ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

26 September 2014

Walkout: The New Political Gimmick

Banyak orang bisa membedakan pembimbing dengan bimbingan, pengarah dengan arahan, tapi tak bisa membedakan Pemimpin dan Pimpinan” –  Sudjiwo Tedjo

Saya terbiasa mengawali tulisan dengan kutipan dan alasan kenapa saya menulis sebuah tulisan. Namun kali ini saya belum menemukan alasan yang kuat kenapa saya memaksakan untuk menulis. Jadi saran saya baca saja sampai akhir, atau tidak membacanya sama sekali.

Berbicara mengenai politik pasti sebagian besar masih ada yang menganggap politik itu kotor, namun tenang saja sebisa mungkin saya berusaha ketika anda membaca tulisan ini anggota tubuh anda tidak ada yang belepotan atau baju anda yang ternoda karena kandungan politik di tulisan ini cukup kentara. Jika anda mengijinkan, saya hanya akan mengotori pikiran anda.

Saya memilih isu walkout karena sedang memang populer. Sesederhana itu. Bagi saya mengangkat isu yang sedang populer lebih mudah dalam merangkai antar ide dan gagasan daripada mengangkat isu yang tak lagi populer. Meski sejujurnya topik populer atau tidak tak mempengaruhi jumlah pembaca blog saya. Saya bukan orang terkenal.

Oke cukup. Seharusnya anda tidak membaca 3 paragraf diatas, karena tulisan mengenai era baru perpolitikan di Indonesia sesungguhnya berawal dari paragraf setelah ini. Jika anda sudah terlanjur membaca, anggap saja sebuah foreplay yang akan mempengaruhi hasrat membaca anda sampai puncak atau tidak.

Ketika saya ditanya sejak kapan saya menyukai dunia politik saya akan dengan cepat menjawab tahun 1999 saat sidang istimewa MPR dengan agenda pemilihan presiden. Sama ketika saya ditanya sejak kapan menggilai Manchester United, saya akan dengan cepat menjawab, saat final liga Champions 1999 ketika 2 gol telat menghantarkan  Setan Merah mengalahkan Bayern Munich 1-2 di Camp Nou. Mungkin keluarga saya baru beli televisi tahun itu juga (1999).

Kembali ke topik.

Saya sangat ingat sekali manuver politik yang dilakukan oleh Poros Tengah kala itu. Ketika sebenarnya ada 3 calon presiden saat itu Abdurahman Wahid, Megawati, dan Yusril Ihza Mahendra. Namun di detik-detik jelang pemungutan suara, Yusril Ihza Mahendra mendadak interupsi untuk mengundurkan diri dari calon presiden. Belakangan terkuak bahwa manuver tersebut adalah settingan oleh Poros Tengah untuk memuluskan jalan Abdurrahman Wahid menjadi kepala negara.

Setelah itu saya sangat tertarik pada gimmick-gimmick politik negeri ini seperti: banyak orang yang tidak tau saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden statusnya belum menjadi ketua Partai Golkar. Ketika beliau terpilih menjadi wakil presiden tak lama setelah itu beliau ditunjuk sebagai ketua partai Golkar. Saat itu saya menyebut manuver Golkar tersebut dengan sebutan membeli golden ticket jadi incumbent.

Gimmick lain yang saya ingat baik adalak ketika pemilu 2004 juga, saat itu sama seperti sekarang ada debat capres, namun lebih ramai saat itu karena tidak dilakukan dengan peraturan seketat sekarang. Dari serangkaian debat capres yang selalu hadir adalah pasangan Amien Rais – Siswono dan pasangan SBY – JK. Padahal saat itu ada 5 pasangan capres-cawapres. Yang paling sering tidak hadir undangan debat capres adalah Megawati, seingat saya hanya sekali itupun karena kritikan bertubi-tubi tak berani menghadiri acara debat, jadi mungkin beliau lelah.

Saya juga ingat betul prosentase suara yang diperoleh Amien Rais – Siswono di tahun 2004, hampir sama dengan prosentase suara yang diperoleh pasangan Jusuf kalla – Wiranto di tahun 2009, yaitu sebesar 14 persen. Ironisnya basis pemilih dua pasang itu sama yaitu mahasiswa, keduanya menang telak di Yogyakarta dan Depok serta daerah kampus lainnya. Sampai akhirnya saya berhipotesis kaum intelektual yang melek politik di negeri ini hanya 14 persen. Semoga hipotesis saya salah.

Akhirnya tiba saat gimmick politik terbaru yang lagi hangat. Aksi walkout Partai Demokrat.

Saya sengaja menulis tulisan ini dengan tidak didahului oleh menonton televisi sejak 2 hari yang lalu. Karena pasca pilpres kemarin menonton televisi itu merupakan sebuah ketakutan tersendiri. Ketakutan atas independensi cara pandang dan keberpihakan argumen. Seharusnya sih saya sadar dari dulu jika keberpihakan media itu sudah ada lewat keberpihakan individu jurnalis dan pimpinan media. Karena manusia tak ada yang bisa benar-benar independen.

Setidaknya ada beberapa poin penting sorotan saya mengenai kisah walkout dan sidang paripurna MPR mengenai penetapan UU Pilkada dimana telah dicapai kesepakatan melalui voting bahwa Pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.

Pertama, aksi walkout Fraksi Partai Demokrat (FPD) dua hari yang lalu merupakan pertunjukan politik yang cantik − saya tak pernah memuji Partai Demokrat sebelum ini. Terlepas dari benar atau salah, sikap FPD tersebut telah memukul telak Fraksi lawan mereka selam 10 tahun ini (FPDIP). Berulangkali FPD sebagai incumbent ‘dikadali’ oleh fraksi oposisi, masih ingatkah pansus century atau sidang paripurna kenaikan harga BBM? Siapa dalang penggagas keduanya kalau bukan dari oposisi. Kali ini FPD giliran memukul balik calon incumbent. Atau mungkin sudah tradisi oposisi menggertak incumbent di Senayan?

Kedua, terlepas dari poin pertama, sebenarnya saat ini FPD tengah terbelah karena menjalankan perannya sebagai partai penyelenggara pemerintahan dengan peran sebagai calon oposisi. Jadi satu kaki mereka sudah diluar, namun satu kaki lagi masih ada didalam. Apapun yang diambil FPD bisa menjadi bahan serangan bagi lawan politik.

Ketiga, Entah kenapa yang beredar luas di media sosial 2 hari ini adalah keputusan ini adalah kemunduran demokrasi. Memang, saya sebenarnya cenderung mendukung pemilihan langsung kepala daerah, namun faktanya undang-undang kita menganut sistem demokrasi kepartaian sejak dahulu kala. Jadi setahu saya (mohon dikoreksi jika saya salah di bagian ini, khususnya orang hukum silahkan beri pencerahan), harusnya yang salah itu yang mencetuskan pemilihan secara langsung karena itu sesungguhnya melanggar hakekat sila ke-empat, yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Cukup baca kata terakhir sila ke-empat saja.

Keempat, penelitian oleh dosen saya yang menyebutkan partai politik adalah dalang dari sebagaian besar kasus korupsi di negeri ini itu benar adanya. Saya menyakini hal ini. Karena partai politik adalah mesin demokrasi, layaknya mesin kebanyakan, butuh energi untuk menjalankanya dan menghidupi anggotanya. Padahal partai politik bukanlah badan usaha yang bebas mencari energi itu dimana saja, maka muncul lah dana-dana yang tak seharusnya ada. Namun, ketika anda mendebat pilkada langsung atau lewat DPRD dengan alasan ini, kita tidak sedang membicarakan jika naik bus itu tidak aman maka kita jangan naik bus. Kepala daerah buruk bukan soal cara pemilihannya. Ada pemilihan proksi (jika dalam penelitian) yang salah jika anda menggunakan alasan tersebut.

Parpol busuk? Karena terlalu banyak orang baik yang ingin meraih surga sendirian” − Dzulfian Syafrian

Kelima, jika disuruh menuliskan hal positif mengenai pilkada melalui DPRD, saya dengan gampang menyebut setidaknya partai politik kini ada gunanya lagi (baca: penguatan partai politik sebagai fondasi demokrasi). Oleh karena itu kita harus lebih aware terhadap pilihan partai politik dan yang mewakili kita. Membela pendapat dengan membela orang yang berpendapat itu berbeda.

Terakhir, bagi saya logika sangat keliru adalah ketika menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah Wakil Rakyat. Ini hampir sama dengan poin kedua diatas. Kalau Saya tidak ingin hanya orang-orang yang populer saja di mata masyarakat yang berhak berada di tampuk pimpinan, saat dimana tak ada lagi filter dan manuver-manuver politik cantik seperti saat tahun Sidang Istimewa 1999.

Lagian jika semuanya dipilih oleh rakyat apa bedanya pemimpin negeri ini dengan Indonesian Idol? Tidak selamanya menang secara jumlah itu menang secara kualitas.

Pada akhirnya, kelak jika keputusan sidang paripurna Kamis malam lalu bakal diimplemetasikan, setidaknya ada tiga pihak yang pasti akan dirugikan, yaitu lembaga survei (quick qount) bayaran, percetakan kertas suara dan tukang sablon kaos, sticker, baliho.

Heuheuheu....