07 August 2013

Tentang Keluarga, Mudik, dan Kerinduan Primordial


Hikmat kebijaksanaan para pemudik adalah pulang ke haribaan asal usul, tanah kelahiran, puak yang melahirkan dan membesarkannya, juga kenangan masa kecil yang tak ternilai harganya. Dan ini momen yang spesifik, merujuk pada waktu yang khusus, bukan sembarang waktu Zenrs


Kutipan diatas saya ambil dari sebuah esai karangan Zenrs di Yahoo yang berjudul: Mudik ke Haribaan Mata Air, dalam karangan bebasnya itu ia mencoba menganalogikan mudik dengan menggunakan pergerakan air dari mata air di pegunungan menuju laut melalui sungai sebagai metafora, udik adalah hulu dan rantau adalah muara. Maka perjalanan mudik, atau meng-udik, adalah gerak dari muara untuk pulang ke pangkuan hulu. Mudik sesungguhnya adalah aktivitas melawan arus.

Entah sejak kapan saya tumbuh menjadi penikmat mudik dan kini berujung pada pencarian makna filosofis - artifisial mengenai momen dimana ada perpindahan penduduk yang sangat besar dalam kurun hanya waktu satu minggu itu ― bahkan konon perpindahan penduduk terbesar didunia. Sekitar 35 juta orang melakukan perpindahan tempat dan kembali ketempat semula dalam waktu yang relatif singkat. Sebuah angka yang luar biasa menurut saya, karena jumlah penduduk negara tetangga kita saja, Malaysia, Singapura, Brunei dan Timor Leste jika digabungkan hanya sekitar 27 juta. Saking menikmatinya saya bercita-cita melakukan mudik dengan keluarga suatu saat nanti, tentunya jika saya masih memiliki tempat berpulang.

Oleh karena itu saya merasa tertantang untuk menemukan arti mudik bagi saya. Maka sore tadi saya langsung mencoba melakukan apa yang khalayak lakukan ketika menjelang hari raya itu, yaitu berkunjung ke tempat saudara, orang tua (baik kandung atau mertua) dan kerabat yang lain. Dengan menggunakan baju putih dan sarung saya bergegas memacu sepeda motor matik saya menuju suatu rumah. Rumah yang akan saya kunjungi itu bukanlah rumah dari orang jauh, melainkan rumah baru Ayah saya. Beberapa menit berselang sayapun sudah sampai dirumah Ayah saya, kebetulan jika musim lebaran seperti ini rumah ayah saya ramai dikunjungi orang.

Saya pun langsung duduk diantara dua nisan yang bertuliskan nama Ayah saya.

Ya mudik saya kali ini merupakan suatu kontemplasi mendalam terhadap keluarga saya. Sebelum saya berkomunikasi dengan Ayah saya, saya sempat memandangi sekeliling rumah itu. Nampak banyak orang yang seperti saya membawa buku doa kecil, kantong kresek hitam yang berisi bunga, dan beberapa ada yang membawa botol air. Meski ramai pengunjung, saya sempat merasakan kedamaian di rumah itu mungkin karena banyak orang, kalau tak banyak orang saya tentu tak berani mengatakan demikian. Batinku berbisik jadi ini suasana rumah setiap orang ketika kembali ke haribaan, tempat kembali yang paling kembali.

Perjalanan spiritual sore tadi membawa saya ke kerinduan primodial. Maka sayapun teringat semuanya mengenai keluarga saya. Dimana keluarga inti saya tak banyak, bahkan bisa dikatakan sedikit sejak Ayah pindah ke rumah barunya. Kini hanya tinggal ibu, kakak, dan saya. Bahkan saat saya menulis tulisan ini, saya hanya berdua dengan ibu saya, sedang kakak saya berada sekitar 195 kilometer jauhnya dari tempat ini. 

Pada berbagai kesempatan, saya juga sering menceritakan keluarga saya ― tentunya bukan dalam rangka menjual penderitaan atau meminta belas kasihan. Orang-orang yang mendengar cerita saya biasanya kagum (secara formalitas) dan memuji keberuntungan keluarga saya. Namun bagi saya, keluarga saya bukanlah keluarga yang sempurna. Premis itulah yang saya pahami, yakini, dan coba saya maknai pada perjalanan spiritual saya sore tadi. 

Setidaknya ada tiga hal dalam ingatan saya yang dapat digunakan sebagai alasan kenapa saya menyebut demikian. Pertama keluarga saya tak mengajarkan meminta maaf secara langsung, ini jelas melahirkan pribadi-pribadi dengan ego yang tinggi jika dilestarikan. Kedua, cukup konservatif, saya tak tau bagaimana menjelaskan hal ini kedalam kata-kata. Ketiga, yang paling saya resahkan selama ini, keluarga ini tak terbiasa mengungkapkan perasaan cinta, asmara, atau sejenisnya secara gamblang. Berbicara cinta di keluarga saya lebih tabu daripada berbicara politik dan kekinian yang lain. Saya pun lantas berniat belajar dari kekurangan keluarga saya.

Terlepas beberapa kekurangan. Keluarga bagi saya adalah seperti karet gelang yang mengikat jari-jari. Karet gelang terdiri dari berbagai macam ukuran, dari yang besar hingga yang kecil, dari yang tebal hingga yang tipis, dimana karet gelang tentu memiliki daya lentur yang beragam pula, ada yang kuat, ada yang daya lenturnya lemah, dan adapula karet gelang yang kaku dan mudah putus. Sedangkan jari kita bisa saja menyatu ditengah, bisa saja menyebar ke segala penjuru telapak tangan. Nah, peran keluarga seperti karet gelang yang mengikat jari-jari, mengembalikan jari tangan yang bergerak menjauh untuk merapat ke tengah. Namun ada kalanya benda temuan Stephen Perry itu tak mampu mengembalikan jari-jari ke tengah atau bahkan bisa putus jika ada jari yang terlalu jauh meninggalkan titik tengahnya. Tapi ini hanya analogi tak ada yang mengikat karet gelang di jari-jarinya, kecuali anak kecil.

Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya. 

Pada akhirnya waktu terus berjalan. Membawa kepingan usia untuk tak lagi muda. Saya, kakak, dan ibu saya atau saudara yang lain takkan selalu berdiri di tempat yang sama, di usia yang sama. Akan ada perubahan dalam diri mereka. Seperti menua, menikah atau meninggal. Saya harus bersiap untuk perubahan yang tak mengenakkan, seperti tak memiliki tempat untuk meng-udik.

Saya tak bisa bercanda ketika membicarakan hal ini, karena gema Takbir menemani saya dalam menulis tulisan pengganti tidur ini sementara ibu saya sedang mengolesi roti untuk dibawa ke surau sehabis sholat ied nanti.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434. 

Semoga orang-orang yang telah lebih dulu mudik ke haribaan Tuhan, dapat merasakan kemeriahan hari ini. :)

1 komentar:

Post a Comment