"Syarat mutlak sebuah benda mencapai tujuan/tempat tertentu adalah meninggalkan sesuatu (Hukum Newton) - Interstellar
Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.
Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.
Kali ini saya
ingin bernostalgia, kembali ke masa dimana saya bebas menikmati menulis dan
berdiskusi mengenai industri energi nasional. Sekarang saya sudah tak lagi
punya banyak waktu untuk memikirkan banyak hal diluar pekerjaan saya. Karena mau
tak mau, pekerjaan membuat pandangan saya dan banyak pekerja lainnya laksana
memakai kaca mata kuda, kita dipaksa hanya bisa melihat kedepan (itupun kalau
bisa) dan tidak diperbolehkan menengok ke kiri-kanan – selama belum ditemukan
kaca mata kuda transparan.
Sabtu kemarin
saya pulang menggunakan kereta menuju kampung halaman. Saat melewati sebuah stasiun,
saya melihat kereta pengangkut bahan bakar minyak yang sangat panjang, saya
sesaat terpaku melihat rangkaian kereta itu. Ada lebih dari 15 gerbong tanki minyak
bertuliskan Pertamina, dalam benak saya saat itu adalah: kelak ketika harga BBM
Bersubsidi naik dan mendekati harga keekonomianya (istilah populer yang
sebenarnya dipaksakan), apakah Pertamina masih akan “besar” seperti ini?
Tulisan pendek
ini, sebenarnya soal ke gusaran saya mengenai industri migas tanah air. Saya tak akan membahas mengenai 300
Triliun rupiah yang negara habiskan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) dalam satu tahun. Atau membahas kenapa
Presiden justru menaikan harga BBM justru saat harga minyak dunia turun ke
level 80 dollar perbarrel. Atau bahkan bahasan sepele soal pemerintah tak bisa
lagi menggunakan bahasa “Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” karena kata “penyesuaian”
itu lebih tepat jika harga minyak dunia tinggi sedangkan harga BBM kita rendah, yang akan saya bahas adalah soal
monopoli alamiah Pertamina.
Sebenernya cukup
terusik dengan hal sepele, jika nanti harga BBM Bersubsidi naik, lalu yang
terjadi kemudian adalah spread
(perbedaan/selisih) yang tak terlalu lebar antara harga BBM dari SPBU Lokal
(Pertamina) dengan SPBU Asing yang ada di Indonesia (Shell, Petronas, Total). Bisa
ditebak akhir dari cerita ini adalah runtuhnya monopoli alamiah oleh Pertamina
atas Bahan Bakar Minyak.
Memang benar
Pertamina tak dapat untung melimpah atas jualan premiumnya, namun patut di
ingat Pertamina besar karena jualan premium-nya. Jika kini Pertamina sudah
kalah telak di pertarungan industri hulu minyak, dimana hasil lifting minyak
harian pertamina (23 persen produksi minyak nasional) kalah dengan Chevron (42
persen) dan Conoco Philips (25 persen). Akankah beberapa tahun kemudian
perusahaan ini juga harus kalah di pertarungan industri hilir minyak?
Setidaknya ada 2
industri yang masih belum bisa banyak di-explore oleh investor asing di negeri ini. Keduanya
kebetulan adalah sama-sama bidang energi. Industri pertama adalah minyak dan
gas, sedangkan industri kedua adalah listrik. Kedua industri tersebut kurang
menarik bagi investor asing karena ada perbedaan harga yang ditentukan oleh pemerintah
– untuk industri kelistrikan lebih tertutup lagi, karena investasi untuk instalasi
listrik bukan perkara yang mudah. Namun,
kini satu barrier to entry industri minyak di negeri ini sudah dipastikan
terbuka besok pagi, bukan tidak mungkin industri kelistrikan juga akan menyusul
kemudian. Pada akhirnya industri energi tanah air cepat atau lambat akan
seperti industri perbankan saat ini, yang liberalisasinya sudah ada jauh
sebelum didengung-dengungkanya liberalisasi ekonomi.
Saya tidak kecewa atau khawatir harga BBM bersubsidi dinaikkan, karena dana 300 Triliun untuk pos subsidi sangat luar biasa besar, bisa untuk membangun 30 stadion sepakbola termahal di dunia seperti Wembley. Saya hanya khawatir
suatu saat nanti tak ada yang benar-benar bisa dikuasai oleh negeri ini. Tebakan saya ini akan terjadi jika setelah ini pemerintah juga akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDK).
Atau jangan-jangan kenaikan harga BBM ini hasil jualan presiden baru kita di 3 forum internasional minggu lalu: KTT APEC, ASEAN Summit, dan G-20. Saat itu presiden kita berulang kali menyebut: it's your opportunity? - undangan tersirat untuk masuk ke Indonesia.
Pada akhirnya anda
tak harus sepakat atau percaya pada tulisan mengenai industri energi yang
ditulis oleh seorang bankir, terlebih jika tulisan ini hanyalah sebuah
nostalgia belaka.
It's your opportunity, but our warning, right?
It's your opportunity, but our warning, right?
0 komentar:
Post a Comment