“Saat manusia
berpikir, Tuhan justru sedang tertawa” – Milan Kundera
Akhir-akhir ini teman saya yang memiliki
leissure time lebih banyak dalam
proporsi tiap harinya seringkali bergumam: Kalau menganggur begini pikiran jadi
macam-macam, kadang tak terkendalikan. Saya pun begitu.
Sungguh ini bukan merupakan
tulisan penyadaran diri mengenai bahaya pengangguran, namun saya hanya ingin
menyambungkan dengan pernyataan Milan Kundera diatas, yang sebenarnya ia kutip
dari salah satu sastra kaum Yahudi kuno. Kalimatnya sederhana, namun membawa
banyak pesan didalamnya. Beberapa sastrawan lain dalam monolognya mengartikanya
ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya. Sebab, semakin manusia
berpikir, semakin pikiran seseorang terpisah dari lainnya.
Saya pun langsung membayangkan apa yang terjadi jika sastra berhasil
bergabung bersama ilmu psikologi dan rasionalitas ilmu ekonomi.
Saya sebenarnya cukup sebal
dengan para sastrawan, mereka seringkali membuat sesuatu apa yang ada di
kepalanya sendiri, lalu dituankanya sesuka hati, dan kemudian memaksa
pembacanya untuk memahami apa yang ada di dalam kepala sastrawan tersebut. Saya
menyebutnya sebuah-pemaksaan-tersirat-akan-makna-dan-kedalaman. Belum lagi mengenai
puisi, deretan kata yang tak saling terhubung, beberapa diantaranya bersajak, dan
konon memiliki makna itu. Sepanjang hidup saya tak pernah menyukai hal-hal
tersirat seperti itu ― meski saya terkadang masih sering khilaf melakukannya.
Namun dalam proses penolakan saya
tersebut, saya kini justru terjebak dengan tulisan-tulisan lepas yang memadukan
berbagai perspektif, lugas dan ringan seperti bahasa surat kabar, namun dengan
pemilihan diksi yang amat kaya sehingga menambah kadar keindahan seperti karya
sastra. Saya sebut karya seperti itu dengan jurnalis semi sastra ―
ini
hanya sebutan saya saja, istilah yang sengaja saya ciptalan agar tidak
menimbulkan dikotomi sastra modern dan klasik. Entah kenapa tulisan
seperti ini banyak sekali saya temukan setahun belakangan ini. Sedangkan
sesuatu yang sering kita jumpai biasanya menimbulkan daya tarik
tersendiri,
atau hanya saya yang puber intelektual.
Setelah saya tertarik pada tulisan
jurnalis semi sastra itu, kemudian saya menjadi tertarik kepada personaliti
penulisnya. Seakan ada yang menuntun saya untuk membuktikan personaliti dengan
gaya menulis seseorang. Saya ingin melihat bagaimana orang dengan kemampuan
menulis yang luar biasa itu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya secara
lisan. Berhubung dalam benak saya masih terngiang-ngiang mengenai Skripsi maka pertanyaan
penelitian saya adalah apakah kemampuan menulis sama baiknya dengan kemampuan
berbicara?
Kebetulan bebrapa waktu lalu, teman
saya mengritik pembawaan seorang jurnalis semi sastra favorit saya yang
terlihat mengebu-gebu di layar kaca. Beberapa jurnalis semi sastra lain yang pernah
ada di layar kaca juga sering terlihat seperti kehilangan sentuhan magisnya dalam
mengolah kata. Entah persoalan media menuangkan ide atau cara yang berbeda,
mereka terbata-bata didepan layar kaca. Namun pembelaan saya pada mereka jelas
karena faktor kemampuan saja, bukan masalah ideologis.
Akhirnya keingintahuan saya berujung
pada sebuah hipotesis, seorang penulis yang baik, tidak selalu merupakan
pembicara yang baik. Seandainya ada yang memiliki keduanya, bisa jadi ia bukan
pemikir yang baik. Sulit menemukan tiganya dalam satu paket.
Perbedaan dimensi ketiganya membawa
sekat-sekat tersendiri pada persepsi saya. Sebab-musabab dari keahlian tersebut
pun menurut saya berbeda. Saya berani bertaruh seorang penulis yang hebat pasti
adalah seorang pembaca yang hebat juga. Sedangkan para pembicara yang baik,
juga bisa menjadi pendengar yang sama baiknya. Sedangkan para pemikir adalah
yang mampu melihat dengan jeli apa yang tak terlihat oleh orang lain.
Kebenaran hipotesis saya pun
sudah sejatinya diragukan, karena ini hanya pekerjaan pemilik waktu senggang
saja.
Jelas saya bukan seorang penulis
yang baik. Saya juga bermasalah ketika berbicara didepan khalayak. Kebiasaan
saya memikirkan banyak hal kecil juga membuat hidup saya terkadang tak terlalu
nyaman. Memikirkan pikiran orang lain ketika memikirkan sesuatu salah satunya,
akan membawa keruwetan tersendiri dalam kepala saya seperti awal kalimat ini
ketika anda baca. Sebaliknya saya sepakat dengan Daniel Atlas mengenai kegagalan
melihat gambaran besar karena saya melihat terlalu dekat.
Sepertinya saya lebih baik saya
berhenti memikirkan hal ini, daripada saya ditertawai Tuhan terus-menerus.
0 komentar:
Post a Comment