07 March 2013

Sebuah Alasan: Maaf, Kami Tak Terbiasa Kalah!


Tulisan ini bukan hasil produk latah seperti seorang anak SMA yang mendadak mengelu-elukan nama seorang penyanyi di ajang pencarian bakat karena teman-temannya juga demikian, atau para hipster yang selalu mengupdate gaya berpakaiannya agar terlihat  non-mainstream, atau komunitas yang urban lifestyle yang mendadak merencanakan sebuah kejutan ditempat-tempat publik dengan harlem shake nya kemudian men-share nya ke jejaring-jejaring sosial terdekat ― mungkin.

Bukan seperti itu, tulisan ini bagi saya adalah obat dari kekecewaan yang amat-sangat-dalam untuk kekalahan tim favorit saya, Manchester United atas Real Madrid dua hari yang lalu. Kekalahan ini setidaknya bermakna dua bagi saya: pertama, kemungkinan saya tidak akan mendengar lagi lagu pembakar semangat “Champions League Anthem” ciptaan Tony Britten, setidaknya sampai laga final di Wembley bulan Mei mendatang. Kedua, saya harus buru-buru pulang ke kos saya setelah pulang dari kampus beberapa hari ini, sebelum teman-teman saya mencoba mengingatkan pertandingan menyedihkan itu.

Sebelum membahas pertandinganya, saya tiba-tiba ingat belum lama ini saya membaca sebuah tulisan psikologi ―karena saya selalu menyukai bidang ini― mengenai sensation dan perception. Menurut penulisnya Perception tidak akan terjadi tanpa sensation. Tunggu bentar, buat yang tak tau psikologi, saya coba jelaskan apa itu sensation? Apa itu perception? Sensation adalah tahapan paling mendasar dari proses biokimia atau neurologis yang dimulai dari adanya stimulus yang ditangkap oleh reseptor dari organ sensorik, seperti 5 indra kita (pembau, pendengar, peraba, pelihat, perasa). Sedangkan perception adalah proses dari penghantaran sensasion menuju otak, untuk kemudian diolah menjadi informasi yang bermakna.

 Lalu apa hubunganya dengan pertandingan sepak bola? Pertandingan sepakbola, terutama pertandingan besar, kini menjelma menjadi adu argumen ― bahkan menjadi adu fisik, dibeberapa kasus ― antar pendukung tim sepak bola. Mereka seakan berlomba-lomba mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk saling menyerang satu sama lain, mencaci rival yang bahkan tidak ada dalam pertandingan, atau sekedar menghubung-hubungkan beberapa fakta dan statistik kedalam pertandingan agar terlihat rasional. Tapi pada akhirnya semua perception itu tak akan terjadi tanpa sensation dan menurut Pendiri The Guardian, CP Scott “Comment is free, but facts are sacred”.

Sebagai pemuja Setan Merah ― tolong jangan anggap saya kafir ― fakta dari pertandingan dua hari yang lalu itu adalah: Tim favorit saya united bermain gemilang dengan 10 orang sejak menit ke 56 melawan tim yang berasal dari galaksi lain (baca: Los Galacticos), meski pada akhirnya kalah, iya kalah. Taktik Sir Alex Ferguson dianggap berhasil meredam determinasi madrid selama 56 menit, dengan tidak menyertakan key player united tahun lalu, Rooney kedalam starting line-up dan menggantinya dengan Wellback, terbukti ampuh mengganggu awal serangan tim lawan melalui deep lying plamaker-nya Xabi Alonso. Jangan lupakan pula pemain terbaik di paruh pertama pertandingan itu, legenda hidup Manutd, Ryan Joseph Giggs yang sukses memutus aliran bola menuju runner-up ballon d’or 3 tahun berturut-turut, Cristiano Ronaldo ― serta ikut membantu “mengusir” Angel di Maria keluar pertandingan karena cedera sesaat sebelum jeda.

Jika serangan Madrid melalui sisi kiri (Contrao-Ronaldo) berhasir di redam olah kombinasi Giggs-Rafael, serangan Madrid dari sisi kanan oleh kombinasi Di Maria – Mesut Ozil (Ozil sedikit ke tengah, tapi kemudian ditutup oleh Carrick) juga berhasil dikendalikan oleh Cleverley dan Evra. Nani bertugas memutus aliran dari Arbeloa ke keduanya sekaligus tumpuan serangan balik united. Mau tak mau serangan Madrid sebelum menit ke 56 dimulai dari Sami Kediera yang tak diredam secara khusus oleh sir Alex Ferguson.

Kemudian angka 56 pun seakan menjadi headline diberbagai media. Angka yang menunjukan menit kejadian sebenarnya debateble (bagi saya fans united), yaitu kala Nani mendapat kartu merah langsung dari wasit asal Turki yang selalu mengingatkan saya pada Cangkir, setelah mengangkat kaki terlalu tinggi dan mengenai dada Arbeloa. Semua orang pun sibuk mengomentari insiden yang menjadi titik balik kekalahan United itu dari berbagai disiplin ilmu masing-masing.

Did Nani see Arbeloa coming?” Anda bisa melihat sendiri bagaimana posisi Nani. Ia sedang berusaha mengontrol bola yang berada di mid-air, terang saja ia mengangkat tinggi kakinya. Tapi Nani tidak berusaha menyakiti siapa pun. Posisinya bahkan membelakangi Arbeloa. Nani tidak tahu bahwa Arbeloa berlari ke arahnya (Pangeran Siahaan).

Namun menurut Roy Keane ― yang sebenarnya legenda hidup United ― jurtru berujar sebaliknya, Nani pantas dihukum kartu merah, tak peduli alasannya, di rule of the game FIFA jelas mengatakan mengangkat kaki terlalu tinggi itu membahayakan pemain lain, dan harus diberi peringatan. Memang benar yang dikatakan Roy Keane, sama seperti statement “Mencuri itu dosa, sedangkan bersedekah itu mendapat pahala, jangan tanyakan Netto-nya” keduanya adalah hal yang terpisah meskipun ada orang mencuri tetapi digunakan untuk bersedekah.

Terlepas dari perdebadan benar atau salah kartu merah Nani, menurut saya kekalahan United bukan dikarenakan faktor 10 versus 11 pemain namun lebih dikarenakan mental yang telah jatuh ketika sedari awal persepsi para pemain United mengenai wasit “Cangkir” itu yang hobby mengeluarkan kartu (Kuning dan Merah) terlebih kepada pemain asal Inggris. Sebelum Nani tercatat ada nama Gary Cahill, Steven Gerrard, John Terry, dan Mario Balotelli yang menjadi korban “Cangkir”. Fakta itulah yang mendasari kejatuhan mental para pemain United sesaat setelah Nani di kartu merah, dalam benak mereka MUncul persepsi kalo kartu merah ini telah direncanakan sebelumnya. Namun kejatuhan mental itu ― entah untung atau rugi ­― tidak berlangsung lama, setelah skor berhasil dibalikan oleh Madrid, United lekas mengurung tim asal ibukota Spanyol itu, dan menciptakan banyak peluang berbahaya. Berarti bukan karena 10 orang pemain kan? 10 orang itu hanya alasan kami saja.

Pada akhirnya jika diawal saya membuka dengan perception tak akan ada jika tidak ada Sensation, diakhir tulisan ini saya justru akan mengutip pendapat yang sebaliknya, dari Filsuf Prancis, Henri Bergson, yang dikutip balik oleh Pangeran Siahaan “The eye only sees what the mind is prepared to comprehend”. Mata hanya melihat apa yang siap dicerna oleh pikiran. Sama seperti kehidupan, orang lain melihat kita seperti apa yang ingin (ada dipikiran) mereka lihat mengenai kita.

Hala Madrid!

Sudah habis.

Oh iya, sepertinya ini tulisan panjang saya pertama setelah, Januari tahun lalu. Sudah sangat lama ternyata, para pecinta tulisan saya (kalau ada) pasti sudah lama menantikan tulisan ini. Seperti para pembenci United yang menantikan kekalahan dua hari lalu ― United tercatat kali terakhir kalah dipertandingan kompetitif adalah bulan November tahun lalu, versus Norwich ― mereka ingin berargumen, mencela, tapi sayangnya Kami tak terbiasa kalah. J

2 komentar:

Post a Comment