18 April 2013

Cerita Kancil Harga Bahan-Bakar Minyak (Part 1)



Pencarian kebenaran oleh ilmuan dilakukan untuk membuat mereka melihat apa yang tidak mereka lihat, tidak untuk memahami apa yang telah mereka pahami, dan pencarian itu sendiri adalah untuk menemukan lawan dari yang mereka temukan” ― Surat Galileo kepada Loraine.

Beberapa hari ini, isu kenaikan harga BBM kembali menyeruak ke permukaan. Bagi saya yang tertarik dan sedang mengerjakan tugas akhir (bukan expertise atau pengamat) dibidang Migas, saya merasa malu jika saya tidak memberikan kontribusi mengenai isu ini. Jika itu terjadi saya merasa seperti seorang fans klub sepakbola yang datang ke stadion ketika tim saya bertanding, atau seseorang yang mentasbihkan keimanan kepada suatu agama namun gagal melaksanakan ritus-ritus harian, atau bahkan jika saya mengindahkan isu ini saya mungkin lebih seperti seorang sosialita ibukota yang memilih berada didalam rumah saat rekan-rekanya menghadiri university party di hari senin malam. Semoga kali ini bukan overreach saya.

Sebelumnya jika anda berharap saya akan menulis mengenai data-data subsidi BBM, neraca pembayaran, dan opsi-opsi yang akan ditempuh pemerintah untuk menangani kasus ini, sebaiknya anda tidak udah melanjutkan membaca karena harapan anda sepertinya tidak akan tertunaikan. Pertama, karena dari sekian literatur migas yang saya baca, hampir semuanya memetakan konstalasi hulu migas, hanya sedikit yang mengenai hilir migas. Kedua, saya dalam keadaan yang tidak berwenang dan minim informasi dengan hal tersebut. Ketiga, saya tidak mau terlalu jauh mengomentari proses politik.

Kemarin sore, saya terjebak beberapa puluh menit didalam kamar kos lantaran saya bingung memutuskan apakah sore itu saya mau menononton Oblivion ― film science fiction yang dibintangi oleh aktor tampan Tom Cruise, atau saya mau jogging untuk menjaga ketahanan fisik saya.Hampir satu jam berlalu saya gunakan untuk memikirkan keduanya, sembari mencari-cari alternatif lain ― semacam jogging didalam XXI ketika sedang memutar Oblivion mungkin. Singkat cerita, keputusan telah didapat, saya berganti baju, kali ini bukan pakaian jogging yang saya pakai, saya keluar kamar, menyalakan mesin motor, saya mendapati langit mendung hebat, bisa dipastikan beberapa menit setelah itu, hujan lebat dan saya tak jadi keluar untuk menonton. Selkali lagi, saya kehilangan momentum.

Mungkin kisah saya tadi bisa sedikit menggambarkan kebimbangan pemerintah kala memutuskan kenaikan BBM beberapa tahun ini. Para pemangku jabatan lebih sibuk memikirkan dan menimbang-nimbang dari analisis teknis, sampai non-teknis, dari dampak ekonomi sampai dampak politik. Lebih parahnya lagi ketika keputusan telah dibuat, langit sudah terlanjur mendung ― neraca pembayaran sudah sekarat dan rakyat sudah terlanjur mengecap kebimbangan pemerintah. Namun, untuk kasus saya kebimbangan telah menyelamatkan dari hujan, untuk kasus keputusan pemerintah tentang kenaikan BBM, saya tidak tahu. Dan seperti janji saya diatas saya tidak mau mengomentari lebih jauh tentang proses politik.

 “Kejayaan amerika bukan karena mereka lebih pintar dari yang lain, tetapi karena mereka belajar dari kesalahanya” ―  Alexis du Turquise

Jika kita bicara perhitungan harga BBM, kepala saya langsung memisahkan antara harga hulu dan harga hilir, harga hulu mengacu ke perhitungan crude, cost, dll (sudah saya jelaskan di tulisan kedaulatan migas) dari awal ditemukan cekungan sampai minyak keluar dari perut bumi. Sedangkan harga hilir adalah perhitungan harga dari harga minyak yang masuk ke kilang, biaya rifenery, pengangkutan, fee, dan komponen harga lain. 
Nah ketika tulisan ini membahas mengenai harga BBM maka ceritanya adalah harga hilir yang berawal dari perhitungan harga minyak yang masuk ke kilang. Saya katakan ‘perhitungan harga minyak yang masuk ke kilang’ bukan ‘harga minyak mentah’ karena perhitunganya tidak menggunakan harga yang seragam. Untuk minyak dalam negeri, Pertamina sebagai otoritas pemengang Public Service Obligation pengadaan BBM mendapatkan minyak dari KKKS dengan metode DMO atau Domestik Market Obligation, yang kira-kira intinya kewajiban KKKS untuk menyerahkan sebagian minyaknya dengan harga khusus yang disepakati dalam rangka pemenuhan kebutuhan domestik. Sedangkan minyak Pertamina yang berasal dari luar negeri perhitunganya bukan merupakan harga minya dunia seperti WTI, NYIMEX, BRENT yang dengan mudahnya kita unduh dari banyak website asing, namun menggunakan harga MOPS (Mean of Platts Singapore) atau harga perdagangan minyak dari singapore.

Begitu complicated-nya perhitungan harga minyak yang masuk ke kilang pertamina tersebut  membuat saya berargumen asumsi harga keekonomian minyak yang diungkap oleh para pengamat ataupun lembaga-lembaga tidak ada yang tepat 100 persen, saya berani taruhan atas hal ini, dan saya menjagokan Pertamina sebagai satu-satunya pihak yang mengetahui perhitungan ini. Saya katakan rumit karena DMO disini nilainya berdasarkan kontrak antara KKKS dengan BPMIGAS (sekarang: SKMIGAS) yang tentunya tidak ada keseregaman diantara kontrak-kontrak yang ada. Sedangkan MOPS adalah harga pasar komoditas, yang sarat akan spekulasi dan negosiasi, bahkan informasi harga MOPS ini berbayar, kita musti membayar sejumlah uang yang tidak sedikit untuk sekedar  mendapatkan harga MOPS, hanya Pertamina yang tahu secara pasti harga MOPS.  Sampai disini, saya hanya ingin mengatakan bahwa harga variabel input minyak beragam ― belum lagi impor BBM jadi untuk memenuhi kapasitas kilang Pertamina yang tak mengalami penambahan sejak 2005.

Perhitungan yang kedua adalah mengenai rifenery atau pengolahan dari minyak mentah untuk menjadi BBM yang dilakukan oleh Pertamina. Bagian ini paling susah untuk dijelaskan, saya harus mengambil master teknik perminyakan dulu mungkin untuk menjelaskan detail perhitungan. Karena keruwetan berikut: masing-masing kilang ada spesifikasinya, masing-masing minyak mentah ada karakternya, dan masing-masing petroleum product berbeda nilai jualnya. Pertanyaan minyak yang dibeli dengan harga berapa dan menghasilkan berapa liter BBM, dan berapa biayanya, membutuhkan banyak waktu di goa untuk bertapa demi menemukan jawabanya.


Perhitungan yang ketiga adalah, masalah fee. Sudah sama-sama kita ketahui bahwa pertamina mengemban peran sebagai PSO (baca juga tulisan-tulisan saya sebelumnya) dimana pemerintah ditugaskan untyuk menyediakan BBM untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk perannya yang ini, Pertamina sama sekali tak mendapat untung ― bahkan menurut dirut Pertamina, fungsi ini yang paling menguras energi Pertamina. Namun dalam catatan BPH MIGAS yang saya temukan beberapa saat sebelum menulis tulisan ini, Pertamina memperoleh fee atas pengusahaan PSO-nya. Pertanyaanya kemudian jika Pertamina tak mengambil profit, lalu bagaimana dengan SPBU rekanan (SPBU DODO - Dealer Owned Dealer Operated ) yang menjual BBM bersubsidi? Apakah keuntungan dari SPBU tersebut termasuk dalam perhitungan subsidi?

Perhitungan keempat adalah mekanisme penagihan Pertamina kepada Pemerintah. Sebatas yang saya ketahui bahwa penagihan dilakukan Pertamnia di akhir periode penganggaran, dengan melaporkan berapa banyak BBM bersubsidi yang telah didistribusikan dalam periode tersebut kepada pemerintah. Kemudian pemerintah akan melunasi semua biaya yang telah dikeluarkan Pertamina ― maaf saya belum banyak membaca tentang ini, kalau ada yang punya referensi penagihan bisa berbagi dengan saya. Sedangkan yang saya tahu utang Pemerintah ke Pertamina beraneka macam. Mulai dari ongkos melakukan ekspor gas dan minyak jatah pemerintah ke pembeli luar negeri maupun dalam negeri. Serta ongkos dari mengelola dan mengolah LNG sampai siap ekspor.

Lalu bagaimana bagaimana apa arti semua ini? Artinya butuh teknikal karena pemahaman fundamental saja tak cukup untuk mengkritisi sebuah kebijakan. Banyak data level perusahaan, yang sangat rahasia tentunya, tidak kita ketahui sebagai observer. Intinya kita seperti sedang berperang pada level asumsi, sedangkan asumsi itu bisa undervalue atau uppervalue.

Pada sisi yang lain saya ingin menyampaikan bahwa PSO menghambat perkembangan pasar energi yang kompetitif. Hal ini senada dengan beberapa dosen saya, yang mengatakan subsidi yang terlalu besar menghambat pertumbuhan dari bauran energi alternatif lain yang seharusnya bisa di eksplor lebih untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, namun terdesak lantaran PSO BBM terlalu murah. Tulisan ini tidak mendiskreditkan pihak manapun, hanya bermaksud untuk menambah sudut pandang dari banyak prespektif dalam memandang kisruh subsidi BBM di negeri ini tercinta. Sekedar informasi saja, tidak bermaksud membandingkan, di Malaysia harga BBM nya juga disubsidi namun menggunakan metode harga minyak dengan subsidi tetap, jadi semacam floating price bersubsidi.

Sejenak saya ingin bernostalgia. Saya ingat dulu ketika saya pertamakali mempunyai sepeda motor saya sempat merasakan harga BBM sebesar 1200, kala itu dengan membawa uang 3000 rupiah saja, tangki Honda Astrea saya bisa penuh sesak dengan bensin. Lalu tak lama harga bbm naik menjadi 1550, setelah itu naik lagi menjadi 2400. Saya masih ingat ketika ada kenaikan tajam harga bensin ketika 2005, satu tahun setelah SBY dipilih langsung oleh rakyat, premium naik menjadi 4500 rupiah, dan 3 tahun setelah itu ketika terjadi kenaikan tajam harga minyak dunia, premium kembali naik ke level 6000 rupiah, meski akhirnya kembali turun ke angka 4500 rupiah ― sampai sekarang. Beberapa hari mendatang kemungkinan harga ini akan kembali naik, entah seberapa mahal lagi bahan bakar yang harus saya keluarkan untuk mobilitas saya sebagai mahasiswa yang konon berpengetahuan tapi belum berpenghasilan ini.

Pada akhirnya saya mengutip pendapat teman saya saat berbincang di perpustakaan kampus tadi siang, “Antara melakukan dan menjelaskan itu dua hal yang berbeda.” 

* Ilustrasi di ambil dari website BPH Migas

0 komentar:

Post a Comment