“Ngapain sih kamu nulis-nulis tentang migas dan subsidi BBM, ada
untungnya buat kamu?” - Anonim
Pertanyaan diatas bagi saya cukup untuk
mengerutkan dahi. Bukan karena jawaban dari pertanyaan itu merupakan suatu yang hanya
bisa dibahas dengan proses berpikir panjang, layaknya ketika menjelang
pemilihan tema untuk skripsi saya, atau ketika memutuskan siapa yang akan
menjadi pasangan hidup saya kelak, atau bahkan hanya untuk memutuskan memakai
baju apa ketika saya pergi ke kampus ― tak serumit dan selama itu.
Bagi saya membuat tulisan tentang
migas itu tak lebih dari sekedar preferensi saya saja. Orang di desa saya
menyebut: “pokok e asal seneng”.
Menulis mengenai migas dan energi tak menjadikan saya bisa langsung direkrut
oleh perusahaan energi multi-nasional, yang
kemudian membayar saya dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan sehingga saya
bisa dengan mudah membeli rumah dengan lengkap dengan Toyota Fortuner-nya
di garasinya, Smart TV untuk menonton
Liga Inggris dan National Geographic di
ruang keluarga, pendingin ruangan yang sejuk di tiap kamar tidurnya, dan water heater di
kamar mandinya sehingga saya tak perlu menggigil tiap pagi, seperti apa yang saya impikan. Dunia tidak semudah itu.
Pertanyaan diatas juga mungkin
sama seperti halnya jika saya ditanya tentang sepakbola: “Kenapa sih kamu suka banget sama sepakbola dan tampak sangat bahagia
diatas lapangan futsal?” Saya tidak mungkin menjawabnya dengan transmisi
seperti ini: jika saya menyukai sepak bola, saya akan bahagia ketika bermain
futsal, ketika saya bahagia, besar kemungkinan saya akan menampilkan kemampuan
terbaik saya, alhasil banyak pemandu bakat yang tertari pada saya, lalu tak lama kemudian saya akan bisa menjadi pemain sepakbola atau futsal
profesional, pada akhirnya saya akan menjadi aristokrat sepakbola seperti David Beckham ― yang
mempunyai istri cantik dan seksi juga. Saya tak mempunyai mimpi sejauh itu.
Membuat tulisan migas dan bermain
futsal hanyalah kesenangan yang bisa saya lakukan sekarang. Persoalan nanti
saya bisa bekerja di perusahaan migas atau menjadi pemain sepakbola profesional
itu urusan Tuhan. Apa yang terjadi di masa depan saya itu urusan nanti. Ini
hanya bumbu perjalanan hidup saya saja seperti interest saya yang lain, yang
bisa saja berganti kelak dikemudian hari ― sebelum tertarik dunia pertambangan saya tertarik menjadi arsitektur, pernah juga ingin menjadi motivator.
Oh iya, soal kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan oleh pembantu-pembantu presiden dan harga penyesuaian harga resmi berlaku satu jam lagi, saya pribadi tidak pernah mendukung seratus persen. Saya juga tak
menolaknya. Bagi mahasiswa semester akhir yang apa-apa serba susah dan
dihadapkan status pengangguran beberapa bulan yang akan datang, kenaikan harga
BBM bukanlah hal yang menyenangkan ― seperti kenaikan harga tiket konser bagi
penggila live music. Karena
bagi saya ketika harga BBM naik, berarti real income saya berkurang. Sungguh
hal yang memalukan jika saya meminta tambahan uang saku hanya karena harga BBM
naik. Namun entah kenapa kepala saya lebih menerima logika kenaikan harga ketimbang
sebaliknya. Saya juga memilih untuk tidak menggunakan alasan karena desain dari
Amerika, IMF atau konspirasi Yahudi untuk sebuah logika yang susah dicerna.
Sekali lagi, melakukan dan
menjelaskan itu suatu hal yang berbeda. Kadang saya tak melakukan sesuatu
dengan benar dan kadang saya tak mengatakan dengan benar.
Mungkin jika saya dipaksa untuk
menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, saya akan menjawab: karena saya ingin
berbagi apa yang saya ketahui, bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk
menyampaikan apa yang saya anggap benar? Tidak ada pemaksaan untuk mengikuti
pendapat saya.
Sebenarnya sih belum ada yang
berani bertanya hal itu kepada saya. Tulisan ini hanya mengada-ada.
"Dunia menjadi semakin buruk bukan karena orang-orang tolol yg
terlalu banyak, tapi karena orang-orang pintar memilih berdiam diri" –
Tirta
0 komentar:
Post a Comment