07 April 2013

Kedaulatan Migas: Asimetris dan Relativitas Penyederhanaan


Pertamina bukan milik Negara, Pertamina milik rakyat, dan bukan milik Presiden serta bukan milik Dirut Pertamina. Mari kita bertindak cepat, bertindak yang kuat, buat karyawan Pertamina jangan enak-enak saja disana saat ini, kita terganggu.Energi panas bumi sedang diobok-obok, 40% panas bumi ada di Indonesia, kenapa kita disuruh mencari sumber minyak di luar negeri ini, sementara di Indonesia dikasih ke pihak Asing. Apakah orang Kalimantan ikhlas? Bila tidak, lakukan perlawanan. Hari ini kita jadikan hari bangkitnya kedaulatan Energi pada Anak Bangsa. Banyuwangi saat ini emasnya lagi diobok-obok oleh pihak asing, Pertamina milik rakyat, bukan milik Menteri-Menteri itu, bukan milik penguasa, bukan milik Dirut Pertamina, dan bukan milik saya. Kilang yang ada di Tuban, Balongan tekan Direksi, jangan cengeng kalian, segera tekan Direksi kalian masing-masing. Jangan sampai kita menunggu Bung Karno bangkit dari kuburannya,  jangan tunggu VOC jilid dua, apa musti kita tunggu Bung Karno bangkit dari kuburan." - Ugan Gandar Presiden FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), saat pembukaan Kedaulatan Migas di tangan anak bangsa, Senin 18 Maret 2013 lalu.

Saya sedikit tergelitik membaca orasi tersebut.

Seminggu yang lalu saya sempat pulang ke kampung halaman dan saya mendapati empat  pohon mangga didepan rumah saya sedang di semprot semacam zat yang saya tak tahu namanya oleh beberapa orang paruh baya. Usut punya usut, mereka adalah pekerja yang menawarkan jasa mempercepat fertilisasi buah mangga dan meperbaiki mangga yang dihasilkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Ibu saya mencerikan lebih lanjut mengenai pekerjaan orang-orang tersebut, ternyata mereka membuat semacam kontrak tak tertulis mengenai pembagian hasil buah mangga dengan pemilih pohon (ibu saya) sebesar 33,3 persen untuk pemilik pohon dan 66,6 persen untuk penyedia jasa sebagai imbalan ‘perawatan’ pohon sekitar 2-3 bulan― sungguh modus operandi baru bagi saya.

Bagaimana bisa, pihak yang cuma modal alat semprot dan cairan yang sama sekali kita tak tau (bisa saja mereka cuma menggunakan air biasa) mendapat bagian 2/3 dari hasil panen mangga itu kelak ketika dijual nanti, sungguh ketidakadilan menurut saya. Sebuah ungkapan emosional yang juga dilontarkan para aktivis yang mengagungkan kedaulatan negara untuk menduga-duga kemudian mecurigai, seperti saya pada penyedia jasa ‘perawatan’ pohon mangga yang mirip PSC itu.

Saya tak akan menyalahkan mereka, karena menyalahkan mereka sama saja menyalahkan diri saya sendiri, saya hanya ingin sedikit berbagi dari sudut pandang berbeda, setidaknya sudut pandang yang saya yakini lebih benar ― meski kebenaran juga relatif. Saya tergelitik untuk kembali menulis mengenai Kedaulatan Migas yang pernah sedikit saya ulas beberapa minggu yang lalu. Jika tulisan sebelumnya mengenai kontrak yang lebih umum, kali ini saya akan lebih membahas mengenai PSC (Production sharing contract).

Production sharing contract selanjutnya disebut PSC, adalah salah satu bentuk dari pola kerja sama bisnis yang disinyalir benar-benar asli, lahir dan digagas oleh Indonesia ― sampai beberapa negara, termasuk Malaysia tak sungkan untuk bertandang ke Indonesia hanya untuk menimba ilmu mengenai PSC. Beberapa analis fiskal perminyakan berpendapat PSC, sebuah gagasan briliant dari Ibnu Sutowo, direktur utama pertama Pertamina (dulu: Permina), merupakan sebuah sistem kontrak yang diadopsi dari berbagai jenis sistem kontrak yang ada kala itu.  Sama seperti aristokrat ekonomi Indonesia dulu yang menamai sistem ekonomi negara ini dengan Ekonomi Pancasila, yang seyogyanya juga merupakan gerak bandul antara dua kutub sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi komando. Mengambil semua kebaikan diantara keduanya.

Kenapa musti PSC? Setidaknya ada tiga poin menurut Rinto Pudyantoro (dalam bukunya Bisnis Hulu Migas) yang dapat menjelaskan konsep PSC ini. Pertama, penguasaan sumber daya alam migas tetap berada di pemerintah. Kedua, pemerintah tidak akan menanggung resiko atas tidak ditemukanya cadangan migas (indirect investment). Ketiga, pemerintah tidak menghadapi kesulitan dana, karena tidak terbatas karena operasi perminyakan menghadapi ketidakpastian. Kesimpulan saya: Pemerintah menganut risk adversion, padahal doktrin terkenal dunia bisnis adalah High Risk, High Return.

Lalu bagaimana perhitungan bagi hasil dalam PSC? Sudah adilkah? Dalam prakteknya sangatlah rumit, namun penyederhanaan kurang lebih seperti ini: Pertama, hasil produksi minyak hasil pengeboran terlebih dahulu disisihkan untuk FTP (First Tranch Petroleum), sebuah konsep yang diperkenalkan pada sistem PSC baru dimana merupakan pengambilan pertama sebelum dikurangi macam-macam perhitungan. Kedua, volume minyak mentah dialokasikan untuk mengembalikan dana talangan yang dipergunakan untuk membiayai pengangkatan minyak mentah dari perut bumi, atau populernya disebut recovery cost Cost Recovery (yang ditagihkan) berbeda dengan Recovery (yang dibayarkan). Ketiga, sisanya berapapun itu akan dibagi ke masing-masing pihak berdasarkan porsi pembagian sesuai kontrak, misalnya perbandingan pemerintah dengan kontraktor sebesar 65% : 35% pada sistem PSC lama atau 72% : 28% di sistem PSC baru. Keempat menghitung DMO (Domestic Market Obligation) yang merupakan kewajiban kontraktor untuk menyerahkan sejumlah migas baianya kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan domestik, dengan harga khusus bukan harga pasar.



Sebuah perhitungan penyederhanaan yang samasekali tidak sederhana. Jangan tanyakan kepada saya bagaimana Financial Status Report atau akuntansi bagi negara dan bagi kontraktornya. Namun bisa jadi, hal-hal yang rumit bagi saya, merupakan hal yang cukup sederhana bagi pagi pelaku industri migas.  Penyederhanaan bisa jadi mempersulit.

Artinya, jika berbicara fundamental seperti kedaulatan migas, mari kita bawa pembahasan ke level teknikal dulu, karena banyak faktor yang mempengaruhi fundamental. Jangan sampai diskusi terjebak pada perdebatan kontra-produktif antara yang tahu dan tidak tahu. PSC sudah didesain sedemikian rupa, dengan peritungan yang cukup complicated seperti penjelasan kosmik dan hormonal dua muda-mudi yang tengah jatuh cinta, yang menurut saya bertujuan semata-mata untuk mendiversivikasi resiko dan optimalisasi.

"Ketidakjelasan yang diikuti ketidaktahuan, karena informasi yang diberikan tidak komplet, akan memunculkan kecurigaan" – A.Rinto Pudyantoro

Saya tidak berani menyimpulkan apa-apa, karena informasi yang saya dapatkan sangatlah sedikit sekali, dan yang paling penting saya berada di posisi yang hanya mendekati pengamat atau analis (sarjana saja belum), belum pernah menjadi pemain. Pada akhirnya, sehebat apapun seorang pengamat atau analis, mereka tak mungkin menyelami lebih dalam dari khasanah cara pandang para pemain itu sendiri. Tapi seperti yang telah saya katakan di tulisan sebelumnya, tidak ada jenis kontrak yang belaku umum menguntungkan negara – kecuali perbedaan kepemilikan sumber daya yang membedakan PSC dengan konsensi.  Tidak ada yang benar-benar cocok untuk semua negara, apalagi menguntungkan dua belah pihak (pemilik sumber daya dan penggarap) sekaligus, yang ada hanyalah bagaimana menyusun kontrak agar sesuai dengan karakteristik negara dan mendapat outcome yang optimal.

Kalo boleh saya mau menutup tulisan saya dengan jargon Aditya Muslim, salah satu comic di Indonesia asal Madura, sekaligus untuk membalas kutipan saya di awal tulisan ini “What's wrong with this country men??” :D

* ilustrasi diambil dari blog Benny Lubiantara, Ekonomi-Migas

0 komentar:

Post a Comment