28 April 2013
Cerita Kancil Harga Bahan-Bakar Minyak (Part 2)
“Setiap cobaan dari
tuhan selalu ada maksudnya. Cobaan membuat yang berpikir menjadi lebih baik.
Cobaan membuat orang yang tidak bisa berpikir, marah dan menyalahkan nasib
(Tuhan) dan pihak-pihak lain” Widjajono Partowidagdo. Alm
Tulisan ini datang dari kegelisahan
ditengah kesibukan mengolah data skripsi yang berjumlah 12 kolom kali 2990
baris di spreadsheet yang cukup
melelahkan mata, merasa berhutang karena telah memberi judul part 1 pada
tulisan saya sebelumnya, dan terinspirasi oleh ucapan Tony Stark di film
anyarnya Iron Man 3 “Setiap orang butuh
hoby untuk mengisi waktu luang nya” sebut saja ini hobi saya.
Mungkin sebagian teman saya tak
tau atau bahkan tak mau tau impian saya kelak ketika menjadi jutawan. Saya
ingin memiliki perusahaan bus. Terdengar aneh bukan? Tapi bagi saya, memikirkan
konsep perusahaan bus yang akan saya bangun kelak telah menjadi makanan
sehari-hari saya ketika waktu lenggang, seperti Tony Stark yang memikirkan
bentuk kostum besi terbaiknya. Dalam otak saya bahkan sudah memikirkan nama
perusahaan, orang-orang yang mengisi di perusahaan saya, sampai strategi
pengembangan perusahaan bus milik saya.
Sedikit bocoran, untuk item
terakhir di paragraf diatas, mengenai strategi pengembangan perusahaan bus
saya. Saya sudah merencanakan jika kelak saya mempunyai perusahaan bus, saya
juga harus membeli beberapa stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) karena menurut ilmu yang saya pelajari perusahan
yang menguasai input dan output akan lebih sejahtera.
Sederhana saja, jika saya
memiliki perusahaan bus dengan armada sekitar 100 bus (seperti PO.Nusantara,
Sinarjaya, dll). Jika masing-masing tangki bus berkapasitas 150 liter maka tiap
hari saya membutuhkan bahan bakar (solar) sebanyak 15.000 liter. Keuntungan
saya dari angka tersebut adalah, pertama,
jika saya memiliki SPBU, biaya operasional bus tiap harinya tidak keluar ke
tempat lain, dan saya juga menikmati laba dari pengusahaan SPBU saya. Kedua, kepastian pasokan bahan input
perusahaan saya akan terjamin. Ketiga,
jika pemerintah jadi menetapkan dua
harga bbm, saya bisa memetik keuntungan dari chaos sekarang ini ― jangan tanyakan sekarang pada saya,
karena ini tidak etis.
Minggu lalu, sewaktu saya pulang
ke kampung halaman di Pekalongan, saya
menemukan realitas yang cukup mencengangkan bagi saya. Sepanjang perjalanan
Jogjakarta-Pekalongan saya mendapati dua kemungkinan ketika melihat SPBU. Dua
kemungkinan itu adalah mendapati tulisan “BBM Bersubsidi Habis” atau antrian
yang mengular ke luar SPBU. Dua kemungkinan yang sama seperti ketika saya
memutuskan untuk menonton Iron Man 3 di hari pertama penayangan.
Kembali ke harga dan kelangkaan BBM
di Indonesia, entah kenapa tiap kali ada isu kenaikan harga BBM menyeruak,
seketika itu BBM berangsur-angsur menguap. Saya masih menganalisis fenomena
menarik ini. Namun, jika sebagian orang bilang ini masalah penimbunan,
hipotesis saya mnenyangkal hal tersebut. Dalam benak saya peristiwa yang
terjadi tak sesederhana: harga BBM akan naik, lalu para SPBU menimbun stoknya
untuk mengambil untung atas perbedaan harga. Jika kasusnya seperti ini maka pertama, tidak akan kekosongan masal. Kedua, tidak akan terjadi jauh-jauh hari. Ketiga, tidak terkonsentrasi disuatu daerah saja seperti yang
terjadi di Jawa Tengah dan DIY sekarang ini.
Kemudian dugaan saya menuju ke
terbatasnya pasokan terjadi karena kesengajaan dari distributor PSO (dalam hal
ini Pertamina) dalam rangka strategi menjaga bill ke pemerintah di akhir periode nanti tidak membengkak. Iya,
tugas utama Pertamina sebagai PSO BBM itu dilakukan dengan piutang ke
pemerintah, jadi nilai tagihan di akhir periode nanti tidak ada yang bisa
mengendalikan selain Pertamina sendiri dan konsumsi masyarakat. Mengingat konsumsi
BBM tersebut berkaitan dengan subsidi yang diberikan negara, maka penting bagi
pemerintah untuk membatasi agar besaran subsidi tidak menggelembung. Perlu saya
tekankan disini Pertamina hanya sebatas pemeran utama, bukan sutradara. Decision maker tetap ada di pemerintah.
Dengan munculnya fenomena ini, nampaknya
masyarakat kini ‘dipaksa’ harus memilih mana threat yang lebih menimbulkan ketidaknyamanan. Ancaman tersebut ada
dua yaitu: kenaikan harga BBM dan kelangkaan BBM. Masyarakat harus sadar dan
menanyakan kepada dirinya sendiri mana yang lebih menyusahkan dari dua cobaan
tersebut. Setelah masyarakat menemukan kegelisahan yang sesungguhnya, maka
pemerintah kemudian juga harus merumuskan kebijakan berdasar atas kegelisahan
masyarakat tersebut.
Hampir sama seperti kasus dikampus
saya. Dua tahun ini kampus saya cukup bergejolak mengenai permasalahan Kartu
Identitas Kendaraan (KIK). Ketika diberi dualisme constraint kebijakan KIK dengan disinsentifnya atau kelangkaan tempat
parkir yang juga membawa ketidaknyamanan, mahasiswa harusnya dapat memilih
kekawatiran yang sesungguhnya dari mereka itu apa? Maka pihak pengelola
universitas kemudian harus mengelola kekawatiran tersebut dengan kwbijakan yang
tepat.
Saya sempat berdebat masalah ini
dengan teman lama saya yang sebenernya tidak merasakan kegelisahan ini langsung
karena tidak berkuliah ditempat yang sama dengan saya. Teman saya berargumen, pihak
universitas seharusnya menyikapi pertambahan jumlah mahasiswa yang semakin banyak dari tahun ke tahun dengan
melakukan penambahan lahan parkir yang sama besarnya dengan pertambahan jumlah
mahasiswa. Jadi mahasiswa tidak dihadapkan dengan dua pilihan sulit, dikenakan
disinsentif atau dihadapkan dengan kelangkaan tempat parkir. Saat itu saya
hanya berujar: not as simple as that bro!
Kamu tak bisa menghindari pilihan sulit dengan menghilangkan kedua pilihan tersebut.
Told G Buchholz dalam bukunya “New Ideas From Dead Economists” mengatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih.
Dia bukan memberitahu apa yang kita pilih, tetapi menolong kita mengerti
konsekuensi-konsekuensi atas pilihan kita. Dan manusia selalu dihadapkan oleh
pilihan-pilihan sulit.
Well, pemerintah nampaknya sudah
memilh kebijakan mengenai permasalahan BBM yang akan dijalankan, konon
pemerintah sepertinya akan mengupayakan kebijakan tengah, mungkin pemerintah
terinspirasi dengan Hadist Nabi yang mengatakan “sebaik-baik tempat adalah ditengah”. Kebijakan tengah yang konon mendamaikan
dua belah pihak itu adalah kebijakan dua harga. Jika itu yang dipilih artinya
pemerintah juga harus memilih, lebih mending diteriaki tidak pro rakyat kecil,
atau diteriaki oleh banyaknya pihak yang mengambil keuntungan dari perbedaan
harga.
Seburuk-buruk tempat adalah
kebimbangan ―
bukan hadist nabi.
18 April 2013
Cerita Kancil Harga Bahan-Bakar Minyak (Part 1)
“Pencarian kebenaran
oleh ilmuan dilakukan untuk membuat mereka melihat apa yang tidak mereka lihat,
tidak untuk memahami apa yang telah mereka pahami, dan pencarian itu sendiri
adalah untuk menemukan lawan dari yang mereka temukan” ― Surat Galileo kepada
Loraine.
Beberapa hari ini, isu kenaikan
harga BBM kembali menyeruak ke permukaan. Bagi saya yang tertarik dan sedang
mengerjakan tugas akhir (bukan expertise atau pengamat) dibidang Migas, saya
merasa malu jika saya tidak memberikan kontribusi mengenai isu ini. Jika itu
terjadi saya merasa seperti seorang fans klub sepakbola yang datang ke stadion
ketika tim saya bertanding, atau seseorang yang mentasbihkan keimanan kepada
suatu agama namun gagal melaksanakan ritus-ritus harian, atau bahkan jika saya
mengindahkan isu ini saya mungkin lebih seperti seorang sosialita ibukota yang
memilih berada didalam rumah saat rekan-rekanya menghadiri university party di hari senin malam. Semoga kali ini bukan overreach saya.
Sebelumnya jika anda berharap
saya akan menulis mengenai data-data subsidi BBM, neraca pembayaran, dan
opsi-opsi yang akan ditempuh pemerintah untuk menangani kasus ini, sebaiknya
anda tidak udah melanjutkan membaca karena harapan anda sepertinya tidak akan
tertunaikan. Pertama, karena dari
sekian literatur migas yang saya baca, hampir semuanya memetakan konstalasi
hulu migas, hanya sedikit yang mengenai hilir migas. Kedua, saya dalam keadaan yang tidak berwenang dan minim informasi
dengan hal tersebut. Ketiga, saya
tidak mau terlalu jauh mengomentari proses politik.
Kemarin sore, saya terjebak
beberapa puluh menit didalam kamar kos lantaran saya bingung memutuskan apakah
sore itu saya mau menononton Oblivion ― film science fiction yang dibintangi
oleh aktor tampan Tom Cruise, atau saya mau jogging
untuk menjaga ketahanan fisik saya.Hampir
satu jam berlalu saya gunakan untuk memikirkan keduanya, sembari mencari-cari
alternatif lain ― semacam jogging
didalam XXI ketika sedang memutar Oblivion mungkin. Singkat cerita, keputusan
telah didapat, saya berganti baju, kali ini bukan pakaian jogging yang saya
pakai, saya keluar kamar, menyalakan mesin motor, saya mendapati langit mendung
hebat, bisa dipastikan beberapa menit setelah itu, hujan lebat dan saya tak
jadi keluar untuk menonton. Selkali lagi, saya kehilangan momentum.
Mungkin kisah saya tadi bisa
sedikit menggambarkan kebimbangan pemerintah kala memutuskan kenaikan BBM
beberapa tahun ini. Para pemangku jabatan lebih sibuk memikirkan dan
menimbang-nimbang dari analisis teknis, sampai non-teknis, dari dampak ekonomi
sampai dampak politik. Lebih parahnya lagi ketika keputusan telah dibuat,
langit sudah terlanjur mendung ― neraca pembayaran sudah sekarat dan rakyat
sudah terlanjur mengecap kebimbangan pemerintah. Namun, untuk kasus saya
kebimbangan telah menyelamatkan dari hujan, untuk kasus keputusan pemerintah
tentang kenaikan BBM, saya tidak tahu. Dan seperti janji saya diatas saya tidak
mau mengomentari lebih jauh tentang proses politik.
“Kejayaan amerika bukan karena mereka lebih
pintar dari yang lain, tetapi karena mereka belajar dari kesalahanya”
― Alexis du Turquise
Jika kita bicara perhitungan harga
BBM, kepala saya langsung memisahkan antara harga hulu dan harga hilir, harga
hulu mengacu ke perhitungan crude, cost, dll (sudah saya jelaskan di
tulisan kedaulatan migas) dari awal ditemukan cekungan sampai minyak keluar
dari perut bumi. Sedangkan harga hilir adalah perhitungan harga dari harga
minyak yang masuk ke kilang, biaya rifenery,
pengangkutan, fee, dan komponen harga lain.
Nah ketika
tulisan ini membahas mengenai harga BBM maka ceritanya adalah harga hilir yang berawal
dari perhitungan harga minyak yang masuk ke kilang. Saya katakan ‘perhitungan
harga minyak yang masuk ke kilang’ bukan ‘harga minyak mentah’ karena
perhitunganya tidak menggunakan harga yang seragam. Untuk minyak dalam negeri,
Pertamina sebagai otoritas pemengang Public
Service Obligation pengadaan BBM mendapatkan minyak dari KKKS dengan metode
DMO atau Domestik Market Obligation,
yang kira-kira intinya kewajiban KKKS untuk menyerahkan sebagian minyaknya
dengan harga khusus yang disepakati dalam rangka pemenuhan kebutuhan domestik.
Sedangkan minyak Pertamina yang berasal dari luar negeri perhitunganya bukan
merupakan harga minya dunia seperti WTI, NYIMEX, BRENT yang dengan mudahnya
kita unduh dari banyak website asing, namun menggunakan harga MOPS (Mean of Platts Singapore) atau harga
perdagangan minyak dari singapore.
Begitu complicated-nya perhitungan harga minyak yang masuk ke kilang
pertamina tersebut membuat saya berargumen asumsi harga keekonomian
minyak yang diungkap oleh para pengamat ataupun lembaga-lembaga tidak ada yang
tepat 100 persen, saya berani taruhan atas hal ini, dan saya menjagokan
Pertamina sebagai satu-satunya pihak yang mengetahui perhitungan ini. Saya katakan
rumit karena DMO disini nilainya berdasarkan kontrak antara KKKS dengan BPMIGAS
(sekarang: SKMIGAS) yang tentunya tidak ada keseregaman diantara
kontrak-kontrak yang ada. Sedangkan MOPS adalah harga pasar komoditas, yang sarat
akan spekulasi dan negosiasi, bahkan informasi harga MOPS ini berbayar, kita
musti membayar sejumlah uang yang tidak sedikit untuk sekedar mendapatkan harga MOPS, hanya Pertamina yang
tahu secara pasti harga MOPS. Sampai disini,
saya hanya ingin mengatakan bahwa harga variabel input minyak beragam ― belum
lagi impor BBM jadi untuk memenuhi kapasitas kilang Pertamina yang tak
mengalami penambahan sejak 2005.
Perhitungan yang kedua adalah
mengenai rifenery atau pengolahan dari
minyak mentah untuk menjadi BBM yang dilakukan oleh Pertamina. Bagian ini
paling susah untuk dijelaskan, saya harus mengambil master teknik perminyakan
dulu mungkin untuk menjelaskan detail perhitungan. Karena keruwetan berikut: masing-masing
kilang ada spesifikasinya, masing-masing minyak mentah ada karakternya, dan
masing-masing petroleum product
berbeda nilai jualnya. Pertanyaan minyak yang dibeli dengan harga berapa dan
menghasilkan berapa liter BBM, dan berapa biayanya, membutuhkan banyak waktu di
goa untuk bertapa demi menemukan jawabanya.
Perhitungan yang ketiga adalah,
masalah fee. Sudah sama-sama kita
ketahui bahwa pertamina mengemban peran sebagai PSO (baca juga tulisan-tulisan
saya sebelumnya) dimana pemerintah ditugaskan untyuk menyediakan BBM untuk
memenuhi kebutuhan domestik dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Untuk perannya yang ini, Pertamina sama sekali tak mendapat untung ― bahkan
menurut dirut Pertamina, fungsi ini yang paling menguras energi Pertamina. Namun
dalam catatan BPH MIGAS yang saya temukan beberapa saat sebelum menulis tulisan
ini, Pertamina memperoleh fee atas pengusahaan
PSO-nya. Pertanyaanya kemudian jika Pertamina tak mengambil profit, lalu
bagaimana dengan SPBU rekanan (SPBU DODO - Dealer
Owned Dealer Operated ) yang menjual BBM bersubsidi? Apakah keuntungan dari
SPBU tersebut termasuk dalam perhitungan subsidi?
Perhitungan keempat adalah mekanisme penagihan Pertamina kepada Pemerintah.
Sebatas yang saya ketahui bahwa penagihan dilakukan Pertamnia di akhir periode
penganggaran, dengan melaporkan berapa banyak BBM bersubsidi yang telah
didistribusikan dalam periode tersebut kepada pemerintah. Kemudian pemerintah
akan melunasi semua biaya yang telah dikeluarkan Pertamina ― maaf saya belum
banyak membaca tentang ini, kalau ada yang punya referensi penagihan bisa
berbagi dengan saya. Sedangkan yang saya tahu utang Pemerintah ke Pertamina
beraneka macam. Mulai dari ongkos melakukan ekspor gas dan minyak jatah
pemerintah ke pembeli luar negeri maupun dalam negeri. Serta ongkos dari
mengelola dan mengolah LNG sampai siap ekspor.
Lalu bagaimana bagaimana apa arti
semua ini? Artinya butuh teknikal karena pemahaman fundamental saja tak cukup untuk
mengkritisi sebuah kebijakan. Banyak data level perusahaan, yang sangat rahasia
tentunya, tidak kita ketahui sebagai observer. Intinya kita seperti sedang
berperang pada level asumsi, sedangkan asumsi itu bisa undervalue atau uppervalue.
Pada sisi yang lain saya ingin
menyampaikan bahwa PSO menghambat perkembangan pasar energi yang kompetitif. Hal
ini senada dengan beberapa dosen saya, yang mengatakan subsidi yang terlalu
besar menghambat pertumbuhan dari bauran energi alternatif lain yang seharusnya
bisa di eksplor lebih untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, namun
terdesak lantaran PSO BBM terlalu murah. Tulisan ini tidak mendiskreditkan
pihak manapun, hanya bermaksud untuk menambah sudut pandang dari banyak
prespektif dalam memandang kisruh subsidi BBM di negeri ini tercinta. Sekedar
informasi saja, tidak bermaksud membandingkan, di Malaysia harga BBM nya juga
disubsidi namun menggunakan metode harga minyak dengan subsidi tetap, jadi
semacam floating price bersubsidi.
Sejenak saya ingin bernostalgia. Saya
ingat dulu ketika saya pertamakali mempunyai sepeda motor saya sempat merasakan
harga BBM sebesar 1200, kala itu dengan membawa uang 3000 rupiah saja, tangki Honda
Astrea saya bisa penuh sesak dengan bensin. Lalu tak lama harga bbm naik
menjadi 1550, setelah itu naik lagi menjadi 2400. Saya masih ingat ketika ada
kenaikan tajam harga bensin ketika 2005, satu tahun setelah SBY dipilih
langsung oleh rakyat, premium naik menjadi 4500 rupiah, dan 3 tahun setelah itu
ketika terjadi kenaikan tajam harga minyak dunia, premium kembali naik ke level
6000 rupiah, meski akhirnya kembali turun ke angka 4500 rupiah ― sampai
sekarang. Beberapa hari mendatang kemungkinan harga ini akan kembali naik,
entah seberapa mahal lagi bahan bakar yang harus saya keluarkan untuk mobilitas
saya sebagai mahasiswa yang konon berpengetahuan tapi belum berpenghasilan ini.
Pada akhirnya saya mengutip pendapat teman saya saat
berbincang di perpustakaan kampus tadi siang, “Antara melakukan dan menjelaskan itu dua hal yang berbeda.”
* Ilustrasi di ambil dari website BPH Migas
* Ilustrasi di ambil dari website BPH Migas
13 April 2013
Sebuah Refleksi: Overreach, Moneyball dan Miss Opportunity
“Sulit dipercaya berapa banyak hal yang tidak kau ketahui tentang permainan
yang pernah kau mainkan seumur hidupmu” – Moneyball
Bagi para patner futsal saya
pasti tau betul banyaknya kata “sorry”
yang terlontar dari mulut saya sepanjang permainan. Mungkin sebanyak tumpukan
buku dan kertas yang berserakan di kamar saya ini. Mereka juga pasti sadar
telah berulangkali mengingatkan saya agar tetap menjaga tempo permainan, karena
saya sering terburu-buru dalam menyusun permainan. Sepertinya patner saya paham
betul karakter saya di lapangan dan di luar lapangan.
Saya tak ingin menjadi orang yang
menembakkan pelurunya kemana-mana, seperti para figuran di film action ketika
hilang kontrol atas senjata yang dipegangnya. Saya juga tak mengerti kenapa
saya begitu sering mengucapkan kata “sorry”
di lapangan, bahkan untuk kesalahan yang tidak saya perbuat sekalipun. Bagi seorang
yang sangat mengagung-agungkan menjadi deep
lying playmaker bisa ditebak seperti apa permainan yang saya tampilkan,
banyak melakukan passing, banyak juga
salah passing ― saya bukan Xavi Hernandez yang bisa
melalukan 100% pass completed dari 96
kali percobaan.
Padahal jika saya mau main aman, bisa
saja saya melakukan 5 kali passing namun
tepat sasaran, maka statistik saya juga sama dengan kapten Barcelona itu, 100 pass completed. Tapi apa yang dilakukan
saya dan Xavi Hernandez adalah mencoba membuktikan kalau kualitas tidak
berbanding terbalik dengan kuantitas, artinya keduanya tidak dalam keadaan
bertarung. Bedanya, Xavi telah berhasil membuktikanya, sedangkan saya masih
terus mencoba untuk survive.
Kemaren malam saya menonton film
yang telah lama ada di hardisk saya namun baru kali ini saya baru sempat
menontonya, judulnya: Moneyball. Film yang awalnya saya sempat underestimate
karena diawali dengan scene sebuah pertandingan
baseball, dan memang film tersebut menceritakan tentang seseorang yang menjadi
manajer di sebuat tim baseball, namanya Billy Beane diperankan oleh aktor
tampan Hollywood, Brad Pitt. Namun seiring bergantinya scene demi scene, saya
juga menikmati film tersebut, terlebih ternyata film tersebut menceritakan
betapa pentingnya statistik dan ekonomi dalam olahraga ― saya mendewakan ketiganya.
Film bergulir dengan alur yang
naik turun, sebagai manajer utama, Billy Beane dihadapkan dengan kenyataan
bahwa pemilik club tidak punya banyak uang untuk membangun tim, seluruh staf
kepelatihan, Scout, dan Billy memikirkan bagaimana cara mengarungi musim depan.
Namun, dengan bantuan ahli statistik ekonomi Billy akhirnya menemukan komposisi
tim yang efisien. Meski terdapat konflik seiring berjalanya waktu Oakland
Athletics (tim yang di manajeri oleh Billy) memetik hasil positif atas kerja
kerasnya. Oakland Athletics bahkan menjelma menjadi tim yang tak terkalahkan
selama 20 pertandingan, merupakan rentetan kemenangan terbesar sepanjang
sejarah Baseball Amerika Serikat. Meski akhirnya kalah di babak Play-off
strategi yang dilakukan oleh Billy Beane dalam membangun tim dengan dana yang
terbatas sangat mengaggumkan.
Bagian yang paling menarik dan
menyentuh bagi saya adalah di akhir film, ketika akhirnya Billy Beane mendapat
tawaran dari pemilik Boston Red Sox, klub Baseball kaya raya saat itu, bahkan
konon nilai kontrak yang diajukan oleh pemilik Boston Red Sox merupakan nilai kontrak
manajer terbesar sepanjang sejarah olahraga di dunia! Kebimbangan yang
luarbiasa melanda Billy Beane, karena menurutnya hidup itu tak semata tentang
uang. Sampai pada akhirnya keputusan dibuat Billy Beane mendengar lagu dari
putrinya, lagu The Show dari Lenka, yang liriknya sedikit dirubah – tonton saja
filmnya bagian ini paling emosional.
Billy Beane menolak tawaran Red
Sox senilai $ 12.500.000, Dan memilih tetap di Oakland sebagai Manajer Umum ― mohon maaf
buat yang belum menonton saya membocorkan ending film, tapi percayalah yang
belum saya bocorkan lebih emosional.
Saya mendadak teringat ayah saya.
Seorang pria yang sangat saya kagumi lengkap kelebihan dan kekuranganya. Sampai
akhirnya saya melupakan berapa banyak saya biberi hukuman oleh ayah, seberapa sering ayah
memaraki saya. Bahkan saya masih ingat saat ayah memarahi teman saya yang tak
bersalah ketika menjemput saya. Ayah bukan pria yang sempurna. Tapi ayah saya
mengajarkan kehidupan tanpa kesempurnaan. Bahkan sampai hari terakhir beliau
menatapku, saya masih melihat ketidaksempurnaanya ketika beliau membanting
gelas di pagi hari sesaat sebelum beliau dibawa ke rumah sakit. Betapa emosionalnya
beliau.
"Lembutlah terhadap orang tua, karena mereka hidup bukan pada zaman nya.
Sabarlah terhadap saran dan kritiknya karena anda tak tahu perasaan mereka"
―
Dr. Karim Bakkar.
Lalu apa hubunganya semua ini, apa
yang terjadi dengan Saya, Billy Beane, dan Ayah saya? Hubungan yang pertama adalah
kami manusia biasa. Hubungan yang kedua, kami emosional, kami masih menembakan
peluru kemana saja, bahkan bagi saya hari ini banyak sekali kekonyolan yang
telah saya perbuat. Diawali ledekan saya pada bapak presiden yang akhirnya
membuat account twitter ― semoga bukan karena salah satu staff kepresidenannya
memberitahukan bahwa twitter media yang paling ampuh untuk curhat colongan. Entah
kenapa apa yang presiden saya lakukan saya lebih cenderung melihatnya suatu
kekonyalan, mungkin saya kecewa, tapi lebih tepatnya saya overreach. Padahal beliau orang baik, ayah saya juga orang baik.
Pada akhirnya saya menyadari, seperti
saat saya mengucapkan “sorry”
dilapangan, terkadang dalam hidup kebanyakan dari kita lebih sering kehilangan
momentum, yang oleh teman saya bahasanya dirubah menjadi miss opportunity agar lebih terlihat menggunakan pemikiran yang
dalam. Ketika saya harus bertahan, saya justru menyerang. Ketika saya harus
menyerang saya justru beristirahat. Ketika Billy Beane harusnya menerima
tawaran Red Sox, Billy malah memilih menikmati pertunjukan dan bernostalgia.
Kami ini manusia biasa, lengkap dengan
ketidaksempurnaan dan kekonyolan kami.
Life is a maze and love is a
riddle
I don't know where to go, can't
do it alone
I'm just a little girl lost in
the moment
I'm so scared but I don't show
it
I can't figure it out, it's
bringing me down
I know I've got to let it go and
just enjoy the show
Just enjoy the show
Lenka – The Show
Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa
ayah saya. Saya merindukan beliau hampir selama 4 tahun ini.
11 April 2013
UCL 2013: EURO 2008 atau PD 2010?
“Apakah
kamu pergi ke stadion di menit-menit terakhir pertandingan, dan melihat papan
skor, lalu pergi? Kamu akan menonton 90 menit, dimana itu bernama proses. Anda
tidak dapat melakukan validasi proses melalui hasil. Manusia cenderung untuk
memuja apa yang selesai dengan baik, bukan apa yang telah dilakukan dengan baik”
– Manajer sepakbola Spanyol, Juanma
Lillo
Saya selalu mengawali dan
mengahiri tulisan dengan kutipan, padahal seluruh batang tubuh tulisan saya
juga merupakan kutipan dari pengetahuan saya di berbagai sumber, tapi kutipan
orang terkenal bisanya akan menjadikan saya terlihat lebih cerdas, lebih tau
dari orang lain, padahal sama sekali tidak. Oh iya, kutipan diatas saya unduh,
dengan sengaja dari penulis jiplakan saya, Pangeran Siahaan, karena saya sering
menjiplak tulisan beliau ― harusnya saya punya jiplakan lain.
Berhubung kemaren saya berkicau “Jika
Bayern dan Barcelona lolos nanti malam saya sudah menyiapkan tulisan: When duo
Germany meets duo Spain” kali ini saya jadi merasa berhutang kepada siapapun
yang sempat membaca kicauan saya itu, meski saya yakin tulisan ini tak akan
dicari oleh pembaca kicauan saya tersebut.
Perempatfinal Liga Champions
Eropa 2013 baru saja berakhir tadi pagi. Bayern Munich dan Barcelona tak mau
ketinggalan rival domestiknya dan akhirnya memutuskan untuk menyusul Real
Madrid dan Dortmund yang lebih dulu lolos sehari sebelumnya. Barcelona yang
merupakan peserta kuis yang selalu berteriak “Pass.. Pass.. Pass...” terlebih malam itu Xavi yang menorehkan 100 Pass Completed ketika dilontarkan
pertanyaan itu kembali menunjukan bahwa dirinya manusia biasa jika sang “Tuhan”
berada di bangku cadangan. Sedangkan para bintang Holywood asal Jerman sekali lagi
membuktikan pada Si Nyonya Tua memiliki satu aktor Holywood seperti Chuck
Norris (baca: Andra Pirlo) saja tidaklah cukup. Hari sebelumnya, neraka buatan
di Ali Samiyen Turki gagal meloloskan tuannya meski berhasil mengalahkan tim
terbaik abad ini, Real Madrid. Drama yang lain terjadi di Malaga, ketika tuan
rumah sudah hampir berpesta ketika pertandingan telah berusia 90 menit, namun
gelontoran 2 gol dari tim tamu sesudah itu memupus kans kerajaan Spanyol di
semifinals.
Jika pada awalnya kejuaraan antar
klub lambang supremasi kekuatan sepakbola eropa ini diikuti oleh 53 negara,
kini tersisa 2 negara saja di babak semifinal. Bagi sebagian orang perhelatan
ini terasa tidak adil tapi bagi saya ini adalah hasil yang paling rasional, potret
dua negara yang sukses dalam pembinaan Sepakbolanya ― sepertinya pada paragraf ini dan
paragraf seterusnya bakal lebih serius daripada skripsi saya, mungkin tertukar.
Saya sebut sukses karena keduanya
memiliki masterplan sepakbola jangka panjang yang hebat. Perjalanan keduanya
menjadi dua negara sepakbola terhebat di eropa saat ini ― bahkan didunia jika saya tak
berlebihan, adalah sebuah perjalanan panjang. Yang menarik, percayakah kalau
keduanya berhubungan?
Jerman menjadi salah satu negara
yang terkenal spesialis turnamen itu dari sejak jerman barat dan jerman timur bersatu,
telah begitu melegenda. Spanyol juga, tapi ditulisan ini saya lebih tertarik
untuk membahas Jerman dan Spanyol di zaman sepakbola modern.
Kalau di suruh menunjuk siapa
tokoh sepakbola Jerman yang bisa membawa ke generasi emas 5 tahun terakhir ini,
saya memilih JĂ¼rgen Klinsmann. Pelatih yang gaya nya kini ditiru oleh Nil
Maizar itu, telah membawa sepakbola jerman modern hingga sangat disegani baik
di level klub maupun tim nasional ― tanpa mengesampingkan peran suksesornya
Joachim Loew. Klinsmann, yang melatih Timnas tahun 2004-2006 itu, sukses
bekerjasama dengan federasi sepakbola Jerman untuk menelurkan masterplan
sepakbola jangka panjang. Salah satu point dalam masterplan tersebut adalah
memaksa setiap tim di Bundesliga mengetahui strategi dan dan visi Timnas
Jerman. Jadi saat itu cetak biru pengembangan Timnas Jerman yang dirancang Klinsmann
di copy ke setiap club yang ada di Bundesliga. Hasilnya efektivitas latihan
Timnas Jerman, dan padunya para pemain yang dipanggil ke Timnas. Siapapun yang
dipanggil membela Timnas, sudah pernah tau dan bisa mempraktekkan strategi Jurgen
Klinsmann karena ‘kurikulum’ nya sudah diajarkan di level klub ― tim
boleh berganti-ganti tapi masterplan tak pernah berganti.
Point kedua, sukses nya sepakbola
Jerman sekarang adalah buah dari suksesnya federasi sepakbola Jerman mengelola kurang
lebih 27 level liga yang ada di Jerman dari Bundesliga paling yang kita kenal
sampai liga tarkam yang paling amatir. Bisa dibayangkan federasi Jerman
memiliki 27 level, sedangkan PSSi cuma ada 3-4 level, itupun nyaris berantakan.
Lalu bagaimana dengan Spanyol? Ternyata
usut-punya-usut, terobosan yang dilakukan oleh Klinsmann di Jerman adalah hasil
copy-paste dari akademi La Masia, Spanyol. Akademi yang kini menjelma menjadi
akademi sepakbola paling terkenal di dunia, berkat alumni nya yang bertebaran
di skud Barcelona kini. Klisnmann terinspirasi strategi yang dilakukan oleh
akademi La Mesia tersebut, kemudian ia belajar banyak untuk diterapkan di level
timnas ―Lantas,
apa yang dilakukan Pep Guardiola di Jerman tahun depan? Apakah ingin mencuri
kembali strategi yang dimiliki Jerman?
Untuk sementara ini, kita
kesampingkan persaingan ketat keduanya di level tim nasional, kita nikmati saja
dulu Bagaimana Bayern Munich, Real Madrid, Barcelona, dan Dortmund berjibaku menjadi
yang terbaik di Eropa. Namun yang jadi pertanyaan bagai mana skenario
selanjutnya, mengingat drawing baru akan dilakukan esok?
Sembari menerka-nerka lawan,
sebenarnya skenarionya hanya ada 2 yaitu seperti EURO 2008 atau PD 2010? EURO
2008 dimana Jerman bertemu Spanyol di Ernst-Happel-Stadion, Vienna, saat final kejuaraan
tersebut atau kejadian di Afrika Selatan yang berulang, ketika Jerman bertemu
Spanyol di Semifinal? Yang paling penting jika di dua perhelatan akbar Jerman
jadi pesakitan Spanyol, saya berharap Jerman bisa membalasnya di level klub,
tahun ini. Feeling saya berkata demikian.
Mari kita nantikan saja hidangan penutup ini, akhirnya "What
enriches you is the game, not the result. The result is a piece of
data..."
Selesai
Entah kenapa malam ini terasa
sangat letih sekali, semoga kualitas tulisan juga tak terkorelasi. Dan semoga ini juga bukan pertanda energi saya sudah hampir habis. Maaf.
08 April 2013
Filosofi Geladang Pengangkut Air dan Saudaranya
“Penonton sepakbola kasual yang lebih terbuai dengan speed dan fancy
dribble adalah mereka yang mengacuhkan krusialnya peran seorang holding
midfielder” ― Pangeran Siahaan
Tulisan ini sengaja dibuat dengan
keringat yang masih sedikit membekas di tubuh selepas bermain di lapangan Vinyl
selama 60 menit semata-mata agar aksen dan aura permainan si kulit bundar masih
berasa di kepala ― meski saya tadi bermain futsal bukan sepakbola. Sedangkan
judul dipilih karena pertama, saya
begitu memuja salah satu peran dalam permainan sepakbola ini, bukan gara-gara
saya sering menonton Liga Indonesia karena komentator selalu menyebut gelandang
tengah dengan sebutan tersebut. Kedua,
saya gagal mencari kombinasi judul yang lebih seksi.
Sebelumnya saya ada pertanyaan
buat anda pecinta sepakbola masih ingat Los Galacticos jilid 1? Sebutan untuk
squad Real madrid di pertengahan 2000an yang dipenuhi oleh bintang-bintang
lapangan hijau semacam Beckham, Zinedine Zidane, Raul Gonzales, Roberto Carlos,
Ronaldo, Luis Figo, dkk saking banyaknya bintang maka tim impian Florentino
Perez (Presiden Real Madrid) kala itu dinamai Los Galacticos, alias tim dari
galaksi lain. Luar biasa bukan? Tapi siapa yang ingat waktu itu ada nama Claude
Mekalele di squad tersebut? Dan anda pasti tak percaya jika keberhasilan Los
Galacticos saat itu berkat peran apik Makalele saat itu? Saya rasa anda sepakat
dengan saya.
Saking krusialnya peran Makalele,
banyak para pengamat sepak bola menyebut peran yang dilakukan di tengah
lapangan itu dinamakan Makalele’s Role. Namun Sayang sekali gara-gara
Florentino Perez menutup mata atas peran Makalele, menganggap kesuksesan Los
Galacticos bukan karena dia, maka Perez lebih memilih menjualnya di bursa
transfer. Bisa ditebak yang terjadi setelahnya, permainan Real Madrid cenderung
menurun dan harus berada dibawah hegemoni Tiki-Taka Barcelona di Akhir 2000an ― sebelum
Xabi Alonso datang ke Santiago Barnebeu.
Rupanya tak hanya Makalele yang
terpaksa hidup dibawah bayang-bayang Beckham-Zidane-Figo, ada banyak pemain
dalam posisi ini yang cukup ‘inferior’, seperti: Lucas Leiva (bahkan saya yakin
anda tak mengenal pemain tim ini) dibawah bayang-bayang Steven Gerrard. Sergio
Busquets, kerap under-appreciated
dibanding trio Xavi-Iniesta-Messi. Carrick yang dianggap kalah tenar dibanding
Nani, Rooney, Van Persie. Atau Luis Gustavo yang dianggap kalah kelas dibanding
Mueller, Robben, Ribbery. Tapi percayalah mereka bukan pemain figuran.
Dalam sepakbola kebanyakan orang
pasti akan lebih mengenal posisi daripada peran. Meski keduanya hampir sama
tetapi secara filosofi keduanya berbeda, seperti guru dan mengajar, kadang kita
melihatnya sebagai suatu hal yang sama, tapi sadarkah bahwa guru itu adalah
sebuah profesi sedangkan mengajar adalah salah satu yang dilakukan oleh guru. Sama
seperti nama-nama asing yang di cetak tebal dibawah ini, 5 item itu adalah
peran yang dilakukan oleh seorang atau lebih di sepakbola modern yang berposisi
sebagai gelandang bertahan tengah atau Defensive-Midfielder-Cente
(DMF).
Holding Midfielder
Holding midfielder nama keren
dari judul tulisan saya diatas adalah posisi yang melakukan semua pekerjaan
yang berat dan membiarkan pemain di posisi lain untuk mengklaim semua kejayaan,
perannya sering tak terlihat oleh penonton. Peran inilah yang dilakukan Xabi
Alonso, Makalele, Carrick dan Busquets. Ketiganya adalah poros dalam timnya
masing-masing. Tugasnya adalah menjaga keseimbangan tim dengan markingnya, menghambat
serangan lawan dengan tackel dan intersep brilliant, dan biasanya mereka jarang
naik ke area 2/3 lapangan.
Box-to-box Midfielder
Ini nama paling keren dan sukses
membuat saya untuk banyak mencari tahu tentang peran yang satu ini. Dinamakan
Box-to-Box Midfielder karena ruang geraknya dari kotak penalti sendiri sampai
kotak penalti lawan, alias dari kotak ke kotak. Hampir sama dengan holding
Midfielder namun areanya yang lebih luas membuat peran ini membutuhkan skill
yang sedikit lebih kuat dibanding Holding Midfielder. Contoh pemain tipe ini adalah
Tom Cleverley, Raul Meireles, dan Steven Gerrard.
Ball Wining
Kalo yang ini perpaduan atara
Holding Midfielder dan Box-to-box midfielder, tugasnya mengobrak-abrik
permainan lawan (bukan mengobrak-abrik permainan sendiri). Karena tugasnya
untuk mencari bola dan memenangkan duel, butuh fisik yang oke, dan body balance
mumpuni. Biasanya pemain tipe ini cenderung terlihat kasar, padahal sejatinya
tidak. Contoh yang terkenal adalah: Roy Keane, Gattuso, dan De Jong ― yang terkenal dengan tendangan maut nya ke
dada Xabi Alonso di final piala dunia 2010 lalu.
Deep Lying Playmaker
Jika nama-nama diatas dianggap
sebagai saudara maka Deep Lying Playmaker adalah anak bungsu. Posisi ini
merupakan hasil eksperimen dari profesor Carlo Ancelotti ― sebut
saja demikian, pada sepakbola modern belum lama ini. Contoh sukses dari peran
ini adalah Andrea Pirlo, bahkan saking suksesnya banyak yang menyebut Pirlo’s
Role. Lalu apa yang beda dengan yang lain? Sebagai sama sama anak bungsu saya
menyebut posisi ini sebagai posisi yang paling genius, karena posisi pemain ini
berada tepat didepan konfigurasi pemain belakang (biasanya dipakai pada formasi
3-5-2 atau 4-1-4-1, dan modifikasinya). Belum selesai, dianggap jenius karena
pemain tipe ini mampu mengatur permainan bahkan jauh dari lini belakang. Semacam
Professor James Moriarty sebuah karakter dalam Sherlock Holmes yang mampu
mengatur segala sesuatunya dari jauh. Suksesor Pirlo kemungkinan adalah Veratti
dan peran David Beckham pada saat melawan Barcelona minggu lalu, keduanya juga
dilatih oleh Carlo Ancelotti.
Double Pivot
Nama terakhir ini sebenarnya
bukan peran seorang pemain tengah bertahan, namun sebutan kombinasi dari dua
orang yang menjadi otak permainan dalam formasi sepak bola modern 4-2-3-1. Formasi
yang populer 5 tahun terakhir ini berkat penampilan apik Timnas Spanyol dan
Jerman di EURO 2008, Piala dunia 2010, dan EURO 2012. Pada gelaran tersebut
baik Timnas Spanyol maupun Jerman menggunakan kombinasi 2 poros, hasil mutasi
dari beberapa peran diatas. Aktornya tentu saja adalah Khadiera-Schweinsteiger
dan Alonso-Busquets. Atau di level club ada Gustavo-Schweinsteiger yang sukses
membawa Bayern Munich prematur gelar musim ini. Oh ya, kita patut berbangga
hati karena Timnas Indonesia (yang sering menggunakan formasi 3-5-2) sering
menggunakan dua poros. Kombinasinya adalah Bustomi-Firman Utina, atau kemarin
sewaktu melawan arab saudi ada Ponaryo-Wanggai. Sedang imajinasi saya untuk
double-pivot adalah memadukan dua pemain idola saya Michael Carrick dan Bastian
Schweinsteiger di lini tengah Manchester United.
Pada akhirnya inti dari tulisan saya ini adalah saya sangat
terobsesi ingin menjadi poros permainan, karena Holding Midfielder bukan soal
skill sepakbola tapi visi pemain, meski saya harus merelakan ketenaran dan apresiasi
―
tak hanya dalam dunia sepakbola.
07 April 2013
Kedaulatan Migas: Asimetris dan Relativitas Penyederhanaan
“Pertamina bukan milik Negara, Pertamina milik rakyat, dan bukan milik
Presiden serta bukan milik Dirut Pertamina. Mari kita bertindak cepat,
bertindak yang kuat, buat karyawan Pertamina jangan enak-enak saja disana saat
ini, kita terganggu.Energi panas bumi sedang diobok-obok, 40% panas bumi ada di
Indonesia, kenapa kita disuruh mencari sumber minyak di luar negeri ini,
sementara di Indonesia dikasih ke pihak Asing. Apakah orang Kalimantan ikhlas?
Bila tidak, lakukan perlawanan. Hari ini kita jadikan hari bangkitnya
kedaulatan Energi pada Anak Bangsa. Banyuwangi saat ini emasnya lagi
diobok-obok oleh pihak asing, Pertamina milik rakyat, bukan milik
Menteri-Menteri itu, bukan milik penguasa, bukan milik Dirut Pertamina, dan
bukan milik saya. Kilang yang ada di Tuban, Balongan tekan Direksi, jangan
cengeng kalian, segera tekan Direksi kalian masing-masing. Jangan sampai kita
menunggu Bung Karno bangkit dari kuburannya, jangan tunggu VOC jilid dua, apa musti kita
tunggu Bung Karno bangkit dari kuburan." - Ugan Gandar Presiden FSPPB
(Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), saat pembukaan Kedaulatan Migas
di tangan anak bangsa, Senin 18 Maret 2013 lalu.
Saya sedikit tergelitik membaca
orasi tersebut.
Seminggu yang lalu saya sempat
pulang ke kampung halaman dan saya mendapati empat pohon mangga didepan rumah saya sedang di semprot
semacam zat yang saya tak tahu namanya oleh beberapa orang paruh baya. Usut
punya usut, mereka adalah pekerja yang menawarkan jasa mempercepat fertilisasi
buah mangga dan meperbaiki mangga yang dihasilkan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Ibu saya mencerikan lebih lanjut mengenai pekerjaan
orang-orang tersebut, ternyata mereka membuat semacam kontrak tak tertulis
mengenai pembagian hasil buah mangga dengan pemilih pohon (ibu saya) sebesar
33,3 persen untuk pemilik pohon dan 66,6 persen untuk penyedia jasa sebagai
imbalan ‘perawatan’ pohon sekitar 2-3 bulan― sungguh modus operandi baru
bagi saya.
Bagaimana bisa, pihak yang cuma
modal alat semprot dan cairan yang sama sekali kita tak tau (bisa saja mereka cuma
menggunakan air biasa) mendapat bagian 2/3 dari hasil panen mangga itu kelak
ketika dijual nanti, sungguh ketidakadilan menurut saya. Sebuah ungkapan
emosional yang juga dilontarkan para aktivis yang mengagungkan kedaulatan
negara untuk menduga-duga kemudian mecurigai, seperti saya pada penyedia jasa
‘perawatan’ pohon mangga yang mirip PSC itu.
Saya tak akan menyalahkan mereka,
karena menyalahkan mereka sama saja menyalahkan diri saya sendiri, saya hanya
ingin sedikit berbagi dari sudut pandang berbeda, setidaknya sudut pandang yang
saya yakini lebih benar ― meski kebenaran juga relatif. Saya tergelitik untuk
kembali menulis mengenai Kedaulatan Migas yang pernah sedikit saya ulas
beberapa minggu yang lalu. Jika tulisan sebelumnya mengenai kontrak yang lebih
umum, kali ini saya akan lebih membahas mengenai PSC (Production sharing contract).
Production sharing contract selanjutnya disebut PSC, adalah salah
satu bentuk dari pola kerja sama bisnis yang disinyalir benar-benar asli, lahir
dan digagas oleh Indonesia ― sampai beberapa negara, termasuk Malaysia
tak sungkan untuk bertandang ke Indonesia hanya untuk menimba ilmu mengenai
PSC. Beberapa analis fiskal perminyakan berpendapat PSC, sebuah gagasan
briliant dari Ibnu Sutowo, direktur utama pertama Pertamina (dulu: Permina), merupakan
sebuah sistem kontrak yang diadopsi dari berbagai jenis sistem kontrak yang ada
kala itu. Sama seperti aristokrat
ekonomi Indonesia dulu yang menamai sistem ekonomi negara ini dengan Ekonomi Pancasila,
yang seyogyanya juga merupakan gerak bandul antara dua kutub sistem ekonomi
pasar dan sistem ekonomi komando. Mengambil semua kebaikan diantara keduanya.
Kenapa musti PSC? Setidaknya ada tiga
poin menurut Rinto Pudyantoro (dalam bukunya Bisnis Hulu Migas) yang dapat
menjelaskan konsep PSC ini. Pertama,
penguasaan sumber daya alam migas tetap berada di pemerintah. Kedua, pemerintah tidak akan menanggung
resiko atas tidak ditemukanya cadangan migas (indirect investment). Ketiga,
pemerintah tidak menghadapi kesulitan dana, karena tidak terbatas karena
operasi perminyakan menghadapi ketidakpastian. Kesimpulan saya: Pemerintah
menganut risk adversion, padahal
doktrin terkenal dunia bisnis adalah High
Risk, High Return.
Lalu bagaimana perhitungan bagi
hasil dalam PSC? Sudah adilkah? Dalam prakteknya sangatlah rumit, namun penyederhanaan
kurang lebih seperti ini: Pertama,
hasil produksi minyak hasil pengeboran terlebih dahulu disisihkan untuk FTP (First Tranch Petroleum), sebuah konsep
yang diperkenalkan pada sistem PSC baru dimana merupakan pengambilan pertama
sebelum dikurangi macam-macam perhitungan. Kedua,
volume minyak mentah dialokasikan untuk mengembalikan dana talangan yang
dipergunakan untuk membiayai pengangkatan minyak mentah dari perut bumi, atau
populernya disebut recovery cost – Cost Recovery (yang ditagihkan) berbeda
dengan Recovery (yang dibayarkan). Ketiga, sisanya berapapun itu akan
dibagi ke masing-masing pihak berdasarkan porsi pembagian sesuai kontrak,
misalnya perbandingan pemerintah dengan kontraktor sebesar 65% : 35% pada
sistem PSC lama atau 72% : 28% di sistem PSC baru. Keempat menghitung DMO (Domestic
Market Obligation) yang merupakan kewajiban kontraktor untuk menyerahkan
sejumlah migas baianya kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan domestik,
dengan harga khusus bukan harga pasar.
Sebuah perhitungan penyederhanaan
yang samasekali tidak sederhana. Jangan tanyakan kepada saya bagaimana Financial Status Report atau akuntansi
bagi negara dan bagi kontraktornya. Namun bisa jadi, hal-hal yang rumit bagi
saya, merupakan hal yang cukup sederhana bagi pagi pelaku industri migas. Penyederhanaan bisa jadi mempersulit.
Artinya, jika berbicara fundamental
seperti kedaulatan migas, mari kita bawa pembahasan ke level teknikal dulu, karena
banyak faktor yang mempengaruhi fundamental. Jangan sampai diskusi terjebak
pada perdebatan kontra-produktif antara yang tahu dan tidak tahu. PSC sudah
didesain sedemikian rupa, dengan peritungan yang cukup complicated seperti penjelasan kosmik dan hormonal dua muda-mudi yang
tengah jatuh cinta, yang menurut saya bertujuan semata-mata untuk mendiversivikasi
resiko dan optimalisasi.
"Ketidakjelasan yang diikuti
ketidaktahuan, karena informasi yang diberikan tidak komplet, akan memunculkan
kecurigaan" – A.Rinto Pudyantoro
Saya tidak berani menyimpulkan
apa-apa, karena informasi yang saya dapatkan sangatlah sedikit sekali, dan yang
paling penting saya berada di posisi yang hanya mendekati pengamat atau analis (sarjana
saja belum), belum pernah menjadi pemain. Pada akhirnya, sehebat apapun seorang
pengamat atau analis, mereka tak mungkin menyelami lebih dalam dari khasanah
cara pandang para pemain itu sendiri. Tapi seperti yang telah saya katakan di
tulisan sebelumnya, tidak ada jenis kontrak yang belaku umum menguntungkan negara
– kecuali perbedaan kepemilikan sumber daya yang membedakan PSC dengan konsensi.
Tidak ada yang benar-benar cocok untuk
semua negara, apalagi menguntungkan dua belah pihak (pemilik sumber daya dan
penggarap) sekaligus, yang ada hanyalah bagaimana menyusun kontrak agar sesuai
dengan karakteristik negara dan mendapat outcome
yang optimal.
Kalo boleh saya mau menutup
tulisan saya dengan jargon Aditya Muslim, salah satu comic di Indonesia asal
Madura, sekaligus untuk membalas kutipan saya di awal tulisan ini “What's wrong with this country men??” :D
* ilustrasi diambil dari blog Benny Lubiantara, Ekonomi-Migas
* ilustrasi diambil dari blog Benny Lubiantara, Ekonomi-Migas
01 April 2013
Sarkasme, Carrick’s Role, dan Poznan Dance yang tertunda
“Cara yang paling
ampuh untuk melupakan pasangan yang telah mengisi hati kita namun sekarang tak
lagi bersama kita adalah dengan menjadikanya karya sastra” ― Anonim.
Judul tulisan ini tampaknya sangat
memaksakan yang sebenarnya adalah ungkapan emosional (jika bisa dibilang
seperti itu) dari penulis mengenai klub sepakbola pujaan Manchaster United. Saya
menyebut memaksakan karena sebenarnya judul tulisan ini bisa dijadikan 3
tulisan yang berbeda, namun sekali-lagi dengan emosionalnya saya jadikan satu. Saya
ingin mengulas kisah dari tim yang performanya terus menurun diujung musim ini,
terlebih di dua pertandingan terakhir dalam tiga hari ini. Oh ya, jika saya
boleh melakukan pembelaan kutipan diawal tulisan ini bukan tentang asmara atau
percintaan, itu hanya kutipan dalam salah satu film drama Indonesia yang saya
lupa judulnya.
Poin pertama dalam judul sepertinya
menyentil diri saya atas ketidakmampuan saya perihal objektivitas. Beberapa hari
ini (dan juga banyak hari sebelumnya) saya merasakan susahnya melihat dari
kacamata orang lain. Nampaknya hipotesis mata hanya melihat apa yang otak
pikirkan menjadi pembelaan saya yang cukup ampuh. Terlebih untuk sesuatu yang
ingin sekali kita lihat ― seperti kemenangan Manchester United atau seorang gadis pujaan berbaju
putih yang tersenyum malu.
Manchester united diawal musim ini
digadang-gadang mempunyai kedalaman tim yang cukup untuk memenangi semua
kompetisi yang dijalani. Namun buat saya Manchester United tak lebih dari
kereta tua yang semakin lama, seiring berjalanya waktu kehabisan tenaga. Bisa
ditebak (seperti musim lalu) dari 4 kompetisi yang dijalani, satu persatu gelar
hilang. Akhir 2012 lalu MU kehilangan cengkraman di Capitol One (dulu: Carling
Cup), lalu yang paling menyesakkan awal bulan ini harus mengakhiri kiprah di
kancah Eropa, yang para pendukung MU menyebut dikalahkan wasit asal Turki yang
pengucapanya agak susah, padahal MU sejak dulu juga sering dibantu wasit, tapi
mereka tetap tak bergeming. Dan gelar hilang yang terbaru, beberapa jam yang lalu MU juga
tersingkir dari piala FA.
Banyak alasan yang dilontarkan para
punggawa, pelatih, pengamat bahkan supporter mengenai kegagalan MU untuk meraih
gelar-gelarnya. Dari keberpihakan wasit, faktor kelelahan sampai pencurangan
dalam drawing. Padahal MU tak lebih
dari tim yang mempunya tingkat kebergantungan pada sosok yang cukup kuat. Tengok saja musim lalu, lini tengah yang menjadi
kambing hitam dikarenakan kehilangan sosok Paul Scholes, setelah berhasil
membujuk kembali “Pangeran Jahe” untuk tampil kembali dari masa pensiun nya,
perjalanan MU relatif agak mudah meski ujung-ujungnya juga nirgelar. Diawal
musim ini barisan pertahanan giliran jadi sorotan, absennya kapten karismatik
Nemanja Vidic, menjadi opsi Twin Tower
musim lalu gagal terwujud. MU kerap kali kemasukan gol dengan mudah diwal
musim, beruntung MU punya bomber maut hasil bajakan dari rival, Robin Van
Persie yang bisa menutupi kekurangan lini belakang. Pada akhirnya nama
terakhirlah yang juga menjadi kambing hitam atas paceklik gol yang dialami MU 2
bulan terakhir ini. Ketika barisan belakang solid, lini depan seret. Begitulah MU
dalam menjalani musimnya, selalu menggantungkan nasibnya kepada bebrapa orang
saja dalam tim.
Satu-satunya yang masih bisa
dibanggakan adalah chants dari para
fans untuk Central Midfielder andalan, Michael Carrick. Dengan perannya sebagai
Holding Midfielder, Carrick bak Amien
Rais dalam kancah perpolitikan Indonesia yang tenar berkat Poros Tengahnya di
awal tahun 2000an. Tugasnya sebagai penyeimbang tim, perusak serangan lawan dan
menjadi pembagi bola kepada rekan-rekan nya inilah yang sangat krusial. Jika
kebanyakan para fans lain tak menghargai peran seorang poros permainan, lain
halnya dengan MU, para fans tak henti-hentinya menyanyikan lagu untuk menunjang
aksi sang maestro passing di lapangan ― tulisan yang akan datang saya akan mengulas kenapa saya mendewakan Carrick's Role.
"Oh,
oh, oh it's Carrick, you know, hard to believe it's not Scholes"
Chants dari
suporter itu nampaknya juga disepakati oleh Sir Alex Ferguson minimal dalam 2 laga
terakhir ini. Jika media menghembuskan kabar MU menyiapkan 2 tim yang berbeda
untuk melawan Sunderland dan Chelsea dalam rentang waktu kurang dari 3 hari. Alhasil Line-up
yang keluar pun ternyata tak berbeda dengan prediksi media, menariknya nama
Michael Carrick ada pada 2 tim itu. Padahal menurut hemat saya, Carrick dalam 2
pertandingan itu tak bagus-bagus amat, banyak salah passing, dan hanya beruntung tenar berkat chants dari suporter.
Akhirnya kini setelah 31 minggu musim
ini bergulir, MU hanya menyisakan keunggulan 15 point di Liga Inggris ― satu-satunya
gelar yang mungkin didapat. Setelah akhir pekan lalu unggul tipis 0-1 saat
melawat ke Stadium of Light, markas Sunderland. Namun sialnya beberapa saat
kemudian, sang rival Manchester City justru menang mudah atas Newcastle 4 gol
tanpa balas. Harapan para suporter untuk melakukan Poznan Dance balasan
terpaksa harus tertunda.
Apa itu Poznan Dance? Selebrasi ala
fans Manchester City itu sebenarnya diadopsi dari aksi suporter tim Polandia,
Lech Poznan. Formatnya sederhana. Para suporter berdiri membelakangi lapangan,
kemudian berangkulan dan melompat-lompat bersamaan. Dari jauh, aksi ini
terlihat seperti air terjun yang berantakan. Masih ingat dibenak saya ketika 3
minggu menjelang musim lalu berakhir, ketika Mancity berakhir menyamakan
perolehan poin dengan Manutd, setelah Vincent Kompany memberikan gol tunggul
untuk Mancity di akhir babak pertama. Diakhir pertandingan para supporter
Mancity di stadion langsung melakukan Poznan Dance.
Hasil “break even point” menang 0-1 dan
kalah 1-0 dalam 2 pertandingan terakhir, menjadi semacam early wanrning system
bagi Setan Merah. Pasalnya hal ini bisa berdampak sistemik, terlebih pekan
depan harus menjamu Mancity di Old Traffrord. Sudah kebayang dibenak saya
ketika rentetan kegagalan dimusim ini berujung pada ketakutan kembali tanpa
gelar musim lalu, alhasil Manutd bermain layaknya seorang pemuda polos yang dihadapkan
pada gadis pujaannya, sudah bisa ditebak salah tingkah karena terlalu
berhati-hati. Skenarionya minggu depan, karena terlalu berhati-hati Manutd pun
tumbang dihadapan Mancity. Setelah itu mental menjadi semakin memburuk,
berlanjut ke kekalahan-kekalahan yang lainya. jadi seharusnya jika merujuk frasa
pertama dalam judul tulisan ini maka bukan “Poznan yang tertunda”, tapi “Poznan
balasan yang gagal terwujud”.
Jadi
alasan Manutd kelelahan pasca jeda internasional dan menjalani 2 pertandingan
dalam 3 hari sungguh tak masuk akal, murni alasan yang dibuat-buat, karena sang
rival, Chelsea justru lebih singkat masa jedanya, tapi mereka unggul segalanya. Sedangkan 2 tim berbeda yang
dibuat harusnya disiapkan menjadi 3 tim
yang berbeda, karena minggu depan Manutd akan menghadapi Galatasaray di
perempat final Liga Champions ― seorang fans yang gagal move on.
Jadi
apalagi yang dibanggakan dari Manutd sekarang? 19 gelar Liga Inggris? Itu sudah
2 tahun yang lalu. 3 gelar liga Champions? Itu juga sudah 5 tahun yang lalu. 12
gelar Piala FA? Itu justru lebih jauh lagi, 9 tahun yang lalu teraklhir kali
piala FA singgah di Old Trafford.
Selesai,
semoga sarkasme saya berhasil. Oh iya, entah kenapa backsound desktop saya waktu
menulis tulisan ini jadi gini:
Salahkah bila hati berharap...
Dan akupun terus berharap...
Kau yang terindah untuk ku... untuk ku...
Kau Yang Terindah - Nidji