ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

27 December 2014

Stand By Me

Adalah cinta yang mengubah jalanya waktu, karena cinta waktu terbagi dua, denganmu dan rindu kembali ke masa itu” – Rangga, Ada Apa Dengan Cinta, 2014

Malam ini saya ditinggal dua teman kos saya yang pulang lebih awal karena libur natal. Entah kenapa malam ini terjadi kegamangan yang amat sangat dalam diri saya. Bukan karena kesendirian saya malam ini, tetapi lebih karena saya tidak pernah ditinggalkan mereka berdua sebelumnya, biasanya saya yang lebih dahulu meninggalkan mereka. Ternyata ditinggal dan meninggal itu punya efek psikologis yang berbeda. Meskipun sekiranya sama-sama sendiri, efek ditinggalkan ternyata jauh lebih dalam ketimbang meninggalkan.

Hukum Newton 3: Syarat untuk mencapai sesuatu adalah meninggalkan sesuatu” – Interstellar.

Beberapa hari yang lalu, ketika saya baru saja pulang dari kampung halaman, saat itu menunjukan pukul sepuluh malam (mungkin lebih), saya hendak keluar membeli makan malam, namun uang di saku saya ternyata tak sampai sepuluh ribu, kebetulan saat itu berjarak 3-4 hari jelang gajian. Seketika saya mencari dompet untuk mengambil kartu ATM saya, saat itu saya cukup terkejut mendapati ada uang lebih dari dua ratus ribu dalam dompet saya. Sayapun langsung ingat ibu saya yang sedari sebelum berangkat memegang uang itu, namun karena saya selalu menolak ketika dikasih uang oleh ibu – lebih karena malu sudah bekerja namun dikasih uang dari seseorang yang tak lagi bekerja.

Ternyata usut punya usut, uang itu merupakan hasil penjualan mangga depan rumah saya, saya ingat sekali ibu saya bercerita dengan bahagianya menjual  4 pohon mangga dengan total 600 ribu rupiah. Bagi sebagian orang mungkin itu hal yang biasa. Namun bagi saya – terlepas ibu atau bukan yang memberi uang tersebut – memberikan  hampir separuh hasil bumi yang hanya satu tahun sekali panen kepada orang yang tak pernah meminta bagian itu luar biasa. Pesan singkat yang menambah haru malam itu dari ibu adalah: Lik, ibu naruh uang di dompet kamu, sekiranya tak usah ke ATM sampai hari gajian nanti, ibu cuma ingin berbagi bahagia ibu ketika dapet rezeki.

Parent are the future ‘ghost’ of their children” – Cooper, Interstellar.

Beberapa minggu yang lalu saya mendapat wejangan yang amat sentimentil dari area manager saya mengenai waktu dan relativitas. Beliau bercerita hal yang paling berharga saat ini bisa jadi adalah waktu. Beliau pun bercerita mengenai awal karirnya dulu beliau bekerja tidak sekeras sekarang dan dengan gaji yang bisa jadi lebih besar jika dilihat dari term off trade nya. Sekarang kita bekerja lebih keras, dari jam 7 pagi sampai kadang jam 7 malam bahkan lebih, namun mendapat imbalan/gaji yang (bisa jadi) lebih sedikit. Jangan-jangan kita mengalami penurunan kualitas hidup. Apa yang membuat kita melakukan hal seperti ini?

Pada akhirnya kita akan sadar bahwa waktu telah begitu dahsyat merubah way of life dan way of thinking kita.

We’ve always defined ourselves by ability to overcome the impossible, and we count these moments. The moments when we dare to aim higher, to break barriers, to reach for the star, to make unknown known. We count these moments as our proundest achievement. But we lost all that. Our perhaps we’ve just forgotten that we are still pioneers. And we’ve barely begun. And our greatest accomplishments cannot be behind of us, because our destiny lies above us” – Cooper, Interstellar, 2014.

Tapi sejujurnya meski dipenuhi kutipan film, tulisan pendek ini bukan soal film, tapi soal kehadiran orang-orang yang terdekat dan waktu yang akan merubahnya.

Time can be extended and flexes, but obviosly it can’t go back


Selesai.

17 November 2014

Satu Hal yang Masih Mengganjal pada Kenaikan Harga BBM Bersubsidi.

"Syarat mutlak sebuah benda mencapai tujuan/tempat tertentu adalah meninggalkan sesuatu (Hukum Newton) - Interstellar

Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.

Kali ini saya ingin bernostalgia, kembali ke masa dimana saya bebas menikmati menulis dan berdiskusi mengenai industri energi nasional. Sekarang saya sudah tak lagi punya banyak waktu untuk memikirkan banyak hal diluar pekerjaan saya. Karena mau tak mau, pekerjaan membuat pandangan saya dan banyak pekerja lainnya laksana memakai kaca mata kuda, kita dipaksa hanya bisa melihat kedepan (itupun kalau bisa) dan tidak diperbolehkan menengok ke kiri-kanan – selama belum ditemukan kaca mata kuda transparan.

Sabtu kemarin saya pulang menggunakan kereta menuju kampung halaman. Saat melewati sebuah stasiun, saya melihat kereta pengangkut bahan bakar minyak yang sangat panjang, saya sesaat terpaku melihat rangkaian kereta itu. Ada lebih dari 15 gerbong tanki minyak bertuliskan Pertamina, dalam benak saya saat itu adalah: kelak ketika harga BBM Bersubsidi naik dan mendekati harga keekonomianya (istilah populer yang sebenarnya dipaksakan), apakah Pertamina masih akan “besar” seperti ini?

Tulisan pendek ini, sebenarnya soal ke gusaran saya mengenai industri migas tanah air. Saya tak akan membahas mengenai 300 Triliun rupiah yang negara habiskan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) dalam satu tahun. Atau membahas kenapa Presiden justru menaikan harga BBM justru saat harga minyak dunia turun ke level 80 dollar perbarrel. Atau bahkan bahasan sepele soal pemerintah tak bisa lagi menggunakan bahasa “Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” karena kata “penyesuaian” itu lebih tepat jika harga minyak dunia tinggi sedangkan harga BBM kita rendah, yang akan saya bahas adalah soal monopoli alamiah Pertamina.

Sebenernya cukup terusik dengan hal sepele, jika nanti harga BBM Bersubsidi naik, lalu yang terjadi kemudian adalah spread (perbedaan/selisih) yang tak terlalu lebar antara harga BBM dari SPBU Lokal (Pertamina) dengan SPBU Asing yang ada di Indonesia (Shell, Petronas, Total). Bisa ditebak akhir dari cerita ini adalah runtuhnya monopoli alamiah oleh Pertamina atas Bahan Bakar Minyak.

Memang benar Pertamina tak dapat untung melimpah atas jualan premiumnya, namun patut di ingat Pertamina besar karena jualan premium-nya. Jika kini Pertamina sudah kalah telak di pertarungan industri hulu minyak, dimana hasil lifting minyak harian pertamina (23 persen produksi minyak nasional) kalah dengan Chevron (42 persen) dan Conoco Philips (25 persen). Akankah beberapa tahun kemudian perusahaan ini juga harus kalah di pertarungan industri hilir minyak?

Setidaknya ada 2 industri yang masih belum bisa banyak di-explore oleh investor asing di negeri ini. Keduanya kebetulan adalah sama-sama bidang energi. Industri pertama adalah minyak dan gas, sedangkan industri kedua adalah listrik. Kedua industri tersebut kurang menarik bagi investor asing karena ada perbedaan harga yang ditentukan oleh pemerintah – untuk industri kelistrikan lebih tertutup lagi, karena investasi untuk instalasi listrik bukan perkara yang mudah.  Namun, kini satu barrier to entry industri minyak di negeri ini sudah dipastikan terbuka besok pagi, bukan tidak mungkin industri kelistrikan juga akan menyusul kemudian. Pada akhirnya industri energi tanah air cepat atau lambat akan seperti industri perbankan saat ini, yang liberalisasinya sudah ada jauh sebelum didengung-dengungkanya liberalisasi ekonomi.

Saya tidak kecewa atau khawatir harga BBM bersubsidi dinaikkan, karena dana 300 Triliun untuk pos subsidi sangat luar biasa besar, bisa untuk membangun 30 stadion sepakbola termahal di dunia seperti Wembley. Saya hanya khawatir suatu saat nanti tak ada yang benar-benar bisa dikuasai oleh negeri ini. Tebakan saya ini akan terjadi jika setelah ini pemerintah juga akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDK).

Atau jangan-jangan kenaikan harga BBM ini hasil jualan presiden baru kita di 3 forum internasional minggu lalu: KTT APEC, ASEAN Summit, dan G-20. Saat itu presiden kita berulang kali menyebut: it's your opportunity? - undangan tersirat untuk masuk ke Indonesia.

Pada akhirnya anda tak harus sepakat atau percaya pada tulisan mengenai industri energi yang ditulis oleh seorang bankir, terlebih jika tulisan ini hanyalah sebuah nostalgia belaka.

It's your opportunity, but our warning, right?

15 November 2014

Balada Tukang Tagih (Part 1)




Saya meminta cinta, dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk dibantu” – Adib Suryawan.

Setidaknya ada dua hal yang membuat saya tergerak untuk menuliskan ini. Hal yang pertama adalah gambar di jejaring sosial mengenai dua ekor kelinci dimana salah satu kelinci mencibir kelinci yang lain karena dianggap tak seberuntung dirinya yang memperoleh daun wortel  yang ditanamnya lebih besar. Padahal buah wortel yang ada didalam tanah berbanding terbalik dengan daun diatasnya. Success is not always what you see. Hal kedua adalah karena saya dianggap tak mensyukuri pekerjaan saya sekarang.

Bagi para perintis karir baru, membandingkan antar pekerjaan adalah sudah bukan hal yang asing. Mungkin sudah menjadi hal yang lumrah, terutama bagi sesama pekerja baru saling menanyakan pekerjaan dan job desk, bahkan lebih ekstrim lagi menanyakan perihal insentif atau gaji. Ada yang sangat percaya diri menjelaskan job desk atau bahkan gaji, namu tak sedikit pula yang memendam kekecewaan, atau memendam rasa: kenapa saya tak seperti dia?

Mungkin anda pernah mengalami apa yang saya alami. Entah karena kerendahan hati, tingkat kejujuran yang cukup tinggi, saya jarang mendengar orang yang mencetuskan kalimat: I Love My Job! Ketika ditanya mengenai pekerjaan pertama mereka. Jawaban yang lebih sering saya dengar atas kesan dari pekerjaan mereka adalah: Ya begitulah, namanya kerja mana ada yang enak. Yang penting ngga menganggur dan gaji lumayan. Atau bagi yang pernah bekerja mereka biasanya menjawab: Dibandingkan dengan yang kemarin sih lebih enak yang ini. Meski diucapkan tanpa nada antusias.

“Jauh lebih mudah untuk berdecak kagum atas apa yang dimiliki orang lain, atas daerah asing yang bukan tempat tinggal kita, untuk menganggap sesuatu yang beda dan baru itu lebih bagus” – Margaretha Astaman.

Hegemoni para  perintis karir baru itu pun melanda saya.

Sekitar 6 bulan yang lalu, saya dan teman-teman sekelas saya yang tergabung dalam Officer Development Program sebuah Bank BUMN yang terdepan, terpercaya, tumbuh bersama Anda, harus (mau-tak-mau) memulai fase hidup baru. Moment yang paling menegangkan setelah lulus kuliah itu bernama: Penempatan. Singkat cerita waktu itu saya harus menerima bahwa hidup saya untuk beberapa tahun kedepan tak akan jauh-jauh dari label: Micro Collection Unit.

Setidaknya ada 3 alasan bagi saya untuk kaget pada awal pengumuman penempatan saya dan hari-hari awal saya menjalani peran baru saya. Alasan pertama, saya tak pernah mendengar sekalipun divisi/departement tersebut sebelumnya. Entah tak mendengar atau memilih untuk tak mendengar, minimal dalam rentang waktu 4 bulan saya mempelajari dunia perbankan - konon otak manusia hanya mengingat apa yang ingin ia ingat. Oleh karena saya tak ingin menginggat tentang divisi/unit Collection maka saya pun berkilah tak pernah mempelajari unit tersebut sebelumnya. Jangankan tau, ingat saja tidak.

Alasan kedua, bagi seorang knowledge worker (pembahasanya ada di 2 artikel sebelum ini) saya selalu mencintai hal-hal strategis, sedangkan Collection lebih banyak pekerjaan yang Clerical, dalam benak saya ini ngga jauh jauh dari white-collar worker, general office task, atau keeping record. Tanyakan pada teman sekelas saya atau teman kampus saya dulu. Betapa saya mencintai hal-hal yang bersifat data dan strategis. Bahkan sampai sekarang saya masih sering kepikiran kenapa struktur organisasi perusahaan saya berubah awal tahun nanti menjadi sedemikian rupa, padahal itu sama sekali bukan tugas saya.

Alasan yang terakhir, saya tak menyukai mikro. Didunia ini jika mau disederhanakan hanya ada dua jenis karakter orang, pertama yang menyukai mikro (detail, aplikatif, dan hal-hal kecil lainya) dan yang menyukai makro (konsep besar dan general theory). Sebagai lulusan ilmu ekonomi, karakter saya dapat dikenali dengan mudah, tengok saja transkrip lalu bandingkan nilai matakuliah Ekonomi Makro dan Mikro saya lebih bagus mana? Saya masih ingat nilai mikro saya tak pernah lebih tinggi dari B - (minus).

But, time changes.


Mungkin ini pekerjaan paling menantang bagi perintis karier baru di dunia perbankan. Tak ada tekanan yang lebih menantang dari pekerjaan ini. Saya tak mengatakan pekerjaan lain tak menantang, saya yakin setiap orang diberi batasan-batasan oleh Tuhan untuk diperjuangkan bahkan dilewati. Semua punya tantanganya sendiri. Namun, setidaknya saya merasa beruntung, diawal pekerjaan saya, saya mendapati tekanan dari empat sisi sekaligus, saya menyebutnya tekanan dari atas, bawah, kiri, dan kanan. Tekanan dari atas (atasan) jelas semua pekerja merasakanya. Tekanan dari bawah, tak semua pekerja memilikinya, apalagi memiliki 12 orang bawahan langsung di awal karier seperti saya. Dari kiri saya menyebutnya tekanan dari rekan kerja, dalam hal ini business unit (karena saya hanyalah seorang supporting unit).  Dan tekanan terakhir tekanan dari kanan adalah tekanan dari debitur-debitur bermasalah, karena selalu ada masalah disetiap debitur bermasalah. Tak ada perintis karir seberuntung saya.

Tak hanya itu. Pekerjaan saya sekarang sangat membutuh strategi dan managing people. Sesuatu yang saya dambakan sejak dulu. Saya menyukai hal yang berbau strategic planing, dan saya juga menikmati managing people. Sedari awal saya masuk perusahaan ini saya mendambakan posisi di bagian Strategic Performance and Management, namun pekerjaan saya sekarang juga tak kalah menantangnya untuk menyusun strategi terbaik dalam penagihan, meskipun strategi yang saya pikirkan bukan strategi bank-wide.

Saya pun menyadari ternyata pekerjaan ini juga sangat makro. Benar pekerjaan saya mengenai tukang tagih mikro, namun analisis yang saya gunakan sangat makro. Karena tiap hari saya menganalisis portofolio yang bersifat mass product, saya dapat melihat behavior debitur dalam level makro.

Saya mulai menikmati pekerjaan ini karena saya bisa menjadi motivator tiap harinya. Profesi sebagai motivator belakangan menjadi tenar karena banyak orang membutuhkan stimulus dari pihak luar (eksternal) atas permasalahan hidup yang semakin komplek. Namun bagi seorang motivator, kita takk dituntut untuk dapat mengatasi semua kompleksitas hidup, yang dituntut oleh motivator adalah membaca dan menyelami kehidupan dengan baik. Kita tidak bisa melakukan semuanya dengan benar namun setidaknya kita dapat membaca dan melihat orang lain melakukan sesuatu dengan benar. Saya menikmati proses itu.

Pada akhirnya saya tak perlu meminjam mata orang lain untuk melihat begitu beruntungnya kehidupan dan pekerjaan saya sekarang.


Bisa jadi frasa: Tuhan tak selalu memberi apa yang kita inginkan namun tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan, itu memang benar adanya. Bukan sekedar pembenaran oleh seorang yang telah putus asa.

26 September 2014

Walkout: The New Political Gimmick

Banyak orang bisa membedakan pembimbing dengan bimbingan, pengarah dengan arahan, tapi tak bisa membedakan Pemimpin dan Pimpinan” –  Sudjiwo Tedjo

Saya terbiasa mengawali tulisan dengan kutipan dan alasan kenapa saya menulis sebuah tulisan. Namun kali ini saya belum menemukan alasan yang kuat kenapa saya memaksakan untuk menulis. Jadi saran saya baca saja sampai akhir, atau tidak membacanya sama sekali.

Berbicara mengenai politik pasti sebagian besar masih ada yang menganggap politik itu kotor, namun tenang saja sebisa mungkin saya berusaha ketika anda membaca tulisan ini anggota tubuh anda tidak ada yang belepotan atau baju anda yang ternoda karena kandungan politik di tulisan ini cukup kentara. Jika anda mengijinkan, saya hanya akan mengotori pikiran anda.

Saya memilih isu walkout karena sedang memang populer. Sesederhana itu. Bagi saya mengangkat isu yang sedang populer lebih mudah dalam merangkai antar ide dan gagasan daripada mengangkat isu yang tak lagi populer. Meski sejujurnya topik populer atau tidak tak mempengaruhi jumlah pembaca blog saya. Saya bukan orang terkenal.

Oke cukup. Seharusnya anda tidak membaca 3 paragraf diatas, karena tulisan mengenai era baru perpolitikan di Indonesia sesungguhnya berawal dari paragraf setelah ini. Jika anda sudah terlanjur membaca, anggap saja sebuah foreplay yang akan mempengaruhi hasrat membaca anda sampai puncak atau tidak.

Ketika saya ditanya sejak kapan saya menyukai dunia politik saya akan dengan cepat menjawab tahun 1999 saat sidang istimewa MPR dengan agenda pemilihan presiden. Sama ketika saya ditanya sejak kapan menggilai Manchester United, saya akan dengan cepat menjawab, saat final liga Champions 1999 ketika 2 gol telat menghantarkan  Setan Merah mengalahkan Bayern Munich 1-2 di Camp Nou. Mungkin keluarga saya baru beli televisi tahun itu juga (1999).

Kembali ke topik.

Saya sangat ingat sekali manuver politik yang dilakukan oleh Poros Tengah kala itu. Ketika sebenarnya ada 3 calon presiden saat itu Abdurahman Wahid, Megawati, dan Yusril Ihza Mahendra. Namun di detik-detik jelang pemungutan suara, Yusril Ihza Mahendra mendadak interupsi untuk mengundurkan diri dari calon presiden. Belakangan terkuak bahwa manuver tersebut adalah settingan oleh Poros Tengah untuk memuluskan jalan Abdurrahman Wahid menjadi kepala negara.

Setelah itu saya sangat tertarik pada gimmick-gimmick politik negeri ini seperti: banyak orang yang tidak tau saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden statusnya belum menjadi ketua Partai Golkar. Ketika beliau terpilih menjadi wakil presiden tak lama setelah itu beliau ditunjuk sebagai ketua partai Golkar. Saat itu saya menyebut manuver Golkar tersebut dengan sebutan membeli golden ticket jadi incumbent.

Gimmick lain yang saya ingat baik adalak ketika pemilu 2004 juga, saat itu sama seperti sekarang ada debat capres, namun lebih ramai saat itu karena tidak dilakukan dengan peraturan seketat sekarang. Dari serangkaian debat capres yang selalu hadir adalah pasangan Amien Rais – Siswono dan pasangan SBY – JK. Padahal saat itu ada 5 pasangan capres-cawapres. Yang paling sering tidak hadir undangan debat capres adalah Megawati, seingat saya hanya sekali itupun karena kritikan bertubi-tubi tak berani menghadiri acara debat, jadi mungkin beliau lelah.

Saya juga ingat betul prosentase suara yang diperoleh Amien Rais – Siswono di tahun 2004, hampir sama dengan prosentase suara yang diperoleh pasangan Jusuf kalla – Wiranto di tahun 2009, yaitu sebesar 14 persen. Ironisnya basis pemilih dua pasang itu sama yaitu mahasiswa, keduanya menang telak di Yogyakarta dan Depok serta daerah kampus lainnya. Sampai akhirnya saya berhipotesis kaum intelektual yang melek politik di negeri ini hanya 14 persen. Semoga hipotesis saya salah.

Akhirnya tiba saat gimmick politik terbaru yang lagi hangat. Aksi walkout Partai Demokrat.

Saya sengaja menulis tulisan ini dengan tidak didahului oleh menonton televisi sejak 2 hari yang lalu. Karena pasca pilpres kemarin menonton televisi itu merupakan sebuah ketakutan tersendiri. Ketakutan atas independensi cara pandang dan keberpihakan argumen. Seharusnya sih saya sadar dari dulu jika keberpihakan media itu sudah ada lewat keberpihakan individu jurnalis dan pimpinan media. Karena manusia tak ada yang bisa benar-benar independen.

Setidaknya ada beberapa poin penting sorotan saya mengenai kisah walkout dan sidang paripurna MPR mengenai penetapan UU Pilkada dimana telah dicapai kesepakatan melalui voting bahwa Pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.

Pertama, aksi walkout Fraksi Partai Demokrat (FPD) dua hari yang lalu merupakan pertunjukan politik yang cantik − saya tak pernah memuji Partai Demokrat sebelum ini. Terlepas dari benar atau salah, sikap FPD tersebut telah memukul telak Fraksi lawan mereka selam 10 tahun ini (FPDIP). Berulangkali FPD sebagai incumbent ‘dikadali’ oleh fraksi oposisi, masih ingatkah pansus century atau sidang paripurna kenaikan harga BBM? Siapa dalang penggagas keduanya kalau bukan dari oposisi. Kali ini FPD giliran memukul balik calon incumbent. Atau mungkin sudah tradisi oposisi menggertak incumbent di Senayan?

Kedua, terlepas dari poin pertama, sebenarnya saat ini FPD tengah terbelah karena menjalankan perannya sebagai partai penyelenggara pemerintahan dengan peran sebagai calon oposisi. Jadi satu kaki mereka sudah diluar, namun satu kaki lagi masih ada didalam. Apapun yang diambil FPD bisa menjadi bahan serangan bagi lawan politik.

Ketiga, Entah kenapa yang beredar luas di media sosial 2 hari ini adalah keputusan ini adalah kemunduran demokrasi. Memang, saya sebenarnya cenderung mendukung pemilihan langsung kepala daerah, namun faktanya undang-undang kita menganut sistem demokrasi kepartaian sejak dahulu kala. Jadi setahu saya (mohon dikoreksi jika saya salah di bagian ini, khususnya orang hukum silahkan beri pencerahan), harusnya yang salah itu yang mencetuskan pemilihan secara langsung karena itu sesungguhnya melanggar hakekat sila ke-empat, yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Cukup baca kata terakhir sila ke-empat saja.

Keempat, penelitian oleh dosen saya yang menyebutkan partai politik adalah dalang dari sebagaian besar kasus korupsi di negeri ini itu benar adanya. Saya menyakini hal ini. Karena partai politik adalah mesin demokrasi, layaknya mesin kebanyakan, butuh energi untuk menjalankanya dan menghidupi anggotanya. Padahal partai politik bukanlah badan usaha yang bebas mencari energi itu dimana saja, maka muncul lah dana-dana yang tak seharusnya ada. Namun, ketika anda mendebat pilkada langsung atau lewat DPRD dengan alasan ini, kita tidak sedang membicarakan jika naik bus itu tidak aman maka kita jangan naik bus. Kepala daerah buruk bukan soal cara pemilihannya. Ada pemilihan proksi (jika dalam penelitian) yang salah jika anda menggunakan alasan tersebut.

Parpol busuk? Karena terlalu banyak orang baik yang ingin meraih surga sendirian” − Dzulfian Syafrian

Kelima, jika disuruh menuliskan hal positif mengenai pilkada melalui DPRD, saya dengan gampang menyebut setidaknya partai politik kini ada gunanya lagi (baca: penguatan partai politik sebagai fondasi demokrasi). Oleh karena itu kita harus lebih aware terhadap pilihan partai politik dan yang mewakili kita. Membela pendapat dengan membela orang yang berpendapat itu berbeda.

Terakhir, bagi saya logika sangat keliru adalah ketika menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah Wakil Rakyat. Ini hampir sama dengan poin kedua diatas. Kalau Saya tidak ingin hanya orang-orang yang populer saja di mata masyarakat yang berhak berada di tampuk pimpinan, saat dimana tak ada lagi filter dan manuver-manuver politik cantik seperti saat tahun Sidang Istimewa 1999.

Lagian jika semuanya dipilih oleh rakyat apa bedanya pemimpin negeri ini dengan Indonesian Idol? Tidak selamanya menang secara jumlah itu menang secara kualitas.

Pada akhirnya, kelak jika keputusan sidang paripurna Kamis malam lalu bakal diimplemetasikan, setidaknya ada tiga pihak yang pasti akan dirugikan, yaitu lembaga survei (quick qount) bayaran, percetakan kertas suara dan tukang sablon kaos, sticker, baliho.

Heuheuheu....

15 July 2014

Der Panser 2014: A Beautiful Process


"Getting bigger by getting better, we don't get better by getting bigger" - Edwin Gerungan, Mantan Komisaris Bank Mandiri

Entah kenapa saya sangat mengagumi kutipan diatas, bukan karena saya dengan pak Edwin menperoleh gaji dari perusahaan yang sama, namun saya merasa kutipan tersebut sangat mewakili indahnya sebuah proses jika dijalani dengan sebaik-baiknya. Kita menjadi besar karena kita lebih baik, namun kita tidak akan menjadi lebih baik karena kita menjadi besar.

Begitulah kira kira intro dari tulisan saya ini, sekaligus menggambarkan kesuksesan Timnas Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 buah dari proses panjang yang sangat indah menurut saya. Setidaknya poin-poin dibawah ini bisa menggambarkan kalo Tim ini tidak dibangun dengan instan. Cekidot:

Pertama, seingat saya titik balik kecemerlangan sepakbola Jerman pada awal millennium ke-3 ini adalah kala Tim Jerman gagal lolos fase grub di Piala Dunia 2004. Kala itu Jerman gagal bersaing dengan Republik Ceko dan Belanda yang akhirnya keduanya lolos

Ke fase knock out. Sebagai tim yang punya tradisi sepakbola yang agung, Jerman tak terima jika lolos fase grub di sebuah turnamen besar. Saat itulah reformasi sepak bola Jerman dimulai ketika federasi sepakbola Jerman (DFB) menunjuk pelatih yang belum pernah menangani sebuah club ataupun timnas, Jurgen Klismann. Perjudian yang luar biasa.

Kedua, perjudian DFB ternyata sukses besar, Jurgen Klismann berhasil membuat cetak biru bagi sepak bola Jerman, yang dilakukannya saat itu adalah membuat grand strategy dan menu latihan untuk timnas Jerman dan kemudian menyebarkanya ke seluruh tim yang ada di Bundesliga agar memberi porsi menu latihan tersebut. Hasilnya siapapun dan dari klub manapun di Bundesliga yang dipanggil ke Timnas Jerman akan langsung nyetel dengan latihan dan strategi Die Nationalmannchaft karena kurikulum nya sudah pernah diajarkan di level club. Jenius.

Ketiga, DFB merupakan federasi dengan tingkatan yang paling banyak. Tercatat tidak kurang ada 27 tingkatan yang terdaftar dan diatur oleh DFB dari tingkatan paling amatir kelas ‘tarkam' sampai Bundesliga 1 yang berisi pemain kelas satu di negeri asal dari Adolf Hitler tersebut. Sebuah pembinaan sepakbola yang sangat tersetruktur.

Keempat, Jerman merupakan negara yang sangat melek teknologi. Bukan soal Mercedez Benz, BMW atau Volk Wagen, namun teknologi aplikatif dalam sepakbola. Masih ingat dengan Footbonaut yang popular seiring kesuksesan Borussia Dortmund melenggang ke final Liga Champions 2013 lalu. Footbonaut adalah sebuah mesin yang mampu meningkatkan teknik pemain bola dengan melontarkan bola ke pemain yang kemudian harus menembakan ke 64 panel acak yang akan menyala random. Teknologi seharga 3 juta dolar AS ini sukses meningkatkan kontrol, stamina, kecepatan dan kualitas umpan para pemain Dortmund. Tak Cuma itu, teknologi selanjutnya adalah Match Insight besutan SAP (raksasa teknologi Jerman). Teknologi tersebut merupakan sebuah dashboard yang berisi seluruh data pemain yang ada di Bundesliga. Data yang disajikan cukup komplit seperti passing, daya jelajah pemain, lama menyentuh bola, dan masih banyak data lainya. Oleh karena teknologi ini Joachim Low tak mungkin salah ambil pemain.

Kelima, Timnas Jerman sejak era Klismann selalu menekankan kolektabilitas tim sebagai filosofi permainan. Tak ada pemain yang benar-benar menjadi kartu AS, kalrena semua pemain di tim Jerman punya peran dan kontribusi masing-masing. Tak heran anda pasti akan kebingungan jika disuruh menyebutkan bintang di Timnas Jerman 10 tahun terakhir ini? Mesut Ozil? Schweinsteiger? Manuel Nuver? Philip Lahm? Ada yang bisa menyebutkan bintang seperti Neymar di Brazil, Ronaldo di Portugal atau Messi di Argentina pada timnas Jerman? 

"Apa yang kami raih hari ini tak bisa dipercaya. Selama 120 menit kami bekerja bersama-sama sebagai tim. Tidak penting anda punya pemain terbaik, karena yang anda butuhkan adalah tim terbaik" - Phillip Lahm, seusai pertandingan final lalu.

Keenam, keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia datang dari sukses mengembangkan sistem pembinaan pemain. Sebelum bertakhta di Piala Dunia 2014, separuh skuat Die Mannschaft menjuarai Piala Eropa U-21 di tahun 2009. Mereka adalah Manuel Neuer, Jerome Boateng, Matt Hummels, Benedikt Hoewedes, Khedira, Mesut Ozil. Mereka sudah berada di tim yg sama selama 5 tahun!

Ketujuh, sumber dana yang luar biasa besar untuk sepakbola Jerman. Bayangkan saja, ketika semua tim sibuk menyewa dan mendaftar kriteria basecamp untuk hotel, pusat kebugaran dan latihan di Brazil saat piala dunia lalu. Negara ini justru sudah mempersiapkanya lebih dari 6 bulan yang lalu dengan membuat semua fasilitasnya sendiri termasuk jalan menuju pusat latihan itu. Jika hanya untuk turnamen selama satu bulan Negara harus membangun fasilitas latihan sendiri dinegara lain, apa yang akan anda simpulkan? Orang kaya buang-buang duit!

Terakhir, anda boleh setuju dengan saya atau tidak, tapi faktor penyempurna kisah sukses mereka adalah Kanselir Angela Markel. Wanita nomer satu di Negara itu tak sungkan untuk menonton di tribun penonton ketika timnas Jerman bertanding. Tak hanya itu, Angela Markel bahkan sering masuk ke ruang ganti pemain dan memberikan motivasi langsung sesaat sebelum Jerman bertanding. Puncaknya di final kemarin tak hanya Angela yang datang, Presiden Jerman juga hadir di Maracana Stadion. Kepedulian pemimpin negara sangat penting untuk motivasi pemainya di lapangan. Leader always makes perfect.

Kombinasi 7 poin perjalanan panjang Tim Panser jerman menuju bintang yang keempat diatas logo federasi sepakbolanya memang menunjukan cerita manis di Maracana lalu itu tak mudah. Jerman menjadi besar seperti sekarang karena Jerman selalu lebih baik dan belajar tiap kali turnamen yang mereka ikuti, skuad jerman tahun ini tak sehebat Jerman 2012 atau 2010, namun prestasinya justru lebih tinggi, karena mereka belajar dari pengalaman.

Akan tetapi, terlepas dari serangkaian proses indah Timnas Jerman, saya hanya mau menekankan yang paling penting tentu saja segala cerita indah mengenai proses Timnas Jerman ini tak akan bisa dituliskan dengan indahnya jika tim ini tak menjuarai piala dunia. Seperti kutipan dari tokoh idola saya Dahlan Iskan:

"Jadi kalau bekerja orientasinya harus kepada hasil, jangan pada proses, kelihatanya sibuk sekali tapi menghasilkan atau tidak?"

Oh iya karena saya orang yang menghargai proses tak seharusnya saya menulis tulisan ini saat jam kerja, karena ini bukan ‘proses' saya. Maafkan saya pak direktur. 

Weltmeister Die Nationalmannschaaft!

06 May 2014

Sebuah Cerita dari Negeri Dongeng Bertajuk Konsolidasi Perbankan (Part 1)

“Sebagian besar dari kita hanya mau melakukan empat hal: Bayar pajak, nyoblos, mengkritik, atau memuji. Tapi kalo untuk terlibat? Kalau bisa, tidak usah”  - Anies Baswedan

Mungkin Pak Anies berlebihan, yang saya tau sebagaian besar orang di negeri ini adalah mereka yang: terpaksa-bayar-pajak, nyoblos-kalau-ada-amplop, lalu-mengkritik-dan-memuji-dengan-membabi-buta. Padahal menurut hemat saya orang yang tak membayar pajak tak etis bila mengkritisi program pemerintah, begitu pula dengan orang yang tidak menggunakan hak nya dalam pemilu seharusnya juga tak punya hak untuk menghujat pemimpin terpilih. Tapi di negeri dongeng yang kita cintai ini semuanya ada dan bisa terjadi.
Jika pak Anies saya katakan berlebihan maka judul tulisan ini justru kurang berlebihan. Saya kesulitan mencari analogi mengenai sebuah negeri yang nyaris mirip kahyangan, dimana ide-ide briliant berserakan, mimpi-mimpi luhur bertaburan dan segala bentuk khayalan yang lain ada di sini, yang terpikirkan saya selama satu jam terakhir ini hanyalah frase negeri dongeng, seharusnya bisa lebih tendensius.

Tulisan ini lahir sebagai bentuk ke-geram-an saya ketika saya mendengar ada beberapa pengamat yang berujar “Kalau itu memang direncanakan dengan matang kan seharusnya dibicarakan kemarin-kemarin dong, bukan menjelang pemilihan presiden seperti sekarang ini”  saat ditanya isu konsolidasi perbankan yang menyeruak satu bulan terakhir ini. Saya pun tertenduk lesu.

Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi saya masih ingat betul ketika mata kuliah ekonomika bisnis, dosen saya saat Tony Prasetiantono (Chief Economies BNI 46 kala itu) dengan percaya diri memaparkan data perbankan di ASEAN kala itu (sekitar 2-3 tahun yang lalu) dan saya juga masih ingat beliau berujar: dalam arsitektur perbankan indonesia sebenarnya kita diamanatkan hanya memiliki satu-dua state-owened-bank, dan beberapa bank swasta, dan bank daerah (total jumlah bank ideal menurut API 2004 sekitar 30an) padahal sekarang jumlah bank yang ada di negeri ini sekitar 130an bank! Saya kira mahasiswa ilmu ekonomi, manajemen atau akuntansi yang berminat di bidang financial and banking tahu mengenai fakta ini.

Jadi saya tegaskan konsolidasi perbankan itu bukan berita baru, ini cita-cita mulia dari praktisimaupun otoritas perbankan sejak dulu kala, ketika bank di negeri ini mulai tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan. Selama itupula para praktisi perbankan mendambakan sebuah lembaga keuangan yang kuat dan mengakar agar tak mudah tumbang. Entah ini sudah berapa puluh atau ratus orang yang menulis artikel mengenai topik ini, saya tak peduli, anggap saja ini adalah kontribusi saya atas isu ini.

Saya juga ingat sekitar setengah tahun yang lalu, ketika di kampus saya mengadakan CEO’S Mengajar, kalau saya tak salah (saya justru lupa nama acaranya) tapi saya ingat kutipan dari Pak Budi Gunadi Sadikin, Dirut Bank Mandiri yang menjadi keynote speech di  acara tersebut, beliau berujar seperti ini “Kalo perbankan di Indonesia mau unggul mau jadi leader di nasional atau regional, kita musti bersatu, ngga bisa kita berjuang sendiri-sendiri, padahal kelemahan kita selama ini adalah susah bersatu

Sumber: Statistik Keuangan Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, diolah oleh: srikripik.wordpress.com

Sekedar pemanis tulisan: Data terbaru dari Bank Mandiri, dari sisi modal, perbankan yang modalnya paling besar di ASEAN berasal dari Singapura yang masuk 3 besar. Bank itu adalah DBS dengan jumlah modal US$ 26,5 miliar, diikuti dengan UOB US$ 19,2 miliar, dan OCBC dengan modal US$ 18 miliar. Sementara dari sisi kapitalisasi pasar, bank terbesar di ASEAN adalah DBS asal Singapura dengan nilai US$ 33,1 miliar dan diikuti oleh OCBC dengan nilai US$ 27,7 miliar. Sementara dari sisi aset, 3 bank Singapura juga menempati 3 besar di ASEAN, yaitu DBS dengan aset US$ 318,4 miliar, OCBC dengan aset US$ 268,1 miliar, dan UOB dengan aset US$ 225,2 miliar. Data ini mengingatkan saya pada iklan minuman ringan, apapun kriterianya (Assets, Market Cap, Capital) yang terbesar tetap bank dari Singapura.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, ketika beberapa bulan yang lalu menteri BUMN Dahlan Iskan mencetuskan (kembali) ide konsolidasi perbankan dengan diawali dengan Marger Bank Mandiri dengan Bank Tabungan Negara, serta Bank Rakyat Indonesia yang akan di merger dengan PT. Pegadaian, banyak pihak mengkritik membabi-buta. Bahkan berita terbaru, akuisisi dipastikan gagal, sang mentri bahkan dicap hanya melakukan manuver politik jelang pemilihan presiden. Saya sedih.

Undzur Ma Qolaa Walaa tandzur man qolaa..

Hadist yang berarti “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan” diatas setidaknya bisa mencerminkan ketakutan saya mengenai kasus ini. Saya takut yang ditentang disini adalah soal personal, pembawa ide, bukan dari ide itu sendiri. Saya akan paham dan mengerti jika yang terjadi memang pertarungan ide dan gagasan, saya juga mulai menyadari jika bank besar tidak serta merta dikatakan efisien. Namun marilah bersama-sama berpendapat tanpa melihat siapa yang memberikan pendapat, tapi melihat pendapat itu sendiri.

Pada akhirnya, kita harus meyakini bahwa: manusia hanya bisa berencana, politikus yang menentukan.

(Mungkin belum) Selesai.


01 May 2014

Dikotomi Pertumbuhan Bisnis Bank: Organik dan Non Organik?

“Pertumbuhan organik adalah tingkat ekspansi bisnis melalui peningkatan output dan penjualan.” -Peter F Drucker

Sejujurnya saya lebih tertarik dengan ‘temuan’ Peter F Drucker mengenai knowledge worker daripada kutipan diatas, namun untuk kepentingan kesesuaian dengan judul tulisan saya memutuskan untuk menaruhnya di awal dan untuk kepentingan kesamaan saya juga akan sedikit menjelaskan tentang knowledge worker.

Dalam bukunya yang berjudul Landmark of Tomorrow yang terbit ditahun yang sama dengan terbitnya Dekrit Presiden Soeharto itu (1959), bapak manajemen modern tersebut menjelaskan panjang lebar mengenai istilah pekerja intelektual, namun secara singkat knowledge worker adalah seseorang yang dipekerjakan berdasarkan pengetahuannya tentang subyek tertentu, bukan berdasarkan keterampilannya membuat atau mengerjakan sesuatu. Sebagai seorang pekerja yang tak terlalu hebat soal pekerjaan teknis dan tak terampil administrasi, saya merasa telah ditunjukkan sebutan yang tepat untuk pekerja seperti saya ini, terimakasih Ducker!

Kembali ke benang merah.

Seperti kita ketahui setiap awal tahun bank-bank besar selalu mengadakan pertemuan yang dinanti untuk disimak hasilnya oleh para pemangku kepentingan dan pengamat perbankan. Adapun pertemuan awal tahun (sebut saja Rapat Umum Pemegang Saham) memiliki setidaknya dua agenda penting yaitu paparan pencapaian keuangan dan Rencana Bisnis Bank (RBB), keduanya menarik, tapi bagi knowledge worker yang menyukai strategi seperti saya ini, saya lebih tertarik pada point yang kedua. Rencana Bisnis Bank menarik karena mengajak kita untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi di perusahaan ini dimasa mendatang.

Pada pertemuan yang membahas mengenai Rencana Bisnis Bank, biasanya ada dua strategi besar yang paling mudah digunakan oleh praktisi ataupun pengamat untuk menggambarkan pola bisnis yang akan dilakukan pada masa mendatang, yaitu pertumbuhan organik dan anorganik.

Metode pertumbuhan organik adalah pertumbuhan dari dalam atau pertumbuhan yang  mengharuskan perusahaan untuk memaksimalkan sumber daya internal mereka. Dalam kata lain merupakan strategi pertumbuhan perusahaan yang menggunakan pendanaan dari dalam, berasal dari akumulasi laba yang ditahan ditambah dengan hutang.

Sedangkan pertumbuhan anorganik merupakan strategi yang mengandalkan pertumbuhan dari luar perusahaan, atau strategi perseroan untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat jaringan sebagai konglomerasi lembaga keuangan.

Terkadang ketika saya tak fasih menjelaskan definisi, maka saya akan langsung saja menuju contoh.

Di negeri yang kita cintai ini ada 2 BUMN besar yang merupakan perwakilan sempurna untuk pembedaan dua strategi bisnis bank tersebut, yaitu Bank Rakyat Indonesia yang bangga dengan pertumbuhan organiknya dan Bank Mandiri bank-yang-sejak-dulu-kala-percaya-diri-dengan-pertumbuhan-anorganik.

Mari kita simak pendapat dari masing masing kubu mengenai strategi perseroannya.

"Kita akan meningkatkan bisnis secara anorganik dalam tiga tahun ke depan, Sehingga dapat menjaga performa bisnis perseroan secara keseluruhan. Pertumbuhan anorganik merupakan strategi perseroan untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat jaringan sebagai sebuah lembaga keuangan terbesar" – Pahala N Mansury, Direktur Keuangan Bank Mandiri.

Fokus kami mengembangkan pertumbuhan organik dalam arti kata memperluas dan menjangkau pasar yang belum tersentuh. Kami tetap concern ke pertumbuhan organik, jangan sampai kita mengembangkan bisnis anorganik tapi lalai untuk memperbesar fokus bank. Jadi kami sangat fokus kembangkan BRI dari dalam dulu.” Sofyan Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia.

Jelas tergambar keduanya bersebrangan, bahkan ada yang menyindir strategi yang lain. Bank Mandiri terlahir dari proses mager sendari dulu sering memberikan porsi pertumbuhan anorganik lebih besar. Bahkan dalam Rencana Bisnis Bank Mandiri tahun ini telah menyiapkan dana kurang lebih 10 Triliun (lebih dari setengah dari laba BMRI tahun ini) guna menopang pertumbuhan anorganik, dengan rincian 3 triliun untuk menggenjot permodalan anak perusahaan yang telah ada, dan 7 triliun untuk mengakuisisi anak perusahaan yang lebih besar dari anak perusahaan yang telah ada (anak perusahaan Bank Mandiri: Bank Mandiri Syariah, Mandiri Sekuritas, Mandiri Tunas Finance, Bank Sinar Harapan Bali, AXA General Insurance, AXA financial Service, Bank Mandiri Europe Lmtd, Bank Mandiri International Remittance, dan yang terbaru InHealth insurance).

Bagaimana dengan rencana bisnis bank BRI? Beberapa hari yang lalu bank jagoan kredit mikro itu mengumumkan telah membeli satelit seharga 2,5 triliun, mereka mengklaim itu adalah satelit perbankan pertama di dunia. Hanya untuk menghubungkan sistem dan jaringan ATM dan Cabang diseluruh Indonesia, BRI berani untuk berinvestasi sebesar itu. Mereka tidak terlalu tertarik untuk ‘belanja’ perusahaan lain, untuk menopang pertumbuhan bisnisnya, mereka fokus membenahi bank dari dalam. Luar biasa sekali.

Lalu lebih baik mana organik atau anorganik?

Jika saya ditanya seperti itu, sebagai penggila bola saya akan dengan mudah mengasosiasikan pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang paling familier didunia Sepakbola: Lebih baik sepakbola menyerang atau bertahan? Maka jika pertanyaan itu yang mengemuka, jawabanya adalah faktor ‘Selera’ atau ‘Karakter’. Seorang pemuja sepakbola bertahan pasti kekeuh dengan falsafah “bertahan adalalah penyerangan terbaik”, sebaliknya pemuja Kick And Rush atau Total Football pasti menolak dengan lantang falsafah tersebut, “ bertahan itu membosankan”.

Bagi saya, pertumbuhan organik itu sama halnya dengan sepakbola bertahan, pertumbuhan yang sedikit resiko, lebih ekonomis, namun konservatif. Sedangkan pertumbuhan anorganik itu manifestasi sepakbola menyerang yang rentan dengan resiko, menghabiskan banyak tenaga, namun seringkali penuh tepuk tangan. Jadi sekali lagi tidak ada yang lebih baik, ini perkara ‘selera’ dan ’Karakter’.

Tapi sejujurnya saya lebih suka sepakbola Inggris daripada sepakbola Italia.

Selesai

Semacam disclaimer: ini tulisan pertama saya mengenai perbankan, tulisan pertama saya ketika telah resmi menjadi bankir (semoga bisa disebut demikian karena saya telah mengantongi sertifikasi bankir level satu), tulisan pertama saya sejak resmi meninggalkan bangku perkuliahan. Jadi bilamana banyak pemahaman yang sekiranya keliru, analogi yang berlebihan, atau bahasan yang tak fokus harap dimaklumi saja.

Sepertinya saya hanya sibuk mencari pembenaran. Alangkah mulianya jika anda tak membaca paragraf sebelum ini.

Selamat Hari Buruh Internasional, semoga kelak ada Hari Kelas Menengah Internasional. Heuheu