Tulisan ini bukan hasil produk latah seperti seorang anak SMA yang mendadak mengelu-elukan nama seorang penyanyi di ajang pencarian bakat karena teman-temannya juga demikian, atau para hipster yang selalu mengupdate gaya berpakaiannya agar terlihat non-mainstream, atau komunitas yang urban lifestyle yang mendadak merencanakan sebuah kejutan ditempat-tempat publik dengan harlem shake nya kemudian men-share nya ke jejaring-jejaring sosial terdekat ― mungkin.
Bukan seperti itu, tulisan ini
bagi saya adalah obat dari kekecewaan yang amat-sangat-dalam untuk kekalahan
tim favorit saya, Manchester United atas Real Madrid dua hari yang lalu.
Kekalahan ini setidaknya bermakna dua bagi saya: pertama, kemungkinan saya
tidak akan mendengar lagi lagu pembakar semangat “Champions League Anthem” ciptaan Tony Britten, setidaknya sampai
laga final di Wembley bulan Mei mendatang. Kedua, saya harus buru-buru pulang
ke kos saya setelah pulang dari kampus beberapa hari ini, sebelum teman-teman
saya mencoba mengingatkan pertandingan menyedihkan itu.
Sebelum membahas pertandinganya,
saya tiba-tiba ingat belum lama ini saya membaca sebuah tulisan psikologi ―karena
saya selalu menyukai bidang ini― mengenai sensation dan perception.
Menurut penulisnya Perception tidak
akan terjadi tanpa sensation. Tunggu
bentar, buat yang tak tau psikologi, saya coba jelaskan apa itu sensation? Apa itu perception? Sensation adalah tahapan paling mendasar dari proses
biokimia atau neurologis yang dimulai dari adanya stimulus yang ditangkap oleh
reseptor dari organ sensorik, seperti 5 indra kita (pembau, pendengar, peraba,
pelihat, perasa). Sedangkan perception adalah proses dari penghantaran
sensasion menuju otak, untuk kemudian diolah menjadi informasi yang bermakna.
Lalu apa hubunganya dengan pertandingan sepak
bola? Pertandingan sepakbola, terutama pertandingan besar, kini menjelma
menjadi adu argumen ― bahkan menjadi adu fisik, dibeberapa kasus ― antar pendukung tim
sepak bola. Mereka seakan berlomba-lomba mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
untuk saling menyerang satu sama lain, mencaci rival yang bahkan tidak ada
dalam pertandingan, atau sekedar menghubung-hubungkan beberapa fakta dan
statistik kedalam pertandingan agar terlihat rasional. Tapi pada akhirnya semua
perception itu tak akan terjadi tanpa
sensation dan menurut Pendiri The
Guardian, CP Scott “Comment is free, but
facts are sacred”.
Sebagai pemuja Setan Merah ― tolong jangan
anggap saya kafir ― fakta dari pertandingan dua hari yang lalu itu adalah: Tim
favorit saya united bermain gemilang dengan 10 orang sejak menit ke 56 melawan
tim yang berasal dari galaksi lain (baca: Los
Galacticos), meski pada akhirnya kalah, iya kalah. Taktik Sir Alex Ferguson
dianggap berhasil meredam determinasi madrid selama 56 menit, dengan tidak
menyertakan key player united tahun lalu, Rooney kedalam starting line-up dan
menggantinya dengan Wellback, terbukti ampuh mengganggu awal serangan tim lawan
melalui deep lying plamaker-nya Xabi
Alonso. Jangan lupakan pula pemain terbaik di paruh pertama pertandingan itu,
legenda hidup Manutd, Ryan Joseph Giggs yang sukses memutus aliran bola menuju runner-up ballon d’or 3 tahun
berturut-turut, Cristiano Ronaldo ― serta ikut membantu “mengusir” Angel di
Maria keluar pertandingan karena cedera sesaat sebelum jeda.
Jika serangan Madrid melalui sisi kiri
(Contrao-Ronaldo) berhasir di redam olah kombinasi Giggs-Rafael, serangan
Madrid dari sisi kanan oleh kombinasi Di Maria – Mesut Ozil (Ozil sedikit ke
tengah, tapi kemudian ditutup oleh Carrick) juga berhasil dikendalikan oleh
Cleverley dan Evra. Nani bertugas memutus aliran dari Arbeloa ke keduanya
sekaligus tumpuan serangan balik united. Mau tak mau serangan Madrid sebelum
menit ke 56 dimulai dari Sami Kediera yang tak diredam secara khusus oleh sir
Alex Ferguson.
Kemudian angka 56 pun seakan menjadi
headline diberbagai media. Angka yang menunjukan menit kejadian sebenarnya
debateble (bagi saya fans united), yaitu kala Nani mendapat kartu merah
langsung dari wasit asal Turki yang selalu mengingatkan saya pada Cangkir,
setelah mengangkat kaki terlalu tinggi dan mengenai dada Arbeloa. Semua orang
pun sibuk mengomentari insiden yang menjadi titik balik kekalahan United itu
dari berbagai disiplin ilmu masing-masing.
“Did
Nani see Arbeloa coming?” Anda bisa melihat sendiri bagaimana posisi Nani.
Ia sedang berusaha mengontrol bola yang berada di mid-air, terang saja ia
mengangkat tinggi kakinya. Tapi Nani tidak berusaha menyakiti siapa pun.
Posisinya bahkan membelakangi Arbeloa. Nani tidak tahu bahwa Arbeloa berlari ke
arahnya (Pangeran Siahaan).
Namun menurut Roy Keane ― yang
sebenarnya legenda hidup United ― jurtru berujar sebaliknya, Nani pantas
dihukum kartu merah, tak peduli alasannya, di rule of the game FIFA jelas mengatakan mengangkat kaki terlalu
tinggi itu membahayakan pemain lain, dan harus diberi peringatan. Memang benar yang
dikatakan Roy Keane, sama seperti statement “Mencuri itu dosa, sedangkan bersedekah
itu mendapat pahala, jangan tanyakan Netto-nya” keduanya adalah hal yang
terpisah meskipun ada orang mencuri tetapi digunakan untuk bersedekah.
Terlepas dari perdebadan benar atau
salah kartu merah Nani, menurut saya kekalahan United bukan dikarenakan faktor
10 versus 11 pemain namun lebih dikarenakan mental yang telah jatuh ketika sedari
awal persepsi para pemain United mengenai wasit “Cangkir” itu yang hobby
mengeluarkan kartu (Kuning dan Merah) terlebih kepada pemain asal Inggris. Sebelum
Nani tercatat ada nama Gary Cahill, Steven Gerrard, John Terry, dan Mario
Balotelli yang menjadi korban “Cangkir”. Fakta itulah yang mendasari kejatuhan
mental para pemain United sesaat setelah Nani di kartu merah, dalam benak
mereka MUncul persepsi kalo kartu merah ini telah direncanakan sebelumnya. Namun
kejatuhan mental itu ― entah untung atau rugi ― tidak berlangsung lama,
setelah skor berhasil dibalikan oleh Madrid, United lekas mengurung tim asal
ibukota Spanyol itu, dan menciptakan banyak peluang berbahaya. Berarti bukan
karena 10 orang pemain kan? 10 orang itu hanya alasan kami saja.
Pada akhirnya jika diawal saya membuka
dengan perception tak akan ada jika tidak ada Sensation, diakhir tulisan ini
saya justru akan mengutip pendapat yang sebaliknya, dari Filsuf Prancis, Henri
Bergson, yang dikutip balik oleh Pangeran Siahaan “The eye only sees what the mind is prepared to comprehend”. Mata
hanya melihat apa yang siap dicerna oleh pikiran. Sama seperti kehidupan, orang
lain melihat kita seperti apa yang ingin (ada dipikiran) mereka lihat mengenai
kita.
Hala Madrid!
Sudah habis.
Sudah habis.
Oh iya, sepertinya ini tulisan panjang
saya pertama setelah, Januari tahun lalu. Sudah sangat lama ternyata, para
pecinta tulisan saya (kalau ada) pasti sudah lama menantikan tulisan ini.
Seperti para pembenci United yang menantikan kekalahan dua hari lalu ― United
tercatat kali terakhir kalah dipertandingan kompetitif adalah bulan November
tahun lalu, versus Norwich ― mereka ingin berargumen, mencela, tapi sayangnya Kami
tak terbiasa kalah. J
2 komentar:
#PFFTTTTT
HAHHAA
Post a Comment