27 December 2014
Stand By Me
9:47 AM
2 comments
“Adalah cinta yang mengubah jalanya waktu, karena cinta waktu terbagi
dua, denganmu dan rindu kembali ke masa itu” – Rangga, Ada Apa Dengan
Cinta, 2014
Malam ini saya ditinggal dua
teman kos saya yang pulang lebih awal karena libur natal. Entah kenapa malam
ini terjadi kegamangan yang amat sangat dalam diri saya. Bukan karena
kesendirian saya malam ini, tetapi lebih karena saya tidak pernah ditinggalkan
mereka berdua sebelumnya, biasanya saya yang lebih dahulu meninggalkan mereka. Ternyata
ditinggal dan meninggal itu punya efek psikologis yang berbeda. Meskipun sekiranya
sama-sama sendiri, efek ditinggalkan ternyata jauh lebih dalam ketimbang
meninggalkan.
“Hukum Newton 3: Syarat untuk mencapai sesuatu adalah meninggalkan
sesuatu” – Interstellar.
Beberapa hari yang lalu, ketika saya
baru saja pulang dari kampung halaman, saat itu menunjukan pukul sepuluh malam
(mungkin lebih), saya hendak keluar membeli makan malam, namun uang di saku
saya ternyata tak sampai sepuluh ribu, kebetulan saat itu berjarak 3-4 hari
jelang gajian. Seketika saya mencari dompet untuk mengambil kartu ATM saya,
saat itu saya cukup terkejut mendapati ada uang lebih dari dua ratus ribu dalam
dompet saya. Sayapun langsung ingat ibu saya yang sedari sebelum berangkat
memegang uang itu, namun karena saya selalu menolak ketika dikasih uang oleh
ibu – lebih karena malu sudah bekerja namun dikasih uang dari seseorang yang tak
lagi bekerja.
Ternyata usut punya usut, uang
itu merupakan hasil penjualan mangga depan rumah saya, saya ingat sekali ibu
saya bercerita dengan bahagianya menjual 4 pohon mangga dengan total 600 ribu rupiah. Bagi sebagian orang mungkin itu hal yang
biasa. Namun bagi saya – terlepas ibu atau bukan yang memberi uang tersebut – memberikan
hampir separuh hasil bumi yang hanya satu
tahun sekali panen kepada orang yang tak pernah meminta bagian itu luar biasa. Pesan
singkat yang menambah haru malam itu dari ibu adalah: Lik, ibu naruh uang di dompet kamu, sekiranya tak usah ke ATM sampai
hari gajian nanti, ibu cuma ingin berbagi bahagia ibu ketika dapet rezeki.
“Parent are the future ‘ghost’ of their children” – Cooper, Interstellar.
Beberapa minggu yang lalu saya
mendapat wejangan yang amat sentimentil dari area manager saya mengenai waktu
dan relativitas. Beliau bercerita hal yang paling berharga saat ini bisa jadi adalah
waktu. Beliau pun bercerita mengenai awal karirnya dulu beliau bekerja tidak
sekeras sekarang dan dengan gaji yang bisa jadi lebih besar jika dilihat dari term off trade nya. Sekarang kita
bekerja lebih keras, dari jam 7 pagi sampai kadang jam 7 malam bahkan lebih, namun
mendapat imbalan/gaji yang (bisa jadi) lebih sedikit. Jangan-jangan kita mengalami
penurunan kualitas hidup. Apa yang membuat kita melakukan hal seperti ini?
Pada akhirnya kita akan sadar
bahwa waktu telah begitu dahsyat merubah way
of life dan way of thinking kita.
“We’ve always defined ourselves by ability to overcome the impossible,
and we count these moments. The moments when we dare to aim higher, to break
barriers, to reach for the star, to make unknown known. We count these moments
as our proundest achievement. But we lost all that. Our perhaps we’ve just
forgotten that we are still pioneers. And we’ve barely begun. And our greatest
accomplishments cannot be behind of us, because our destiny lies above us”
– Cooper, Interstellar, 2014.
Tapi sejujurnya meski dipenuhi
kutipan film, tulisan pendek ini bukan soal film, tapi soal kehadiran orang-orang yang
terdekat dan waktu yang akan merubahnya.
Time can be extended and flexes, but obviosly it can’t go back
Selesai.
17 November 2014
Satu Hal yang Masih Mengganjal pada Kenaikan Harga BBM Bersubsidi.
8:31 AM
0 comments
"Syarat mutlak sebuah benda mencapai tujuan/tempat tertentu adalah meninggalkan sesuatu (Hukum Newton) - Interstellar
Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.
Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.
Kali ini saya
ingin bernostalgia, kembali ke masa dimana saya bebas menikmati menulis dan
berdiskusi mengenai industri energi nasional. Sekarang saya sudah tak lagi
punya banyak waktu untuk memikirkan banyak hal diluar pekerjaan saya. Karena mau
tak mau, pekerjaan membuat pandangan saya dan banyak pekerja lainnya laksana
memakai kaca mata kuda, kita dipaksa hanya bisa melihat kedepan (itupun kalau
bisa) dan tidak diperbolehkan menengok ke kiri-kanan – selama belum ditemukan
kaca mata kuda transparan.
Sabtu kemarin
saya pulang menggunakan kereta menuju kampung halaman. Saat melewati sebuah stasiun,
saya melihat kereta pengangkut bahan bakar minyak yang sangat panjang, saya
sesaat terpaku melihat rangkaian kereta itu. Ada lebih dari 15 gerbong tanki minyak
bertuliskan Pertamina, dalam benak saya saat itu adalah: kelak ketika harga BBM
Bersubsidi naik dan mendekati harga keekonomianya (istilah populer yang
sebenarnya dipaksakan), apakah Pertamina masih akan “besar” seperti ini?
Tulisan pendek
ini, sebenarnya soal ke gusaran saya mengenai industri migas tanah air. Saya tak akan membahas mengenai 300
Triliun rupiah yang negara habiskan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) dalam satu tahun. Atau membahas kenapa
Presiden justru menaikan harga BBM justru saat harga minyak dunia turun ke
level 80 dollar perbarrel. Atau bahkan bahasan sepele soal pemerintah tak bisa
lagi menggunakan bahasa “Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” karena kata “penyesuaian”
itu lebih tepat jika harga minyak dunia tinggi sedangkan harga BBM kita rendah, yang akan saya bahas adalah soal
monopoli alamiah Pertamina.
Sebenernya cukup
terusik dengan hal sepele, jika nanti harga BBM Bersubsidi naik, lalu yang
terjadi kemudian adalah spread
(perbedaan/selisih) yang tak terlalu lebar antara harga BBM dari SPBU Lokal
(Pertamina) dengan SPBU Asing yang ada di Indonesia (Shell, Petronas, Total). Bisa
ditebak akhir dari cerita ini adalah runtuhnya monopoli alamiah oleh Pertamina
atas Bahan Bakar Minyak.
Memang benar
Pertamina tak dapat untung melimpah atas jualan premiumnya, namun patut di
ingat Pertamina besar karena jualan premium-nya. Jika kini Pertamina sudah
kalah telak di pertarungan industri hulu minyak, dimana hasil lifting minyak
harian pertamina (23 persen produksi minyak nasional) kalah dengan Chevron (42
persen) dan Conoco Philips (25 persen). Akankah beberapa tahun kemudian
perusahaan ini juga harus kalah di pertarungan industri hilir minyak?
Setidaknya ada 2
industri yang masih belum bisa banyak di-explore oleh investor asing di negeri ini. Keduanya
kebetulan adalah sama-sama bidang energi. Industri pertama adalah minyak dan
gas, sedangkan industri kedua adalah listrik. Kedua industri tersebut kurang
menarik bagi investor asing karena ada perbedaan harga yang ditentukan oleh pemerintah
– untuk industri kelistrikan lebih tertutup lagi, karena investasi untuk instalasi
listrik bukan perkara yang mudah. Namun,
kini satu barrier to entry industri minyak di negeri ini sudah dipastikan
terbuka besok pagi, bukan tidak mungkin industri kelistrikan juga akan menyusul
kemudian. Pada akhirnya industri energi tanah air cepat atau lambat akan
seperti industri perbankan saat ini, yang liberalisasinya sudah ada jauh
sebelum didengung-dengungkanya liberalisasi ekonomi.
Saya tidak kecewa atau khawatir harga BBM bersubsidi dinaikkan, karena dana 300 Triliun untuk pos subsidi sangat luar biasa besar, bisa untuk membangun 30 stadion sepakbola termahal di dunia seperti Wembley. Saya hanya khawatir
suatu saat nanti tak ada yang benar-benar bisa dikuasai oleh negeri ini. Tebakan saya ini akan terjadi jika setelah ini pemerintah juga akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDK).
Atau jangan-jangan kenaikan harga BBM ini hasil jualan presiden baru kita di 3 forum internasional minggu lalu: KTT APEC, ASEAN Summit, dan G-20. Saat itu presiden kita berulang kali menyebut: it's your opportunity? - undangan tersirat untuk masuk ke Indonesia.
Pada akhirnya anda
tak harus sepakat atau percaya pada tulisan mengenai industri energi yang
ditulis oleh seorang bankir, terlebih jika tulisan ini hanyalah sebuah
nostalgia belaka.
It's your opportunity, but our warning, right?
It's your opportunity, but our warning, right?
15 November 2014
Balada Tukang Tagih (Part 1)
9:48 PM
1 comment
Setidaknya ada dua hal yang
membuat saya tergerak untuk menuliskan ini. Hal yang pertama adalah
gambar di jejaring sosial mengenai dua ekor kelinci dimana salah satu kelinci
mencibir kelinci yang lain karena dianggap tak seberuntung dirinya yang memperoleh
daun wortel yang ditanamnya lebih besar.
Padahal buah wortel yang ada didalam tanah berbanding terbalik dengan daun
diatasnya. Success is not always what you
see. Hal kedua adalah karena saya dianggap tak mensyukuri pekerjaan saya
sekarang.
Bagi para perintis karir baru,
membandingkan antar pekerjaan adalah sudah bukan hal yang asing. Mungkin sudah
menjadi hal yang lumrah, terutama bagi sesama pekerja baru saling menanyakan
pekerjaan dan job desk, bahkan lebih ekstrim lagi menanyakan perihal insentif
atau gaji. Ada yang sangat percaya diri menjelaskan job desk atau bahkan gaji,
namu tak sedikit pula yang memendam kekecewaan, atau memendam rasa: kenapa saya tak seperti dia?
Mungkin anda pernah mengalami apa
yang saya alami. Entah karena kerendahan hati, tingkat kejujuran yang cukup
tinggi, saya jarang mendengar orang yang mencetuskan kalimat: I Love My Job!
Ketika ditanya mengenai pekerjaan pertama mereka. Jawaban yang lebih sering
saya dengar atas kesan dari pekerjaan mereka adalah: Ya begitulah, namanya kerja mana ada yang enak. Yang penting ngga
menganggur dan gaji lumayan. Atau bagi yang pernah bekerja mereka biasanya
menjawab: Dibandingkan dengan yang
kemarin sih lebih enak yang ini. Meski diucapkan tanpa nada antusias.
“Jauh lebih mudah untuk berdecak kagum atas apa yang dimiliki orang lain, atas daerah asing yang bukan tempat tinggal kita, untuk menganggap sesuatu yang beda dan baru itu lebih bagus” – Margaretha Astaman.
Hegemoni para perintis karir baru itu pun melanda
saya.
Sekitar 6 bulan yang lalu, saya
dan teman-teman sekelas saya yang tergabung dalam Officer Development Program sebuah Bank BUMN yang terdepan, terpercaya, tumbuh bersama Anda, harus
(mau-tak-mau) memulai fase hidup baru. Moment yang paling menegangkan setelah
lulus kuliah itu bernama: Penempatan. Singkat cerita waktu itu saya harus
menerima bahwa hidup saya untuk beberapa tahun kedepan tak akan jauh-jauh dari
label: Micro Collection Unit.
Setidaknya ada 3 alasan bagi saya
untuk kaget pada awal pengumuman penempatan saya dan hari-hari awal saya
menjalani peran baru saya. Alasan pertama, saya tak pernah mendengar sekalipun
divisi/departement tersebut sebelumnya. Entah tak mendengar atau memilih untuk
tak mendengar, minimal dalam rentang waktu 4 bulan saya mempelajari dunia perbankan - konon otak manusia hanya mengingat apa yang ingin ia ingat. Oleh karena saya
tak ingin menginggat tentang divisi/unit Collection maka saya pun berkilah tak
pernah mempelajari unit tersebut sebelumnya. Jangankan tau, ingat saja tidak.
Alasan kedua, bagi seorang knowledge worker (pembahasanya ada di
2 artikel sebelum ini) saya selalu mencintai hal-hal strategis, sedangkan
Collection lebih banyak pekerjaan yang Clerical, dalam benak saya ini ngga jauh
jauh dari white-collar worker, general
office task, atau keeping record.
Tanyakan pada teman sekelas saya atau teman kampus saya dulu. Betapa saya
mencintai hal-hal yang bersifat data dan strategis. Bahkan sampai sekarang saya
masih sering kepikiran kenapa struktur organisasi perusahaan saya berubah awal tahun nanti
menjadi sedemikian rupa, padahal itu sama sekali bukan tugas saya.
Alasan yang terakhir, saya tak
menyukai mikro. Didunia ini jika mau disederhanakan hanya ada dua jenis
karakter orang, pertama yang menyukai mikro (detail, aplikatif, dan hal-hal
kecil lainya) dan yang menyukai makro (konsep besar dan general theory). Sebagai
lulusan ilmu ekonomi, karakter saya dapat dikenali dengan mudah, tengok saja
transkrip lalu bandingkan nilai matakuliah Ekonomi Makro dan Mikro saya lebih
bagus mana? Saya masih ingat nilai mikro saya tak pernah lebih tinggi dari B - (minus).
Mungkin ini pekerjaan paling
menantang bagi perintis karier baru di dunia perbankan. Tak ada tekanan yang
lebih menantang dari pekerjaan ini. Saya tak mengatakan pekerjaan lain tak
menantang, saya yakin setiap orang diberi batasan-batasan oleh Tuhan untuk
diperjuangkan bahkan dilewati. Semua punya tantanganya sendiri. Namun,
setidaknya saya merasa beruntung, diawal pekerjaan saya, saya mendapati tekanan
dari empat sisi sekaligus, saya menyebutnya tekanan dari atas, bawah, kiri, dan
kanan. Tekanan dari atas (atasan) jelas semua pekerja merasakanya. Tekanan dari
bawah, tak semua pekerja memilikinya, apalagi memiliki 12 orang bawahan
langsung di awal karier seperti saya. Dari kiri saya menyebutnya tekanan dari
rekan kerja, dalam hal ini business unit (karena saya hanyalah seorang
supporting unit). Dan tekanan terakhir
tekanan dari kanan adalah tekanan dari debitur-debitur bermasalah, karena selalu
ada masalah disetiap debitur bermasalah. Tak ada perintis karir seberuntung
saya.
Tak hanya itu. Pekerjaan saya
sekarang sangat membutuh strategi dan managing people. Sesuatu yang saya
dambakan sejak dulu. Saya menyukai hal yang berbau strategic planing, dan saya
juga menikmati managing people. Sedari awal saya masuk perusahaan ini saya
mendambakan posisi di bagian Strategic Performance and Management, namun
pekerjaan saya sekarang juga tak kalah menantangnya untuk menyusun strategi
terbaik dalam penagihan, meskipun strategi yang saya pikirkan bukan strategi
bank-wide.
Saya pun menyadari ternyata
pekerjaan ini juga sangat makro. Benar pekerjaan saya mengenai tukang tagih
mikro, namun analisis yang saya gunakan sangat makro. Karena tiap hari saya
menganalisis portofolio yang bersifat mass product, saya dapat melihat behavior
debitur dalam level makro.
Saya mulai
menikmati pekerjaan ini karena saya bisa menjadi motivator tiap harinya.
Profesi sebagai motivator belakangan menjadi tenar karena banyak orang
membutuhkan stimulus dari pihak luar (eksternal) atas permasalahan hidup yang
semakin komplek. Namun bagi seorang motivator, kita takk dituntut untuk dapat
mengatasi semua kompleksitas hidup, yang dituntut oleh motivator adalah membaca
dan menyelami kehidupan dengan baik. Kita tidak bisa melakukan semuanya dengan
benar namun setidaknya kita dapat membaca dan melihat orang lain melakukan
sesuatu dengan benar. Saya menikmati proses itu.
Pada akhirnya saya tak perlu
meminjam mata orang lain untuk melihat begitu beruntungnya kehidupan dan
pekerjaan saya sekarang.
Bisa jadi frasa: Tuhan tak selalu
memberi apa yang kita inginkan namun tuhan selalu memberi apa yang kita
butuhkan, itu memang benar adanya. Bukan sekedar pembenaran oleh seorang yang
telah putus asa.
26 September 2014
Walkout: The New Political Gimmick
11:26 AM
0 comments
“Banyak orang bisa membedakan pembimbing
dengan bimbingan, pengarah dengan arahan, tapi tak bisa membedakan Pemimpin dan
Pimpinan” – Sudjiwo Tedjo
Saya terbiasa mengawali tulisan dengan kutipan
dan alasan kenapa saya menulis sebuah tulisan. Namun kali
ini saya belum menemukan alasan yang kuat kenapa saya memaksakan untuk menulis.
Jadi saran saya baca saja sampai akhir, atau tidak membacanya sama sekali.
Berbicara mengenai politik pasti
sebagian besar masih ada yang menganggap politik itu kotor, namun tenang saja sebisa
mungkin saya berusaha ketika anda membaca tulisan ini anggota tubuh anda tidak ada
yang belepotan atau baju anda yang ternoda karena kandungan politik di tulisan
ini cukup kentara. Jika anda mengijinkan, saya hanya akan mengotori pikiran anda.
Saya memilih isu walkout karena
sedang memang populer. Sesederhana itu. Bagi saya mengangkat isu yang sedang
populer lebih mudah dalam merangkai antar ide dan gagasan daripada
mengangkat isu yang tak lagi populer. Meski sejujurnya topik populer atau tidak tak mempengaruhi jumlah pembaca blog saya. Saya bukan orang terkenal.
Oke cukup. Seharusnya anda tidak
membaca 3 paragraf diatas, karena tulisan mengenai era baru perpolitikan di
Indonesia sesungguhnya berawal dari paragraf setelah ini. Jika anda sudah
terlanjur membaca, anggap saja sebuah foreplay
yang akan mempengaruhi hasrat membaca anda sampai puncak atau tidak.
Ketika saya ditanya sejak kapan
saya menyukai dunia politik saya akan dengan cepat menjawab tahun 1999 saat sidang
istimewa MPR dengan agenda pemilihan presiden. Sama ketika
saya ditanya sejak kapan menggilai Manchester United, saya akan dengan cepat
menjawab, saat final liga Champions 1999 ketika 2 gol telat menghantarkan Setan Merah mengalahkan Bayern Munich 1-2 di
Camp Nou. Mungkin keluarga saya baru beli televisi tahun itu juga (1999).
Kembali ke topik.
Saya sangat ingat sekali manuver
politik yang dilakukan oleh Poros Tengah kala itu. Ketika sebenarnya ada 3
calon presiden saat itu Abdurahman Wahid, Megawati, dan Yusril Ihza Mahendra. Namun
di detik-detik jelang pemungutan suara, Yusril Ihza Mahendra mendadak interupsi
untuk mengundurkan diri dari calon presiden. Belakangan terkuak bahwa manuver tersebut
adalah settingan oleh Poros Tengah untuk memuluskan jalan Abdurrahman Wahid
menjadi kepala negara.
Setelah itu saya sangat tertarik
pada gimmick-gimmick politik negeri ini seperti: banyak orang yang tidak tau
saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden statusnya belum menjadi ketua Partai
Golkar. Ketika beliau terpilih menjadi wakil presiden tak lama setelah itu
beliau ditunjuk sebagai ketua partai Golkar. Saat itu saya menyebut manuver
Golkar tersebut dengan sebutan membeli golden ticket jadi incumbent.
Gimmick lain yang saya ingat baik
adalak ketika pemilu 2004 juga, saat itu sama seperti sekarang ada debat
capres, namun lebih ramai saat itu karena tidak dilakukan dengan peraturan
seketat sekarang. Dari serangkaian debat
capres yang selalu hadir adalah pasangan Amien Rais – Siswono dan pasangan SBY –
JK. Padahal saat itu ada 5 pasangan capres-cawapres. Yang paling sering tidak
hadir undangan debat capres adalah Megawati, seingat saya hanya sekali itupun
karena kritikan bertubi-tubi tak berani menghadiri acara debat, jadi mungkin beliau lelah.
Saya juga ingat betul prosentase suara
yang diperoleh Amien Rais – Siswono di tahun 2004, hampir sama dengan prosentase
suara yang diperoleh pasangan Jusuf kalla – Wiranto di tahun 2009, yaitu
sebesar 14 persen. Ironisnya basis pemilih dua pasang itu sama yaitu mahasiswa,
keduanya menang telak di Yogyakarta dan Depok serta daerah kampus lainnya. Sampai
akhirnya saya berhipotesis kaum intelektual yang melek politik di negeri ini
hanya 14 persen. Semoga hipotesis saya salah.
Akhirnya tiba saat gimmick politik terbaru yang lagi hangat. Aksi walkout Partai Demokrat.
Saya sengaja menulis tulisan ini
dengan tidak didahului oleh menonton televisi sejak 2 hari yang lalu. Karena pasca
pilpres kemarin menonton televisi itu merupakan sebuah ketakutan tersendiri. Ketakutan
atas independensi cara pandang dan keberpihakan argumen. Seharusnya sih saya
sadar dari dulu jika keberpihakan media itu sudah ada lewat keberpihakan
individu jurnalis dan pimpinan media. Karena manusia tak ada yang bisa
benar-benar independen.
Setidaknya ada beberapa poin
penting sorotan saya mengenai kisah walkout dan sidang paripurna MPR mengenai
penetapan UU Pilkada dimana telah dicapai kesepakatan melalui voting bahwa
Pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
Pertama, aksi walkout Fraksi Partai
Demokrat (FPD) dua hari yang lalu merupakan pertunjukan politik yang cantik − saya
tak pernah memuji Partai Demokrat sebelum ini. Terlepas dari benar atau salah,
sikap FPD tersebut telah memukul telak Fraksi lawan mereka selam 10 tahun ini
(FPDIP). Berulangkali FPD sebagai incumbent ‘dikadali’ oleh fraksi oposisi,
masih ingatkah pansus century atau sidang paripurna kenaikan harga BBM? Siapa dalang
penggagas keduanya kalau bukan dari oposisi. Kali ini FPD giliran memukul balik
calon incumbent. Atau mungkin sudah tradisi oposisi menggertak incumbent di
Senayan?
Kedua, terlepas dari poin
pertama, sebenarnya saat ini FPD tengah terbelah karena menjalankan perannya
sebagai partai penyelenggara pemerintahan dengan peran sebagai calon oposisi. Jadi
satu kaki mereka sudah diluar, namun satu kaki lagi masih ada didalam. Apapun yang
diambil FPD bisa menjadi bahan serangan bagi lawan politik.
Ketiga, Entah kenapa yang beredar
luas di media sosial 2 hari ini adalah keputusan ini adalah kemunduran demokrasi.
Memang, saya sebenarnya cenderung mendukung pemilihan langsung kepala daerah,
namun faktanya undang-undang kita menganut sistem demokrasi kepartaian sejak
dahulu kala. Jadi setahu saya (mohon dikoreksi jika saya salah di bagian ini,
khususnya orang hukum silahkan beri pencerahan), harusnya yang salah itu yang
mencetuskan pemilihan secara langsung karena itu sesungguhnya melanggar hakekat
sila ke-empat, yang berbunyi Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Cukup baca
kata terakhir sila ke-empat saja.
Keempat, penelitian oleh dosen
saya yang menyebutkan partai politik adalah dalang dari sebagaian besar kasus
korupsi di negeri ini itu benar adanya. Saya menyakini hal ini. Karena partai
politik adalah mesin demokrasi, layaknya mesin kebanyakan, butuh energi untuk
menjalankanya dan menghidupi anggotanya. Padahal partai politik bukanlah badan
usaha yang bebas mencari energi itu dimana saja, maka muncul lah dana-dana yang
tak seharusnya ada. Namun, ketika anda mendebat pilkada langsung atau lewat
DPRD dengan alasan ini, kita tidak sedang membicarakan jika naik bus itu tidak aman
maka kita jangan naik bus. Kepala daerah buruk bukan soal cara pemilihannya. Ada pemilihan proksi (jika dalam penelitian) yang
salah jika anda menggunakan alasan tersebut.
“Parpol busuk? Karena terlalu banyak orang baik yang ingin meraih surga
sendirian” − Dzulfian Syafrian
Kelima, jika disuruh menuliskan
hal positif mengenai pilkada melalui DPRD, saya dengan gampang menyebut setidaknya
partai politik kini ada gunanya lagi (baca: penguatan partai politik sebagai
fondasi demokrasi). Oleh karena itu kita harus lebih aware terhadap pilihan
partai politik dan yang mewakili kita. Membela pendapat dengan membela orang yang
berpendapat itu berbeda.
Terakhir, bagi saya logika sangat keliru adalah ketika menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah Wakil Rakyat. Ini hampir sama dengan poin kedua diatas. Kalau Saya tidak ingin hanya orang-orang yang populer saja di mata masyarakat yang berhak berada di tampuk pimpinan, saat dimana tak ada lagi filter dan manuver-manuver politik cantik seperti saat tahun Sidang Istimewa 1999.
Lagian jika semuanya dipilih oleh rakyat apa bedanya pemimpin negeri ini dengan Indonesian Idol? Tidak selamanya menang secara jumlah itu menang secara kualitas.
Pada akhirnya, kelak jika
keputusan sidang paripurna Kamis malam lalu bakal diimplemetasikan, setidaknya
ada tiga pihak yang pasti akan dirugikan, yaitu lembaga survei (quick qount)
bayaran, percetakan kertas suara dan tukang sablon kaos, sticker, baliho.
Heuheuheu....
15 July 2014
Der Panser 2014: A Beautiful Process
7:02 AM
0 comments
"Getting bigger by getting better, we don't get better by getting bigger" - Edwin Gerungan, Mantan Komisaris Bank Mandiri
Entah kenapa saya sangat mengagumi kutipan diatas, bukan karena saya dengan pak Edwin menperoleh gaji dari perusahaan yang sama, namun saya merasa kutipan tersebut sangat mewakili indahnya sebuah proses jika dijalani dengan sebaik-baiknya. Kita menjadi besar karena kita lebih baik, namun kita tidak akan menjadi lebih baik karena kita menjadi besar.
Begitulah kira kira intro dari tulisan saya ini, sekaligus menggambarkan kesuksesan Timnas Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 buah dari proses panjang yang sangat indah menurut saya. Setidaknya poin-poin dibawah ini bisa menggambarkan kalo Tim ini tidak dibangun dengan instan. Cekidot:
Pertama, seingat saya titik balik kecemerlangan sepakbola Jerman pada awal millennium ke-3 ini adalah kala Tim Jerman gagal lolos fase grub di Piala Dunia 2004. Kala itu Jerman gagal bersaing dengan Republik Ceko dan Belanda yang akhirnya keduanya lolos
Ke fase knock out. Sebagai tim yang punya tradisi sepakbola yang agung, Jerman tak terima jika lolos fase grub di sebuah turnamen besar. Saat itulah reformasi sepak bola Jerman dimulai ketika federasi sepakbola Jerman (DFB) menunjuk pelatih yang belum pernah menangani sebuah club ataupun timnas, Jurgen Klismann. Perjudian yang luar biasa.
Kedua, perjudian DFB ternyata sukses besar, Jurgen Klismann berhasil membuat cetak biru bagi sepak bola Jerman, yang dilakukannya saat itu adalah membuat grand strategy dan menu latihan untuk timnas Jerman dan kemudian menyebarkanya ke seluruh tim yang ada di Bundesliga agar memberi porsi menu latihan tersebut. Hasilnya siapapun dan dari klub manapun di Bundesliga yang dipanggil ke Timnas Jerman akan langsung nyetel dengan latihan dan strategi Die Nationalmannchaft karena kurikulum nya sudah pernah diajarkan di level club. Jenius.
Ketiga, DFB merupakan federasi dengan tingkatan yang paling banyak. Tercatat tidak kurang ada 27 tingkatan yang terdaftar dan diatur oleh DFB dari tingkatan paling amatir kelas ‘tarkam' sampai Bundesliga 1 yang berisi pemain kelas satu di negeri asal dari Adolf Hitler tersebut. Sebuah pembinaan sepakbola yang sangat tersetruktur.
Keempat, Jerman merupakan negara yang sangat melek teknologi. Bukan soal Mercedez Benz, BMW atau Volk Wagen, namun teknologi aplikatif dalam sepakbola. Masih ingat dengan Footbonaut yang popular seiring kesuksesan Borussia Dortmund melenggang ke final Liga Champions 2013 lalu. Footbonaut adalah sebuah mesin yang mampu meningkatkan teknik pemain bola dengan melontarkan bola ke pemain yang kemudian harus menembakan ke 64 panel acak yang akan menyala random. Teknologi seharga 3 juta dolar AS ini sukses meningkatkan kontrol, stamina, kecepatan dan kualitas umpan para pemain Dortmund. Tak Cuma itu, teknologi selanjutnya adalah Match Insight besutan SAP (raksasa teknologi Jerman). Teknologi tersebut merupakan sebuah dashboard yang berisi seluruh data pemain yang ada di Bundesliga. Data yang disajikan cukup komplit seperti passing, daya jelajah pemain, lama menyentuh bola, dan masih banyak data lainya. Oleh karena teknologi ini Joachim Low tak mungkin salah ambil pemain.
Kelima, Timnas Jerman sejak era Klismann selalu menekankan kolektabilitas tim sebagai filosofi permainan. Tak ada pemain yang benar-benar menjadi kartu AS, kalrena semua pemain di tim Jerman punya peran dan kontribusi masing-masing. Tak heran anda pasti akan kebingungan jika disuruh menyebutkan bintang di Timnas Jerman 10 tahun terakhir ini? Mesut Ozil? Schweinsteiger? Manuel Nuver? Philip Lahm? Ada yang bisa menyebutkan bintang seperti Neymar di Brazil, Ronaldo di Portugal atau Messi di Argentina pada timnas Jerman?
"Apa yang kami raih hari ini tak bisa dipercaya. Selama 120 menit kami bekerja bersama-sama sebagai tim. Tidak penting anda punya pemain terbaik, karena yang anda butuhkan adalah tim terbaik" - Phillip Lahm, seusai pertandingan final lalu.
Keenam, keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia datang dari sukses mengembangkan sistem pembinaan pemain. Sebelum bertakhta di Piala Dunia 2014, separuh skuat Die Mannschaft menjuarai Piala Eropa U-21 di tahun 2009. Mereka adalah Manuel Neuer, Jerome Boateng, Matt Hummels, Benedikt Hoewedes, Khedira, Mesut Ozil. Mereka sudah berada di tim yg sama selama 5 tahun!
Ketujuh, sumber dana yang luar biasa besar untuk sepakbola Jerman. Bayangkan saja, ketika semua tim sibuk menyewa dan mendaftar kriteria basecamp untuk hotel, pusat kebugaran dan latihan di Brazil saat piala dunia lalu. Negara ini justru sudah mempersiapkanya lebih dari 6 bulan yang lalu dengan membuat semua fasilitasnya sendiri termasuk jalan menuju pusat latihan itu. Jika hanya untuk turnamen selama satu bulan Negara harus membangun fasilitas latihan sendiri dinegara lain, apa yang akan anda simpulkan? Orang kaya buang-buang duit!
Terakhir, anda boleh setuju dengan saya atau tidak, tapi faktor penyempurna kisah sukses mereka adalah Kanselir Angela Markel. Wanita nomer satu di Negara itu tak sungkan untuk menonton di tribun penonton ketika timnas Jerman bertanding. Tak hanya itu, Angela Markel bahkan sering masuk ke ruang ganti pemain dan memberikan motivasi langsung sesaat sebelum Jerman bertanding. Puncaknya di final kemarin tak hanya Angela yang datang, Presiden Jerman juga hadir di Maracana Stadion. Kepedulian pemimpin negara sangat penting untuk motivasi pemainya di lapangan. Leader always makes perfect.
Kombinasi 7 poin perjalanan panjang Tim Panser jerman menuju bintang yang keempat diatas logo federasi sepakbolanya memang menunjukan cerita manis di Maracana lalu itu tak mudah. Jerman menjadi besar seperti sekarang karena Jerman selalu lebih baik dan belajar tiap kali turnamen yang mereka ikuti, skuad jerman tahun ini tak sehebat Jerman 2012 atau 2010, namun prestasinya justru lebih tinggi, karena mereka belajar dari pengalaman.
Akan tetapi, terlepas dari serangkaian proses indah Timnas Jerman, saya hanya mau menekankan yang paling penting tentu saja segala cerita indah mengenai proses Timnas Jerman ini tak akan bisa dituliskan dengan indahnya jika tim ini tak menjuarai piala dunia. Seperti kutipan dari tokoh idola saya Dahlan Iskan:
"Jadi kalau bekerja orientasinya harus kepada hasil, jangan pada proses, kelihatanya sibuk sekali tapi menghasilkan atau tidak?"
"Jadi kalau bekerja orientasinya harus kepada hasil, jangan pada proses, kelihatanya sibuk sekali tapi menghasilkan atau tidak?"
Oh iya karena saya orang yang menghargai proses tak seharusnya saya menulis tulisan ini saat jam kerja, karena ini bukan ‘proses' saya. Maafkan saya pak direktur.
Weltmeister Die Nationalmannschaaft!
06 May 2014
Sebuah Cerita dari Negeri Dongeng Bertajuk Konsolidasi Perbankan (Part 1)
8:42 AM
0 comments
“Sebagian besar dari kita hanya mau melakukan empat hal: Bayar pajak,
nyoblos, mengkritik, atau memuji. Tapi kalo untuk terlibat? Kalau bisa, tidak
usah” - Anies Baswedan
Mungkin Pak Anies berlebihan,
yang saya tau sebagaian besar orang di negeri ini adalah mereka yang: terpaksa-bayar-pajak,
nyoblos-kalau-ada-amplop, lalu-mengkritik-dan-memuji-dengan-membabi-buta. Padahal
menurut hemat saya orang yang tak membayar pajak tak etis bila mengkritisi
program pemerintah, begitu pula dengan orang yang tidak menggunakan hak nya
dalam pemilu seharusnya juga tak punya hak untuk menghujat pemimpin terpilih. Tapi
di negeri dongeng yang kita cintai ini semuanya ada dan bisa terjadi.
Jika pak Anies saya katakan
berlebihan maka judul tulisan ini justru kurang berlebihan. Saya kesulitan
mencari analogi mengenai sebuah negeri yang nyaris mirip kahyangan, dimana
ide-ide briliant berserakan, mimpi-mimpi luhur bertaburan dan segala bentuk
khayalan yang lain ada di sini, yang terpikirkan saya selama satu jam terakhir
ini hanyalah frase negeri dongeng, seharusnya bisa lebih tendensius.
Tulisan ini lahir sebagai bentuk
ke-geram-an saya ketika saya mendengar ada beberapa pengamat yang berujar “Kalau itu memang direncanakan dengan matang
kan seharusnya dibicarakan kemarin-kemarin dong, bukan menjelang pemilihan
presiden seperti sekarang ini” saat
ditanya isu konsolidasi perbankan yang menyeruak satu bulan terakhir ini. Saya pun
tertenduk lesu.
Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi
saya masih ingat betul ketika mata kuliah ekonomika bisnis, dosen saya saat
Tony Prasetiantono (Chief Economies BNI 46 kala itu) dengan percaya diri
memaparkan data perbankan di ASEAN kala itu (sekitar 2-3 tahun yang lalu) dan
saya juga masih ingat beliau berujar: dalam arsitektur perbankan indonesia
sebenarnya kita diamanatkan hanya memiliki satu-dua state-owened-bank, dan beberapa bank swasta, dan bank daerah (total
jumlah bank ideal menurut API 2004 sekitar 30an) padahal sekarang jumlah bank
yang ada di negeri ini sekitar 130an bank! Saya kira mahasiswa ilmu ekonomi,
manajemen atau akuntansi yang berminat di bidang financial and banking tahu mengenai fakta ini.
Jadi saya tegaskan konsolidasi perbankan itu bukan berita baru, ini cita-cita mulia dari praktisimaupun otoritas perbankan sejak dulu kala, ketika bank di negeri ini mulai tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan. Selama itupula para praktisi perbankan mendambakan sebuah lembaga keuangan yang kuat dan mengakar agar tak mudah tumbang. Entah ini sudah berapa puluh atau ratus orang yang menulis artikel mengenai topik ini, saya tak peduli, anggap saja ini adalah kontribusi saya atas isu ini.
Saya juga ingat sekitar setengah
tahun yang lalu, ketika di kampus saya mengadakan CEO’S Mengajar, kalau saya
tak salah (saya justru lupa nama acaranya) tapi saya ingat kutipan dari Pak
Budi Gunadi Sadikin, Dirut Bank Mandiri yang menjadi keynote speech di acara tersebut,
beliau berujar seperti ini “Kalo
perbankan di Indonesia mau unggul mau jadi leader di nasional atau regional, kita
musti bersatu, ngga bisa kita berjuang sendiri-sendiri, padahal kelemahan kita selama
ini adalah susah bersatu”
Sumber: Statistik Keuangan Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, diolah oleh: srikripik.wordpress.com
Sekedar pemanis tulisan: Data
terbaru dari Bank Mandiri, dari sisi modal, perbankan yang modalnya paling
besar di ASEAN berasal dari Singapura yang masuk 3 besar. Bank itu adalah DBS
dengan jumlah modal US$ 26,5 miliar, diikuti dengan UOB US$ 19,2 miliar, dan
OCBC dengan modal US$ 18 miliar. Sementara dari sisi kapitalisasi pasar, bank
terbesar di ASEAN adalah DBS asal Singapura dengan nilai US$ 33,1 miliar dan
diikuti oleh OCBC dengan nilai US$ 27,7 miliar. Sementara dari sisi aset, 3
bank Singapura juga menempati 3 besar di ASEAN, yaitu DBS dengan aset US$ 318,4
miliar, OCBC dengan aset US$ 268,1 miliar, dan UOB dengan aset US$ 225,2
miliar. Data ini mengingatkan saya pada iklan minuman ringan, apapun
kriterianya (Assets, Market Cap, Capital) yang terbesar tetap bank dari
Singapura.
Lalu bagaimana dengan Indonesia,
ketika beberapa bulan yang lalu menteri BUMN Dahlan Iskan mencetuskan (kembali)
ide konsolidasi perbankan dengan diawali dengan Marger Bank Mandiri dengan Bank
Tabungan Negara, serta Bank Rakyat Indonesia yang akan di merger dengan PT.
Pegadaian, banyak pihak mengkritik membabi-buta. Bahkan berita terbaru,
akuisisi dipastikan gagal, sang mentri bahkan dicap hanya melakukan manuver
politik jelang pemilihan presiden. Saya sedih.
Undzur Ma Qolaa Walaa tandzur man qolaa..
Hadist yang berarti “Lihatlah apa
yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan” diatas setidaknya bisa
mencerminkan ketakutan saya mengenai kasus ini. Saya takut yang ditentang
disini adalah soal personal, pembawa ide, bukan dari ide itu sendiri. Saya akan
paham dan mengerti jika yang terjadi memang pertarungan ide dan gagasan, saya
juga mulai menyadari jika bank besar tidak serta merta dikatakan efisien. Namun
marilah bersama-sama berpendapat tanpa melihat siapa yang memberikan pendapat,
tapi melihat pendapat itu sendiri.
Pada akhirnya, kita harus
meyakini bahwa: manusia hanya bisa berencana, politikus yang menentukan.
(Mungkin belum) Selesai.
01 May 2014
Dikotomi Pertumbuhan Bisnis Bank: Organik dan Non Organik?
2:54 AM
0 comments
“Pertumbuhan organik adalah tingkat ekspansi bisnis melalui
peningkatan output dan penjualan.” -Peter F Drucker
Sejujurnya saya lebih tertarik
dengan ‘temuan’ Peter F Drucker mengenai knowledge worker daripada
kutipan diatas, namun untuk kepentingan kesesuaian dengan judul tulisan saya memutuskan
untuk menaruhnya di awal dan untuk kepentingan kesamaan saya juga akan sedikit
menjelaskan tentang knowledge worker.
Dalam bukunya yang berjudul Landmark
of Tomorrow yang terbit ditahun yang sama dengan terbitnya Dekrit Presiden
Soeharto itu (1959), bapak manajemen modern tersebut menjelaskan panjang lebar
mengenai istilah pekerja intelektual, namun secara singkat knowledge worker adalah seseorang yang
dipekerjakan berdasarkan pengetahuannya tentang subyek tertentu, bukan
berdasarkan keterampilannya membuat atau mengerjakan sesuatu. Sebagai seorang
pekerja yang tak terlalu hebat soal pekerjaan teknis dan tak terampil
administrasi, saya merasa telah ditunjukkan sebutan yang tepat untuk pekerja
seperti saya ini, terimakasih Ducker!
Kembali ke benang merah.
Seperti kita ketahui setiap awal
tahun bank-bank besar selalu mengadakan pertemuan yang dinanti untuk disimak
hasilnya oleh para pemangku kepentingan dan pengamat perbankan. Adapun pertemuan
awal tahun (sebut saja Rapat Umum Pemegang Saham) memiliki setidaknya dua
agenda penting yaitu paparan pencapaian keuangan dan Rencana Bisnis Bank (RBB),
keduanya menarik, tapi bagi knowledge worker yang menyukai strategi seperti
saya ini, saya lebih tertarik pada point yang kedua. Rencana Bisnis Bank
menarik karena mengajak kita untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi di
perusahaan ini dimasa mendatang.
Pada pertemuan yang membahas
mengenai Rencana Bisnis Bank, biasanya ada dua strategi besar yang paling mudah
digunakan oleh praktisi ataupun pengamat untuk menggambarkan pola bisnis yang
akan dilakukan pada masa mendatang, yaitu pertumbuhan organik dan anorganik.
Metode pertumbuhan organik adalah pertumbuhan dari dalam atau
pertumbuhan yang mengharuskan perusahaan
untuk memaksimalkan sumber daya internal mereka. Dalam kata lain merupakan strategi
pertumbuhan perusahaan yang menggunakan pendanaan dari dalam, berasal dari
akumulasi laba yang ditahan ditambah dengan hutang.
Sedangkan pertumbuhan anorganik merupakan strategi
yang mengandalkan pertumbuhan dari luar perusahaan, atau strategi perseroan
untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat jaringan sebagai konglomerasi
lembaga keuangan.
Terkadang ketika saya tak
fasih menjelaskan definisi, maka saya akan langsung saja menuju contoh.
Di negeri yang kita
cintai ini ada 2 BUMN besar yang merupakan perwakilan sempurna untuk pembedaan
dua strategi bisnis bank tersebut, yaitu Bank Rakyat Indonesia yang bangga
dengan pertumbuhan organiknya dan Bank Mandiri bank-yang-sejak-dulu-kala-percaya-diri-dengan-pertumbuhan-anorganik.
Mari kita simak pendapat
dari masing masing kubu mengenai strategi perseroannya.
"Kita akan
meningkatkan bisnis secara anorganik dalam tiga tahun ke depan, Sehingga dapat
menjaga performa bisnis perseroan secara keseluruhan. Pertumbuhan anorganik
merupakan strategi perseroan untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat
jaringan sebagai sebuah lembaga keuangan terbesar" – Pahala N Mansury,
Direktur Keuangan Bank Mandiri.
“Fokus kami
mengembangkan pertumbuhan organik dalam arti kata memperluas dan menjangkau
pasar yang belum tersentuh. Kami tetap concern ke pertumbuhan organik, jangan
sampai kita mengembangkan bisnis anorganik tapi lalai untuk memperbesar fokus
bank. Jadi kami sangat fokus kembangkan BRI dari dalam dulu.” Sofyan
Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia.
Jelas tergambar keduanya bersebrangan, bahkan ada yang menyindir
strategi yang lain. Bank Mandiri terlahir dari proses mager sendari dulu sering memberikan porsi pertumbuhan
anorganik lebih besar. Bahkan dalam Rencana Bisnis Bank Mandiri tahun ini telah
menyiapkan dana kurang lebih 10 Triliun (lebih dari setengah dari laba BMRI
tahun ini) guna menopang pertumbuhan anorganik, dengan rincian 3 triliun untuk
menggenjot permodalan anak perusahaan yang telah ada, dan 7 triliun untuk
mengakuisisi anak perusahaan yang lebih besar dari anak perusahaan yang telah ada (anak perusahaan Bank Mandiri: Bank Mandiri Syariah, Mandiri Sekuritas, Mandiri Tunas Finance, Bank Sinar Harapan Bali, AXA General Insurance, AXA financial Service, Bank Mandiri Europe Lmtd, Bank Mandiri International Remittance, dan yang terbaru InHealth insurance).
Bagaimana dengan rencana bisnis bank BRI? Beberapa hari yang
lalu bank jagoan kredit mikro itu mengumumkan telah membeli satelit seharga 2,5 triliun, mereka mengklaim
itu adalah satelit perbankan pertama di dunia. Hanya untuk menghubungkan sistem
dan jaringan ATM dan Cabang diseluruh Indonesia, BRI berani untuk berinvestasi
sebesar itu. Mereka tidak terlalu tertarik untuk ‘belanja’ perusahaan lain,
untuk menopang pertumbuhan bisnisnya, mereka fokus membenahi bank dari dalam. Luar
biasa sekali.
Lalu lebih baik mana organik atau anorganik?
Jika saya ditanya seperti itu, sebagai penggila bola saya
akan dengan mudah mengasosiasikan pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang paling familier didunia Sepakbola: Lebih baik sepakbola menyerang atau bertahan? Maka jika
pertanyaan itu yang mengemuka, jawabanya adalah faktor ‘Selera’ atau ‘Karakter’.
Seorang pemuja sepakbola bertahan pasti kekeuh dengan falsafah “bertahan adalalah
penyerangan terbaik”, sebaliknya pemuja Kick
And Rush atau Total Football
pasti menolak dengan lantang falsafah tersebut, “ bertahan itu membosankan”.
Bagi saya, pertumbuhan organik itu sama halnya dengan
sepakbola bertahan, pertumbuhan yang sedikit resiko, lebih ekonomis, namun konservatif.
Sedangkan pertumbuhan anorganik itu manifestasi sepakbola menyerang yang rentan
dengan resiko, menghabiskan banyak tenaga, namun seringkali penuh tepuk tangan.
Jadi sekali lagi tidak ada yang lebih baik, ini perkara ‘selera’ dan ’Karakter’.
Tapi sejujurnya saya lebih suka sepakbola Inggris daripada
sepakbola Italia.
Selesai
Semacam disclaimer: ini tulisan pertama saya mengenai
perbankan, tulisan pertama saya ketika telah resmi menjadi bankir (semoga bisa
disebut demikian karena saya telah mengantongi sertifikasi bankir level satu), tulisan
pertama saya sejak resmi meninggalkan bangku perkuliahan. Jadi bilamana banyak pemahaman
yang sekiranya keliru, analogi yang berlebihan, atau bahasan yang tak fokus
harap dimaklumi saja.
Sepertinya saya hanya sibuk
mencari pembenaran. Alangkah mulianya jika anda tak membaca paragraf sebelum
ini.
Selamat Hari Buruh Internasional,
semoga kelak ada Hari Kelas Menengah Internasional. Heuheu