ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

23 March 2013

Timnas’s Day: Too Much Expectation


Pagi ini saya menyempatkan diri menonton ISL (bukan Indonesia Super League) Imagama Super League, semacam kejuaraan Futsal antar angkatan dalam satu jurusan di kampus saya. Saya langsung teringat beberapa waktu yang lalu ketika Tim saya memenangi kejuaraan yang serupa tapi beda jurusan untuk ke tiga kalinya dalam tiga tahun pertama penyelenggaraan. Hatrick gelar itu terasa sangat spesial, bagi saya, salah satu dari tiga pemain yang selalu berada di tim yang sama selama tiga tahun itu. Sungguh sebuah simbol konsistensi dan dominasi. Saya merindukanya  ― bahkan saya ingin memenanginya untuk kali keempat dengan tim yang sama.


Tapi sekarang saya tak akan membahas perjalanan tim Futsal saya, karena terlalu menarik bagi saya, tapi saya yakin sangat tidak menarik buat anda.

Sesuai judul, kali ini saya akan membahas mengenai Timnas yang beberapa jam lagi akan bertanding melawan Timnas Arab Saudi di stadion kebanggan indonesia, Gelora Bung Karno. Euforia pertandingan yang sudah lama tak terdengar di GBK nanti malam dipastaikan akan meledak kembali. Sayapun sebenernya ingin sekali menyanyikan lagu Indonesia raya bersama para pemain, official dan puluhan ribu pendukung Timnas Indonesia langsung di dalam stadion itu. Namun, karena tak saya persiapkan sejak jauh-jauh hari, sayapun dengan berbesar hati harus bersabar menantikan euforia Timnas selanjutnya.

Euforia dan kerinduan terhadap Timnas Indonesia akan selalu menjadi kekuatan yang cukup besar bagi bangsa ini. Bahkan jika saya tak berlebihan, fenomena timnas ini telah menjadi pemersatu bangsa dan pematik nasionalisme yang cukup ampuh. Ingatkah pada kejuaraan AFF beberapa tahun silam, saat Timnas asuhan Alfred Riedl mendadak menjadi Trending Topic di situs jejaring sosial, memenuhi layar kaca dan surat kabar indonesia, para politikus dan pemimpin negeri ini sibuk menggelar acara nonton bareng Timnas. Sampai akhirnya Timnas harus puas menjadi runner-up karena dianggap telah di eksploitasi secara berlebihan.

Saya tidak akan membahas starting line-up lagi, karena pernah saya tulis beberapa hari yang lalu. Saya lebih tertarik untuk membahas prediksi jalanya pertandingan nanti malam. Sebagai pertandingan antara dua negara yang mempunyai perbedaan 60 peringkat di FIFA World Rank yang dirilis 14 Maret lalu, indonesia di peringkat 166 dunia sedangkan arab saudi di peringkat 106 dunia  ― meski semuanya sepakat pertandingan sepak bola tak melulu soal peringkat.

Saya tidak akan memprediksi seperti gubernur baru DKI jakarta, Joko Widodo yang akrab dipanggil dengan Jokowi, dimana beliau memprediksi Timnas Indonesia bakalan menang 10-0 atas Arab Saudi ― meski bukan tidak mungkin tapi angka itu lebih merupakan sebuah prediksi yang menunjukan level ketidaktahuan nya terhadap sepakbola. Atau prediksi dari Wimar Witoelar, juru bicara Presiden Republik Indonesia pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, beliau berujar jika beruntung indonesia bisa membawa pulang satu point atau bahkan tiga poin skaligus. Prediksi tokoh terakhir yang saya kutip adalah prediksi dari tokoh idola saya Dahlan Iskan. “Saya kira Arab saudi sudah tak sehebat dulu, jadi saya memprediksi Indonesia bisa mengatasi perlawanan Arab Saudi, yaa mungkin hanya 1 – 0 atau 2-1 bisa lah”

Berbeda dengan prediksi para tokoh diatas, saya memprediksi Timnas Indonesia akan kalah dengan Arab Saudi. Menilik Rekor head to head Indonesia vs Arab Saudi: 11 laga, 1 imbang, 10 kalah. Gol: 4-32, maka sulit mengatakan Indonesia bisa superior terhadap Arab Saudi meski, disana para TKW dan TKI indonesia seringkali disiksa jadi anggaplah ini sebagai pembalasan. Prediksi Pak Dahlan Iskan juga ada benarnya, Arab Saudi sudah tak sehebat dulu, tapi saya juga bisa berkilah, Indonesia sekarang juga demikian Pak. Sulit untuk melakukan pembelaan bahwa dengan bermain di GBK tim yang baru terbentuk dan dilatih oleh Coach RD seminggu yang lalu itu bisa berbuat banyak nanti malam.

Selama paradigma pengelola Timnas hanya fokus pada setiap kejuaraan saja ― baru dibentuk beberapa bulan atau minggu menjelang kejuaraan dan setelah itu dibubarkan kembali, sulit untuk mengatakan timnas kita bakalan sukses. Di negara-negara yang sudah maju sepak bola Timnas itu dibentuk bukan untuk kejuaraan, tapi untuk selamanya, jadi di luar sana tidak ada istilah pembubaran timnas. Pemain boleh keluar-masuk sesuai panggilan pelatih, tapi Timnas tetaplah sama dari masing-masing kejuaraan, bukan Timnas yang menyesuaikan pemain atau kejuaraan, tapi pemain yang harus menyesuaikan dengan Timnas dan kejuaraan (baca: tidak mulai dari nol lagi).

Yaa pada akhirnya prediksi saya tidak jauh beda dengan prediksi Wimar Witoelar, namun kalo Wimar bilang “Indonesia kalau beruntung bisa dapat satu poin atau bahkan kalo sangat beruntung bisa dapat tiga poin”, prediksi saya indonesia kalo beruntung bisa kemasukan 1-3 gol, tapi kalo tidak beruntung bisa lebih dari itu. Cukup tragis memang. Bahkan kemaren saya mencoba simulasi bermain PES 2013, Indonesia vs Arab Saudi, hasilnya 0-3 untuk negara minyak.

Pangeran Siahaan pun dalam tulisanya berujar “Awalnya skeptis, lalu muncul harapan, timbul berbagai elemen pendukung yang mempertegas harapan, lalu kita mulai bertanya apa memang ini saatnya harapan terhadap tim sepak bola kita terpenuhi. Inikah saatnya kita akan menang? Lalu kita mulai memanjatkan doa. Kita yakin sampai di sana. Lalu saat optimisme sedang membubung tinggi, dengan sekali kibasan sepak bola menghempaskan kita. Semakin tinggi harapan kita di awal, semakin keras kita terjatuh.”

Tapi, behubung ini Timnas Indonesia yang main, dan prediksi tak harus sama dengan harapan, saya berharap hari minggu besok Headline surat kabar dan televisi di Indonesia adalah “Titik Balik Sepak Bola Indonesia” atau “Garuda Berjaya” atau bahkan “Luar Biasa, Indonesia!”

Semoga.

20 March 2013

7 Point Kuliah Singkat Karen Agustiawan


“Kerjasama yang seharusnya kita jalin itu semestinya untuk hal yang kita butuhkan dimasa depan bukan yang kita butuhkan sekarang” – Karen Agustiawan, Rabu 20 Maret 2013

Kutipan diatas secara tidak langsung menggambarkan betapa visionernya direktur yang telah berhasil membukukan Rp25,89 triliun pada 2012 untuk Pertamina itu. 

Pagi itu saya cukup tergesa-gesa berangkat ke kampus. Bukan karena kuliah moneter jam 10 yang tak boleh telat, tapi karena sebuah kuliah singkat, dari CEO dari salah perusahaan yang kelak beberapa tahun kedepan saya berharap bisa bergabung didalamnya. Dengan berpakaian batik coklat dan celana krem favorit saya sekarang, saya beranikan diri masuk ―karena sebenarnya saya bukan tamu undangan― kedalam auditorium yang ternyata hanya tersisa beberapa kursi kosong saja. Atmosfer auditorium itu sangat berbeda pagi itu, beberapa dosen dan tamu undangan yang sengaja melihat dari dekat sosok Karen Agustiawan, dirut Pertamina yang baru saja diperpanjang masa jabatanya belum lama ini.

Nah, tulisan saya kali ini seperti semacam oleh-oleh saya dari hasil menyusup kedalam forum yang bertajuk Energizing Asia: Menjadi Pemimpin Bisnis Energi pada 2025 itu. Tak kurang dari tujuh poin bahasan yang menurut saya menarik ―karena saat itu saya lebih menikmati untuk mengambil gambar atmosfer forum, ketimbang mencatat materi pembahasan, yang akan saya sampaikan kembali pada tulisan ini, angka tujuh saya pilih bukan karena nomor punggung pemain idola saya Cristiano Ronaldo, apalagi karena saat menulis tulisan ini saya menggunakan jersey bernomor punggung 17 (mengandung unsur 7, sedikit memaksakan), atau jumlah lantai di gedung tempat acara itu berlangsung. Sungguh bukan karena itu semua.

Pertama, kesan pertama saya setelah melihat dan mendengar cara beliau berbicara, saya langsung sepakat kalo wanita ini sanggat tangguh. Gaya bahasanya yang lugas, terstruktur dan bijaksana, membuat dirinya sama sekali tak tampak canggung didepan para akademisi di kampus saya. Ketangguhan nya sekilas nampak juga dari busana terusan nya berwarna kuning agak besar namun tanpa ikat pinggang. Sama sekali tak terlihat anggun memang, karena lebih terlihat seperti ibu-ibu yang sedang memakai daster, namun beliau tetep terlihat berwibawa, karakternya yang tak melulu soal bungkus ini lah yang mungkin menjadikanya menjadi professional top level.

Kedua, “Sesuai visi misi Kami, Pertamina bukan lagi perusahaan migas, tapi perusahan energi kelas dunia” penegasan tersebut penting baginya dan perusahaanya mengingat konstalasi hulu migas ―beliau juga mengungkapkan jika bicara perusahaan energi maka ujung tombaknya adalah bagian hulu bukan hilir― tanah air memang masih didominasi International Oil Company (IOC). Fakta menunjukan proporsi pertamina sebagai National Oil Company (NOC) terhadap kontribusi produksi migas nasional relatif kecil dibandingkan Mengubah proposrsi dan fakta tersebut membutuhkan investasi, kerja keras, dan waktu yang tak sedikit, bahkan hampir mustahil jika saya tak berlebihan.

Sadar akan itu, Pertamina kini membidik potensi-potensi baru dibidang energi dimana comparative advantage masih dapat didapatkan. Karen menyebutkan setidaknya kini Pertamina bisa lebih menggenjot lini-lini bisnis yang berpotensi dan sangat menguntungkan, diantaranya seperti Geotermal dan Petrokimia. Untuk Geotermal, sebagai negara yang konon memiliki 40% cadangan panas bumi di dunia, Indonesia perlu menghidupkan kembali perusahaan geothermal yang sebenernya sudah ada sejak lama namun tengah mati suri (sekarang diakuisisi dan menjadi PT. Pertamina Geotermal, anak perusahaan Pertamina). Untuk petrokimia, sudah cukup lama divisi ini menjadi salah satu penyumbang keuntungan terbesar bagi perusahaan. Kebutuhan bahan baku industri sangat dibutuhkan dewasa ini. Intinya saya ingin berbicara Pertamina mengembangkan energi-energi baru pada poin ke dua ini.

Ketiga, “Ada tiga faktor yang berperan sangat penting bagi perusahaan dan industri energi saat ini yaitu: Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Manusia, dan Sumber Daya Manusia,” Karen Agustiawan, dalam pidato sambutannya.

Keempat, produksi dari sumur-sumur minyak milik pertamina di luar negeri merupakan dapat dimasukan sebagai produksi minyak dalam negeri. Jujur saja ini merupakan salah satu pengetahuan baru bagi saya, sebelumnya saya tak menyangka kalau blok-blok minyak di luar negeri bisa diklaim sebagai produksi dalam negeri jika itu dimiliki oleh National Oil Company, seperti Pertamina. Sampai saat ini, Pertamina telah memiliki kontrak pengerjaan lapangan produksi hulu tak kurang di delapan negara. Daerah operasi hulu itu ada di Malaysia, Vietnam, Australia, Qatar, Algeria, Sudan, Iraq, Libia, dan Venezuela. Berita bagus buat meng-counter statement saya di paragraf ke-6 kalimat terakhir.

Kelima, adanya concern yang berbeda antara International Oil Company (IOC) dan National Oil Company (NOC). Sebenernya ini pertanyaan saya yang akan saya ajukan di sesi tanya jawab di forum tersebut, namun berhubung saya sedikit inferior maka saya hanya mencoba meramu jawaban tersirat yang untungnya bisa memuaskan saya. Kurang lebih simpulan saya seperti ini, perbedaan antara keduanya adalah IOC mempunyai concern utama profitability, sementara hal itu bukan menjadi yang utama bagi NOC, tapi government strategy ― nanti saya bahas di poin keenam.

Keenam, Pertamina sangat terbebani oleh peran sebagai PSO (public service obligation). Poin ini menurut saya paling menarik dan paling debateble ― harusnya para aktivis kampus lebih mengkaji permasalahan ini ketimbang selalu de javu pada frasa kedaulatan energi. Karen Agustiawan secara implisit menunjukan kerisauan dirinya pada peran pertamina yang satu ini. Beliau menuturkan lebih dari 70 persen sumber daya manusia yang ada di pertamina telah dikerahkan untuk menjamin fungsi/peran ini.

“Tenaga saya juga cukup tersita untuk memastikan pos ini tidak defisit, dan selama Pertamina masih memiliki peran sebagai PSO, selama itu pula Pertamina tak akan bisa listing di bursa saham, namun untuk mendepak peran ini saya yakin butuh 2 kali periode 5 tahun proses di DPR” Statement akhir, dengan sedikit gubahan dan penggabungan.

Ketujuh, sekaligus sebagai penutup tulisan ini, setelah forum itu, saya menjadi sadar ternyata ada lack of knowledge antara academic dengan professional environment. Hal ini terlihat jelas saat ibu Karen Agustiawan menanggapi presentasi dari Prof.Indra Bastian. “Nampaknya bapak musti mencoba short intership selama 2 minggu di kantor Pertamina” seloroh nya sambil tertawa. Saya semakin yakin bahwasanya yang kita pelajari saat ini (bagi yang mempelajari), tak lebih sebagai upaya untuk mendekatkan dan memahami analisis fundamental saja, karena analisis teknikal lebih sering digunakan dalam dunia profesional yang sarat akan efisiensi ― saya sering menganalogikan perbedaan antara analisa fundamental dan teknikal itu seperti pertanyaan “hari ini makan apa?” dan “hari ini makan sama siapa?” mana yang lebih penting menurut anda?  

Selesai.

Oh iya, saya mendengar 4-5 kali semprotan dari Matic Air Fresher milik saya, sepertinya ini dengan tulisan terlama so far. Padahal saya juga masih mengingat-ingat apa yang belum dan musti saya tulis sampai anda membaca tulisan ini.

19 March 2013

Timnas Indonesia: Tetap Dirindukan Meski Tak Dikelola Profesional


Saya rindu mendengar gemuruh kumandang Lagu Indonesia Raya yang begitu menggetarkan jiwa di Stadion Gelora Bung Karno yang memerah.

Sore tadi kombinasi dua pelatih tersukses di liga Indonesia dalam satu dekade terakhir, Rahmad Darmawan dan Jacson F Tiago ― keduanya juga pernah mengantarkan Persipura menjadi Kampiun di Liga Indonesia pada tahunnya masing-masing, mengumumkan 28 nama pemain Timnas Indonesia untuk melawan Arab Saudi di Pra Piala Asia 2015. Timnas kali ini bisa jadi menjadi babak baru persepakbolaan tanah air, menyusul Kongres Luar Biasa PSSI dua hari lalu yang konon katanya menemui kesepakatan baru ― meski dalam hati saya yang terdalam, kisruh sepakbola indonesia belum akan surut.

Akhirnya, sayapun takjub dengan 28 nama yang telah diumumkan itu. Kalo dalam 5 tahun terakhir skuat Garuda tak dihuni pemain-pemain terbaik negeri ini, kali ini, menurut saya, nama-nama ini sudah merepresentasikan kekuatan sepakbola Indonesia ― jika disuruh sebut angka saya berani menyebut diatas 80 persen. Saya pun langsung mencoba mengotak atik line-up terbaik tanpa bermaksud meringankan tugas Rahmad Darmawan dan Jackson F Tiago, berikut the winning streak versi saya.

Posisi penjaga gawang saya masih percaya pada Kurnia Meiga, meski kiper asal Bali, I Made Wirawan juga cukup tangguh menurut saya. Dibarisan pertahanan ada banyak nama punggawa kelas satu Indonesia, pilihanya jatuh pada kombinasi: Raphael Maitimo, Victor Igbonefo, Abudur Rahman, Zulkifli Syukur ― meskipun M. Ridwan, Ricardo Salampessy, dan Hamka Hamzah juga tak begitu buruk. Didepan barisan pertahanan, jika mau menggunakan Deep Lying Playmaker, saya yakin pada Ponaryo Astaman. Tapi jika mau menggunakan kombinasi Holding Midfielder dan Box-to-Box Midfielder, pilihanya jatuh pada duet Firman Utina dan Ahmad Bustomi.

Menuju sisi lapangan, kali ini Timnas punya nama-nama yang mengusung kecepatan, seperti Andik Vermansyah dan pemain naturalisasi baru Greg Nwokolo (meski juga bisa dipasang didepan). Di ujung tombak, pilihan saya jatuh pada bintang iklan Pocari Sweet, Irfan Bachdim dan pemain berdarah Belanda, Sergio van Dijk. Namun jika butuh penyerang yang bisa men-delay permainan seperti Demitar Berbatov di Fulham, nama Titus Bonai layak dimasukan kedalam squad Merah-Putih.

Sampai paragraf ini semuanya terasa menyenangkan, antusias memuncak, sepertinya tak sabar menuju pertandingan Timnas Indonesia versus Arab Saudi. Kepala saya pun dipenuhi optimisme yang luar biasa dan tentunya harapan masa keemasan sepakbola Indonesia tak lama lagi. Bisa dibayangkan auranya ketika kongres berhasil, penyatuan liga disepakati, dualisme kepengurusan pun nampaknya akan berakhir, pemain terbaik negeri ini siap berkontribusi, dan ditambah dua pelatih tersukses di Indonesia satu dekade terakhir dibelakang mereka.

Tapi tunggu sebentar, semua kesenangan dan optimisme itu nampaknya tak akan lama, setelah saya mendapati berbagai kutipan dari petinggi sepak bola beberapa hari ini. Silahkan disimak dan coba dirasakan apa yang terjadi sesungguhnya, kutipan ini sudah saya urutkan rentang waktunya.

"Saya dan teman-teman tadi siang habis shalat Jumat diminta suruh pulang oleh Blanco. Alasannya tidak tahu. Katanya kami tidak memenuhi syarat, teman-teman juga kaget dan bingung.  " Kiper Timnas, Syamsidar.

"Alasannya tidak disiplin. Seharusnya mereka berbicara dulu kepada pihak BTN. Tidak disiplinnya seperti apa. Anak-anak baru datang hari Rabu. Saya curiga dia bukan pelatih. Habis bertanding tidak bisa digenjot seperti itu, kalau pemain ISL tidak bisa masuk ya semua saja dikeluarkan. Belum melihat secara benar, tapi sudah dicoret saja." Sekjen PSSI, Harbiansyah.

"Saya awalnya memang dihubungi kemarin melalui telepon dan disampaikan bahwa timnas tidak ada pelatih. Kemudian saya menyetujui, saat diinformasikan, saya hanya akan sampai melawan Arab Saudi. Saya akan membantu semampunya." Pelatih sementara Tim Nasional Indonesia.

"Untuk itulah diperlukan coach sekelas Blanco. Rencana memasukan nama Coach RD belum pernah dikonsultasikan kepada saya, tahu-tahu nama coach RD sudah didaftarkan ke AFC sedangkan coach Blanco yang menangani timnas." Ketua PSSI, Djohar Arifin Husein.

"Belum ada sama sekali pemberitahuan tentang status saya. Saya masih merasa pelatih. Saya di kontrak dua tahun, tapi saya belum dikasih tahu siapa yang akan memimpin timnas lawan Arab Saudi." Pelatih Timnas, Luis Manuel Blanco.

"Pelatih timnas tetap Blanco. Rahmad dan Jacksen ilegal." Ketua Badan Tim Nasional, Isran Noor.

"Saya bawalah kepada Djohar. Dan dia setuju. Berarti jika dia berbeda omongannya, itu artinya dia memojokkan saya. Semua saya laporkan. Komunikasi juga dengan ketua BTN sangat susah sekali. Apakah ponselnya hilang, kecewa dia saudara saya sendiri." Sekjen PSSI, Harbiansyah.

Sudah bisa dibayangkan? ― Saya menduga, para petinggi sepak bola kita dulu masa mudanya suka digantungkan hubungannya oleh pasangan, oleh karena itu sekarang mereka diberi kekuatan untuk menggantungkan nasib masyarakat sepakbola Indonesia.

Ketika optimisme telah memuncak, ada saja prahara yang tak henti-hentinya menguji sepakbola Indonesia. Masalah Apa yang terjadi dalam kasus Blanco-RD adalah ulangan dari kasus sebelumnya yang melibatkan Nil Maizar. Usai menjalani pertandingan menghadapi Irak di Kualifikasi Piala Asia, tiba-tiba Djohar Arifin Husin memperkenalkan Blanco sebagai pelatih timnas yang baru. PSSI 'menggantung' Nil karena sama sekali tidak memberi penjelasan soal statusnya, hingga hari ini. Berarti saat tulisan ini anda baca, Timnas Indonesia sebenarnya ditangani oleh 3 orang: Nil Maizar, Luis Blanco, dan Rahmad Darmawan.

Oh iya, jangan lupakan juga pelatih Timnas ― favorit saya juga, yang membintangi iklan Sosis dan jasa pengiriman barang JNE, Alfred Riedl. Ketika itu Riedl diputus kontraknya secara sepihak oleh PSSI, dengan dalih kontraknya (bersama kepengurusan lama PSSI) tidak jelas.

Pada akhirnya proses penunjukkan pelatih timnas tidak dilakukan secara transparan ini menunjukkan bahwa manajemen timnas dikelola secara tidak profesional, banyak kewenangan yang tak tertulis jelas, asymetric information merebak, dan tentunya konflik kepentingan.

Apapun yang tidak dimulai dengan baik, tidak akan berakhir dengan baik.

Selesai.

Oh iya saya baru saja membeli Air Freshner Matic, kemudian untuk alasan ekonomis saya atur waktu 40 menit, dan saya mendengar 3 kali semprotan disertai aroma Green Fantasy saat saya menulis tulisan ini.

18 March 2013

Mendesain Kontrak Migas yang Berkedaulatan

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, mantan dirut Permina, dan Menteri ESDM RI ke-3.

Saya sedikit tersadar setelah menyelesaikan tulisan kedua tentang sepakbola, ternyata kecintaan kita terhadap sesuatu hal membuat inspirasi mengalir dengan deras dipikiran, termasuk dalam tulisan ― tapi kadang tidak berlaku pada kecintaan terhadap pasangan atau calon pasangan. Karena itulah saya memaksakan untuk menulis tulisan populer-ilmiah (komposisi 90% populer, 10% ilmiah) ini dengan judul yang sedikit dipaksakan, nanti akan saya beritahu kenapa judul ini sedikit memaksakan.

Beberapa hari yang lalu saya ‘dipaksa’ meski dengan senang hati, dalam 2 hari saya 3 kali diajak berdiskusi mengenai dinamika migas dan kedaulatannya ― dan yang paling berkesan pada diskusi ketiga, tapi bukan karena rule of third. Saya berani berbicara mengenai migas bukan karena saya tau segalanya, atau pernah melakukan riset dkk, saya berani hanya karena saya menyukai bidang ini. Seperti saya yang menggilai Manchester United, Futsal, dan Fotografi, meski sebenernya saya sadar tidak akan pernah menjadi pemain Manchester United, pemain futsal profesional, atau fotografer profesional, tapi keberadaan ketiganya telah memberi keberanian untuk berbicara mengenai apa yang saya sukai didunia ini.

Kembali ke topik, kali ini saya akan menulis sedikit mengenai kontrak migas, bahasan yang nyaris menjadi topik skripsi saya. Kontrak migas kali ini saya beri sedikit bumbu kedaulatan karena saya selalu tergelitik jika mendengar kata kedaulatan energi, kedaulatan migas, dan saya selalu mengawali nya dengan pertanyaan balik kepada mereka: kedaulatan itu definisinya apa menurut kamu? Kalau saya sih lebih suka menganalogikan kedaulatan dengan perilaku mencuci pakaian dikalangan mahasiswa. Katakanlah untuk mencuci pakaian, seminggu dua kali, dengan durasi kurang lebih dua jam (belum termasuk menyetrika), berarti ada waktu dan tentunya tenaga yang kita korbankan untuk mencuci pakaian tersebut. Maka, jika anda melakukan itu, saya bisa sebut anda berkedaulatan penuh atas pakaian yang anda pakai. Sementara saya tak pernah mempunyai kedaulatan atas pakaian saya, karena Jasa Laundry lebih menarik bagi saya ― dengan berbagai pertimbangan tentunya.

Dalam benak saya arti kedaulatan itu lebih retoris daripada kata “hidup mahasiswa” yang sering di teriakan para aktivis mahasiswa di negeri ini. Sedangkan saya lebih tertarik berbicara teknis daripada berbicara relativitas ideologi yang tak berujung. Namun jika dipaksa untuk menjelaskan mengenai kedaulatan migas mungkin saya hanya bisa mengutip dua pertanyaan alm Prof. Widjajono Partowidagdo (mantan Wamen ESDM). “Pertanyaan pertama, Siapa yang memiliki sumberdaya ketika mereka masih berada di dalam tanah baik atau sesudah penemuan, tetapi sebelum ekstraksi? Pertanyaan kedua, Siapa yang memilikinya sesudah ekstraksi dari dalam tanah dan pada titik mana dalam ruang dan waktu, kepemilikan tersebut berpindah jika keduanya tidak sama?” ― semoga dua pertanyaan ini menyadarkan kita semua. Amien.

Kemudian bahasan saya terpaksa saya belokkan sedikit ke desain kontrak migas, karena menurut saya kedaulatan migas berhubungan dengan desain kontrak migas. Langsung saja, menurut Johnston, dalam tulisanya How to Evaluate the Fiscal Terms of Oil Contracts, menyebutkan setidaknya ada dua besar desain kontrak migas, yaitu Royalty/tax systems (sistem konsensi) dan Contractual System (sistem kontrak).


Dalam konsensi, pemegang kontrak (biasanya disebut perusahaan bukan sebagai kontraktor) dijamin hak penambanganya oleh negara, yang pada awalnya berbentuk ijin eksplorasi lalu menjadi ijin eksploitasi jika menemukan hidrokarbon, dalam hal ini negara akan memperoleh pendapatan melalui pajak. Sedangkan untuk sistem kontrak biasanya menggunakan sistem bagi hasil ― kenapa ada yang disebut production sharing contract. Dalam hal ini pemegang kontrak tidak memegang ijin hak tambang karena kontrak menyatakan negara tidak memberikan izin tersebut (menurut saya ini lebih ke alasan politis saja), kontraktor sebagai pemasok jasa tunggal kepada negara dan menanggung resiko teknis dan finansial dari eksplorasi.

Dua jenis kontak diatas hanyalah secara garis besar saja, dalam prakteknya ada banyak modifikasi hukum, fiskal dan regulasi-regulasi lain yang terkadang berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Desain kontrak ini menurut saya layaknya business as usual yang dirancang untuk menciptakan situasi win-win solution bagi perusahaan sebagai pemilik teknologi dan sumberdaya manusia dan pemerintah sebagai pemilik common property resources. Kemudian roda bisnis ini bergulir untuk menjawab pertanyaan bagaimana economic rent dibagi ― ini yang saya sebut dengan kedaulatan.

Selanjutnya pembasan selanjutnya menjadi upaya mencari model kontrak yang pas untuk diterapkan disuatu negara seyogyanya terus didorong dan dikaji, namun tetap perlu diingat bahwa setiap proyek mempunyai resiko yang unik, sehingga model kontrak yang diusulkan harus mencerminkan resiko proyek dari masing-masing karakteristiknya. Apakah ada model kontrak yang paling baik?

Benny Lubiantara, seorang Fiskal Analis di OPEC  berujar “one size fits all model does not exist!” Tidak ada model yang cocok untuk semua kondisi. Kenapa? Karena resiko yang dihadapi berbeda untuk setiap proyek di masing masing negara, bahkan dalam satu negarapun, resikonya juga bervariasi. Model kontrak yang dipilih seyogyanya mencerminkan resiko dari proyek tersebut.

Pada akhirnya, jika kedaulatan diasumsikan sebagai keuntungan bagi negara, maka lebih mengusulkan agar diskusi dan diskursus mengenai kedaulatan energi atau minyak dan gas lebih di sampaikan sebagai penjawab pertanyaan bagaimana meningkatkan bagian negara dengan cara yang elegan? ― tentunya ini lebih mendidik bagi para pemula seperti saya yang tertarik di bidang ini dan sepakat untuk mendalami dinamika migas tanpa dibenturkan dengan masalah ideologi.

Oh iya, saya ingin seperti Benny Lubiantara, menjadi analis fiskal OPEC di Wina, Austria. Doakan yaa? J

16 March 2013

Hanya Cerita Tentang 15 Point!


Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life.“ – 500 days of summer.

Saya pikir Ferguson ingat kata-kata narator dalam film fiksi yang dibintangi oleh Zooey Deschanel dan Joseph Gordon-Levitt itu, sebelum pertandingan versus Reading di Old Trafford, minggu dini hari ini dimulai. Meski dua jam sebelum pertandingan dimulai, rival terdekat manutd tersungkur di Goodison Park, Ferguson nampaknya tak ingin menganggap pertandingan ini lebih spesial dari pertandingan-pertandingan lain. Hal ini terbukti dari line-up yang diturunkan, menurut saya bukan the winning streak yang biasa digunakan untuk memastikan pertandingan agar lebih mudah ― tanpa merendahkan Reading.

Selain duet Vidic-Ferdinand dan Rooney-Van Persie tak ada lagi yang membuat nyaman bagi pendukung manutd. Nama-nama penghias starting line-up seperti: Carrick, Kagawa, dan Valencia menghiasi bangku cadangan, bahkan bagi Luis Nani, Patrice Evra, Phil Jones, Paul Scholes hanya bisa menyaksikan teman-temannya bergulat di lapangan hijau dari bangku penonton kala cedera mendera mereka.

Pertandingan pun sudah bisa ditebak: berjalan ala kadarnya ― mungkin seperti penampilan Fatin kemaren malam di X-Factor Indonesia yang dianggap kurang power dan seperti biasanya ketika membawakan lagu milik No Doubt berjudul "Don't Speak". Saat pertandingan saya bahkan menyempatkan multitaskting dengan melihat garis waktu, bermain Free Cell, mencoba beberapa picture stlye Canon dan juga mempersiapkan materi buat tulisan ini, saat pertandingan berlangsung. Satu-satunya yang cukup saya nantikan di pertandingan adalah bagaimana Ryan Giggs dan Anderson berbagi peran di lapangan tengah untuk menyeimbangkan tim.
Akhirnya rasa penasaran saya terjawab di pertandingan, Ryan Giggs pada pertandingan itu menurut saya lebih berperan sebagai Ball Winning Midfielder, bukan Deep-Lying Playmaker atau Holding Midfielder yang sukses diperankan oleh Michael Carrick musim ini. Ball-Winning Midfielder (BWM) adalah Anchor Man yang berada di posisi Central Midfielder. Jadi sekali lagi, menurut saya Ryan Giggs di pertandingan ini tidak menggantikan peran Carrick.

Selain penampilan gemilang bintang iklan rokok Indonesia, Rio Ferdinand yang mencuri perhatian saat intersep atas serangan Reading nya berhasil diteruskan dengan solorun dan dribling yang fantastis dan berujung pada assist kepada Wayne Rooney, tak ada peran yang menonjol di kubu Setan Merah.


Rekan Ryan Giggs di lapangan tengah, Anderson yang diharapkan menggantikan Tom Cleverley pun nampaknya gagal menjadi seorang box-to-box midfielder yang ampuh, ia terlihat lebih berhati-hati memerankan posisi ini yang berujung pada passes completion-nya yang yak begitu tinggi. Alexander Buttner yang didapuk menjadi pengganti Pratrice Evra juga demikian, selain tatto di sekujur tubuhnya, dan namanya yang selalu mengingatkan saya pada mentega, juga tak ada yang spesial. Ashley Young dan Danny Welbeck pun setali-tiga-uang dengan Anderson dan Buttner, penampilanya tak semengerikan duet Nani-Valencia yang terbukti ampuh dua musim belakang ini mengalirkan bola lewat sisi-sisi lapangan. Bahkan Welbeck nampaknya menjalani peran di pertandingan ini lebih sebagai Poacher jika duet Rooney-Van Persie macet. Smalling apalagi, yang saya ingat hanya crossingnya yang begitu tinggi di menit 70an.

Di pihak Reading, hampir tak ada yang mencuri perhatian di pertandingan itu selain Cartaker baru Eamonn Dolan, dengan beberapa kali tertangkap kamera tengah hiperaktif dipinggir lapangan. Cartaker yang sebelumnya menjadi pelatih akademi sepakbola Reading seringkali terlihat melakukan bahasa isyarat untuk anak buahnya dengan gerakan-gerakan yang unik, sepanjang pertandingan juga ia acapkali berdiskusi dengan staff pelatih Reading lainya. Atas usahanya yang tak kenal lelah berdiri di pinggir lapangan itu saya anugrahkan sebagai Man of The Match bagi Reading.

Hasil ini membawa keunggulan 15 point atas “tetangga yang berisik” dengan 9 pertandingan sisa, selain sebagai pengurai kegalauan para pemain dan fans pasca tersingkir secara dramatis dari Real Madrid di Liga Champions ― dan beruntung Manutd tak kalah dari Chelsea minggu lalu. Hitung-hitungannya, dari 29 pertandingan Manutd mengemas 74 point, sementara Mancity mengemas 59 point, dengan sisa 9 pertandingan (27 point maksimal), Manutd akan mengunci gelar ketika bisa mengumpulkan 12 poin (4 kali kemenangan). Namun bagi saya gelar ke-20 bagi Manutd bisa dipercepat  jika Manutd bisa mengalahkan Mancity di Old Trafford 2 minggu mendatang ― dengan catatan Manutd juga Menang lawan Sunderland pekan depan.

Pasca pertandingan Ferguson pun berujar "Kami akan bermain tandang melawan Sunderland di laga berikutnya, di mana selalu sulit untuk bermain di sana. Lalu kami harus menghadapi Manchester City di kandang. Jika Anda cepat merasa puas, maka Anda tidak akan mendapatkan poin dan juga titel juara."

Akhirnya pertandingan ini sama sekali tak spesial, selain keunggulan 15 point. Harusnya Manutd tak usah ikutan berpartisipasi agar Liga Inggris kembali terlihat 'kompetitif' dengan mengurangi keunggulan itu ― seperti musim lalu yang perolehan gelar juara harus dipastikan di menit-menit akhir liga, dan menjadikan Liga paling dramatis didunia, biar lah musim ini menjadi musim yang sempurna bagi Manutd di Liga Inggris,

Selamat beristirahat. :)

*foto: Matthew Peters/Getty Images

07 March 2013

Sebuah Alasan: Maaf, Kami Tak Terbiasa Kalah!


Tulisan ini bukan hasil produk latah seperti seorang anak SMA yang mendadak mengelu-elukan nama seorang penyanyi di ajang pencarian bakat karena teman-temannya juga demikian, atau para hipster yang selalu mengupdate gaya berpakaiannya agar terlihat  non-mainstream, atau komunitas yang urban lifestyle yang mendadak merencanakan sebuah kejutan ditempat-tempat publik dengan harlem shake nya kemudian men-share nya ke jejaring-jejaring sosial terdekat ― mungkin.

Bukan seperti itu, tulisan ini bagi saya adalah obat dari kekecewaan yang amat-sangat-dalam untuk kekalahan tim favorit saya, Manchester United atas Real Madrid dua hari yang lalu. Kekalahan ini setidaknya bermakna dua bagi saya: pertama, kemungkinan saya tidak akan mendengar lagi lagu pembakar semangat “Champions League Anthem” ciptaan Tony Britten, setidaknya sampai laga final di Wembley bulan Mei mendatang. Kedua, saya harus buru-buru pulang ke kos saya setelah pulang dari kampus beberapa hari ini, sebelum teman-teman saya mencoba mengingatkan pertandingan menyedihkan itu.

Sebelum membahas pertandinganya, saya tiba-tiba ingat belum lama ini saya membaca sebuah tulisan psikologi ―karena saya selalu menyukai bidang ini― mengenai sensation dan perception. Menurut penulisnya Perception tidak akan terjadi tanpa sensation. Tunggu bentar, buat yang tak tau psikologi, saya coba jelaskan apa itu sensation? Apa itu perception? Sensation adalah tahapan paling mendasar dari proses biokimia atau neurologis yang dimulai dari adanya stimulus yang ditangkap oleh reseptor dari organ sensorik, seperti 5 indra kita (pembau, pendengar, peraba, pelihat, perasa). Sedangkan perception adalah proses dari penghantaran sensasion menuju otak, untuk kemudian diolah menjadi informasi yang bermakna.

 Lalu apa hubunganya dengan pertandingan sepak bola? Pertandingan sepakbola, terutama pertandingan besar, kini menjelma menjadi adu argumen ― bahkan menjadi adu fisik, dibeberapa kasus ― antar pendukung tim sepak bola. Mereka seakan berlomba-lomba mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk saling menyerang satu sama lain, mencaci rival yang bahkan tidak ada dalam pertandingan, atau sekedar menghubung-hubungkan beberapa fakta dan statistik kedalam pertandingan agar terlihat rasional. Tapi pada akhirnya semua perception itu tak akan terjadi tanpa sensation dan menurut Pendiri The Guardian, CP Scott “Comment is free, but facts are sacred”.

Sebagai pemuja Setan Merah ― tolong jangan anggap saya kafir ― fakta dari pertandingan dua hari yang lalu itu adalah: Tim favorit saya united bermain gemilang dengan 10 orang sejak menit ke 56 melawan tim yang berasal dari galaksi lain (baca: Los Galacticos), meski pada akhirnya kalah, iya kalah. Taktik Sir Alex Ferguson dianggap berhasil meredam determinasi madrid selama 56 menit, dengan tidak menyertakan key player united tahun lalu, Rooney kedalam starting line-up dan menggantinya dengan Wellback, terbukti ampuh mengganggu awal serangan tim lawan melalui deep lying plamaker-nya Xabi Alonso. Jangan lupakan pula pemain terbaik di paruh pertama pertandingan itu, legenda hidup Manutd, Ryan Joseph Giggs yang sukses memutus aliran bola menuju runner-up ballon d’or 3 tahun berturut-turut, Cristiano Ronaldo ― serta ikut membantu “mengusir” Angel di Maria keluar pertandingan karena cedera sesaat sebelum jeda.

Jika serangan Madrid melalui sisi kiri (Contrao-Ronaldo) berhasir di redam olah kombinasi Giggs-Rafael, serangan Madrid dari sisi kanan oleh kombinasi Di Maria – Mesut Ozil (Ozil sedikit ke tengah, tapi kemudian ditutup oleh Carrick) juga berhasil dikendalikan oleh Cleverley dan Evra. Nani bertugas memutus aliran dari Arbeloa ke keduanya sekaligus tumpuan serangan balik united. Mau tak mau serangan Madrid sebelum menit ke 56 dimulai dari Sami Kediera yang tak diredam secara khusus oleh sir Alex Ferguson.

Kemudian angka 56 pun seakan menjadi headline diberbagai media. Angka yang menunjukan menit kejadian sebenarnya debateble (bagi saya fans united), yaitu kala Nani mendapat kartu merah langsung dari wasit asal Turki yang selalu mengingatkan saya pada Cangkir, setelah mengangkat kaki terlalu tinggi dan mengenai dada Arbeloa. Semua orang pun sibuk mengomentari insiden yang menjadi titik balik kekalahan United itu dari berbagai disiplin ilmu masing-masing.

Did Nani see Arbeloa coming?” Anda bisa melihat sendiri bagaimana posisi Nani. Ia sedang berusaha mengontrol bola yang berada di mid-air, terang saja ia mengangkat tinggi kakinya. Tapi Nani tidak berusaha menyakiti siapa pun. Posisinya bahkan membelakangi Arbeloa. Nani tidak tahu bahwa Arbeloa berlari ke arahnya (Pangeran Siahaan).

Namun menurut Roy Keane ― yang sebenarnya legenda hidup United ― jurtru berujar sebaliknya, Nani pantas dihukum kartu merah, tak peduli alasannya, di rule of the game FIFA jelas mengatakan mengangkat kaki terlalu tinggi itu membahayakan pemain lain, dan harus diberi peringatan. Memang benar yang dikatakan Roy Keane, sama seperti statement “Mencuri itu dosa, sedangkan bersedekah itu mendapat pahala, jangan tanyakan Netto-nya” keduanya adalah hal yang terpisah meskipun ada orang mencuri tetapi digunakan untuk bersedekah.

Terlepas dari perdebadan benar atau salah kartu merah Nani, menurut saya kekalahan United bukan dikarenakan faktor 10 versus 11 pemain namun lebih dikarenakan mental yang telah jatuh ketika sedari awal persepsi para pemain United mengenai wasit “Cangkir” itu yang hobby mengeluarkan kartu (Kuning dan Merah) terlebih kepada pemain asal Inggris. Sebelum Nani tercatat ada nama Gary Cahill, Steven Gerrard, John Terry, dan Mario Balotelli yang menjadi korban “Cangkir”. Fakta itulah yang mendasari kejatuhan mental para pemain United sesaat setelah Nani di kartu merah, dalam benak mereka MUncul persepsi kalo kartu merah ini telah direncanakan sebelumnya. Namun kejatuhan mental itu ― entah untung atau rugi ­― tidak berlangsung lama, setelah skor berhasil dibalikan oleh Madrid, United lekas mengurung tim asal ibukota Spanyol itu, dan menciptakan banyak peluang berbahaya. Berarti bukan karena 10 orang pemain kan? 10 orang itu hanya alasan kami saja.

Pada akhirnya jika diawal saya membuka dengan perception tak akan ada jika tidak ada Sensation, diakhir tulisan ini saya justru akan mengutip pendapat yang sebaliknya, dari Filsuf Prancis, Henri Bergson, yang dikutip balik oleh Pangeran Siahaan “The eye only sees what the mind is prepared to comprehend”. Mata hanya melihat apa yang siap dicerna oleh pikiran. Sama seperti kehidupan, orang lain melihat kita seperti apa yang ingin (ada dipikiran) mereka lihat mengenai kita.

Hala Madrid!

Sudah habis.

Oh iya, sepertinya ini tulisan panjang saya pertama setelah, Januari tahun lalu. Sudah sangat lama ternyata, para pecinta tulisan saya (kalau ada) pasti sudah lama menantikan tulisan ini. Seperti para pembenci United yang menantikan kekalahan dua hari lalu ― United tercatat kali terakhir kalah dipertandingan kompetitif adalah bulan November tahun lalu, versus Norwich ― mereka ingin berargumen, mencela, tapi sayangnya Kami tak terbiasa kalah. J