“Pencarian kebenaran
oleh ilmuan dilakukan untuk membuat mereka melihat apa yang tidak mereka lihat,
tidak untuk memahami apa yang telah mereka pahami, dan pencarian itu sendiri
adalah untuk menemukan lawan dari yang mereka temukan” ― Surat Galileo kepada
Loraine.
Beberapa hari ini, isu kenaikan
harga BBM kembali menyeruak ke permukaan. Bagi saya yang tertarik dan sedang
mengerjakan tugas akhir (bukan expertise atau pengamat) dibidang Migas, saya
merasa malu jika saya tidak memberikan kontribusi mengenai isu ini. Jika itu
terjadi saya merasa seperti seorang fans klub sepakbola yang datang ke stadion
ketika tim saya bertanding, atau seseorang yang mentasbihkan keimanan kepada
suatu agama namun gagal melaksanakan ritus-ritus harian, atau bahkan jika saya
mengindahkan isu ini saya mungkin lebih seperti seorang sosialita ibukota yang
memilih berada didalam rumah saat rekan-rekanya menghadiri university party di hari senin malam. Semoga kali ini bukan overreach saya.
Sebelumnya jika anda berharap
saya akan menulis mengenai data-data subsidi BBM, neraca pembayaran, dan
opsi-opsi yang akan ditempuh pemerintah untuk menangani kasus ini, sebaiknya
anda tidak udah melanjutkan membaca karena harapan anda sepertinya tidak akan
tertunaikan. Pertama, karena dari
sekian literatur migas yang saya baca, hampir semuanya memetakan konstalasi
hulu migas, hanya sedikit yang mengenai hilir migas. Kedua, saya dalam keadaan yang tidak berwenang dan minim informasi
dengan hal tersebut. Ketiga, saya
tidak mau terlalu jauh mengomentari proses politik.
Kemarin sore, saya terjebak
beberapa puluh menit didalam kamar kos lantaran saya bingung memutuskan apakah
sore itu saya mau menononton Oblivion ― film science fiction yang dibintangi
oleh aktor tampan Tom Cruise, atau saya mau jogging
untuk menjaga ketahanan fisik saya.Hampir
satu jam berlalu saya gunakan untuk memikirkan keduanya, sembari mencari-cari
alternatif lain ― semacam jogging
didalam XXI ketika sedang memutar Oblivion mungkin. Singkat cerita, keputusan
telah didapat, saya berganti baju, kali ini bukan pakaian jogging yang saya
pakai, saya keluar kamar, menyalakan mesin motor, saya mendapati langit mendung
hebat, bisa dipastikan beberapa menit setelah itu, hujan lebat dan saya tak
jadi keluar untuk menonton. Selkali lagi, saya kehilangan momentum.
Mungkin kisah saya tadi bisa
sedikit menggambarkan kebimbangan pemerintah kala memutuskan kenaikan BBM
beberapa tahun ini. Para pemangku jabatan lebih sibuk memikirkan dan
menimbang-nimbang dari analisis teknis, sampai non-teknis, dari dampak ekonomi
sampai dampak politik. Lebih parahnya lagi ketika keputusan telah dibuat,
langit sudah terlanjur mendung ― neraca pembayaran sudah sekarat dan rakyat
sudah terlanjur mengecap kebimbangan pemerintah. Namun, untuk kasus saya
kebimbangan telah menyelamatkan dari hujan, untuk kasus keputusan pemerintah
tentang kenaikan BBM, saya tidak tahu. Dan seperti janji saya diatas saya tidak
mau mengomentari lebih jauh tentang proses politik.
“Kejayaan amerika bukan karena mereka lebih
pintar dari yang lain, tetapi karena mereka belajar dari kesalahanya”
― Alexis du Turquise
Jika kita bicara perhitungan harga
BBM, kepala saya langsung memisahkan antara harga hulu dan harga hilir, harga
hulu mengacu ke perhitungan crude, cost, dll (sudah saya jelaskan di
tulisan kedaulatan migas) dari awal ditemukan cekungan sampai minyak keluar
dari perut bumi. Sedangkan harga hilir adalah perhitungan harga dari harga
minyak yang masuk ke kilang, biaya rifenery,
pengangkutan, fee, dan komponen harga lain.
Nah ketika
tulisan ini membahas mengenai harga BBM maka ceritanya adalah harga hilir yang berawal
dari perhitungan harga minyak yang masuk ke kilang. Saya katakan ‘perhitungan
harga minyak yang masuk ke kilang’ bukan ‘harga minyak mentah’ karena
perhitunganya tidak menggunakan harga yang seragam. Untuk minyak dalam negeri,
Pertamina sebagai otoritas pemengang Public
Service Obligation pengadaan BBM mendapatkan minyak dari KKKS dengan metode
DMO atau Domestik Market Obligation,
yang kira-kira intinya kewajiban KKKS untuk menyerahkan sebagian minyaknya
dengan harga khusus yang disepakati dalam rangka pemenuhan kebutuhan domestik.
Sedangkan minyak Pertamina yang berasal dari luar negeri perhitunganya bukan
merupakan harga minya dunia seperti WTI, NYIMEX, BRENT yang dengan mudahnya
kita unduh dari banyak website asing, namun menggunakan harga MOPS (Mean of Platts Singapore) atau harga
perdagangan minyak dari singapore.
Begitu complicated-nya perhitungan harga minyak yang masuk ke kilang
pertamina tersebut membuat saya berargumen asumsi harga keekonomian
minyak yang diungkap oleh para pengamat ataupun lembaga-lembaga tidak ada yang
tepat 100 persen, saya berani taruhan atas hal ini, dan saya menjagokan
Pertamina sebagai satu-satunya pihak yang mengetahui perhitungan ini. Saya katakan
rumit karena DMO disini nilainya berdasarkan kontrak antara KKKS dengan BPMIGAS
(sekarang: SKMIGAS) yang tentunya tidak ada keseregaman diantara
kontrak-kontrak yang ada. Sedangkan MOPS adalah harga pasar komoditas, yang sarat
akan spekulasi dan negosiasi, bahkan informasi harga MOPS ini berbayar, kita
musti membayar sejumlah uang yang tidak sedikit untuk sekedar mendapatkan harga MOPS, hanya Pertamina yang
tahu secara pasti harga MOPS. Sampai disini,
saya hanya ingin mengatakan bahwa harga variabel input minyak beragam ― belum
lagi impor BBM jadi untuk memenuhi kapasitas kilang Pertamina yang tak
mengalami penambahan sejak 2005.
Perhitungan yang kedua adalah
mengenai rifenery atau pengolahan dari
minyak mentah untuk menjadi BBM yang dilakukan oleh Pertamina. Bagian ini
paling susah untuk dijelaskan, saya harus mengambil master teknik perminyakan
dulu mungkin untuk menjelaskan detail perhitungan. Karena keruwetan berikut: masing-masing
kilang ada spesifikasinya, masing-masing minyak mentah ada karakternya, dan
masing-masing petroleum product
berbeda nilai jualnya. Pertanyaan minyak yang dibeli dengan harga berapa dan
menghasilkan berapa liter BBM, dan berapa biayanya, membutuhkan banyak waktu di
goa untuk bertapa demi menemukan jawabanya.
Perhitungan yang ketiga adalah,
masalah fee. Sudah sama-sama kita
ketahui bahwa pertamina mengemban peran sebagai PSO (baca juga tulisan-tulisan
saya sebelumnya) dimana pemerintah ditugaskan untyuk menyediakan BBM untuk
memenuhi kebutuhan domestik dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Untuk perannya yang ini, Pertamina sama sekali tak mendapat untung ― bahkan
menurut dirut Pertamina, fungsi ini yang paling menguras energi Pertamina. Namun
dalam catatan BPH MIGAS yang saya temukan beberapa saat sebelum menulis tulisan
ini, Pertamina memperoleh fee atas pengusahaan
PSO-nya. Pertanyaanya kemudian jika Pertamina tak mengambil profit, lalu
bagaimana dengan SPBU rekanan (SPBU DODO - Dealer
Owned Dealer Operated ) yang menjual BBM bersubsidi? Apakah keuntungan dari
SPBU tersebut termasuk dalam perhitungan subsidi?
Perhitungan keempat adalah mekanisme penagihan Pertamina kepada Pemerintah.
Sebatas yang saya ketahui bahwa penagihan dilakukan Pertamnia di akhir periode
penganggaran, dengan melaporkan berapa banyak BBM bersubsidi yang telah
didistribusikan dalam periode tersebut kepada pemerintah. Kemudian pemerintah
akan melunasi semua biaya yang telah dikeluarkan Pertamina ― maaf saya belum
banyak membaca tentang ini, kalau ada yang punya referensi penagihan bisa
berbagi dengan saya. Sedangkan yang saya tahu utang Pemerintah ke Pertamina
beraneka macam. Mulai dari ongkos melakukan ekspor gas dan minyak jatah
pemerintah ke pembeli luar negeri maupun dalam negeri. Serta ongkos dari
mengelola dan mengolah LNG sampai siap ekspor.
Lalu bagaimana bagaimana apa arti
semua ini? Artinya butuh teknikal karena pemahaman fundamental saja tak cukup untuk
mengkritisi sebuah kebijakan. Banyak data level perusahaan, yang sangat rahasia
tentunya, tidak kita ketahui sebagai observer. Intinya kita seperti sedang
berperang pada level asumsi, sedangkan asumsi itu bisa undervalue atau uppervalue.
Pada sisi yang lain saya ingin
menyampaikan bahwa PSO menghambat perkembangan pasar energi yang kompetitif. Hal
ini senada dengan beberapa dosen saya, yang mengatakan subsidi yang terlalu
besar menghambat pertumbuhan dari bauran energi alternatif lain yang seharusnya
bisa di eksplor lebih untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, namun
terdesak lantaran PSO BBM terlalu murah. Tulisan ini tidak mendiskreditkan
pihak manapun, hanya bermaksud untuk menambah sudut pandang dari banyak
prespektif dalam memandang kisruh subsidi BBM di negeri ini tercinta. Sekedar
informasi saja, tidak bermaksud membandingkan, di Malaysia harga BBM nya juga
disubsidi namun menggunakan metode harga minyak dengan subsidi tetap, jadi
semacam floating price bersubsidi.
Sejenak saya ingin bernostalgia. Saya
ingat dulu ketika saya pertamakali mempunyai sepeda motor saya sempat merasakan
harga BBM sebesar 1200, kala itu dengan membawa uang 3000 rupiah saja, tangki Honda
Astrea saya bisa penuh sesak dengan bensin. Lalu tak lama harga bbm naik
menjadi 1550, setelah itu naik lagi menjadi 2400. Saya masih ingat ketika ada
kenaikan tajam harga bensin ketika 2005, satu tahun setelah SBY dipilih
langsung oleh rakyat, premium naik menjadi 4500 rupiah, dan 3 tahun setelah itu
ketika terjadi kenaikan tajam harga minyak dunia, premium kembali naik ke level
6000 rupiah, meski akhirnya kembali turun ke angka 4500 rupiah ― sampai
sekarang. Beberapa hari mendatang kemungkinan harga ini akan kembali naik,
entah seberapa mahal lagi bahan bakar yang harus saya keluarkan untuk mobilitas
saya sebagai mahasiswa yang konon berpengetahuan tapi belum berpenghasilan ini.
Pada akhirnya saya mengutip pendapat teman saya saat
berbincang di perpustakaan kampus tadi siang, “Antara melakukan dan menjelaskan itu dua hal yang berbeda.”
* Ilustrasi di ambil dari website BPH Migas
* Ilustrasi di ambil dari website BPH Migas
0 komentar:
Post a Comment