah bagi akademisi selain ilmu yang bermanfaat bagi sesamanya. Wallahu a’lam bishowab.
13 September 2013
(Bukan) Kajian Kesombongan
4:13 PM
0 comments
“Sesungguhnya dari mata ini keluar kotoran, dari hidung ini keluar
kotoran, dari mulut ini keluar kotoran, dari telinga ini keluar kotoran, dan
dari seluruh lubang-lubang ditubuh ini keluar kotoran, mana mungkin benda yang
senantiasa mengeluarkan kotoran ini layak untuk menyombongkan diri?” ― Khatib
Sholat Ied Fitri, satu bulan yang lalu.
Beberapa hari yang lalu saya
dituduh telah melakukan sebuah kesombongan yang terencana. Saya dianggap tidak
mengakui sebuah proses yang dilakukan orang lain dan melakukan pembenaran atas
kesalahan yang telah saya perbuat itu. Benak saya pun berontak, kesombongan
saya yang manakah yang saya lupakan?
Berangkat dari sanalah saya
mencoba untuk mengadakan sebuah kajian ilmu kesombongan.
Langkah pertama yang saya lakukan
adalah mencari definisi sombong yang ada.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
Sombong diterjemahkan sebagai: Menghargai diri secara berlebihan; congkak;
pongah: tabiatnya agak aneh, sebentar - sebentar rendah hati ― saya tak tau
maksud frasa yang terakhir ini dalam terjemahan tersebut.
Lebih lanjut dari aspek
spiritual-relegius, sombong juga telah dibahas mendalam oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Tarmidzi dan Muslim disebutkan bahwa: Sombong
adalah perbuatan melecehkan orang lain dan menolak kebenaran.
Dalam kontek psikologi yang
sempat sedikit saya pelajari adalah mekanisme pertahanan ego. Sebuah strategi
psikologis yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa
untuk berhadapan dengan kenyataan dan mempertahankan citra-diri. Mekanisme
tersebut menjadi patologis bila penggunaannya secara terus menerus membuat
seseorang berperilaku maladaptif sehingga kesehatan fisik dan atau mental orang
itu turut terpengaruhi. Kegunaan mekanisme pertahan ego adalah untuk melindungi
pikiran/diri/ego dari kecemasan, sanksi sosial atau untuk menjadi tempat
"mengungsi" dari situasi yang tidak sanggup untuk dihadapi.
Saya menduga ada suatu pemahaman
yang tertukar antara konsep kesombongan dengan mekanisme pertahanan ego. Proyeksi
misalnya, merupakan sebuah mekanisme pertahanan ego yang paling mudah dilihat,
yaitu ketika orang memproyeksikan apa yang ada atau dirasakan orang lain kepada
dirinya, atau sebaliknya (seperti: Bukan aku kok yang suka, tapi dia yang suka
padaku). Saya khawatir orang tertukar menamakan proyeksi sebagai kesombongan, atau
kesombongan diterjemahkan sebagai proyeksi.
Bagaimana dengan kesombongan yang
tak di sengaja?
Tidak semua orang bisa melihat dan
merasakan apa yang telah mereka lakukan dengan sadar. Hanya orang yang memiliki
kecerdasan intrapersonal-lah yang dapat melihat kedalam diri sendiri dengan
baik dan melakukan pemaknaan terhadap segala aktivitasnya dengan baik pula. Sedangkan saudara kandung kecerdasan ini, adalah kecerdasan interpersonal, orang yang mempunyai kemampuan
memahami dan membedakan suasana hati, kehendak, motivasi dan perasaan orang
lain. Mereka tak selalu melakukan semuanya dengan benar namun dapat melihat
orang lain melakukanya dengan benar. Contoh orang yang memiliki kedua
kecerdasan ini adalah orang yang sering mengucapkan kalimat kutip-able, mereka tau apa yang ada didalam
dirinya dan mereka sadar apa yang terjadi pada orang lain. Tanyakan bab perihal kesombongan pada mereka pasti mereka akan menjawabnya dengan mudah.
Banyak orang memvonis orang lain
sombong, padahal dirinya juga bisa dinilai orang lain sebagai orang sombong.
Bahkan banyak orang tidak tahu bahwa, orang yang merasa dirinya tidak sombong
justru orang yang sombong. Pada saat saya berhenti mengetik kalimat ini bisa jadi
saya telah mengucapkan sebuah kesombongan.
Pada akhirnya saya selalu takut
pada kesombongan, saking takutnya, saya dapat mengingat raut wajah khatib yang berkhotbah sebagaimana tertulis di awal tulisan ini. Bak pisau bermata
dua, kesombongan bisa menjadi pertahanan diri sekaligus penyandera realitas. Saya
selalu takut kesombongan akan merubah jalan hidup, bukankah kita sering
mengalami kejadian yang seharusnya tak terjadi namun terjadi karena kita
sombong. Saya tak meneruskan bahasan ini karena takut Vicky mengutuk saya
karena telah mempertakut khalayak.
"Mending sombong terang-terangan, dosanya tunggal. daripada nge-low profile tapi hatinya sombong. Dosanya ganda, dosa sombong dan dosa munafik" - Soejiwotedjo
"Mending sombong terang-terangan, dosanya tunggal. daripada nge-low profile tapi hatinya sombong. Dosanya ganda, dosa sombong dan dosa munafik" - Soejiwotedjo
Semoga Tuhan mengampuni
kesombongan-kesombongan yang tak (sempat) terucap. Termasuk tulisan saya pagi ini.
09 August 2013
Siaga 1 Fans Manchester United
1:27 AM
1 comment
"It's an honour
United makes two bids, but there have been no talks. I didn't talk with any
club since I joined Barça two years ago. My dream has always been to play at Barça and nothing has changed. I'm
very, very happy here and I never thought about leaving" – Cesc
Fabregas
Seharusnya setelah mendengar
kalimat dari bintang iklan Biskuat itu, perasaan David Moyes hancur seperti
saat dirinya masih muda dan mencoba melamar gadis impianya namun gadis itu
menolaknya. Tentunya Fabregas bukanlah seorang gadis yang hanya ingin menguji
seberapa jauh usaha, perjuangan dari laki-lakinya dalam menggapai dirinya. Kecil
pula kemungkinan Fabregas akan merasa kasihan pada Moyes setelah beberapakali
tawaran dan menyetujui untuk menjalin hubungan bersama. Ini bukan cerita romantisme
percintaan cinta Abelard dan Heloise, namun bagi saya ini bak kisah mitologi
Yunani antara dewa musik Apollo dengan Dafne adalah putri dari dewa sungai
Peneus.
Jawaban dari bidikan utama Moyes
di bursa transfer perdananya bersama Manchester United itu sangatlah jelas, tak
lagi tersirat. Maka akan terlihat bodoh jika Moyes terus ngotot mendapatkan
tanda tangan mantan kapten Arsenal tersebut. Itu artinya bursa tranfer United
era Moyes hanyalah cerita tentang penolakan. Setelah Kevin Strootman lebih
memilih AS Roma ketimbang United, Thiago Alcantara yang melipir ke sekumpulan alien di Jerman, Bayern Munich. Kini United harus
kembali mengalami penolakan oleh Cesc Fabregas, meski kali ini alasan
penolakanya bukan berpindah ke lain hati, namun Fabregas mendadak menyanyikan lagu Fatin Sidqia, “Maafkan
diriku memilih setia... Walaupun ku tahu cintamu lebih besar darinya... ”
Beberapa hari yang lalu, saya
terjebak pada sebuah perdebatan di jejaring sosial mengenai seberapa perlukah
Fabregas bagi kebutuhan tim saat ini. Topik yang sengaja dilontarkan oleh akun
fanbase (non official) United berbahasa Indonesia dalam memperingati saga
tranfer Cesc Fabregas. Saya tak mau terjebak pada debat antara pihak yang tahu
dan yang tidak, karena hal ini bukan semata persoalan kebutuhan dalam tim. Lebih
jauh lagi, prosesi bursa tranfer bagi tim-tim besar (atau yang berambisi jadi
besar) juga bermakna sebagai kebutuhan flagship,
pencitraan, atau sekedar pengukuran seberapa mampu sebuah tim merekrut
pemain.
Masih ingatkah dengan aktivitas
transfer Real Madrid pada era Los Galacticos jilid 1? Jika alasan kebutuhan dan
kekuatan tim, seharusnya Real Madrid tak harus membelanjakan banyak kas-nya
hanya untuk mempertemukan Zenedine Zidan, Ronaldo, Luis Figo, dan David Beckham
dalam satu hamparan rumput yang sama. Bahkan yang terbaru bisa tanyakan pada Sandro
Rosell, kenapa dirinya ngotot mendatangkan Neymar dari Santos, atau jika
menjadi kenyataan, tanyakan urgensi Real Madrid mendatangkan Garreth Bale, saat
mereka masih memiliki C. Ronaldo, Mesut Ozil, dan Angel Di Maria. Benarkah kebutuhan
tim?
Bagi saya ini semacam early warning system bagi seluruh
keluarga besar Manchester United. Saya sebut demikian karena serangkaian
kegagalan di bursa transfer kali ini sejalan dengan pencapaian tim pada tur pra-musim. Meski hanya bertajuk pemanasan, rapor 2 kali kemenangan, 2 kali seri,
dan 2 kali menelan kekalahan, bukanlah hasil yang melegakan. Jika Moyes masih
berdalih skuad yang ia turunkan belumlah yang utama, para pemain belum mencapai
level kebugaran yang optimal, sang lawan juga demikian, lawan united di laga
pramusim kali ini jika mau tega bisa dibilang beberapa level dibawah united, bahkan
ada tim yang baru dibentuk beberapa minggu khusus untuk menghadapi United. Terlalu
kejam jika ini semua ditumpahkan kepada pelatih anyar David Moyes, karena ini
bukan keraguan terhadap kapasitas dirinya, namun lebih besar lagi keraguan pada
Manchester United
Dua hari lagi Manchester United akan
menghadapi Wigan di Community Shield, kemudian tujuh hari berselang dari laga
versus Wigan itu genderang perang Liga Inggris pun di mulai. Artinya tak banyak
waktu lagi untuk berbenah dan berburu pemain ― meski masa transfer window
masih dibuka sampai September mendatang. Kemungkinan besar laga di Community Shield
dua hari lagi ini menjadi penentu harapan para fans untuk musim mendatang,
optimisme atau pesimisme bisa direvisi saat laga itu.
Saya tak menyarankan Fans United
untuk ragu pada tim kesayanganya. Saya hanya ingin para fans merevisi harapanya
pada musim mendatang. Karena layaknya di kehidupan nyata, kebanyakan orang
jatuh karena tak pandai mengelola harapannya. Percaya diri itu penting, tapi
sadar (akan kekuatan) diri sendiri lebih penting.
Rasa-rasanya saya mesti bersyukur
tak banyak pertandingan Liga Inggris yang disiarkan televisi non-berbayar,
karena saya dan pendukung United lainya tak akan sering di ejek oleh para awam
sepakbola kala musim 2013/14 bergulir nanti.
Sir Alex pun berujar: Piye Kabare, Enak Jamanku Toh?
07 August 2013
Tentang Keluarga, Mudik, dan Kerinduan Primordial
10:00 PM
1 comment
“Hikmat kebijaksanaan para pemudik adalah pulang ke haribaan asal usul, tanah kelahiran, puak yang melahirkan dan membesarkannya, juga kenangan masa kecil yang tak ternilai harganya. Dan ini momen yang spesifik, merujuk pada waktu yang khusus, bukan sembarang waktu” ― Zenrs
Kutipan diatas saya ambil dari
sebuah esai karangan Zenrs di Yahoo yang berjudul: Mudik ke Haribaan Mata Air,
dalam karangan bebasnya itu ia mencoba menganalogikan mudik dengan menggunakan
pergerakan air dari mata air di pegunungan menuju laut melalui sungai sebagai
metafora, udik adalah hulu dan rantau adalah muara. Maka perjalanan mudik, atau
meng-udik, adalah gerak dari muara untuk pulang ke pangkuan hulu. Mudik sesungguhnya adalah aktivitas
melawan arus.
Entah sejak kapan saya tumbuh menjadi
penikmat mudik dan kini berujung pada pencarian makna filosofis - artifisial
mengenai momen dimana ada perpindahan penduduk yang sangat besar dalam kurun hanya
waktu satu minggu itu ― bahkan konon perpindahan penduduk terbesar didunia. Sekitar 35
juta orang melakukan perpindahan tempat dan kembali ketempat semula dalam waktu
yang relatif singkat. Sebuah angka yang luar biasa menurut saya, karena jumlah
penduduk negara tetangga kita saja, Malaysia, Singapura, Brunei dan Timor Leste
jika digabungkan hanya sekitar 27 juta. Saking menikmatinya saya bercita-cita
melakukan mudik dengan keluarga suatu saat nanti, tentunya jika saya masih
memiliki tempat berpulang.
Oleh karena itu saya merasa
tertantang untuk menemukan arti mudik bagi saya. Maka sore tadi saya langsung mencoba
melakukan apa yang khalayak lakukan ketika menjelang hari raya itu, yaitu
berkunjung ke tempat saudara, orang tua (baik kandung atau mertua) dan kerabat
yang lain. Dengan menggunakan baju putih dan sarung saya bergegas memacu sepeda
motor matik saya menuju suatu rumah. Rumah yang akan saya kunjungi itu bukanlah
rumah dari orang jauh, melainkan rumah baru Ayah saya. Beberapa menit berselang
sayapun sudah sampai dirumah Ayah saya, kebetulan jika musim lebaran seperti
ini rumah ayah saya ramai dikunjungi orang.
Saya pun langsung duduk diantara
dua nisan yang bertuliskan nama Ayah saya.
Ya mudik saya kali ini merupakan
suatu kontemplasi mendalam terhadap keluarga saya. Sebelum saya berkomunikasi
dengan Ayah saya, saya sempat memandangi sekeliling rumah itu. Nampak banyak
orang yang seperti saya membawa buku doa kecil, kantong kresek hitam yang berisi
bunga, dan beberapa ada yang membawa botol air. Meski ramai pengunjung, saya
sempat merasakan kedamaian di rumah itu ― mungkin karena banyak orang, kalau tak
banyak orang saya tentu tak berani mengatakan demikian. Batinku berbisik jadi ini suasana
rumah setiap orang ketika kembali ke haribaan, tempat kembali yang paling
kembali.
Perjalanan spiritual sore tadi
membawa saya ke kerinduan primodial. Maka sayapun teringat semuanya mengenai
keluarga saya. Dimana keluarga inti saya tak banyak, bahkan bisa dikatakan
sedikit sejak Ayah pindah ke rumah barunya. Kini hanya tinggal ibu, kakak, dan saya.
Bahkan saat saya menulis tulisan ini, saya hanya berdua dengan ibu saya, sedang
kakak saya berada sekitar 195 kilometer jauhnya dari tempat ini.
Pada berbagai kesempatan, saya juga sering menceritakan keluarga saya ―
tentunya bukan dalam rangka menjual penderitaan atau meminta belas
kasihan. Orang-orang yang mendengar cerita saya biasanya kagum (secara
formalitas) dan memuji keberuntungan keluarga saya. Namun bagi saya, keluarga saya bukanlah keluarga
yang sempurna. Premis itulah yang saya pahami, yakini, dan coba saya maknai
pada perjalanan spiritual saya sore tadi.
Setidaknya ada tiga hal dalam ingatan
saya yang dapat digunakan sebagai alasan kenapa saya menyebut demikian. Pertama
keluarga saya tak mengajarkan meminta maaf secara langsung, ini jelas
melahirkan pribadi-pribadi dengan ego yang tinggi jika dilestarikan. Kedua, cukup konservatif, saya tak tau
bagaimana menjelaskan hal ini kedalam kata-kata. Ketiga, yang paling saya resahkan selama ini, keluarga ini tak
terbiasa mengungkapkan perasaan cinta, asmara, atau sejenisnya secara gamblang.
Berbicara cinta di keluarga saya lebih tabu daripada berbicara politik dan
kekinian yang lain. Saya pun lantas berniat belajar dari kekurangan keluarga saya.
Terlepas
beberapa kekurangan. Keluarga bagi saya adalah seperti karet gelang
yang mengikat jari-jari. Karet gelang terdiri dari berbagai macam
ukuran, dari yang besar hingga yang kecil, dari yang tebal hingga yang
tipis, dimana karet gelang tentu memiliki daya lentur yang beragam pula,
ada yang kuat, ada yang daya lenturnya lemah, dan adapula karet gelang
yang kaku dan mudah putus. Sedangkan jari kita bisa saja menyatu
ditengah, bisa saja menyebar ke segala penjuru telapak tangan. Nah,
peran keluarga seperti karet gelang yang mengikat jari-jari,
mengembalikan jari tangan yang bergerak menjauh untuk merapat ke tengah.
Namun ada kalanya benda temuan Stephen Perry itu tak mampu
mengembalikan jari-jari ke tengah atau bahkan bisa putus jika ada jari
yang terlalu jauh meninggalkan titik tengahnya. Tapi ini hanya analogi
tak ada yang mengikat karet gelang di jari-jarinya, kecuali anak kecil.
Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya.
Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya.
Pada akhirnya waktu terus
berjalan. Membawa kepingan usia untuk tak lagi muda. Saya, kakak, dan ibu saya atau
saudara yang lain takkan selalu berdiri di tempat yang sama, di usia yang sama.
Akan ada perubahan dalam diri mereka. Seperti menua, menikah atau meninggal. Saya
harus bersiap untuk perubahan yang tak mengenakkan, seperti tak memiliki tempat
untuk meng-udik.
Saya tak bisa bercanda ketika
membicarakan hal ini, karena gema Takbir menemani saya dalam menulis tulisan pengganti
tidur ini sementara ibu saya sedang mengolesi roti untuk dibawa ke surau
sehabis sholat ied nanti.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434.
Semoga orang-orang yang telah lebih
dulu mudik ke haribaan Tuhan, dapat merasakan kemeriahan hari ini. :)
01 August 2013
Ketika Tuhan Menertawai Saya
11:38 AM
0 comments
“Saat manusia
berpikir, Tuhan justru sedang tertawa” – Milan Kundera
Akhir-akhir ini teman saya yang memiliki
leissure time lebih banyak dalam
proporsi tiap harinya seringkali bergumam: Kalau menganggur begini pikiran jadi
macam-macam, kadang tak terkendalikan. Saya pun begitu.
Sungguh ini bukan merupakan
tulisan penyadaran diri mengenai bahaya pengangguran, namun saya hanya ingin
menyambungkan dengan pernyataan Milan Kundera diatas, yang sebenarnya ia kutip
dari salah satu sastra kaum Yahudi kuno. Kalimatnya sederhana, namun membawa
banyak pesan didalamnya. Beberapa sastrawan lain dalam monolognya mengartikanya
ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya. Sebab, semakin manusia
berpikir, semakin pikiran seseorang terpisah dari lainnya.
Saya pun langsung membayangkan apa yang terjadi jika sastra berhasil
bergabung bersama ilmu psikologi dan rasionalitas ilmu ekonomi.
Saya sebenarnya cukup sebal
dengan para sastrawan, mereka seringkali membuat sesuatu apa yang ada di
kepalanya sendiri, lalu dituankanya sesuka hati, dan kemudian memaksa
pembacanya untuk memahami apa yang ada di dalam kepala sastrawan tersebut. Saya
menyebutnya sebuah-pemaksaan-tersirat-akan-makna-dan-kedalaman. Belum lagi mengenai
puisi, deretan kata yang tak saling terhubung, beberapa diantaranya bersajak, dan
konon memiliki makna itu. Sepanjang hidup saya tak pernah menyukai hal-hal
tersirat seperti itu ― meski saya terkadang masih sering khilaf melakukannya.
Namun dalam proses penolakan saya
tersebut, saya kini justru terjebak dengan tulisan-tulisan lepas yang memadukan
berbagai perspektif, lugas dan ringan seperti bahasa surat kabar, namun dengan
pemilihan diksi yang amat kaya sehingga menambah kadar keindahan seperti karya
sastra. Saya sebut karya seperti itu dengan jurnalis semi sastra ―
ini
hanya sebutan saya saja, istilah yang sengaja saya ciptalan agar tidak
menimbulkan dikotomi sastra modern dan klasik. Entah kenapa tulisan
seperti ini banyak sekali saya temukan setahun belakangan ini. Sedangkan
sesuatu yang sering kita jumpai biasanya menimbulkan daya tarik
tersendiri,
atau hanya saya yang puber intelektual.
Setelah saya tertarik pada tulisan
jurnalis semi sastra itu, kemudian saya menjadi tertarik kepada personaliti
penulisnya. Seakan ada yang menuntun saya untuk membuktikan personaliti dengan
gaya menulis seseorang. Saya ingin melihat bagaimana orang dengan kemampuan
menulis yang luar biasa itu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya secara
lisan. Berhubung dalam benak saya masih terngiang-ngiang mengenai Skripsi maka pertanyaan
penelitian saya adalah apakah kemampuan menulis sama baiknya dengan kemampuan
berbicara?
Kebetulan bebrapa waktu lalu, teman
saya mengritik pembawaan seorang jurnalis semi sastra favorit saya yang
terlihat mengebu-gebu di layar kaca. Beberapa jurnalis semi sastra lain yang pernah
ada di layar kaca juga sering terlihat seperti kehilangan sentuhan magisnya dalam
mengolah kata. Entah persoalan media menuangkan ide atau cara yang berbeda,
mereka terbata-bata didepan layar kaca. Namun pembelaan saya pada mereka jelas
karena faktor kemampuan saja, bukan masalah ideologis.
Akhirnya keingintahuan saya berujung
pada sebuah hipotesis, seorang penulis yang baik, tidak selalu merupakan
pembicara yang baik. Seandainya ada yang memiliki keduanya, bisa jadi ia bukan
pemikir yang baik. Sulit menemukan tiganya dalam satu paket.
Perbedaan dimensi ketiganya membawa
sekat-sekat tersendiri pada persepsi saya. Sebab-musabab dari keahlian tersebut
pun menurut saya berbeda. Saya berani bertaruh seorang penulis yang hebat pasti
adalah seorang pembaca yang hebat juga. Sedangkan para pembicara yang baik,
juga bisa menjadi pendengar yang sama baiknya. Sedangkan para pemikir adalah
yang mampu melihat dengan jeli apa yang tak terlihat oleh orang lain.
Kebenaran hipotesis saya pun
sudah sejatinya diragukan, karena ini hanya pekerjaan pemilik waktu senggang
saja.
Jelas saya bukan seorang penulis
yang baik. Saya juga bermasalah ketika berbicara didepan khalayak. Kebiasaan
saya memikirkan banyak hal kecil juga membuat hidup saya terkadang tak terlalu
nyaman. Memikirkan pikiran orang lain ketika memikirkan sesuatu salah satunya,
akan membawa keruwetan tersendiri dalam kepala saya seperti awal kalimat ini
ketika anda baca. Sebaliknya saya sepakat dengan Daniel Atlas mengenai kegagalan
melihat gambaran besar karena saya melihat terlalu dekat.
Sepertinya saya lebih baik saya
berhenti memikirkan hal ini, daripada saya ditertawai Tuhan terus-menerus.
15 July 2013
Liga Inggris 2013/14: Antara Harapan dan Prediksi
"Jose kembali dan itu menarik. Tapi, saya masih berpikir bahwa
United akan menjuarai liga. Saya fan Manchester United!" - David
Beckham
Pagi buta ini seharusnya saya
menyelesaikan revisi akhir skripsi yang saya janjikan sejak minggu lalu, namun
sampai saat ini saya lebih memilih menulis tulisan tak berguna ini, hanya
sekedar obat anti kantuk menjelang sahur dan pelampiasan rindu saya pada
olahraga ini ― saya sudah dua minggu lebih tak merasakan berada di tengah
lapangan futsal dan ini menyakitkan bagi saya. Ini cuma intro, jangan dibaca,
tulisan sebenarnya ada setelah kalimat ini selesai, saya ulangi lagi: jangan
dibaca.
Bagi para penikmat bola, terlebih
para analis dan jurnalis, akan terlihat hebat jika anda bisa memprediksi
pertandingan dengan tepat jauh sebelum pertandingan itu dimulai. Jadi hal-hal
berbau prediksi, bursa taruhan, dan tebak-tebakan yang lain menjadi hal yang
lumprah bahkan belakangan menjadi parameter kedalaman seseorang atas sepakbola. Meski sebenarnya kita sama-sama tau sebuah prediksi hanyalah sebuah roll of the dice, sebuah keberuntungan
semata, menerka-nerka apa yang akan terjadi di masa depan adalah pekerjaan yang
menyenangkan terlebih bagi saya yang gemar memainkan Fantasy Premiere League.
Saya juga senang menerka-nerka siapa yang akan jadi jodoh saya kelak.
Oleh karena itu saya kali ini
saya tertarik untuk mencoba menulis apa yang akan terjadi pada liga Inggris yang
sebenarnya baru akan dimulai Agustus mendatang. Saya tak tertarik untuk
menulisnya dengan frontal di bagian judul: “Prediksi Liga Inggris musim 2013/14”.
Karena kemungkinan saya akan disebut kurang kerjaan dan mengada-ada akan sangat
tinggi mengingat masih ada 31 hari lagi sebelum liga dimulai dan 301 hari lagi
sebelum liga benar-benar berakhir, meskipun sebenarnya ini merupakan pekerjaan yang aman,
karena ketika musim 2013/14 berakhir nanti, besar kemungkinan mereka yang
menyebut saya mengada-ada sudah lupa dengan tulisan saya ini. Saya pun bisa
jadi seperti mereka.
Bicara mengenai prediksi, banyak
dari kita masih mencampur-adukkan dengan harapan. Terlebih jika dalam prediksi
kita memuat harapan-harapan. Seperti kutipan dari aristrokrat sepak bola di
awal tulisan ini adalah harapan. Terlepas berbagai faktor keberuntungan dan
lain-lain, Beckham sebagai pesepakbola sadar betul kekuatan dan kelemahan Manchester United
sekarang, maka dalam hal ini terlihat dirinya seakan menutupi fakta yang ada
dengan optimisme sebuah harapan. Oh iya, saya belum sampaikan bahwa harapan itu
selalu positif, sedangkan prediksi bisa positif maupun negatif.
Baiklah mungkin lebih baik saya
langsung memulainya saja. Saya kali ini akan mencoba memprediksi kelasemen
akhir Premiere League 2013/14. Paragraf-paragraf setelah ini merupakan
urutan peringkat masing-masing klub dimulai dari peringkat lima, saya ulangi:
dari peringkat lima.
Liverpool, tim yang memiliki
semboyan the next year is our year ini
sepertinya akan bernasib lebih baik musim mendatang. Bukan karena semboyan
tersebut kerap dilontarkan musim lalu, namun lebih karena kematangan tim.
Steven Gerrard, satu-satunya pemain idola saya di klub ini, nampaknya tidak
akan sudi jika harus mengucapkan lagi semboyan tersebut musim depan. Saya
bahkan melihat tim ini bisa kembali menjadi big
four musim mendatang, namun untuk menerobos tiga besar sepertinya masih
sulit, sesulit memasukan pesil ke dalam botol dalam acara tujuh-belasan.
Manchester City, tim yang menjadi
penantang juara serius sejak tiga tahun yang lalu ini, sepertinya akanmengalami
restart. Dengan bergantinya manajer
tim dari Mancini menjadi Pellegrini, membuat tim ini tak hanya berganti rasa
dari rasa Italia menjadi rasa Spanyol, namun juga terjadi perubahan skema
permainan. Perubahan inilah yang menurut hemat saya akan melemah, terlebih sang
pelatih harus belajar banyak mengenai sepakbola Inggris, bahkan harus rela
kalah 2-0 dengan klub antah berantah asal Afrika Selatan di laga perdananya
bersama tim bergelimang uang ini. Entah kenapa saya susah memasukan tim biru
muda ini ke 3 besar, jika saya tak segan sama sahabat khayalan saya Sheikh Mansoer pasti saya sudah menempatkan Liverpool di
posisi ini.
Manchester United, sebenarnya
saya mau meletakkan united diluar tiga besar, namun karena beberpa alasan saya
urung melakukanya. Pertama, tim ini
tak pernah keluar dari tiga besar sejak digulirkan format Premiere League di tahun
1992. Kedua, tim ini adalah juara
bertahan, tak etis melemparkan jauh-jauh juara bertahan dari daftar penantang
juara tahun ini. Ketiga, karena tim
ini jagoan saya ― saya akan menulis panjang-lebar tentang tim ini di tulisan
terpisah. Manutd musim depan bagi saya seperti acara realiti show “Tukar
Nasib” yang mempertontonkan orang kaya merasakan kehidupan orang miskin dan
sebaliknya orang miskin merasakan kehidupan orang kaya. Nah, David Moyes
sebagai pelatih anyar Manutd berperan sebagai orang miskin yang dikasih
kesempatan menghuni rumah si kaya. Sulit membayangkan Moyes langsung bisa
menjalankan perannya sebagai orang kaya di musim pertamanya, dan ketika melihat
debutnya melawan Singha All Star (Thailand) kemaren saya justru khawatir
jangan-jangan Manutd dibawanya menjadi tim medioker yang irit belanja pemain seperti
yang dilakukanya 11 tahun di Everton.
Arsenal, bukan karena tim ini
telah menghempaskan tim nasional kebanggaan saya 7 gol tanpa balas di GBK
kemarin, lalu saya mengangkatnya ke tempat yang lebih tinggi daripada juara
bertahan sekaligus jagoan saya. Lebih dari itu, sepeninggal Sir Alex Ferguson,
kini praktis tak ada yang lebih tau mengenai Premiere League selain Arsene
Wenger dan Ryan Giggs. Nama pertama kini menjadi pelatih terlama yang menangani
klub di premiere league musim depan, tentu saja predikat ini membuat dirinya
malu jika harus kembali disalip oleh rival-rivalnya yang lebih ― hal
ini bisa dilihat kebijakan transfer sang profesor yang lebih atraktif dan
berani. Menurut saya, kali ini Wenger hanya perlu memikirkan bagaimana cara
men-charge baterai tim nya agar tidak
lekas habis di paruh kedua musim, seperti sebelum-sebelumnya.
Sebenarnya sulit bagi saya untuk
mengakui musim depan Chelsea akan melenggang mulus, tapi itulah kenyataanya.
Ibarat seorang yang sedang berpacaran, Chelsea sekarang ini memutuskan untuk
merajut kembali hubungan dengan mantan pacarnya dulu, Jose Mourinho. Sejak
memutuskan berpisah ditahun 2007, Chelsea sempat berpacaran 7 kali (Grant,
Scolari, Anceloti, Hiddink, Villas Boas, Di Matteo, Banitez) sedangkan Mourinho
sempat berpacaran 2 kali dengan Inter milan dan Real Madrid. Namun takdir
mempertemukan keduanya kembali, bisa dibayangkan apa yang terjadi jika kisah
cinta lama dipertemukan kembali. Ada dua kemungkinan: Pertama, Mourinho berjanji dan mengupayakan hubungan yang lebih baik
daripada enam tahun silam. Kedua, Mourinho mengulangi kesalahan yang sama.
Namun jika yang terjadi opsi yang kedua, toh kesalahan Mourinho dulu tetap
membuahkan trofii Premiere League dua kali bagi Chelsea. Rasa-rasanya Mourinho dengan kekasih lamanya masih tak akan terbendung di musim 2013/14.
Akhirnya saya selesaikan karya
ilmiah saya pagi ini di bagian ini saja. Selain lima tim diatas sejujurnya saya
masih memikirkan dimana saya musti meletakan Tottenham Hospur dan Everton. Karena memprediksi Liga Inggris musim mendatang tak semudah memprediksi Liga Spanyol yang tinggal melempar koin bergambar Barcelona atau Real Madrid, atau di Jerman musim 2013/14 lebih mudah lagi, tinggal menghitung kancing sembari mengucap Bayern Munchen, Bayern Munchen, Bayern Munchen, Bayern Munchen,,,
Selesai.
Oh iya, ternyata tak tidur
semalaman itu membuat kerja otak sedikit terganggu loh. Tulisan ini buktinya.
"Sejarah diawali dengan lelucon dan diakhiri dengan tragedi, atau bisa sebaliknya" - Argo
"Sejarah diawali dengan lelucon dan diakhiri dengan tragedi, atau bisa sebaliknya" - Argo
Foto: Official Ball Premiere League 2013/14
13 July 2013
Soekarno Le Grand Séducteur (Part 2)
Kalau aku pilek, aku ingin dipijatnya, kalau aku lapar aku ingin makan
makanan yang dimasaknya sendiri, manakala bajuku koyak aku ingin istriiku
sendiri yang menjahitnya, dengan Oetari keadaanya terbalik. Aku yang menjadi
orangtuanya dan dia sebagai anak.
Begitulah kekecewaan Soekarno
muda terhadap Oetari, istri pertama yang dinikahinya. Lebih jauh beliau
menuturkan ketidakbahagiaannya bersama istri pertamanya tersebut ketika
menuturkan sementara ia belajar dan sedikit bekerja untuk menghidupi dirinya
dan istrinya di Bandung, Oetari sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk bermain dengan kawan-kawanya di pekarangan belakang rumah Haji Sanusi
tempat mereka berdua menginap di Bandung. Bahkan selama menikah dengan Oetari,
Soekarno tak melakukan hubungan badan layaknya suami-istri kebanyakan. Tak
berapa lama berselang, Soekarno mengutarakan niatanya untuk berpisah dengan
kepada ayah Oetari, Tjokroaminoto mengenai kisahnya dengan Oetari dan akhirnya
keduanya berpisah.
Pertanyaan saya setelah membaca
kisah tersebut adalah, kenapa Soekarno memilih mengakhiri dengan Oetari setelah
sederetan ketidaknyamanan melanda hubungan mereka? Kenapa beliau tidak mencoba
memperbaiki hubungan mereka, entah dengan cara apapun ― saya bukan seorang konsultan
asmara dan tak ada pula niatan menghakimi beliau. Bukankah jika menjalin
hubungan itu didasarkan oleh keputusan dan keyakinan bersama, maka jika
keyakinan itu masih ada seharusnya ada keinginan untuk keluar dari ketidaknyamaan
tersebut. Hal yang berbeda jika sedari awal keputusan menjalin hubungan tidak
dilakukan oleh dua pihak dan keyakinan Soekarno terhadap Oetari, ataupun
sebaliknya, karena pada sebagian literatur sejarah menyebutkan Soekarno
menikahi Oetari hanya karena belas kasihan terhadap keluarga Tjokroaminoto.
Setelah berpisah dari Oetari,
Soekarno pun lekas menemukan tambatan hatinya, namanya Inggit Garnasih, yang
ternyata bukan orang jauh, melainkan ibu kos dari Soekarno saat tinggal di
Bandung. Inggit telah menikah dengan Haji Sanusi. Kata dosen saya sebenarnya
hanya dua istri Soekarno yang amat di cintainya, dia adalah Inggit dan Hartini.
Hingga pencarian saya mengenai alasan kenapa dosen saya berujar seperti itu,
kini membuahkan hasil dengan temuan satu paragraf di buku The Love Story of
Bung Karno karangan Ipnu Rinto yang membuat saya takjub.
Setelah menikah dengan Soekarno, Inggit memberi segalanya untuk suami.
Kepandaianya menjahit pakaian, menjual kutang, bedak, rokok, meramu jamu dan
menjadi agen sabun kecil-kecilan terus dimanfaatkan untuk mencari uang untuk
dirinya dan Soekarno. Sementara itu keberhasilan Soekarno menamatkan studinya
di THS, membuat inggit senang tak terkira. Bagi Inggit, kesuksesan Soekarno
meraih gelar insinyur merupakan salah satu bukti keberhasilanya mendampingi
Soekarno.
Saya langsung ingat pada kutipan
dari seseorang yang sering saya katakan: Membina hubungan itu seperti layaknya
berada di atas prahu berdua. Satu mendayung, satunya lagi menentukan arah.
Kalian bisa bertukar posisi kapan saja, tapi tidak akan bisa melakukan keduanya
sekaligus.
Sedangkan kekaguman saya pada
Hartini berhasil saya temukan pada paragraf ini (dari buku yang sama).
Hartini tau betul bahwa Soekarno adalah seorang pria beristri. Hartini
pun meminta waktu untuk berpikir ketika dipinang Soekarno. Dalam penantianya
tersebut, Hartini semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Soekarno.
Hartini pun tak bisa terlalu lama membohongi perasaanya, hingga akhirnya
menerima pinangan Soekarno tapi dengan satu syarat. Hartini berkatakepada
Soekarno, “Ibu Fat tetap First lady, saya istri kedua saja. Saya tidak mau ibu
Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Beberapa sahabat Soekarno
menyebutkan bahwa Hartini merupakan pasangan terbaik bagi Soekarno. Hal itu
bisa dilihat dari sikap dan tata bahasa Hartini yang sangat santun kepada
Soekarno, baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hartini selalu tahu
unggah-ungguh baik saat bersantai, resmi, atau saat memadu cinta dengan
Soekarno.
“Saya cinta pada orangnya, pada Soekarnonya, bukan pada presidennya..
Saya akan perlihatkan kepada masyarakat bahwa saya bisa setia, dan akan
mendampingi Soekarno dalam keadaan apapun juga , juga dalam kedudukanya” – Hartini
Namun kisah cinta Soekarno tak
habis di keduanya (Inggit dan Hartini) masih ada the first lady ibu Fatmawati
yang resmi menjadi istri presiden pertama Indonesia itu. Setelah Hartini yang
setia itu juga masih ada pramugari cantik bernama Kartini Menoppo yang di
Peristri Soekarno ditahun 1959. Pun yang terjadi dengan gadis jepang Naoko
Nemato yang kelak dikenal dengan nama Ratna Sari Dewi juga dinikahi tiga tahun
berselang . Setahun kemudian giliran penari Istana Haryanti yang di peristri
Soekarno, namanya Haryanti, yang tiga tahun kemudian akhirnya diceraikan
Soekarno dengan alasan sudah tidak cocok ― dengan mudahnya seperti itu.
Belum berakhir, kisah cinta
Soekarno masih berlanjut ke dua gadis barisan muda Bhineka Tunggal Ika, kedua
gadis yang beruntung masuk buku sejarah itu adalah Yurike Sanger dan Heldy
Fajar. Saya sebut gadis karena saat dinikahi sang proklamator usia kedua gadis
itu adalah 18 tahun sedangkan Soekarno berumur sekitar 65 tahun.
Pada akhirnya cinta tak senantiasa berjalan semudah dan seindah seperti dikisahkan, ketika sebagian
besar dari kita menganggap pernikahaan adalah hal yang dilakukan sekali seumur
hidup ―
yang membedakannya dengan masa pacaran. Kemudian merawat kisah itu sepenuh hati
karena memang sekali seumur hidup. Namun ada pula sebagian kecil yang lain
menganggap hal yang dilakukan Soekarno ini adalah hal yang wajar, meski wajar juga
tak selalu berarti benar.
Sebenarnya saya berbohong
mengenai sedikitnya tulisan mengenai kisah cinta Bung Karno, sama seperti
motivasi saya dalam menulis essai ini. Namun, setidaknya saya kembali tertarik pada sejarah berkat kisah cinta Soekarno ini.
07 July 2013
Soekarno Le Grand Séducteur (Part 1)
“Aku memuji Tuhan karena telah menciptakan mahluk-mahluk yang cantik
seperti perempuan ini. Bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang
mengagumi seseorang perempuan yang cantik, dan aku tidak malu berbuat begitu
karena dengan melakukan hal itu pada hakekatnya aku memuji tuhan dan memuji aoa
yang telah diciptakan-Nya. Aku hanya seorang pecinta keindahan” ― Presiden
Soekarno.
Sudah lama sekali saya ingin
menulis mengenai seorang pria yang diagung-agungkan lebih dari 200 juta orang karena
kharisma, wibawa dan jiwa kepemimpinan yang besarnya yang dianggap telah mampu
merubah nasib bangsa ini. Namanya Soekarno, founding
fathers negara ini danggap salah satu pemimpin besar dunia yang pernah
dilahirkan. Namun kali ini saya tak akan membahas mengenai kepemimpinan beliau ― karena anda dapat dengan mudah mencarinya di
mesin pencari atau perpustakaan terdekat, saya akan membahas sisi yang lebih manusia
dari beliau yaitu seseorang pengagum wanita sekaligus dikagumi wanita.
Sekitar satu setengah tahun yang lalu
saya pernah diberi tugas oleh dosen saya untuk mempresentasikan mengenai Ekonomi
Pancasila namun dengan menitik beratkan pada kehidupan pribadi Soekarno. Sejak
saat itu saya mulai mengagumi Soekarno sebagai sosok hebat dalam dunia
percintaan ― meski saya tidak sepenuhnya sepakat dengan jalan cinta beliau. Sebagai
orang dewasa yang tumbuh besar di negeri ini, sudah seharusnya kita tau sama
tau bahwasanya presiden pertama kita itu punya banyak istri, namun saya pikir
tidak semua dari kita tau dari sekian banyak perempuan yang pernah disampingnya
siapa yang paling beliau agungkan? Siapa istri beliau yang paling beruntung?
Siapa wanita yang paling tulus mencintai dia? Dan masih banyak pertanyaan kisah
percintaan beliau yang tak semua dari kita tahu keberadaanya.
Terkadang kita hanya mengandalkan
mesin pencari untuk kisah yang ada di permukaan, lalu menemukan nama-nama
seperti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryanti,
Kartini Menoppo, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar pernah menjalin kisah asmara
dengan presiden pertama republik ini. Namun, sesungguhnya jika kita mau membaca
tulisan-tulisan karya Cindy Adams, Rosihan Anwar, Benrhard Dahm, atau tulisan
Wijanarko Aditjondro yang mempunyai judul hampir sama dengan judul blog ini Bung Karno: The Untold Stories, kita tak
hanya mendapati sembilan nama istri presiden pertama kita tersebut, kita bisa
menemukan nama Rika Meelhuysen, seorang Noni Belanda yang pertama kali di cium oleh
Bung Karno pada saat berumur 14 tahun. Sayangnya saya juga tak begitu banyak
membaca tulisan-tulisan sejarah diatas, sama seperti anda.
Maaf, saya memutuskan mengahiri
tulisan dibagian ini saja. Karena menulis mengenai kisah asmara seharusnya
dengan perasaan yang berbinar, sedangkan perasaan saya malam ini tidak dalam
kondisi terbaik yang ditandai fokus yang amat mudah berganti.
Biarlah tulisan ini menjadi intro
dari tulisan-tulisan sesudahnya ― dimana saya akan menulis mengenai detai kisah cinta tokoh pujaan baru saya ini, dan biarkan pula judul tulisan ini pun terpaksa saya tambah (part 1) sembari saya mencari foto Soekarno dengan sembilan istrinya dalam satu
frame foto.
.
06 July 2013
Terjebak Nostalgia: Bukan Judul Lagu
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja...
Judul tulisan ini memang sengaja dibuat berbeda dengan lirik lagu dibawahnya. Bukan karena saya yang masih terpesona dengan suara seseorang wanita yang mengunggah lagu yang dipopulerkan oleh Raisa tersebut ke situs Cloud Coumputing berbasis suara. Namun jika saya boleh ber-alasan, hal ini hanya untuk kepentingan me-match-kan dengan postingan sebelum ini saja.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya selalu sedih tiap kali memutuskan untuk kembali ke Jogjakarta dari kota kelahiran saya Pekalongan. Hati saya selalu tak tega melihat ibu saya yang harus pura-pura kuat melepas saya kembali menuntut ilmu di kota pelajar ini. Sangat tergambar jelas raut muka ibu saya yang melambaikan tangan di depan pintu rumah, kemudian berjalan sampai pagar hanya untuk melihat saya sampai menghilang di perempatan. Saya malah terkadang sering menitikkan air mata dalam perjalanan menuju Jogja ketika membayangkan kesepian dan kehampaan ibu saya menghabiskan waktu sendirian sepanjang hari dirumah tua kami. Sesampainya di Jogja pun saya pasti lekas menyibukkan diri sebagai ritual untuk melupakan apa yang dirasakan ibu saya, kesibukan yang membungkus perasaan rasa bersalah terhadap orang tua.
Namun yang terjadi dua hari yang lalu sedikit berbeda. Kali itu saya berjalan mondar-mandir di dalam rumah tua saya, dengan fokus yang berganti-ganti seperti bergantinya pandangan mata saya menyapu beberapa sudut ruangan di rumah saya. Malam itu saya sedang menunggu teman saya yang meminta saya untuk menjadi tour guide dalam lawatanya ke kota Jogja. Rupanya aktivitas mondar-mandir dan mudahnya berganti fokus kala itu adalah manifestasi perasan saya antara perasaan yang saya alami sekitar dua tahun lalu itu dengan perasaan antusias saya kembali ke kota pelajar setelah 5 hari saya berada dirumah. Sebenarnya 5 hari bukanlah waktu yang lama, perasaan rindu yang membuatnya terasa lama.
Malam ini pun seakan menjadi puncak dari cerita panjang ini, katika saya memilih mengabadikan perasan saya ini secepatnya, ketimbang untuk berbaring dan menyimpan tenaga karena besok musti harus kembali ke kota kelahiran saya, Pekalongan lagi. Meski saya belum akan meninggalkan kota ini (menyelesaikan pendidikan sarjana saya dan berpindah ke kota lain) dalam waktu singkat ― saya bahkan belum tau kapan, tapi nampaknya saya membenarkan kata-kata dosen pembimbing skripsi saya saat memberikan wejangan kepada mahasiswanya “Manfaatkan waktu sebaik mungkin saat kalian jadi mahasiswa, kelak ketika kelulusan sudah didepan mata, kalian akan merasakan kegalauan yang amat sangat, karena semuanya akan berubah seketika”
Orang-orang yang saya temui dua hari ini pun mendadak menjadi seperti
malaikat yang meperlihatkan raut wajah seraya mengingatkanku atas pencapaian
selama ini. Bagaimana orang-orang di pelayanan kuliah menggoda saya dengan
gurauan-gurauan yang sebenarnya biasa saja tapi entah kenapa terasa begitu
akrab. Para penjual Burjo langganan saya yang tersenyum penuh
makna beberapa jam yang lalu, seperti mengingatkanku pada berapa puluh Nasi Ayam,
Nasi Telor dan Gorengan yang saya pesan selama kurang lebih empat tahun ini. Bahkan Masjid Kampus saya berdiri
diap tanpa raut ekspresi ataupun berusaha menguraui saya pun jum’at lalu
mengingatkan saya pada moment 6 tahun yang lalu ketika saya berdoa agar bisa
diberi kesempatan kembali beribadah di masjid ini lagi, yang pada akhirnya saya
akan mengenang doa itu sebagai alasan kenapa saya berada di masjid itu.
Ah, semoga saja ini semua hanya karena tanda tangan saya yang
menyerupai tiga huruf awal nama saya. Padahal kata seorang ahli pembaca tulisan
tangan, tanda tangan yang diawali dengan huruf awal dari nama adalah tanda
bahwa orang tersebut selalu meletakkan aktivitas nostalgia di tempat yang
tinggi ―sedangkan
tanda tangan saya tak hanya menyerupai satu huruf awal nama saya, tetapi tiga
huruf awal sekaligus. Mungkin bisa dibayangkan hidup saya yang selalu
melompat-lompat dari nostalgia yang satu ke nostalgia yang lain, seakan hidup
adalah rangkaian mengoreskan hidup baru dan mengenangnya, begitu seterusnya,
berulang-ulang. Saya harus mengganti tanda tangan saya.
Pada akhirnya, malam ini saya sangat mengerti kenapa lirik lagu Kla
Project di awal tulisan ini menggunakan kata ‘pulang ke kotamu’ karena setiap
orang yang datang ke jogja akan disambut layaknya seseorang yang pulang ke
tanah kelahiranya, kota ini menyapa dengan tangan terbuka sembari mengingatkan
darimana kita berasal, karena Jogja terbuat dari rindu, angkringan dan
keramah-tamahan.
Semoga saya tak berlebihan jika saya mengucapkan: saya mencintai kota
ini seperti cinta saya pada kota kelahiran saya.
30 June 2013
Hampir Empat Tahun: Ini Kenangan Saya, Mana Kenangan Kamu?
"Sejarah diawali
dengan lelucon dan diakhiri dengan tragedi, atau bisa sebaliknya" ―
Argo
Entah kenapa sebagian orang di
dunia ini masih mendefinisikan nostalgia itu adalah urusan asmara. Dalam
pemahaman dangkal saya, anda seperti menyebut ‘Coca-Cola’ jika ditanya mengenai
apa yang terlintas di benak anda ketika saya menyebut minuman ringan ― padahal
didunia ini banyak sekali minuman ringan yang lebih nikmat ketimbang Coca-cola.
Jika anda sepakat minuman ringan didunia tak hanya Coca-cola, seharusnya anda
sepakat dengan saya bahwa nostalgia itu tak hanya mengenai kisah percintaan
antar anak manusia. Kalaupun ada kisah percintaan dalam tulisan ini, saya pastikan itu hanya kisah cinta saya pada kehidupan.
Siang tadi saya mencoba merapikan
kamar kos saya (sejujurnya saya tak merapikannya sendiri) yang sudah tak lagi
seperti kamar kos. Saya menemukan fakta bahwa penyebab penuhnya kamar kos saya dengan
inferior goods adalah karena saya seorang kolektor kenangan. Jika dalam film my
name is khan, Shahrukh Khan membawa papan bertuliskan “Repair Almost Anythings”
mungkin jika saya yang memerankan peran itu saya akan menggantinya dengan
tulisan “Collect Almost Anythings”.
Saya cukup kaget mendapati beberapa temuan saya dalam prosesi bersih-bersih tadi: semua kartu ujian kuliah saya selama 8 semester ini lengkap tak ada yang raib satupun, hampir semua id card yang pernah saya dapatkan pun masih lengkap dengan tali nya, transkrip nilai dari tiap semester ― namun sengaja tidak ditampilkan di foto karena masalah etika saja, bagi saya transkrip itu ibarat slip gaji, dan masih banyak temuan akademik lain seperti: Tiket nonton XXI selama 4 tahun ini yang cukup panjang jika di letakan memanjang, tumpukan (sampah) selebaran dari pameran komputer, dan price tag dari jersey-jersey non ori koleksi saya yang sebenarnya tak seberapa banyak.
Tak terasa sudah hampir 4 tahun saya menjalani salah satu impian saya. Bukan waktu yang singkat, bukan waktu yang lama juga untuk dilalui. Banyak pelajaran yang telah saya dapatkan, namun banyak pula yang saya lewatkan. Jika dulu saya memulainya dengan sebuah keajaiban, entah saya akan mengakhiri perjalanan saya disini seperti apa, saya belum tau akhir dari sejarah ini.
Tak terasa sudah hampir 4 tahun saya menjalani salah satu impian saya. Bukan waktu yang singkat, bukan waktu yang lama juga untuk dilalui. Banyak pelajaran yang telah saya dapatkan, namun banyak pula yang saya lewatkan. Jika dulu saya memulainya dengan sebuah keajaiban, entah saya akan mengakhiri perjalanan saya disini seperti apa, saya belum tau akhir dari sejarah ini.
Bagi saya moment 'bersih-bersih', apapun bentuknya itu, adalah momen yang tepat untuk mengingat seberapa jauh kita melangkah sejauh ini. Membuangnya atau menyimpanya adalah pilihan bagi setiap orang. Membuangnya berarti anda siap untuk mendapatkan space kosong untuk menyimpan banyak hal baru, sedang menyimpannya berarti anda sangat ingin belajar dari apa yang telah anda dapatkan selama ini atau dengan menyimpanya minimal anda telah menghargainya apa yang telah anda lakukan.
Tulisan pendek ini sebenarnya hanya ingin menjelaskan foto yang ada di atas tulisan ini. Mengenang apa yang akan menjadi nostalgia saya dimasa depan.
23 June 2013
Overview Dua Forum Penyesuaian Harga BBM: Formalitas Vs Prestisius
“Satu bisul telah
pecah tadi malam, oleh karena itu pada hari ini kita tidak akan membahas kapan
pecahnya tapi bagaimana keadaan setelah bisul itu pecah” – Dr. Elan
Satriawan, Moderator Forum Diskusi Kebijakan Energi.
Dalam tiga hari terakhir ini saya
sengaja menyempatkan untuk menimba ilmu mengenai prosesi kenaikan harga BBM ―
sebagian yang lain menyebutnya penyesuaian harga BBM. Bentuk dari usaha saya
adalah menghadiri 2 forum diskusi mengenai topik ini dan semoga
tulisan ini sebagai laporan informal saya. Yang menarik, forum pertama diadakan
pada hari Jum’at (21 Juni 2013) atau sehari sebelum kenaikan harga BBM resmi
diumumkan oleh pemerintah, sedangkan forum kedua pada hari berikutnya, setelah
harga baru benar-benar ditetapkan. Bagi saya ini semacam analisis pertandingan
sepakbola namun yang pertama dilakukan sehari sebelum matchday, dan yang kedua analisis setelah mengetahui hasil
pertandingan. Seharusnya analisis yang pertama lebih menarik.
Spesifikasi forum pertama: Berlabel
sosialisasi, diadakan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas)
bekerjasama dengan Direktorat Kemahasiswaan dan Pertamina regional Jogja. Bisa
ditebak acara yang diadakan oleh sebuah lembaga pemerintah (BPH Migas) dengan
lembaga pemerintah lainnya (Dirmawa UGM) terlebih dilaksanakan satu hari jelang
kenaikan harga BBM, pasti acara yang diadakan se-kena-nya saja, tak lebih dari
formalitas, dan biasanya bertujuan untuk sekedar penyerapan anggaran. Dugaan
saya pun tak meleset.
Spesifikasi forum kedua: Berlabel
diskusi, diadakan oleh kerjasama antara GIZ (sebut saja lembaga internasional asal
Jerman, karena namanya terlalu panjang untuk dihafal) dengan P2EB (Lembaga Penelitian
dan Pelatihan FEB UGM) dan Kementrian Keuangan. Menghadirkan 6 pembicara dengan
latar belakang dan keilmuann yang berbeda-beda. Dengan komposisi audience
perpaduan antara mahasiswa, dosen, dan beberapa bule ― saya sebut demikian karena
saya tak sempat bertanya kenapa mereka mendatangi forum tersebut. Dengan alasan
forum yang kedua lebih prestisius, maka yang akan saya ulas di tulisan ini
adalah forum yang kedua. Untuk menyingkat saya share per pembicara, jadi
minimal ada 6 paragraf (6 pembicara) dibawah kalimat yang sedang anda baca ini.
Pembicara pertama adalah Dr. Arif
Budimanta seorang anggota DPR RI dari Fraksi PDI perjuangan. Dalam benak saya,
ketika pertamakali mendengar anggota DPR pasti yang terlintas adalah: Seorang
yang pandai ber-retorika, jago bersilat lidah, dan memiliki kedalaman yang
kurang. Namun kali ini saya kurang tepat, meski judul presentasi beliau “Subsidi
BBM dalam Kehidupan Nasional” agak berbau retoris, dalam penyampaian-nya beliau
terlihat sangat flesksibel dan lugas. Sebagai partai oposisi sikap belia dalam
kasus ini sangat bisa ditebak, namun satu hal yang saya kagumi dari politisi
PDI Perjuangan yaitu landasan filosofis-nasionalis begitu kentara pada setiap argumenya. Tak peduli untuk kasus
apa dan siapa yang berbicara, konsistensi partai ini patut untuk menuai pujian ― terlepas
benar atau salah sikap tersebut.
Pembicara kedua adalah Dr. Irfa Ampri,
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan
Fiskal (BKF) ― nama jabatan yang cukup panjang. Beliau membawakan presentasi
berjudul “Ekonomi Hijau dan Postur APBN”. Meski matri yang ada dalam handout
cukup lengkap dan informatif, namun karena penyampaian beliau terlampau kalem,
maka saya urung menangkap garis merah yang ingin disampaikan, dan saya pun seakan
terbuai oleh sejuknya ruangan auditorium tersebut sampai saya kembali tersadar
pada bagian kesimpulan, beliau berujar: Solusi penyesuaian subsidi harga BBM digunakan
untuk mendorong daya saing energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi
penggunaan energi serta menekan tingkat emisi.
Pembicara ketiga adalah Bapak Sayono
Hadiwijoyo, komite BPH Migas. Secara sekilas, ibarat pemain sepak bola beliau
seperti gelandang semenjana yang keberadaanya nyaris tak diperhitungkan pada
forum ini, namun ternyata saya dugaan kembali salah. Beliau membuka
presentasinya dengan kalimat sarkasme yang menggelitik: “Saya senang sekali hari ini, biasanya ketika saya berdiskusi dengan
para mahasiswa pasti serunya dapet, tapi solusinya tidak”. Meski dalam
handout beliau terdapat 57 slide yang berisi data dan sekema industri hilir
migas dan road map bauran energi, beliau tidak membahas semuanya, sepertinya beliau
hanya ingin menunjukan kompleksitas sektor hilir migas sesuai judul presentasi
beliau: Kompleksitas sektor hilir migas. Yang menarik bagi saya, adalah ketika
beliau membahas mengenai stockpiling in
japan, tidak seperti pejabat pemerintah yang lain yang menahan diri untuk
tidak mengkritik pihaknya yang lain, beliau secara tersirat mencibir kebijakan
cadangan migas dalam negeri (yang hanya bisa bertahan dalam 21 hari) dengan
membandingkanya dengan cadangan minyak Jepang yang bisa bertahan 203 hari. Pertanyaan
sindiran yang saya ingat: Apa yang
terjadi di Indonesia jika 10 gunung berapi (saja) meletus secara bersamaan? Berapa
lama kita bisa bertahan?
Pembicara empat adalah perwakilan dari
mahasiswa, Didit Putra Kusuma, mantan ketua komite kedaulatan energi. Bukan
nama yang asing bagi saya, saya sudah pernah mendengar namanya dari beberapa
teman, mungkin karena ada ungkapan sesama nelayan selalu saling melihat dari kejauhan.
Pembawaannya yang lebih mirip seperti comic (stand-up komedian) langsung
membawa keceriaan di segenap penjuuru ruangan, sesekali saya pun ikut terbawa.
Terlepas dari slide yang bertumpuk-tumpuk dan judul presentasi yang begitu tremendous: Subsidi BBM dari perspektif
Science, Teknis, Sosial dan Ekonomi, saya memberikan pujian yang tinggi kepada
beliau. Pertama, karena beliau sama sekali tidak merasa inferior di forum
bergengsi tersebut. Kedua, pemaparan yang penuh semangat a.k.a. khas mahasiswa
banget. Ketiga, karena beliau menggunakan logo KKE yang saya desain di setiap
slide-nya.
Pembicara kelima, Prof. Danang
Parikesit seorang Guru besar Transportasi UGM dan juga ketua Masyarakat
Transportasi Indonesia (MTI). Pembicara yang satu ini nampaknya memenangkan
hati saya, bahkan sebelum beliau menyampaikan presentasinya. Cara beliau duduk
pun bagi saya telah memancarkan kharisma dan kepercayaan diri yang tinggi,
namun sama sekali tak terlihat raut kesombongan. Beliau menyampaikan presentasi
yang berjudul: “Missing Link” Pengurangan Subsidi BBM, namun dalam pemaparanya
beliau lebih menitikberatkan dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor
transportasi: “Kebijakan pengurangan
subsidi saat ini lebih fokus pada kebijakan fiskal namun tidak diikuti
kebijakan progresif investasi dan insentif untuk mendorong moda pemakain
transportasi angkutan umum termasuk bis listrik dan elektrifikasi kereta api”. Setidaknya
ada tiga poin penting yang saya petik dari beliau. Pertama, ketiadaan pilihan
membuat masyarakat tetap bernafsu nembeli BBM, akan lebih elegan jika
pemerintah memberikan pilihan dahulu baru menaikan harga. Kedua, kebijakan
energi, transportasi, industri otomotif dan fiskal haruslah merupakan paket
kebijakan yang konvergen. Ketiga, yang terpenting bukan seberapa tinggi dampak
kenaikan harga BBM, namun pemerintah harus meningkatkan pula daya beli masyarakat
agar bisa membeli BBM pada harga berapapun. “Yang dilakukan pemerintah bukanlah
yang dijanjikan pemerintah, namun apa yang terjadi setelah kenaikan ini”
Pembicara terakhir adalah Dr. Rimawan
Pradiptyo, deputi penelitian dan basis data P2EB FEB UGM. Meskipun materi yang
disampaikanya sangat menarik, namun bagi saya yang telah mengambil kelas beliau
tiga kali dalam 4 tahun ini, semacam ada de javu ketika beliau menyampaikan
materi yang berjudul: kompleksitas rumah tangga menghadapi penurunan subsidi
BBM. Dalam lembaran highlight saya ada beberapa catatan diantaranya. Pertama, diperlukanya kebijakan yang
parsial seperti yang telah diungkapkan oleh Prof Danang, meskipun orang
Indonesia pada dasarnya tidak mau bekerjasama. Kedua, diperlukan analisis berbasis
bukti (evidance-based policy) dalam
membuat kebijakan bukan anecdotal
evidence (mitos). Ketiga, Menunda bukanlah kebijakan yang baik. Diluar tiga
hal diatas, sebenernya saya menantikan kisah pasukan super jerman yang
menyerang rusia namun kalah hanya karena kehabisan bahan bakar, sebuah cerita
yang diceritakan dengan detail di tiap kelas beliau.
Pada akhirnya, seperti yang ditutup
oleh moderator forum, saya tak akan menyimpulkan banyak dari keenam pembicara
yang menggunakan sudut pandangnya masing-masing, meski pada benang merah
diperlukan kebijakan yang konvergen, dari berbagai sudut pandang keilmuan. Meminjam
penutup dari Didit Putra Kusuma: “Last Warning untuk pemerintah: Yang sekarang mendukung, bukan
tidak mungkin berikutnya akan menentang, bahkan lebih keras!”
Saya juga penasaran apa yang akan
dilakukan pemerintah setelah ini. Terima kasih para panitia diskusi. Danke!
video streaming Forum Diskusi Kebijakan Ekonomi (FDKE) FEB UGM:
video streaming Forum Diskusi Kebijakan Ekonomi (FDKE) FEB UGM: