“Cara yang paling
ampuh untuk melupakan pasangan yang telah mengisi hati kita namun sekarang tak
lagi bersama kita adalah dengan menjadikanya karya sastra” ― Anonim.
Judul tulisan ini tampaknya sangat
memaksakan yang sebenarnya adalah ungkapan emosional (jika bisa dibilang
seperti itu) dari penulis mengenai klub sepakbola pujaan Manchaster United. Saya
menyebut memaksakan karena sebenarnya judul tulisan ini bisa dijadikan 3
tulisan yang berbeda, namun sekali-lagi dengan emosionalnya saya jadikan satu. Saya
ingin mengulas kisah dari tim yang performanya terus menurun diujung musim ini,
terlebih di dua pertandingan terakhir dalam tiga hari ini. Oh ya, jika saya
boleh melakukan pembelaan kutipan diawal tulisan ini bukan tentang asmara atau
percintaan, itu hanya kutipan dalam salah satu film drama Indonesia yang saya
lupa judulnya.
Poin pertama dalam judul sepertinya
menyentil diri saya atas ketidakmampuan saya perihal objektivitas. Beberapa hari
ini (dan juga banyak hari sebelumnya) saya merasakan susahnya melihat dari
kacamata orang lain. Nampaknya hipotesis mata hanya melihat apa yang otak
pikirkan menjadi pembelaan saya yang cukup ampuh. Terlebih untuk sesuatu yang
ingin sekali kita lihat ― seperti kemenangan Manchester United atau seorang gadis pujaan berbaju
putih yang tersenyum malu.
Manchester united diawal musim ini
digadang-gadang mempunyai kedalaman tim yang cukup untuk memenangi semua
kompetisi yang dijalani. Namun buat saya Manchester United tak lebih dari
kereta tua yang semakin lama, seiring berjalanya waktu kehabisan tenaga. Bisa
ditebak (seperti musim lalu) dari 4 kompetisi yang dijalani, satu persatu gelar
hilang. Akhir 2012 lalu MU kehilangan cengkraman di Capitol One (dulu: Carling
Cup), lalu yang paling menyesakkan awal bulan ini harus mengakhiri kiprah di
kancah Eropa, yang para pendukung MU menyebut dikalahkan wasit asal Turki yang
pengucapanya agak susah, padahal MU sejak dulu juga sering dibantu wasit, tapi
mereka tetap tak bergeming. Dan gelar hilang yang terbaru, beberapa jam yang lalu MU juga
tersingkir dari piala FA.
Banyak alasan yang dilontarkan para
punggawa, pelatih, pengamat bahkan supporter mengenai kegagalan MU untuk meraih
gelar-gelarnya. Dari keberpihakan wasit, faktor kelelahan sampai pencurangan
dalam drawing. Padahal MU tak lebih
dari tim yang mempunya tingkat kebergantungan pada sosok yang cukup kuat. Tengok saja musim lalu, lini tengah yang menjadi
kambing hitam dikarenakan kehilangan sosok Paul Scholes, setelah berhasil
membujuk kembali “Pangeran Jahe” untuk tampil kembali dari masa pensiun nya,
perjalanan MU relatif agak mudah meski ujung-ujungnya juga nirgelar. Diawal
musim ini barisan pertahanan giliran jadi sorotan, absennya kapten karismatik
Nemanja Vidic, menjadi opsi Twin Tower
musim lalu gagal terwujud. MU kerap kali kemasukan gol dengan mudah diwal
musim, beruntung MU punya bomber maut hasil bajakan dari rival, Robin Van
Persie yang bisa menutupi kekurangan lini belakang. Pada akhirnya nama
terakhirlah yang juga menjadi kambing hitam atas paceklik gol yang dialami MU 2
bulan terakhir ini. Ketika barisan belakang solid, lini depan seret. Begitulah MU
dalam menjalani musimnya, selalu menggantungkan nasibnya kepada bebrapa orang
saja dalam tim.
Satu-satunya yang masih bisa
dibanggakan adalah chants dari para
fans untuk Central Midfielder andalan, Michael Carrick. Dengan perannya sebagai
Holding Midfielder, Carrick bak Amien
Rais dalam kancah perpolitikan Indonesia yang tenar berkat Poros Tengahnya di
awal tahun 2000an. Tugasnya sebagai penyeimbang tim, perusak serangan lawan dan
menjadi pembagi bola kepada rekan-rekan nya inilah yang sangat krusial. Jika
kebanyakan para fans lain tak menghargai peran seorang poros permainan, lain
halnya dengan MU, para fans tak henti-hentinya menyanyikan lagu untuk menunjang
aksi sang maestro passing di lapangan ― tulisan yang akan datang saya akan mengulas kenapa saya mendewakan Carrick's Role.
"Oh,
oh, oh it's Carrick, you know, hard to believe it's not Scholes"
Chants dari
suporter itu nampaknya juga disepakati oleh Sir Alex Ferguson minimal dalam 2 laga
terakhir ini. Jika media menghembuskan kabar MU menyiapkan 2 tim yang berbeda
untuk melawan Sunderland dan Chelsea dalam rentang waktu kurang dari 3 hari. Alhasil Line-up
yang keluar pun ternyata tak berbeda dengan prediksi media, menariknya nama
Michael Carrick ada pada 2 tim itu. Padahal menurut hemat saya, Carrick dalam 2
pertandingan itu tak bagus-bagus amat, banyak salah passing, dan hanya beruntung tenar berkat chants dari suporter.
Akhirnya kini setelah 31 minggu musim
ini bergulir, MU hanya menyisakan keunggulan 15 point di Liga Inggris ― satu-satunya
gelar yang mungkin didapat. Setelah akhir pekan lalu unggul tipis 0-1 saat
melawat ke Stadium of Light, markas Sunderland. Namun sialnya beberapa saat
kemudian, sang rival Manchester City justru menang mudah atas Newcastle 4 gol
tanpa balas. Harapan para suporter untuk melakukan Poznan Dance balasan
terpaksa harus tertunda.
Apa itu Poznan Dance? Selebrasi ala
fans Manchester City itu sebenarnya diadopsi dari aksi suporter tim Polandia,
Lech Poznan. Formatnya sederhana. Para suporter berdiri membelakangi lapangan,
kemudian berangkulan dan melompat-lompat bersamaan. Dari jauh, aksi ini
terlihat seperti air terjun yang berantakan. Masih ingat dibenak saya ketika 3
minggu menjelang musim lalu berakhir, ketika Mancity berakhir menyamakan
perolehan poin dengan Manutd, setelah Vincent Kompany memberikan gol tunggul
untuk Mancity di akhir babak pertama. Diakhir pertandingan para supporter
Mancity di stadion langsung melakukan Poznan Dance.
Hasil “break even point” menang 0-1 dan
kalah 1-0 dalam 2 pertandingan terakhir, menjadi semacam early wanrning system
bagi Setan Merah. Pasalnya hal ini bisa berdampak sistemik, terlebih pekan
depan harus menjamu Mancity di Old Traffrord. Sudah kebayang dibenak saya
ketika rentetan kegagalan dimusim ini berujung pada ketakutan kembali tanpa
gelar musim lalu, alhasil Manutd bermain layaknya seorang pemuda polos yang dihadapkan
pada gadis pujaannya, sudah bisa ditebak salah tingkah karena terlalu
berhati-hati. Skenarionya minggu depan, karena terlalu berhati-hati Manutd pun
tumbang dihadapan Mancity. Setelah itu mental menjadi semakin memburuk,
berlanjut ke kekalahan-kekalahan yang lainya. jadi seharusnya jika merujuk frasa
pertama dalam judul tulisan ini maka bukan “Poznan yang tertunda”, tapi “Poznan
balasan yang gagal terwujud”.
Jadi
alasan Manutd kelelahan pasca jeda internasional dan menjalani 2 pertandingan
dalam 3 hari sungguh tak masuk akal, murni alasan yang dibuat-buat, karena sang
rival, Chelsea justru lebih singkat masa jedanya, tapi mereka unggul segalanya. Sedangkan 2 tim berbeda yang
dibuat harusnya disiapkan menjadi 3 tim
yang berbeda, karena minggu depan Manutd akan menghadapi Galatasaray di
perempat final Liga Champions ― seorang fans yang gagal move on.
Jadi
apalagi yang dibanggakan dari Manutd sekarang? 19 gelar Liga Inggris? Itu sudah
2 tahun yang lalu. 3 gelar liga Champions? Itu juga sudah 5 tahun yang lalu. 12
gelar Piala FA? Itu justru lebih jauh lagi, 9 tahun yang lalu teraklhir kali
piala FA singgah di Old Trafford.
Selesai,
semoga sarkasme saya berhasil. Oh iya, entah kenapa backsound desktop saya waktu
menulis tulisan ini jadi gini:
Salahkah bila hati berharap...
Dan akupun terus berharap...
Kau yang terindah untuk ku... untuk ku...
Kau Yang Terindah - Nidji
0 komentar:
Post a Comment