ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

10 October 2013

Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan (Part 2 - Habis)

Perepuan adalah mahluk gaib urutan satu, urutan kedua baru Tuhan” – Jalaluddin Rumi

Akhirnya saya memiliki kesempatan untuk meneruskan postingan sebelum ini, meski waktu banyak saya miliki, namun kesempatan tak selalu berbanding lurus dengan waktu. Izinkan saya untuk membaca tulisan saya sebelum ini, sembari mengingat ingat apa yang ingin saya ceritakan.

Seingat saya malam itu tak terlalu dingin, matahari baru saja masuk ke peraduan setelah seharian menghangatkan mahluk bumi. Kedamaian pergantian siang dan malam ketika langit sedikit menggelap sehabis magrib adalah kombinasi suasana yang indah. Saya pun masih khidmat memandangi sudut bangunan megah yang menjadi rumah siang saya selama 4 tahun terakhir − karena biasanya saya hanya kembali ke kosan hanya untuk tidur.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, menjelang malam itu tak banyak orang yang hilir mudik seperti layaknya kampus dikala malam. Maka tak banyak yang mengalihkan perhatian saya saat itu. Hanya terlihat seorang gadis berpawakan agak tinggi, berdandan sekenanya sehingga lebih terlihat urakan, namun terlihat nyaman, tengah berjalan bergegas entah kemana. Dengan menenteng beberapa buah buku teksbook dan buku catatan canggih buatan Cupertino, California dengan logo buah yang terkenal itu, gadis tinggi yang terlihat urakan ini berjalan sembari menempelkan telpon genggamnya ke telinganya. Saya tak yakin ia benar-benar menelpon atau hanya kamuflase ditengah keramaian saja.

Saya memutuskan tak terlalu mengamatinya lebih jauh lagi. Namun, tiba-tiba saya dikagetkan oleh gadis berkacamata, berbaju polo biru menenteng tas berwarna biru bergaris putih dipundaknya lewat disebelah saya. Entah dari mana datangnya tiba-tiba gadis itu lewat disamping saya, dia-pun seketika tersenyum melihat saya sedikit terkagetkan. Sempertinya saya mengenali senyumanya gadis itu, senyuman yang khas melengkung indah dan membuat lekukan di ujung bibir dan mengangkat sebagian pipinya. Saya pun menimpali senyumanya meski dengan perasaan yang sedikit masih terkaget-kaget.

Setelah gadis berbaju polo biru lewat, saya mendapati dua mahasiswi sedang mengobrol serius dibawah salah satu pohon besar di kampus saya. Mahasiswi yang pertama terlihat anggun sekali dengan mengunakan baju motif batik terusan sampai sedikit diatas lutut. Baju terusan yang membuat saya teringat pada pramugari Singapore Airlines namun yang ini hadir dengan versi lebih pendek. Mahasiswi yang kedua lebih simpel, hanya memakai kaos berwarna abu-abu dengan lengan berwarna merah maroon serta jilbab tipis berwarna krem. Melihat raut muka keduanya, nampaknya mereka sedang berdiskusi membicarakan organisasinya. Ah saya tak terlalu peduli apa yang sedang mereka bicarakan, bisa jadi sedang membicarakan saya.

Entah kenapa malam itu lebih banyak wanita yang saya temui ketimbang laki-laki. Bisa jadi seperti kutipan diawal tulisan ini benar adanya. 

Aktivitas saya mengamati sekeliling sembari memasukan kepingan memori yang ada dikampus saya untuk dikenang suatu saat ternyata membuat saya tak sadar saya telah diamati dari jauh. Iya saya sedang diamati dari jauh ternyata − atau saya yang terlalu percaya diri. Terlihat ada dua mahasiswa berada dibawah tenda yang berpadu dengan kegelapan. Bahkan saking berpadunya saya tak bisa melihat dengan jelas salah satu mahasiswi tersebut hanya mahasiswi berjilbab merah muda dan atasan merah muda namun lebih tua dari jilbabnya. Dirinya tertangkap membuang pandanganya ketika saya pergoki dirinya mengamati saya dari kejauhan.

Mungkin sebaiknya saya mengakhiri proses perekaman kenangan di kampus saya malam itu, daripada saya mengetahui lebih banyak lagi yang mengamati ku dari jauh, terlebih tak baik rasanya berdiri seorang diri ditengah plasa kampus ketika hari semakin larut malam. Namun sebelum beranjak pulang menyempatkan untuk sholat Magrib terlebih dahulu.

Selepas Sholat Magrib saya bergegas menuju tempat parkir, namun ditengah perjalanan saya melihat gadis yang sepertinya beberapa saat lalu saya melihatnya di bawah pohon besar itu, namun kali ini ia sendirian duduk di sebuah bangku panjang dan mencoba menyibukan diri dengan telepon genggamnya, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Dalam keadaan satu-lawan-satu tersebut keputusan untuk menyapa atau sekedar senyum seperti kasus prisoner’s dilemma pada mata kuliah Game Theory. Teori tersebut menyebutkan bahwa payoff tertinggi hanya didapat ketika dua pihak melakukan hal yang sama. Pada kasus ini saya memutuskan untuk tidak memberikan senyum atau sekedar menyapa karena hal itu pula yang dilakukanya dan berpura-pura tak melihat saya, mungkin demi payoff yang maksimal juga.

Ah.. saya jadi lupa ingin menceritakan apa sebenernya, saya cuman ingat, suatu saat, jika kamu meninggalkan suatu tempat, tapi sama sekali tak dikenang oleh orang-orang ditempat itu, itu salah mu.

Selesai.

Oh iya saya ingin menceritakan pada adik baru saya yang belum ada satu semester aku memanggilnya adik. Biasanya dia tau lanjutan cerita ini akan seperti apa. Biasanya.

01 October 2013

Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan (Part 1)

“Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup — yang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah” — Goenawan Muhamad.

Malam itu saya berdiri ditengah-tengah halaman kampus saya. Tak banyak mahasiswa yang hilir mudik, hanya beberapa terlihat duduk melingkar semacam berdiskusi, dan beberapa yang lewat hendak menunaikan sholat Maghrib. Tak banyak yang saya lakukan saat itu, saya hanya berdiri tepat ditengah plasa kampus lalu menyapu pandangan ke segala penjuru kampus, sembari menangkap semua momen yang masih teringat dalam kepala. Saya memaksakan potongan-potongan moment yang telah saya kumpulkan selama 4 tahun ini kemudian memaksakanya masuk kedalam kepala. Dalam benak saya saat itu hanya: Suatu saat saya akan merindukan tempat ini.

Entah kenapa ada orang yang sangat menikmati nostalgia seperti saya ini, meski ada pula orang yang dengan mudahnya melupakan darimana ia berasal dan lupa bagaimana bisa menjadi seperti yang sekarang. Saya tak tahu mana yang lebih baik, seperti saya menganggap Extrovert itu yang terbaik (seperti pada tulisan-tulisan kepribadian, Extrovert lebih sering di asosisiakn positif) karena merupakan pribadi yang seru, tak membosankan, ramah, dan selalu terlihat bersemangat. Namun ternyata Tuhan juga menciptakan Introvert sosok yang lebih bijak karena berbagi hanya hal tertentu dan pada orang tertentu pula, mereka juga lebih sempurna memperhatikan detail. Semua akan benar pada tempatnya.

Bagi sosok penikmat nostalgia, saya dapat dengan jelas mengingat kala pertama kali saya menuntut ilmu di kampus ini, hari itu hari senin akhir Agustus 4 tahun yang lalu, perkuliahan dimualai jam 7.00 tepat, dan saya sampai dikelas pukul 6.50 dan mendapati dosen sudah berada diruangan kelas pengantar bisnis tersebut. Tentunya saya ingat kuliah terakhir di kampus ini — sekitar 3 bulan yang lalu. Saya mengingatnya karena saya ingin mengingatnya.

Ada yang bilang bahwa apabila seorang hidup dengan cinta maka dia sudah hidup di surga sebelum mati. Seperti sajak Dr. Leo Buscalgia dalam bukunya yang berjudul “Love” menceritakan dirinya ketika diilhami membuka “Love Class” di University of Southern California karena pada musim dingin 1969 salah satu muridnya yang pintar dan cantik serta berasal dari keluarga berkecukupan bunuh diri di pantai Pasific Palisades di Los Angeles. Inti buku tersebut dinyatakan dalam kalimat “Love requires one to be strong”, cinta membutuhkan seseorang untuk menjadi kuat.

Mungkin dalam konteks mahasiswa kekinian, keputusan bunuh diri dirasa terlalu kejam, namun bukan tidak mungkin banyak mahasiswa sekarang menjalani masa-masa menjadi mahasiswa dengan hati yang telah terbunuh, menjadikan hari-hari perkuliahanya hanya sebatas rutinitas nan kering makna — jika saya tak berlebihan.

Saya mencintai kehidupan 4 tahun terakhir ini, cinta ini membuat segala sesuatunya menjadi menarik untuk diceritakan. Namun pada akhirnya saya tak boleh terlena atas cinta yang saya ciptakan. Jika saya tak salah ingat Goenawan Mohamad pernah berujar: ada sebuah negeri yang ingin sekali anda tinggalkan, namun entah kenapa anda tak bisa meninggalkanya, saya ingin menggantinya dengan bisa jadi ada tempat yang sebenernya tidak ingin kau tinggalkan, tapi bagaimanapun anda harus meninggalkanya.

Terima kasih Tuhan, telah memberikan saya kesempatan untuk menunaikan mimpi ini dengan baik.

Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi

Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua

Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan

Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian

Bersambung... Karena saya harus mengemas barang-barang yang begitu banyak agar muat di koper.