01 April 2013

Sarkasme, Carrick’s Role, dan Poznan Dance yang tertunda


Cara yang paling ampuh untuk melupakan pasangan yang telah mengisi hati kita namun sekarang tak lagi bersama kita adalah dengan menjadikanya karya sastra” ― Anonim.

Judul tulisan ini tampaknya sangat memaksakan yang sebenarnya adalah ungkapan emosional (jika bisa dibilang seperti itu) dari penulis mengenai klub sepakbola pujaan Manchaster United. Saya menyebut memaksakan karena sebenarnya judul tulisan ini bisa dijadikan 3 tulisan yang berbeda, namun sekali-lagi dengan emosionalnya saya jadikan satu. Saya ingin mengulas kisah dari tim yang performanya terus menurun diujung musim ini, terlebih di dua pertandingan terakhir dalam tiga hari ini. Oh ya, jika saya boleh melakukan pembelaan kutipan diawal tulisan ini bukan tentang asmara atau percintaan, itu hanya kutipan dalam salah satu film drama Indonesia yang saya lupa judulnya.

Poin pertama dalam judul sepertinya menyentil diri saya atas ketidakmampuan saya perihal objektivitas. Beberapa hari ini (dan juga banyak hari sebelumnya) saya merasakan susahnya melihat dari kacamata orang lain. Nampaknya hipotesis mata hanya melihat apa yang otak pikirkan menjadi pembelaan saya yang cukup ampuh. Terlebih untuk sesuatu yang ingin sekali kita lihat ― seperti kemenangan Manchester United atau seorang gadis pujaan berbaju putih yang tersenyum malu.

Manchester united diawal musim ini digadang-gadang mempunyai kedalaman tim yang cukup untuk memenangi semua kompetisi yang dijalani. Namun buat saya Manchester United tak lebih dari kereta tua yang semakin lama, seiring berjalanya waktu kehabisan tenaga. Bisa ditebak (seperti musim lalu) dari 4 kompetisi yang dijalani, satu persatu gelar hilang. Akhir 2012 lalu MU kehilangan cengkraman di Capitol One (dulu: Carling Cup), lalu yang paling menyesakkan awal bulan ini harus mengakhiri kiprah di kancah Eropa, yang para pendukung MU menyebut dikalahkan wasit asal Turki yang pengucapanya agak susah, padahal MU sejak dulu juga sering dibantu wasit, tapi mereka tetap tak bergeming. Dan gelar hilang yang terbaru, beberapa jam yang lalu MU juga tersingkir dari piala FA.

Banyak alasan yang dilontarkan para punggawa, pelatih, pengamat bahkan supporter mengenai kegagalan MU untuk meraih gelar-gelarnya. Dari keberpihakan wasit, faktor kelelahan sampai pencurangan dalam drawing. Padahal MU tak lebih dari tim yang mempunya tingkat kebergantungan pada sosok yang cukup kuat. Tengok  saja musim lalu, lini tengah yang menjadi kambing hitam dikarenakan kehilangan sosok Paul Scholes, setelah berhasil membujuk kembali “Pangeran Jahe” untuk tampil kembali dari masa pensiun nya, perjalanan MU relatif agak mudah meski ujung-ujungnya juga nirgelar. Diawal musim ini barisan pertahanan giliran jadi sorotan, absennya kapten karismatik Nemanja Vidic, menjadi opsi Twin Tower musim lalu gagal terwujud. MU kerap kali kemasukan gol dengan mudah diwal musim, beruntung MU punya bomber maut hasil bajakan dari rival, Robin Van Persie yang bisa menutupi kekurangan lini belakang. Pada akhirnya nama terakhirlah yang juga menjadi kambing hitam atas paceklik gol yang dialami MU 2 bulan terakhir ini. Ketika barisan belakang solid, lini depan seret. Begitulah MU dalam menjalani musimnya, selalu menggantungkan nasibnya kepada bebrapa orang saja dalam tim.

Satu-satunya yang masih bisa dibanggakan adalah chants dari para fans untuk Central Midfielder andalan, Michael Carrick. Dengan perannya sebagai Holding Midfielder, Carrick bak Amien Rais dalam kancah perpolitikan Indonesia yang tenar berkat Poros Tengahnya di awal tahun 2000an. Tugasnya sebagai penyeimbang tim, perusak serangan lawan dan menjadi pembagi bola kepada rekan-rekan nya inilah yang sangat krusial. Jika kebanyakan para fans lain tak menghargai peran seorang poros permainan, lain halnya dengan MU, para fans tak henti-hentinya menyanyikan lagu untuk menunjang aksi sang maestro passing di lapangan ― tulisan yang akan datang saya akan mengulas kenapa saya mendewakan Carrick's Role.

"Oh, oh, oh it's Carrick, you know, hard to believe it's not Scholes"

Chants dari suporter itu nampaknya juga disepakati oleh Sir Alex Ferguson minimal dalam 2 laga terakhir ini. Jika media menghembuskan kabar MU menyiapkan 2 tim yang berbeda untuk melawan Sunderland dan Chelsea dalam rentang waktu kurang dari 3 hari.  Alhasil Line-up yang keluar pun ternyata tak berbeda dengan prediksi media, menariknya nama Michael Carrick ada pada 2 tim itu. Padahal menurut hemat saya, Carrick dalam 2 pertandingan itu tak bagus-bagus amat, banyak salah passing, dan hanya beruntung tenar berkat chants dari suporter.

Akhirnya kini setelah 31 minggu musim ini bergulir, MU hanya menyisakan keunggulan 15 point di Liga Inggris ― satu-satunya gelar yang mungkin didapat. Setelah akhir pekan lalu unggul tipis 0-1 saat melawat ke Stadium of Light, markas Sunderland. Namun sialnya beberapa saat kemudian, sang rival Manchester City justru menang mudah atas Newcastle 4 gol tanpa balas. Harapan para suporter untuk melakukan Poznan Dance balasan terpaksa harus tertunda.

Apa itu Poznan Dance? Selebrasi ala fans Manchester City itu sebenarnya diadopsi dari aksi suporter tim Polandia, Lech Poznan. Formatnya sederhana. Para suporter berdiri membelakangi lapangan, kemudian berangkulan dan melompat-lompat bersamaan. Dari jauh, aksi ini terlihat seperti air terjun yang berantakan. Masih ingat dibenak saya ketika 3 minggu menjelang musim lalu berakhir, ketika Mancity berakhir menyamakan perolehan poin dengan Manutd, setelah Vincent Kompany memberikan gol tunggul untuk Mancity di akhir babak pertama. Diakhir pertandingan para supporter Mancity di stadion langsung melakukan Poznan Dance.

Hasil “break even point” menang 0-1 dan kalah 1-0 dalam 2 pertandingan terakhir, menjadi semacam early wanrning system bagi Setan Merah. Pasalnya hal ini bisa berdampak sistemik, terlebih pekan depan harus menjamu Mancity di Old Traffrord. Sudah kebayang dibenak saya ketika rentetan kegagalan dimusim ini berujung pada ketakutan kembali tanpa gelar musim lalu, alhasil Manutd bermain layaknya seorang pemuda polos yang dihadapkan pada gadis pujaannya, sudah bisa ditebak salah tingkah karena terlalu berhati-hati. Skenarionya minggu depan, karena terlalu berhati-hati Manutd pun tumbang dihadapan Mancity. Setelah itu mental menjadi semakin memburuk, berlanjut ke kekalahan-kekalahan yang lainya. jadi seharusnya jika merujuk frasa pertama dalam judul tulisan ini maka bukan “Poznan yang tertunda”, tapi “Poznan balasan yang gagal terwujud”.

Jadi alasan Manutd kelelahan pasca jeda internasional dan menjalani 2 pertandingan dalam 3 hari sungguh tak masuk akal, murni alasan yang dibuat-buat, karena sang rival, Chelsea justru lebih singkat masa jedanya, tapi mereka unggul segalanya. Sedangkan 2 tim berbeda yang dibuat harusnya disiapkan menjadi  3 tim yang berbeda, karena minggu depan Manutd akan menghadapi Galatasaray di perempat final Liga Champions ― seorang fans yang gagal move on.

Jadi apalagi yang dibanggakan dari Manutd sekarang? 19 gelar Liga Inggris? Itu sudah 2 tahun yang lalu. 3 gelar liga Champions? Itu juga sudah 5 tahun yang lalu. 12 gelar Piala FA? Itu justru lebih jauh lagi, 9 tahun yang lalu teraklhir kali piala FA singgah di Old Trafford.

Selesai, semoga sarkasme saya berhasil. Oh iya, entah kenapa backsound desktop saya waktu menulis tulisan ini jadi gini:

Salahkah bila hati berharap...
Dan akupun terus berharap...
Kau yang terindah untuk ku... untuk ku...
Kau Yang Terindah - Nidji

0 komentar:

Post a Comment