01 August 2013

Ketika Tuhan Menertawai Saya


Saat manusia berpikir, Tuhan justru sedang tertawa” – Milan Kundera

Akhir-akhir ini teman saya yang memiliki leissure time lebih banyak dalam proporsi tiap harinya seringkali bergumam: Kalau menganggur begini pikiran jadi macam-macam, kadang tak terkendalikan. Saya pun begitu.

Sungguh ini bukan merupakan tulisan penyadaran diri mengenai bahaya pengangguran, namun saya hanya ingin menyambungkan dengan pernyataan Milan Kundera diatas, yang sebenarnya ia kutip dari salah satu sastra kaum Yahudi kuno. Kalimatnya sederhana, namun membawa banyak pesan didalamnya. Beberapa sastrawan lain dalam monolognya mengartikanya ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya. Sebab, semakin manusia berpikir, semakin pikiran seseorang terpisah dari lainnya. 

Saya pun langsung membayangkan apa yang terjadi jika sastra berhasil bergabung bersama ilmu psikologi dan rasionalitas ilmu ekonomi.

Saya sebenarnya cukup sebal dengan para sastrawan, mereka seringkali membuat sesuatu apa yang ada di kepalanya sendiri, lalu dituankanya sesuka hati, dan kemudian memaksa pembacanya untuk memahami apa yang ada di dalam kepala sastrawan tersebut. Saya menyebutnya sebuah-pemaksaan-tersirat-akan-makna-dan-kedalaman. Belum lagi mengenai puisi, deretan kata yang tak saling terhubung, beberapa diantaranya bersajak, dan konon memiliki makna itu. Sepanjang hidup saya tak pernah menyukai hal-hal tersirat seperti itu meski saya terkadang masih sering khilaf melakukannya.

Namun dalam proses penolakan saya tersebut, saya kini justru terjebak dengan tulisan-tulisan lepas yang memadukan berbagai perspektif, lugas dan ringan seperti bahasa surat kabar, namun dengan pemilihan diksi yang amat kaya sehingga menambah kadar keindahan seperti karya sastra. Saya sebut karya seperti itu dengan jurnalis semi sastra ― ini hanya sebutan saya saja, istilah yang sengaja saya ciptalan agar tidak menimbulkan dikotomi sastra modern dan klasik. Entah kenapa tulisan seperti ini banyak sekali saya temukan setahun belakangan ini. Sedangkan sesuatu yang sering kita jumpai biasanya menimbulkan daya tarik tersendiri, atau hanya saya yang puber intelektual.

Setelah saya tertarik pada tulisan jurnalis semi sastra itu, kemudian saya menjadi tertarik kepada personaliti penulisnya. Seakan ada yang menuntun saya untuk membuktikan personaliti dengan gaya menulis seseorang. Saya ingin melihat bagaimana orang dengan kemampuan menulis yang luar biasa itu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya secara lisan. Berhubung dalam benak saya masih terngiang-ngiang mengenai Skripsi maka pertanyaan penelitian saya adalah apakah kemampuan menulis sama baiknya dengan kemampuan berbicara? 

Kebetulan bebrapa waktu lalu, teman saya mengritik pembawaan seorang jurnalis semi sastra favorit saya yang terlihat mengebu-gebu di layar kaca. Beberapa jurnalis semi sastra lain yang pernah ada di layar kaca juga sering terlihat seperti kehilangan sentuhan magisnya dalam mengolah kata. Entah persoalan media menuangkan ide atau cara yang berbeda, mereka terbata-bata didepan layar kaca. Namun pembelaan saya pada mereka jelas karena faktor kemampuan saja, bukan masalah ideologis.
Akhirnya keingintahuan saya berujung pada sebuah hipotesis, seorang penulis yang baik, tidak selalu merupakan pembicara yang baik. Seandainya ada yang memiliki keduanya, bisa jadi ia bukan pemikir yang baik. Sulit menemukan tiganya dalam satu paket.

Perbedaan dimensi ketiganya membawa sekat-sekat tersendiri pada persepsi saya. Sebab-musabab dari keahlian tersebut pun menurut saya berbeda. Saya berani bertaruh seorang penulis yang hebat pasti adalah seorang pembaca yang hebat juga. Sedangkan para pembicara yang baik, juga bisa menjadi pendengar yang sama baiknya. Sedangkan para pemikir adalah yang mampu melihat dengan jeli apa yang tak terlihat oleh orang lain.

Kebenaran hipotesis saya pun sudah sejatinya diragukan, karena ini hanya pekerjaan pemilik waktu senggang saja.

Jelas saya bukan seorang penulis yang baik. Saya juga bermasalah ketika berbicara didepan khalayak. Kebiasaan saya memikirkan banyak hal kecil juga membuat hidup saya terkadang tak terlalu nyaman. Memikirkan pikiran orang lain ketika memikirkan sesuatu salah satunya, akan membawa keruwetan tersendiri dalam kepala saya seperti awal kalimat ini ketika anda baca. Sebaliknya saya sepakat dengan Daniel Atlas mengenai kegagalan melihat gambaran besar karena saya melihat terlalu dekat.

Sepertinya saya lebih baik saya berhenti memikirkan hal ini, daripada saya ditertawai Tuhan terus-menerus.

0 komentar:

Post a Comment