15 November 2014

Balada Tukang Tagih (Part 1)




Saya meminta cinta, dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk dibantu” – Adib Suryawan.

Setidaknya ada dua hal yang membuat saya tergerak untuk menuliskan ini. Hal yang pertama adalah gambar di jejaring sosial mengenai dua ekor kelinci dimana salah satu kelinci mencibir kelinci yang lain karena dianggap tak seberuntung dirinya yang memperoleh daun wortel  yang ditanamnya lebih besar. Padahal buah wortel yang ada didalam tanah berbanding terbalik dengan daun diatasnya. Success is not always what you see. Hal kedua adalah karena saya dianggap tak mensyukuri pekerjaan saya sekarang.

Bagi para perintis karir baru, membandingkan antar pekerjaan adalah sudah bukan hal yang asing. Mungkin sudah menjadi hal yang lumrah, terutama bagi sesama pekerja baru saling menanyakan pekerjaan dan job desk, bahkan lebih ekstrim lagi menanyakan perihal insentif atau gaji. Ada yang sangat percaya diri menjelaskan job desk atau bahkan gaji, namu tak sedikit pula yang memendam kekecewaan, atau memendam rasa: kenapa saya tak seperti dia?

Mungkin anda pernah mengalami apa yang saya alami. Entah karena kerendahan hati, tingkat kejujuran yang cukup tinggi, saya jarang mendengar orang yang mencetuskan kalimat: I Love My Job! Ketika ditanya mengenai pekerjaan pertama mereka. Jawaban yang lebih sering saya dengar atas kesan dari pekerjaan mereka adalah: Ya begitulah, namanya kerja mana ada yang enak. Yang penting ngga menganggur dan gaji lumayan. Atau bagi yang pernah bekerja mereka biasanya menjawab: Dibandingkan dengan yang kemarin sih lebih enak yang ini. Meski diucapkan tanpa nada antusias.

“Jauh lebih mudah untuk berdecak kagum atas apa yang dimiliki orang lain, atas daerah asing yang bukan tempat tinggal kita, untuk menganggap sesuatu yang beda dan baru itu lebih bagus” – Margaretha Astaman.

Hegemoni para  perintis karir baru itu pun melanda saya.

Sekitar 6 bulan yang lalu, saya dan teman-teman sekelas saya yang tergabung dalam Officer Development Program sebuah Bank BUMN yang terdepan, terpercaya, tumbuh bersama Anda, harus (mau-tak-mau) memulai fase hidup baru. Moment yang paling menegangkan setelah lulus kuliah itu bernama: Penempatan. Singkat cerita waktu itu saya harus menerima bahwa hidup saya untuk beberapa tahun kedepan tak akan jauh-jauh dari label: Micro Collection Unit.

Setidaknya ada 3 alasan bagi saya untuk kaget pada awal pengumuman penempatan saya dan hari-hari awal saya menjalani peran baru saya. Alasan pertama, saya tak pernah mendengar sekalipun divisi/departement tersebut sebelumnya. Entah tak mendengar atau memilih untuk tak mendengar, minimal dalam rentang waktu 4 bulan saya mempelajari dunia perbankan - konon otak manusia hanya mengingat apa yang ingin ia ingat. Oleh karena saya tak ingin menginggat tentang divisi/unit Collection maka saya pun berkilah tak pernah mempelajari unit tersebut sebelumnya. Jangankan tau, ingat saja tidak.

Alasan kedua, bagi seorang knowledge worker (pembahasanya ada di 2 artikel sebelum ini) saya selalu mencintai hal-hal strategis, sedangkan Collection lebih banyak pekerjaan yang Clerical, dalam benak saya ini ngga jauh jauh dari white-collar worker, general office task, atau keeping record. Tanyakan pada teman sekelas saya atau teman kampus saya dulu. Betapa saya mencintai hal-hal yang bersifat data dan strategis. Bahkan sampai sekarang saya masih sering kepikiran kenapa struktur organisasi perusahaan saya berubah awal tahun nanti menjadi sedemikian rupa, padahal itu sama sekali bukan tugas saya.

Alasan yang terakhir, saya tak menyukai mikro. Didunia ini jika mau disederhanakan hanya ada dua jenis karakter orang, pertama yang menyukai mikro (detail, aplikatif, dan hal-hal kecil lainya) dan yang menyukai makro (konsep besar dan general theory). Sebagai lulusan ilmu ekonomi, karakter saya dapat dikenali dengan mudah, tengok saja transkrip lalu bandingkan nilai matakuliah Ekonomi Makro dan Mikro saya lebih bagus mana? Saya masih ingat nilai mikro saya tak pernah lebih tinggi dari B - (minus).

But, time changes.


Mungkin ini pekerjaan paling menantang bagi perintis karier baru di dunia perbankan. Tak ada tekanan yang lebih menantang dari pekerjaan ini. Saya tak mengatakan pekerjaan lain tak menantang, saya yakin setiap orang diberi batasan-batasan oleh Tuhan untuk diperjuangkan bahkan dilewati. Semua punya tantanganya sendiri. Namun, setidaknya saya merasa beruntung, diawal pekerjaan saya, saya mendapati tekanan dari empat sisi sekaligus, saya menyebutnya tekanan dari atas, bawah, kiri, dan kanan. Tekanan dari atas (atasan) jelas semua pekerja merasakanya. Tekanan dari bawah, tak semua pekerja memilikinya, apalagi memiliki 12 orang bawahan langsung di awal karier seperti saya. Dari kiri saya menyebutnya tekanan dari rekan kerja, dalam hal ini business unit (karena saya hanyalah seorang supporting unit).  Dan tekanan terakhir tekanan dari kanan adalah tekanan dari debitur-debitur bermasalah, karena selalu ada masalah disetiap debitur bermasalah. Tak ada perintis karir seberuntung saya.

Tak hanya itu. Pekerjaan saya sekarang sangat membutuh strategi dan managing people. Sesuatu yang saya dambakan sejak dulu. Saya menyukai hal yang berbau strategic planing, dan saya juga menikmati managing people. Sedari awal saya masuk perusahaan ini saya mendambakan posisi di bagian Strategic Performance and Management, namun pekerjaan saya sekarang juga tak kalah menantangnya untuk menyusun strategi terbaik dalam penagihan, meskipun strategi yang saya pikirkan bukan strategi bank-wide.

Saya pun menyadari ternyata pekerjaan ini juga sangat makro. Benar pekerjaan saya mengenai tukang tagih mikro, namun analisis yang saya gunakan sangat makro. Karena tiap hari saya menganalisis portofolio yang bersifat mass product, saya dapat melihat behavior debitur dalam level makro.

Saya mulai menikmati pekerjaan ini karena saya bisa menjadi motivator tiap harinya. Profesi sebagai motivator belakangan menjadi tenar karena banyak orang membutuhkan stimulus dari pihak luar (eksternal) atas permasalahan hidup yang semakin komplek. Namun bagi seorang motivator, kita takk dituntut untuk dapat mengatasi semua kompleksitas hidup, yang dituntut oleh motivator adalah membaca dan menyelami kehidupan dengan baik. Kita tidak bisa melakukan semuanya dengan benar namun setidaknya kita dapat membaca dan melihat orang lain melakukan sesuatu dengan benar. Saya menikmati proses itu.

Pada akhirnya saya tak perlu meminjam mata orang lain untuk melihat begitu beruntungnya kehidupan dan pekerjaan saya sekarang.


Bisa jadi frasa: Tuhan tak selalu memberi apa yang kita inginkan namun tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan, itu memang benar adanya. Bukan sekedar pembenaran oleh seorang yang telah putus asa.

1 komentar:

Gonna be the admirer, i mean this blog :)

Post a Comment