ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

30 June 2013

Hampir Empat Tahun: Ini Kenangan Saya, Mana Kenangan Kamu?



"Sejarah diawali dengan lelucon dan diakhiri dengan tragedi, atau bisa sebaliknya" ― Argo

Entah kenapa sebagian orang di dunia ini masih mendefinisikan nostalgia itu adalah urusan asmara. Dalam pemahaman dangkal saya, anda seperti menyebut ‘Coca-Cola’ jika ditanya mengenai apa yang terlintas di benak anda ketika saya menyebut minuman ringan ― padahal didunia ini banyak sekali minuman ringan yang lebih nikmat ketimbang Coca-cola. Jika anda sepakat minuman ringan didunia tak hanya Coca-cola, seharusnya anda sepakat dengan saya bahwa nostalgia itu tak hanya mengenai kisah percintaan antar anak manusia. Kalaupun ada kisah percintaan dalam tulisan ini, saya pastikan itu hanya kisah cinta saya pada kehidupan.

Siang tadi saya mencoba merapikan kamar kos saya (sejujurnya saya tak merapikannya sendiri) yang sudah tak lagi seperti kamar kos. Saya menemukan fakta bahwa penyebab penuhnya kamar kos saya dengan inferior goods adalah karena saya seorang kolektor kenangan. Jika dalam film my name is khan, Shahrukh Khan membawa papan bertuliskan “Repair Almost Anythings” mungkin jika saya yang memerankan peran itu saya akan menggantinya dengan tulisan “Collect Almost Anythings”.

Saya cukup kaget mendapati beberapa temuan saya dalam prosesi bersih-bersih tadi: semua kartu ujian kuliah saya selama 8 semester ini lengkap tak ada yang raib satupun, hampir semua id card yang pernah saya dapatkan pun masih lengkap dengan tali nya, transkrip nilai dari tiap semester ― namun sengaja tidak ditampilkan di foto karena masalah etika saja, bagi saya transkrip itu ibarat slip gaji, dan masih banyak temuan akademik lain seperti: Tiket nonton XXI selama 4 tahun ini yang cukup panjang jika di letakan memanjang, tumpukan (sampah) selebaran dari pameran komputer, dan price tag dari jersey-jersey non ori koleksi saya yang sebenarnya tak seberapa banyak.

Tak terasa sudah hampir 4 tahun saya menjalani salah satu impian saya. Bukan waktu yang singkat, bukan waktu yang lama juga untuk dilalui. Banyak pelajaran yang telah saya dapatkan, namun banyak pula yang saya lewatkan. Jika dulu saya memulainya dengan sebuah keajaiban, entah saya akan mengakhiri perjalanan saya disini seperti apa, saya belum tau akhir dari sejarah ini.

Bagi saya moment 'bersih-bersih', apapun bentuknya itu, adalah momen yang tepat untuk mengingat seberapa jauh kita melangkah sejauh ini. Membuangnya atau menyimpanya adalah pilihan bagi setiap orang. Membuangnya berarti anda siap untuk mendapatkan space kosong untuk menyimpan banyak hal baru, sedang menyimpannya berarti anda sangat ingin belajar dari apa yang telah anda dapatkan selama ini atau dengan menyimpanya minimal anda telah menghargainya apa yang telah anda lakukan.

Tulisan pendek ini sebenarnya hanya ingin menjelaskan foto yang ada di atas tulisan ini. Mengenang apa yang akan menjadi nostalgia saya dimasa depan.

Selesai.

23 June 2013

Overview Dua Forum Penyesuaian Harga BBM: Formalitas Vs Prestisius


Satu bisul telah pecah tadi malam, oleh karena itu pada hari ini kita tidak akan membahas kapan pecahnya tapi bagaimana keadaan setelah bisul itu pecah” – Dr. Elan Satriawan, Moderator Forum Diskusi Kebijakan Energi.

Dalam tiga hari terakhir ini saya sengaja menyempatkan untuk menimba ilmu mengenai prosesi kenaikan harga BBM ― sebagian yang lain menyebutnya penyesuaian harga BBM. Bentuk dari usaha saya adalah menghadiri 2 forum diskusi mengenai topik ini dan semoga tulisan ini sebagai laporan informal saya. Yang menarik, forum pertama diadakan pada hari Jum’at (21 Juni 2013) atau sehari sebelum kenaikan harga BBM resmi diumumkan oleh pemerintah, sedangkan forum kedua pada hari berikutnya, setelah harga baru benar-benar ditetapkan. Bagi saya ini semacam analisis pertandingan sepakbola namun yang pertama dilakukan sehari sebelum matchday, dan yang kedua analisis setelah mengetahui hasil pertandingan. Seharusnya analisis yang pertama lebih menarik.

Spesifikasi forum pertama: Berlabel sosialisasi, diadakan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) bekerjasama dengan Direktorat Kemahasiswaan dan Pertamina regional Jogja. Bisa ditebak acara yang diadakan oleh sebuah lembaga pemerintah (BPH Migas) dengan lembaga pemerintah lainnya (Dirmawa UGM) terlebih dilaksanakan satu hari jelang kenaikan harga BBM, pasti acara yang diadakan se-kena-nya saja, tak lebih dari formalitas, dan biasanya bertujuan untuk sekedar penyerapan anggaran. Dugaan saya pun tak meleset.

Spesifikasi forum kedua: Berlabel diskusi, diadakan oleh kerjasama antara GIZ (sebut saja lembaga internasional asal Jerman, karena namanya terlalu panjang untuk dihafal) dengan P2EB (Lembaga Penelitian dan Pelatihan FEB UGM) dan Kementrian Keuangan. Menghadirkan 6 pembicara dengan latar belakang dan keilmuann yang berbeda-beda. Dengan komposisi audience perpaduan antara mahasiswa, dosen, dan beberapa bule ― saya sebut demikian karena saya tak sempat bertanya kenapa mereka mendatangi forum tersebut. Dengan alasan forum yang kedua lebih prestisius, maka yang akan saya ulas di tulisan ini adalah forum yang kedua. Untuk menyingkat saya share per pembicara, jadi minimal ada 6 paragraf (6 pembicara) dibawah kalimat yang sedang anda baca ini.

Pembicara pertama adalah Dr. Arif Budimanta seorang anggota DPR RI dari Fraksi PDI perjuangan. Dalam benak saya, ketika pertamakali mendengar anggota DPR pasti yang terlintas adalah: Seorang yang pandai ber-retorika, jago bersilat lidah, dan memiliki kedalaman yang kurang. Namun kali ini saya kurang tepat, meski judul presentasi beliau “Subsidi BBM dalam Kehidupan Nasional” agak berbau retoris, dalam penyampaian-nya beliau terlihat sangat flesksibel dan lugas. Sebagai partai oposisi sikap belia dalam kasus ini sangat bisa ditebak, namun satu hal yang saya kagumi dari politisi PDI Perjuangan yaitu landasan filosofis-nasionalis begitu kentara  pada setiap argumenya. Tak peduli untuk kasus apa dan siapa yang berbicara, konsistensi partai ini patut untuk menuai pujian ― terlepas benar atau salah sikap tersebut.

Pembicara kedua adalah Dr. Irfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) ― nama jabatan yang cukup panjang. Beliau membawakan presentasi berjudul “Ekonomi Hijau dan Postur APBN”. Meski matri yang ada dalam handout cukup lengkap dan informatif, namun karena penyampaian beliau terlampau kalem, maka saya urung menangkap garis merah yang ingin disampaikan, dan saya pun seakan terbuai oleh sejuknya ruangan auditorium tersebut sampai saya kembali tersadar pada bagian kesimpulan, beliau berujar: Solusi penyesuaian subsidi harga BBM digunakan untuk mendorong daya saing energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi serta menekan tingkat emisi.

Pembicara ketiga adalah Bapak Sayono Hadiwijoyo, komite BPH Migas. Secara sekilas, ibarat pemain sepak bola beliau seperti gelandang semenjana yang keberadaanya nyaris tak diperhitungkan pada forum ini, namun ternyata saya dugaan kembali salah. Beliau membuka presentasinya dengan kalimat sarkasme yang menggelitik: “Saya senang sekali hari ini, biasanya ketika saya berdiskusi dengan para mahasiswa pasti serunya dapet, tapi solusinya tidak”. Meski dalam handout beliau terdapat 57 slide yang berisi data dan sekema industri hilir migas dan road map bauran energi, beliau tidak membahas semuanya, sepertinya beliau hanya ingin menunjukan kompleksitas sektor hilir migas sesuai judul presentasi beliau: Kompleksitas sektor hilir migas. Yang menarik bagi saya, adalah ketika beliau membahas mengenai stockpiling in japan, tidak seperti pejabat pemerintah yang lain yang menahan diri untuk tidak mengkritik pihaknya yang lain, beliau secara tersirat mencibir kebijakan cadangan migas dalam negeri (yang hanya bisa bertahan dalam 21 hari) dengan membandingkanya dengan cadangan minyak Jepang yang bisa bertahan 203 hari. Pertanyaan sindiran yang saya ingat: Apa yang terjadi di Indonesia jika 10 gunung berapi (saja) meletus secara bersamaan? Berapa lama kita bisa bertahan?

Pembicara empat adalah perwakilan dari mahasiswa, Didit Putra Kusuma, mantan ketua komite kedaulatan energi. Bukan nama yang asing bagi saya, saya sudah pernah mendengar namanya dari beberapa teman, mungkin karena ada ungkapan sesama nelayan selalu saling melihat dari kejauhan. Pembawaannya yang lebih mirip seperti comic (stand-up komedian) langsung membawa keceriaan di segenap penjuuru ruangan, sesekali saya pun ikut terbawa. Terlepas dari slide yang bertumpuk-tumpuk dan judul presentasi yang begitu tremendous: Subsidi BBM dari perspektif Science, Teknis, Sosial dan Ekonomi, saya memberikan pujian yang tinggi kepada beliau. Pertama, karena beliau sama sekali tidak merasa inferior di forum bergengsi tersebut. Kedua, pemaparan yang penuh semangat a.k.a. khas mahasiswa banget. Ketiga, karena beliau menggunakan logo KKE yang saya desain di setiap slide-nya.

Pembicara kelima, Prof. Danang Parikesit seorang Guru besar Transportasi UGM dan juga ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Pembicara yang satu ini nampaknya memenangkan hati saya, bahkan sebelum beliau menyampaikan presentasinya. Cara beliau duduk pun bagi saya telah memancarkan kharisma dan kepercayaan diri yang tinggi, namun sama sekali tak terlihat raut kesombongan. Beliau menyampaikan presentasi yang berjudul: “Missing Link” Pengurangan Subsidi BBM, namun dalam pemaparanya beliau lebih menitikberatkan dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor transportasi: “Kebijakan pengurangan subsidi saat ini lebih fokus pada kebijakan fiskal namun tidak diikuti kebijakan progresif investasi dan insentif untuk mendorong moda pemakain transportasi angkutan umum termasuk bis listrik dan elektrifikasi kereta api”. Setidaknya ada tiga poin penting yang saya petik dari beliau. Pertama, ketiadaan pilihan membuat masyarakat tetap bernafsu nembeli BBM, akan lebih elegan jika pemerintah memberikan pilihan dahulu baru menaikan harga. Kedua, kebijakan energi, transportasi, industri otomotif dan fiskal haruslah merupakan paket kebijakan yang konvergen. Ketiga, yang terpenting bukan seberapa tinggi dampak kenaikan harga BBM, namun pemerintah harus meningkatkan pula daya beli masyarakat agar bisa membeli BBM pada harga berapapun. “Yang dilakukan pemerintah bukanlah yang dijanjikan pemerintah, namun apa yang terjadi setelah kenaikan ini”

Pembicara terakhir adalah Dr. Rimawan Pradiptyo, deputi penelitian dan basis data P2EB FEB UGM. Meskipun materi yang disampaikanya sangat menarik, namun bagi saya yang telah mengambil kelas beliau tiga kali dalam 4 tahun ini, semacam ada de javu ketika beliau menyampaikan materi yang berjudul: kompleksitas rumah tangga menghadapi penurunan subsidi BBM. Dalam lembaran highlight saya ada beberapa catatan diantaranya. Pertama, diperlukanya kebijakan yang parsial seperti yang telah diungkapkan oleh Prof Danang, meskipun orang Indonesia pada dasarnya tidak mau bekerjasama. Kedua, diperlukan analisis berbasis bukti (evidance-based policy) dalam membuat kebijakan bukan anecdotal evidence (mitos). Ketiga, Menunda bukanlah kebijakan yang baik. Diluar tiga hal diatas, sebenernya saya menantikan kisah pasukan super jerman yang menyerang rusia namun kalah hanya karena kehabisan bahan bakar, sebuah cerita yang diceritakan dengan detail di tiap kelas beliau.

Pada akhirnya, seperti yang ditutup oleh moderator forum, saya tak akan menyimpulkan banyak dari keenam pembicara yang menggunakan sudut pandangnya masing-masing, meski pada benang merah diperlukan kebijakan yang konvergen, dari berbagai sudut pandang keilmuan. Meminjam penutup dari Didit Putra Kusuma: “Last Warning untuk pemerintah: Yang sekarang mendukung, bukan tidak mungkin berikutnya akan menentang, bahkan lebih keras!


Saya juga penasaran apa yang akan dilakukan pemerintah setelah ini. Terima kasih para panitia diskusi. Danke!

video streaming Forum Diskusi Kebijakan Ekonomi (FDKE) FEB UGM:


21 June 2013

Sebuah Pembelaan, Bantahan, dan Pembenaran

Ngapain sih kamu nulis-nulis tentang migas dan subsidi BBM, ada untungnya buat kamu?”  - Anonim

Pertanyaan diatas bagi saya cukup untuk mengerutkan dahi. Bukan karena jawaban dari pertanyaan itu merupakan suatu yang hanya bisa dibahas dengan proses berpikir panjang, layaknya ketika menjelang pemilihan tema untuk skripsi saya, atau ketika memutuskan siapa yang akan menjadi pasangan hidup saya kelak, atau bahkan hanya untuk memutuskan memakai baju apa ketika saya pergi ke kampus ― tak serumit dan selama itu.

Bagi saya membuat tulisan tentang migas itu tak lebih dari sekedar preferensi saya saja. Orang di desa saya menyebut: “pokok e asal seneng”. Menulis mengenai migas dan energi tak menjadikan saya bisa langsung direkrut oleh perusahaan energi  multi-nasional, yang kemudian membayar saya dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan sehingga saya bisa dengan mudah membeli rumah dengan lengkap dengan Toyota Fortuner-nya di garasinya, Smart TV untuk menonton Liga Inggris dan National Geographic di ruang keluarga, pendingin ruangan yang sejuk di tiap kamar tidurnya, dan water heater di kamar mandinya sehingga saya tak perlu menggigil tiap pagi, seperti apa yang saya impikan. Dunia tidak semudah itu.

Pertanyaan diatas juga mungkin sama seperti halnya jika saya ditanya tentang sepakbola: “Kenapa sih kamu suka banget sama sepakbola dan tampak sangat bahagia diatas lapangan futsal?” Saya tidak mungkin menjawabnya dengan transmisi seperti ini: jika saya menyukai sepak bola, saya akan bahagia ketika bermain futsal, ketika saya bahagia, besar kemungkinan saya akan menampilkan kemampuan terbaik saya, alhasil banyak pemandu bakat yang tertari pada saya, lalu tak lama kemudian saya akan bisa menjadi pemain sepakbola atau futsal profesional, pada akhirnya saya akan menjadi aristokrat sepakbola seperti David Beckham ― yang mempunyai istri cantik dan seksi juga. Saya tak mempunyai mimpi sejauh itu.

Membuat tulisan migas dan bermain futsal hanyalah kesenangan yang bisa saya lakukan sekarang. Persoalan nanti saya bisa bekerja di perusahaan migas atau menjadi pemain sepakbola profesional itu urusan Tuhan. Apa yang terjadi di masa depan saya itu urusan nanti. Ini hanya bumbu perjalanan hidup saya saja seperti interest saya yang lain, yang bisa saja berganti kelak dikemudian hari ― sebelum tertarik dunia pertambangan saya tertarik menjadi arsitektur, pernah juga ingin menjadi motivator.

Oh iya, soal kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan oleh pembantu-pembantu presiden dan harga penyesuaian harga resmi berlaku satu jam lagi, saya pribadi tidak pernah mendukung seratus persen. Saya juga tak menolaknya. Bagi mahasiswa semester akhir yang apa-apa serba susah dan dihadapkan status pengangguran beberapa bulan yang akan datang, kenaikan harga BBM bukanlah hal yang menyenangkan ― seperti kenaikan harga tiket konser bagi penggila live music. Karena bagi saya ketika harga BBM naik, berarti real income saya berkurang. Sungguh hal yang memalukan jika saya meminta tambahan uang saku hanya karena harga BBM naik. Namun entah kenapa kepala saya lebih menerima logika kenaikan harga ketimbang sebaliknya. Saya juga memilih untuk tidak menggunakan alasan karena desain dari Amerika, IMF atau konspirasi Yahudi untuk sebuah logika yang susah dicerna.

Sekali lagi, melakukan dan menjelaskan itu suatu hal yang berbeda. Kadang saya tak melakukan sesuatu dengan benar dan kadang saya tak mengatakan dengan benar.

Mungkin jika saya dipaksa untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, saya akan menjawab: karena saya ingin berbagi apa yang saya ketahui, bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menyampaikan apa yang saya anggap benar? Tidak ada pemaksaan untuk mengikuti pendapat saya.

Sebenarnya sih belum ada yang berani bertanya hal itu kepada saya. Tulisan ini hanya mengada-ada.

"Dunia menjadi semakin buruk bukan karena orang-orang tolol yg terlalu banyak, tapi karena orang-orang pintar memilih berdiam diri" – Tirta

19 June 2013

Cerita Kancil Harga Bahan Bakar Minyak (Part 4-Habis)


Saya bersemangat sekali sebelum menulis tulisan ini, bukan karena seri cerita kancil harga bahan bakar minyak akan segera saya akhiri ― saya tak ingin terjebak dalam kasedihan yang berlarut-larut ketika kebersamaan saya dengan harga BBM lama akan segera habis. Alasan semangat saya adalah karena tulisan ini adalah yang paling kancil diantara tulisan cerita kancil saya sebelumnya. Let’s see how.

Akhir-akhir ini gemuruh pergolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia kembali menyeruak. Waktu tidur saya menjadi berkurang lantaran saya tak mau tertinggal dalam euforia ini. Baya yang menarik adalah ketika berbagai pengamat dan intelektual saling beradu argumen, riset dilawan riset, tulisan dibalas dengan tulisan. Meskipun pertarungan kini menjadi agak timpang, lantaran tulisan bercorak mendukung kenaikan harga BBM lebih superior dan gampang dijumpai daripada tulisan yang menolak kenaikan harga BBM bersubsidi ― seperti yang sudah saya tulis sebelum ini, saya yakin belum banyak yang menulis seberapa besar subsidi BBM tahun 2012 dilihat dari kaca mata sepakbola.

Belum lama ini saya melihat majalah Bola Vaganza yang menampilkan foto Luis Figo, Ronaldo, Zinedine Zidane, dan David Beckham di halaman depannya. Maka dari itu setelah dua paragraf foreplay diatas, mari sejenak kita menundukan kepala untuk mengenang kembali kegilaan Los Galacticos.

Tahun 2000 Florentino Perez mencoba menyusun sekenario gila mengumpulkan pemain-pemain bintang sepakbola di Real Madrid. Siapa saja yang berasil dibawa? Tahun pertama ia membajak Luis Figo dari Barcelona dengan mahar 39 juta pounds (sekitar 585 miliar Rupiah). Tahun kedua, Zinedine Zidane didatangkan dari Juventus dengan nilai transfer 48 juta pounds (sekitar 720 miliar Rupiah). Tahun ketiga, ada Ronaldo yang  merapat dengan label 30 juta Pounds (sekitar 450 miliar Rupiah)dari Inter Milan. Selanjutnya, aristokrat sepakbola Inggris, David Beckham  ditebus dari Manchester United dengan nilai 25 juta pounds (sekitar 375 miliar Rupiah) dan Terakhir Michael Owen dan Robinho seharga 10 juta Pound (sekitar 150 miliar Rupiah). Total dana yang dikeluarkan dari kantong Perez untuk ide gilanya yang bertajuk Los Galacticos jilid satu untuk 5 pemain bintang tersebut adalah 152 juta Pound atau sekitar 2,2 Triliun Rupiah!

Selesai bermain main dengan Los Galacticos jilid satu, Perez digantikan oleh Ramon Calderon (Februari 2006) sebelum pada akhirnya Perez kembali menjadi presiden Real Madrid di tahun 2009. Bisa ditebak apa yang terjadi sekembalinya Perez ke Madrid tahun itu? Kegilaan selanjutnya adalah: mewujudkan Los Galacticos jilid dua.  Pada mega proyek yang kedua itu Perez kembali mendatangkan beberapa pemain bintang ke Santiago Bernabeu, di antaranya Kaka, Karim Benzema, Xabi Alonso, Sami Khedira, Mesut Oezil, dan Cristiano Ronaldo. Total dana yang di belanjakan untuk mendapatkan 6 bintang ini adalah sekitar 400 juta Pounds atau sekitar 6 Triliun rupiah. Artinya jika digabungkan dengan bintang Los Galacticos jilid 1 dan pemain-pemain semenjana lain (karena saya berani taruhan anda pasti lupa nama-nama ini pernah di Real Madrid) yang di beli Florentino Perez macam Wálter Samuel, Thomas Gravesen, Jonathan Woodgate, Pablo García, Makalele,  Julio Baptista dan masih banyak lagi, harian Marca menyebut Florentino Perez merogoh kocek sebesar 860 juta pounds atau sebesar 13 Triliun Rupiah!

Mari kita melompat ke Inggris. Bagaimana dengan Roman Abramovic yang mampu make-over klub asal London, Chelsea FC. Menurut Transfermarkt, Taipan minyak asal Rusia itu total sudah mengeluarkan 868,8 juta Pounds (sekitar 13 Triliun Rupiah) untuk membeli 73 pemain dan merekrut 10 pelatih. Itu belum termasuk biaya operasional klub lainnya. Jika ditambahkan dengan harga pembelian Chelsea pada Agustus 2003 yang konon sebesar 160 juta Pounds (sekitar 2,4 Triliun Rupiah), maka jumlahnya menjadi 15, 4 Triliun Rupiah. Sebuah angka fenomenal untuk merubah sejarah klub asal London Barat itu dalam kurun waktu 10 tahun.


Selanjutnya,  apa kabar dengan Manchester City? Meski tertulis Abu Dhabi Groub pada legal formal pemilik klub, namun nama Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan boleh dibilang menjadi kompetitor tangguh bagi Florentino Perez dan Roman Abramovic (meskipun Perez hanya presiden bukan pemilik klub). Nama Sheihk Mansoer mendadak tenar di dunia sepakbola lantaran menggelontorkan uang senilai 300 juta Pounds (sekitar 4,5 Triliun Rupiah) untuk membeli Manchester City dari tangan  Perdana Mentri Thailand, Thaksin Shinawatra. Tak berapa lama dari pembelian prestisius itu Manchester City langsusng mencatatkan rekor pembelian pemain termahal di Liga Inggris, yaitu sebesar 32 juta Pounds (sekitar 525 miliar Rupiah) atas nama Robinho. Menurut situs tranferleague.co.uk tercatat sampai tahun 2013 Manchester City tak kurang telah mengucurkan dana sebesar 536 juta Pounds (sekitar 8 Triliun Rupiah) untuk mendatangkan 44 pemain senior baru. Maka total uang yang harus keluar dari rekening dari Sheikh Mansour adalah 836 juta Pounds  atau senilai 12,5 Triliun Rupiah!

Lalu apa arti dari semua angka-angka yang luar biasa itu? 

Angka-angka luar biasa dari Real Madrid, Chelsea, maupun Manchester City diatas muncul begitu saja dalam imajinasi liar saya melihat angka subsidi BBM tahun 2013 dalam APBN kita tercantum 194 Triliun. Saat itu saya membayangkan seberapa besar sebenarnya angka yang dikeluarkan  untuk mensubsidi konsumsi BBM masyarakat selama satu tahun di Indonesia? Dengan mengacu pada angka-angka yang digunakan Florentino Perez untuk membangun Los Galacticos (13 Triliun) dalam 12 tahun, Roman Abramovic yang mencoba membeli sejarahnya sendiri di Chelsea (15 Triliun) dalam 10 tahun, atau Sheihk Mansoer yang duduk di Etihad Stadium selama 5 tahun (12,5 Triliun), mari kita sedikit sejenak berhayal bersama-sama seberapa gila orang-orang Indonesia dibanding dengan 3 jutawan sepakbola itu.

Mendadak tahun depan (2014) ada orang Indonesia yang memiliki 8 tim raksasa di 8 liga terbaik di Eropa ― karena kepemilikan lebih dari 1 klub di suatu negara dianggap melanggar etika kesopanan. Liga Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, Perancis, Belanda, Portugal dan Rusia. Kedelapan klub tersebut disulap menjadi seukuran Los Galacticos dua jilid yang digabungkan, serta kebijakan transfer seperti Manchester City yang boleh membelanjakan uang diatas 100 juta pound sekali belanja, serta belanja pelatih seperti Chelsea jika gagal menuai kesuksesan maka pemecatan sebagai bayaranya. Nilai belanja pemain dari ke 8 klub seukuran Los Galacticos tersebut hanya sebesar 120 Triliun Rupiah (hasil perkalian 15 Triliun dikali 8 klub).

Kemudian di tahun 2015, dunia sepakbola di gegerkan dengan hasil perdelapan final Liga Champions yang meloloskan delapan tim milik orang-orang Indonesia. Kemudian mulai sejak itu banyak pecinta sepakbola Indonesia yang berlalu-lalang di stadion-stadion besar Eropa. Belum lagi ketika 8 raksasa Eropa itu menjalani tur pra musim, jangan kaget kalo mereka nantinya akan bermain di Stadion Moh. Sarengat, Batang atau Stadion Maguwoharjo, Sleman. Sponsor Jersey klub papan atas Eropa pun berubah jadi nama-nama produk yang tak asing di telinga kita semacam Kong Guan, Sumber Kencono Transport, Danar Hadi Batik, Toga Mas Book Store, Bank Saudara, Srabi Notosuman dan nama-nama produk lain yang biasa dijumpai sehari-hari kini sangat populer di Eropa. Semuanya dilakukan hanya dengan menyisihkan subsidi BBM selama satu tahun saja.

Tiba-tiba saya terbangun dari mimpi, lantas menyadari kegilaan manajemen sepakbola Eropa tidak begitu mengejutkan jika dibandingkan dengan... ahh sudahlah. Haha

"Humor seringkali menyelamatkan seseorang dari derita yang sebenarnya tak tertanggungkan, Saat derita sudah tak lagi bisa ditolak, kenapa tidak sekalian saja menertawakannya jika dengan itu kita bisa bertahan lebih panjang " – Aqwam Farizan

* Dari berbagai sumber, asumsi kurs rupiah terhadap pound adalah Rp. 15.000/Pounds

14 June 2013

Cerita Kancil Harga Bahan Bakar Minyak (Part 3)

“Pemerintah memberikan sinyal kenaikan harga BBM subsidi yaitu premium menjadi Rp 6.500/liter dan solar menjadi Rp 5.500/liter akan berlaku setelah 17 Juni 2013, atau usai pengesahan APBN Perubahan (APBN-P) 2013” ― Detik Finance, beberapa jam yang lalu.

Tulisan ini bagi saya seperti sesaat sadar dalam sebuah lamunan panjang disuatu tempat, lalu otak saya sibuk untuk mengingat apa yang sebenarnya akan saya lakukan saat itu. Disaat saya tersadar bahwasanya menulis itu butuh kedisiplinan, saya justru melamun panjang memikirkan logika terbalik yang ingin saya tuliskan di halaman ini sehingga tidak terlihat melawan arus ― meski sebenarnya begitu. Namun pemikiran anti-mainstream itu tak kunjung datang, pada akhirnya kali ini saya terpaksa membagikan pandangan yang sudah banyak dibicarakan khalayak. Sepertinya intro saya sudah terlalu panjang.

Kutipan diawal tulisan ini semacam saat melihat hitungan mundur lampu hijau di traffic light, ketika panel lampu menunjukan angka dibawah detik ke-lima, dan saya masih berjarak sekitar 100 meter biasanya saya ragu mau menarik gas dalam-dalam atau justru mengendurkan gas dan mulai menekan rem. Saat yang menegangkan bagi saya, karena dibutuhkan keputusan yang sangat cepat. Sedangkan pada kutipan tersebut terdapat tanggal 17 Juni 2013, yang berarti kurang dari 48 jam lagi (sekarang tanggal 15 Juni 2013, pukul 3 pagi), artinya jika benar tanggal tersebut berlakunya harga baru Bahan Bakar Minyak di Indonesia maka sekarang saya dan warga Indonesia yang lain harus segera membuat keputusan yang sebenarnya (tidak terlalu) penting dalam hidup kita, yaitu: mendukung atau menolak keputusan pemerintah.

Bagi sebagian orang menolak kenaikan harga bbm adalah sebuah mekanisme ilmiah dalam memberi jawaban yang otomatis keluar jika ditanya perihal setuju atau tidak kenaikan harga bbm ― bahkan mereka juga sepertinya membatin tiket konser juga tak boleh naik. Sedangkan jika saya bawa pembahasan ke tataran logika dan rasionalisme, logika penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak ini sangatlah populer 1-2 tahun yang lalu. Logika penolakan kenaikan harga BBM waktu itu lebih laku ketimbang logika mendukung kenaikan harga BBM, kaum intelektual saat itu sibuk memberi perlawanan argumentasi terhadap rasionalitas kenaikan harga yang dikemukakan oleh pemerintah dan pendukung-pendukungnya.

Menarik bagi saya, yang terjadi saat ini justru kebalikan dari 1-2 tahun lalu. Logika yang mendukung kenaikan harga BBM kini lebih laku dijual ketimbang lawannya beberapa tahun yang lalu itu. Bahkan bagi sebagian orang, mengerutkan dahi adalah pilihan yang tepat ketika melihat atau mendengar penolakan kenaikan harga BBM dari sebagian orang yang lain. Banyak orang kini telah bisa menjawab alasan kenaikan harga BBM dengan tepat meski dalam hatinya juga mungkin menolak. Entah keadaan yang telah berubah, keberhasilan pemerintah dalam sosialisasi kebijakan atau pemaksaan rasionalisasi, yang jelas keadan ini sangat membingungkan bagi para pengikut anti-mainstream seperti saya. Konsistensi kaum ini sedang diuji.

Namun terlepas persoalan dukung mendukung, saya tertarik artikel yang baru saja saya baca, yaitu mengenai pengelolaan energi di Iran. Tulisan dari mantan wamen ESDM Alm. Widjajono Partowidagdo ini mengungkap bahwasanya pengelolaan energi di Iran termasuk yang paling kokoh. Kenapa? Negeri pimpinan Mahmoud Ahmadinejad tersebut merupakan penghuni 3 besar cadangan minyak terbesdar didunia, total sekitar 160 miliar barel tersimpan dalam perut bumi negara tersebut. Membandingkanya dengan Indonesia adalah mungkin termasuk suatu pelecehan terhadap negeri sendiri karena negeri ini memiliki cadangan minyak tak lebih dari 4 miliar barel.

Bagaimana dengan produksinya per harinya? Iran setidaknya memproduksi sekitar 4,3 juta barrel per hari bpd (barrel per day) atau mewakili 5 persen produksi minyak mentah dunia, saya tak bisa tidak kembali membandingkan dengan produksi Indonesia yang ternyata tak lebih dari 1 juta barrel per hari. Sedangkan untuk gasnya Negara Ayatollah Khomaeni ini saat ini memiliki cadangan gas kurang lebih sebesar 30 triliun meter kubik atau sekitar 17 persen dari cadangan gas dunia.

Selain minyak bumi dan gas, Iran juga gencar mengembangkan energi alternatif. Salah satunya, yang juga menjadi salah satu andalan adalah pengembangan energi nuklir. Kapasitas produksinya mencapai 132.000 ton bijih uranium per tahun. Secara total, cadangan uranium di tambang tersebut diperkirakan mencapai 1,73 juta ton. Kendati mendapat tudingan miring, Iran tetap kukuh mengembangkan nuklir sebagai sumber energi listrik di negara tersebut. Jika sesuai rencana, target bauran penggunaan energi di negara itu di tahun 2021 nanti adalah Sebanyak 10 persen akan berasal dari tenaga nuklir, 20 persen dari hidro (tenaga air), 60 persen dari gas, dan sisanya dari sumber energi lain (termasuk minyak bumi), sungguh road map jangka panjang yang menakjubkan bukan?

Kenapa saya bandingkan polemik dukung mendukung kenaikan harga BBM dengan pengelolaan energi di Iran? Karena belum lama ini Iran juga sedang memiliki pengalaman yang serupa dengan Indonesia saat ini. Iran terpaksa harus memotong subsidi BBM nya karena konsumsi BBM negara tersebut dianggap terlalu berlebihan. Iran melakukan berbagai daya dan upaya dalam rangka mereduksi pemborosan BBM yang terjadi sejak tahun 2000an, bahkan sejak tahun 2005 telah melakukan pembatasan konsumsi BBM per mobil per bulan dengan menggunakan semacam smart card yang memiliki pin yang memiliki kecocokan dengan identitas pemilik mobil, nomer mobil dan warna mobil. Namun usaha itu ternyata belum cukup untuk menekan konsumsi BBM, pada akhirnya pemerintah Iran juga terpaksa mengurangi subsidi BBM kepada warganya.

Cerita kancil (karena otak saya seringkali melompat-lompat dalam memaparkan sesuatu) pengelolaan energi antara Indonesia dan Iran diatas jika ditarik benang merahnya, bagi saya seperti dongeng antara dua keluarga. Keluarga pertama pernah kaya, namun sekarang jadi keluarga yang biasa-biasa saja, sedangkan keluarga kedua adalah keluarga yang kaya raya yang tengah merencanakan pengelolaan kekayaan jangka panjangnya. Keluarga pertama sibuk memikirkan mau berhemat sekarang atau nanti, keluarga kedua sudah berhemat sebelum keluarga pertama memikirkan mau berhemat atau tidak. Susah membedakan mana yang lebih baik dari keduanya.

Anti-mainstream itu sebenarnya udah mainstream sob” – Fico Fahreza