17 November 2014

Satu Hal yang Masih Mengganjal pada Kenaikan Harga BBM Bersubsidi.

"Syarat mutlak sebuah benda mencapai tujuan/tempat tertentu adalah meninggalkan sesuatu (Hukum Newton) - Interstellar

Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.

Kali ini saya ingin bernostalgia, kembali ke masa dimana saya bebas menikmati menulis dan berdiskusi mengenai industri energi nasional. Sekarang saya sudah tak lagi punya banyak waktu untuk memikirkan banyak hal diluar pekerjaan saya. Karena mau tak mau, pekerjaan membuat pandangan saya dan banyak pekerja lainnya laksana memakai kaca mata kuda, kita dipaksa hanya bisa melihat kedepan (itupun kalau bisa) dan tidak diperbolehkan menengok ke kiri-kanan – selama belum ditemukan kaca mata kuda transparan.

Sabtu kemarin saya pulang menggunakan kereta menuju kampung halaman. Saat melewati sebuah stasiun, saya melihat kereta pengangkut bahan bakar minyak yang sangat panjang, saya sesaat terpaku melihat rangkaian kereta itu. Ada lebih dari 15 gerbong tanki minyak bertuliskan Pertamina, dalam benak saya saat itu adalah: kelak ketika harga BBM Bersubsidi naik dan mendekati harga keekonomianya (istilah populer yang sebenarnya dipaksakan), apakah Pertamina masih akan “besar” seperti ini?

Tulisan pendek ini, sebenarnya soal ke gusaran saya mengenai industri migas tanah air. Saya tak akan membahas mengenai 300 Triliun rupiah yang negara habiskan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) dalam satu tahun. Atau membahas kenapa Presiden justru menaikan harga BBM justru saat harga minyak dunia turun ke level 80 dollar perbarrel. Atau bahkan bahasan sepele soal pemerintah tak bisa lagi menggunakan bahasa “Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” karena kata “penyesuaian” itu lebih tepat jika harga minyak dunia tinggi sedangkan harga BBM kita rendah, yang akan saya bahas adalah soal monopoli alamiah Pertamina.

Sebenernya cukup terusik dengan hal sepele, jika nanti harga BBM Bersubsidi naik, lalu yang terjadi kemudian adalah spread (perbedaan/selisih) yang tak terlalu lebar antara harga BBM dari SPBU Lokal (Pertamina) dengan SPBU Asing yang ada di Indonesia (Shell, Petronas, Total). Bisa ditebak akhir dari cerita ini adalah runtuhnya monopoli alamiah oleh Pertamina atas Bahan Bakar Minyak.

Memang benar Pertamina tak dapat untung melimpah atas jualan premiumnya, namun patut di ingat Pertamina besar karena jualan premium-nya. Jika kini Pertamina sudah kalah telak di pertarungan industri hulu minyak, dimana hasil lifting minyak harian pertamina (23 persen produksi minyak nasional) kalah dengan Chevron (42 persen) dan Conoco Philips (25 persen). Akankah beberapa tahun kemudian perusahaan ini juga harus kalah di pertarungan industri hilir minyak?

Setidaknya ada 2 industri yang masih belum bisa banyak di-explore oleh investor asing di negeri ini. Keduanya kebetulan adalah sama-sama bidang energi. Industri pertama adalah minyak dan gas, sedangkan industri kedua adalah listrik. Kedua industri tersebut kurang menarik bagi investor asing karena ada perbedaan harga yang ditentukan oleh pemerintah – untuk industri kelistrikan lebih tertutup lagi, karena investasi untuk instalasi listrik bukan perkara yang mudah.  Namun, kini satu barrier to entry industri minyak di negeri ini sudah dipastikan terbuka besok pagi, bukan tidak mungkin industri kelistrikan juga akan menyusul kemudian. Pada akhirnya industri energi tanah air cepat atau lambat akan seperti industri perbankan saat ini, yang liberalisasinya sudah ada jauh sebelum didengung-dengungkanya liberalisasi ekonomi.

Saya tidak kecewa atau khawatir harga BBM bersubsidi dinaikkan, karena dana 300 Triliun untuk pos subsidi sangat luar biasa besar, bisa untuk membangun 30 stadion sepakbola termahal di dunia seperti Wembley. Saya hanya khawatir suatu saat nanti tak ada yang benar-benar bisa dikuasai oleh negeri ini. Tebakan saya ini akan terjadi jika setelah ini pemerintah juga akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDK).

Atau jangan-jangan kenaikan harga BBM ini hasil jualan presiden baru kita di 3 forum internasional minggu lalu: KTT APEC, ASEAN Summit, dan G-20. Saat itu presiden kita berulang kali menyebut: it's your opportunity? - undangan tersirat untuk masuk ke Indonesia.

Pada akhirnya anda tak harus sepakat atau percaya pada tulisan mengenai industri energi yang ditulis oleh seorang bankir, terlebih jika tulisan ini hanyalah sebuah nostalgia belaka.

It's your opportunity, but our warning, right?

0 komentar:

Post a Comment