“Pertamina bukan milik Negara, Pertamina milik rakyat, dan bukan milik
Presiden serta bukan milik Dirut Pertamina. Mari kita bertindak cepat,
bertindak yang kuat, buat karyawan Pertamina jangan enak-enak saja disana saat
ini, kita terganggu.Energi panas bumi sedang diobok-obok, 40% panas bumi ada di
Indonesia, kenapa kita disuruh mencari sumber minyak di luar negeri ini,
sementara di Indonesia dikasih ke pihak Asing. Apakah orang Kalimantan ikhlas?
Bila tidak, lakukan perlawanan. Hari ini kita jadikan hari bangkitnya
kedaulatan Energi pada Anak Bangsa. Banyuwangi saat ini emasnya lagi
diobok-obok oleh pihak asing, Pertamina milik rakyat, bukan milik
Menteri-Menteri itu, bukan milik penguasa, bukan milik Dirut Pertamina, dan
bukan milik saya. Kilang yang ada di Tuban, Balongan tekan Direksi, jangan
cengeng kalian, segera tekan Direksi kalian masing-masing. Jangan sampai kita
menunggu Bung Karno bangkit dari kuburannya, jangan tunggu VOC jilid dua, apa musti kita
tunggu Bung Karno bangkit dari kuburan." - Ugan Gandar Presiden FSPPB
(Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), saat pembukaan Kedaulatan Migas
di tangan anak bangsa, Senin 18 Maret 2013 lalu.
Saya sedikit tergelitik membaca
orasi tersebut.
Seminggu yang lalu saya sempat
pulang ke kampung halaman dan saya mendapati empat pohon mangga didepan rumah saya sedang di semprot
semacam zat yang saya tak tahu namanya oleh beberapa orang paruh baya. Usut
punya usut, mereka adalah pekerja yang menawarkan jasa mempercepat fertilisasi
buah mangga dan meperbaiki mangga yang dihasilkan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Ibu saya mencerikan lebih lanjut mengenai pekerjaan
orang-orang tersebut, ternyata mereka membuat semacam kontrak tak tertulis
mengenai pembagian hasil buah mangga dengan pemilih pohon (ibu saya) sebesar
33,3 persen untuk pemilik pohon dan 66,6 persen untuk penyedia jasa sebagai
imbalan ‘perawatan’ pohon sekitar 2-3 bulan― sungguh modus operandi baru
bagi saya.
Bagaimana bisa, pihak yang cuma
modal alat semprot dan cairan yang sama sekali kita tak tau (bisa saja mereka cuma
menggunakan air biasa) mendapat bagian 2/3 dari hasil panen mangga itu kelak
ketika dijual nanti, sungguh ketidakadilan menurut saya. Sebuah ungkapan
emosional yang juga dilontarkan para aktivis yang mengagungkan kedaulatan
negara untuk menduga-duga kemudian mecurigai, seperti saya pada penyedia jasa
‘perawatan’ pohon mangga yang mirip PSC itu.
Saya tak akan menyalahkan mereka,
karena menyalahkan mereka sama saja menyalahkan diri saya sendiri, saya hanya
ingin sedikit berbagi dari sudut pandang berbeda, setidaknya sudut pandang yang
saya yakini lebih benar ― meski kebenaran juga relatif. Saya tergelitik untuk
kembali menulis mengenai Kedaulatan Migas yang pernah sedikit saya ulas
beberapa minggu yang lalu. Jika tulisan sebelumnya mengenai kontrak yang lebih
umum, kali ini saya akan lebih membahas mengenai PSC (Production sharing contract).
Production sharing contract selanjutnya disebut PSC, adalah salah
satu bentuk dari pola kerja sama bisnis yang disinyalir benar-benar asli, lahir
dan digagas oleh Indonesia ― sampai beberapa negara, termasuk Malaysia
tak sungkan untuk bertandang ke Indonesia hanya untuk menimba ilmu mengenai
PSC. Beberapa analis fiskal perminyakan berpendapat PSC, sebuah gagasan
briliant dari Ibnu Sutowo, direktur utama pertama Pertamina (dulu: Permina), merupakan
sebuah sistem kontrak yang diadopsi dari berbagai jenis sistem kontrak yang ada
kala itu. Sama seperti aristokrat
ekonomi Indonesia dulu yang menamai sistem ekonomi negara ini dengan Ekonomi Pancasila,
yang seyogyanya juga merupakan gerak bandul antara dua kutub sistem ekonomi
pasar dan sistem ekonomi komando. Mengambil semua kebaikan diantara keduanya.
Kenapa musti PSC? Setidaknya ada tiga
poin menurut Rinto Pudyantoro (dalam bukunya Bisnis Hulu Migas) yang dapat
menjelaskan konsep PSC ini. Pertama,
penguasaan sumber daya alam migas tetap berada di pemerintah. Kedua, pemerintah tidak akan menanggung
resiko atas tidak ditemukanya cadangan migas (indirect investment). Ketiga,
pemerintah tidak menghadapi kesulitan dana, karena tidak terbatas karena
operasi perminyakan menghadapi ketidakpastian. Kesimpulan saya: Pemerintah
menganut risk adversion, padahal
doktrin terkenal dunia bisnis adalah High
Risk, High Return.
Lalu bagaimana perhitungan bagi
hasil dalam PSC? Sudah adilkah? Dalam prakteknya sangatlah rumit, namun penyederhanaan
kurang lebih seperti ini: Pertama,
hasil produksi minyak hasil pengeboran terlebih dahulu disisihkan untuk FTP (First Tranch Petroleum), sebuah konsep
yang diperkenalkan pada sistem PSC baru dimana merupakan pengambilan pertama
sebelum dikurangi macam-macam perhitungan. Kedua,
volume minyak mentah dialokasikan untuk mengembalikan dana talangan yang
dipergunakan untuk membiayai pengangkatan minyak mentah dari perut bumi, atau
populernya disebut recovery cost – Cost Recovery (yang ditagihkan) berbeda
dengan Recovery (yang dibayarkan). Ketiga, sisanya berapapun itu akan
dibagi ke masing-masing pihak berdasarkan porsi pembagian sesuai kontrak,
misalnya perbandingan pemerintah dengan kontraktor sebesar 65% : 35% pada
sistem PSC lama atau 72% : 28% di sistem PSC baru. Keempat menghitung DMO (Domestic
Market Obligation) yang merupakan kewajiban kontraktor untuk menyerahkan
sejumlah migas baianya kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan domestik,
dengan harga khusus bukan harga pasar.
Sebuah perhitungan penyederhanaan
yang samasekali tidak sederhana. Jangan tanyakan kepada saya bagaimana Financial Status Report atau akuntansi
bagi negara dan bagi kontraktornya. Namun bisa jadi, hal-hal yang rumit bagi
saya, merupakan hal yang cukup sederhana bagi pagi pelaku industri migas. Penyederhanaan bisa jadi mempersulit.
Artinya, jika berbicara fundamental
seperti kedaulatan migas, mari kita bawa pembahasan ke level teknikal dulu, karena
banyak faktor yang mempengaruhi fundamental. Jangan sampai diskusi terjebak
pada perdebatan kontra-produktif antara yang tahu dan tidak tahu. PSC sudah
didesain sedemikian rupa, dengan peritungan yang cukup complicated seperti penjelasan kosmik dan hormonal dua muda-mudi yang
tengah jatuh cinta, yang menurut saya bertujuan semata-mata untuk mendiversivikasi
resiko dan optimalisasi.
"Ketidakjelasan yang diikuti
ketidaktahuan, karena informasi yang diberikan tidak komplet, akan memunculkan
kecurigaan" – A.Rinto Pudyantoro
Saya tidak berani menyimpulkan
apa-apa, karena informasi yang saya dapatkan sangatlah sedikit sekali, dan yang
paling penting saya berada di posisi yang hanya mendekati pengamat atau analis (sarjana
saja belum), belum pernah menjadi pemain. Pada akhirnya, sehebat apapun seorang
pengamat atau analis, mereka tak mungkin menyelami lebih dalam dari khasanah
cara pandang para pemain itu sendiri. Tapi seperti yang telah saya katakan di
tulisan sebelumnya, tidak ada jenis kontrak yang belaku umum menguntungkan negara
– kecuali perbedaan kepemilikan sumber daya yang membedakan PSC dengan konsensi.
Tidak ada yang benar-benar cocok untuk
semua negara, apalagi menguntungkan dua belah pihak (pemilik sumber daya dan
penggarap) sekaligus, yang ada hanyalah bagaimana menyusun kontrak agar sesuai
dengan karakteristik negara dan mendapat outcome
yang optimal.
Kalo boleh saya mau menutup
tulisan saya dengan jargon Aditya Muslim, salah satu comic di Indonesia asal
Madura, sekaligus untuk membalas kutipan saya di awal tulisan ini “What's wrong with this country men??” :D
* ilustrasi diambil dari blog Benny Lubiantara, Ekonomi-Migas
* ilustrasi diambil dari blog Benny Lubiantara, Ekonomi-Migas
0 komentar:
Post a Comment