“Hikmat kebijaksanaan para pemudik adalah pulang ke haribaan asal usul,
tanah kelahiran, puak yang melahirkan dan membesarkannya, juga kenangan masa
kecil yang tak ternilai harganya. Dan ini momen yang spesifik, merujuk pada
waktu yang khusus, bukan sembarang waktu” ― Zenrs
Kutipan diatas saya ambil dari
sebuah esai karangan Zenrs di Yahoo yang berjudul: Mudik ke Haribaan Mata Air,
dalam karangan bebasnya itu ia mencoba menganalogikan mudik dengan menggunakan
pergerakan air dari mata air di pegunungan menuju laut melalui sungai sebagai
metafora, udik adalah hulu dan rantau adalah muara. Maka perjalanan mudik, atau
meng-udik, adalah gerak dari muara untuk pulang ke pangkuan hulu. Mudik sesungguhnya adalah aktivitas
melawan arus.
Entah sejak kapan saya tumbuh menjadi
penikmat mudik dan kini berujung pada pencarian makna filosofis - artifisial
mengenai momen dimana ada perpindahan penduduk yang sangat besar dalam kurun hanya
waktu satu minggu itu ― bahkan konon perpindahan penduduk terbesar didunia. Sekitar 35
juta orang melakukan perpindahan tempat dan kembali ketempat semula dalam waktu
yang relatif singkat. Sebuah angka yang luar biasa menurut saya, karena jumlah
penduduk negara tetangga kita saja, Malaysia, Singapura, Brunei dan Timor Leste
jika digabungkan hanya sekitar 27 juta. Saking menikmatinya saya bercita-cita
melakukan mudik dengan keluarga suatu saat nanti, tentunya jika saya masih
memiliki tempat berpulang.
Oleh karena itu saya merasa
tertantang untuk menemukan arti mudik bagi saya. Maka sore tadi saya langsung mencoba
melakukan apa yang khalayak lakukan ketika menjelang hari raya itu, yaitu
berkunjung ke tempat saudara, orang tua (baik kandung atau mertua) dan kerabat
yang lain. Dengan menggunakan baju putih dan sarung saya bergegas memacu sepeda
motor matik saya menuju suatu rumah. Rumah yang akan saya kunjungi itu bukanlah
rumah dari orang jauh, melainkan rumah baru Ayah saya. Beberapa menit berselang
sayapun sudah sampai dirumah Ayah saya, kebetulan jika musim lebaran seperti
ini rumah ayah saya ramai dikunjungi orang.
Saya pun langsung duduk diantara
dua nisan yang bertuliskan nama Ayah saya.
Ya mudik saya kali ini merupakan
suatu kontemplasi mendalam terhadap keluarga saya. Sebelum saya berkomunikasi
dengan Ayah saya, saya sempat memandangi sekeliling rumah itu. Nampak banyak
orang yang seperti saya membawa buku doa kecil, kantong kresek hitam yang berisi
bunga, dan beberapa ada yang membawa botol air. Meski ramai pengunjung, saya
sempat merasakan kedamaian di rumah itu ― mungkin karena banyak orang, kalau tak
banyak orang saya tentu tak berani mengatakan demikian. Batinku berbisik jadi ini suasana
rumah setiap orang ketika kembali ke haribaan, tempat kembali yang paling
kembali.
Perjalanan spiritual sore tadi
membawa saya ke kerinduan primodial. Maka sayapun teringat semuanya mengenai
keluarga saya. Dimana keluarga inti saya tak banyak, bahkan bisa dikatakan
sedikit sejak Ayah pindah ke rumah barunya. Kini hanya tinggal ibu, kakak, dan saya.
Bahkan saat saya menulis tulisan ini, saya hanya berdua dengan ibu saya, sedang
kakak saya berada sekitar 195 kilometer jauhnya dari tempat ini.
Pada berbagai kesempatan, saya juga sering menceritakan keluarga saya ―
tentunya bukan dalam rangka menjual penderitaan atau meminta belas
kasihan. Orang-orang yang mendengar cerita saya biasanya kagum (secara
formalitas) dan memuji keberuntungan keluarga saya. Namun bagi saya, keluarga saya bukanlah keluarga
yang sempurna. Premis itulah yang saya pahami, yakini, dan coba saya maknai
pada perjalanan spiritual saya sore tadi.
Setidaknya ada tiga hal dalam ingatan
saya yang dapat digunakan sebagai alasan kenapa saya menyebut demikian. Pertama
keluarga saya tak mengajarkan meminta maaf secara langsung, ini jelas
melahirkan pribadi-pribadi dengan ego yang tinggi jika dilestarikan. Kedua, cukup konservatif, saya tak tau
bagaimana menjelaskan hal ini kedalam kata-kata. Ketiga, yang paling saya resahkan selama ini, keluarga ini tak
terbiasa mengungkapkan perasaan cinta, asmara, atau sejenisnya secara gamblang.
Berbicara cinta di keluarga saya lebih tabu daripada berbicara politik dan
kekinian yang lain. Saya pun lantas berniat belajar dari kekurangan keluarga saya.
Terlepas
beberapa kekurangan. Keluarga bagi saya adalah seperti karet gelang
yang mengikat jari-jari. Karet gelang terdiri dari berbagai macam
ukuran, dari yang besar hingga yang kecil, dari yang tebal hingga yang
tipis, dimana karet gelang tentu memiliki daya lentur yang beragam pula,
ada yang kuat, ada yang daya lenturnya lemah, dan adapula karet gelang
yang kaku dan mudah putus. Sedangkan jari kita bisa saja menyatu
ditengah, bisa saja menyebar ke segala penjuru telapak tangan. Nah,
peran keluarga seperti karet gelang yang mengikat jari-jari,
mengembalikan jari tangan yang bergerak menjauh untuk merapat ke tengah.
Namun ada kalanya benda temuan Stephen Perry itu tak mampu
mengembalikan jari-jari ke tengah atau bahkan bisa putus jika ada jari
yang terlalu jauh meninggalkan titik tengahnya. Tapi ini hanya analogi
tak ada yang mengikat karet gelang di jari-jarinya, kecuali anak kecil.
Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya.
Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya.
Pada akhirnya waktu terus
berjalan. Membawa kepingan usia untuk tak lagi muda. Saya, kakak, dan ibu saya atau
saudara yang lain takkan selalu berdiri di tempat yang sama, di usia yang sama.
Akan ada perubahan dalam diri mereka. Seperti menua, menikah atau meninggal. Saya
harus bersiap untuk perubahan yang tak mengenakkan, seperti tak memiliki tempat
untuk meng-udik.
Saya tak bisa bercanda ketika
membicarakan hal ini, karena gema Takbir menemani saya dalam menulis tulisan pengganti
tidur ini sementara ibu saya sedang mengolesi roti untuk dibawa ke surau
sehabis sholat ied nanti.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434.
Semoga orang-orang yang telah lebih
dulu mudik ke haribaan Tuhan, dapat merasakan kemeriahan hari ini. :)
1 komentar:
manteb bro
Post a Comment