13 April 2013

Sebuah Refleksi: Overreach, Moneyball dan Miss Opportunity



Sulit dipercaya berapa banyak hal yang tidak kau ketahui tentang permainan yang pernah kau mainkan seumur hidupmu” – Moneyball

Bagi para patner futsal saya pasti tau betul banyaknya kata “sorry” yang terlontar dari mulut saya sepanjang permainan. Mungkin sebanyak tumpukan buku dan kertas yang berserakan di kamar saya ini. Mereka juga pasti sadar telah berulangkali mengingatkan saya agar tetap menjaga tempo permainan, karena saya sering terburu-buru dalam menyusun permainan. Sepertinya patner saya paham betul karakter saya di lapangan dan di luar lapangan.

Saya tak ingin menjadi orang yang menembakkan pelurunya kemana-mana, seperti para figuran di film action ketika hilang kontrol atas senjata yang dipegangnya. Saya juga tak mengerti kenapa saya begitu sering mengucapkan kata “sorry” di lapangan, bahkan untuk kesalahan yang tidak saya perbuat sekalipun. Bagi seorang yang sangat mengagung-agungkan menjadi deep lying playmaker bisa ditebak seperti apa permainan yang saya tampilkan, banyak melakukan passing, banyak juga salah passing ― saya bukan Xavi Hernandez yang bisa melalukan 100%  pass completed dari 96 kali percobaan.

Padahal jika saya mau main aman, bisa saja saya melakukan 5 kali passing namun tepat sasaran, maka statistik saya juga sama dengan kapten Barcelona itu, 100 pass completed. Tapi apa yang dilakukan saya dan Xavi Hernandez adalah mencoba membuktikan kalau kualitas tidak berbanding terbalik dengan kuantitas, artinya keduanya tidak dalam keadaan bertarung. Bedanya, Xavi telah berhasil membuktikanya, sedangkan saya masih terus mencoba untuk survive.

Kemaren malam saya menonton film yang telah lama ada di hardisk saya namun baru kali ini saya baru sempat menontonya, judulnya: Moneyball. Film yang awalnya saya sempat underestimate karena diawali dengan scene sebuah pertandingan baseball, dan memang film tersebut menceritakan tentang seseorang yang menjadi manajer di sebuat tim baseball, namanya Billy Beane diperankan oleh aktor tampan Hollywood, Brad Pitt. Namun seiring bergantinya scene demi scene, saya juga menikmati film tersebut, terlebih ternyata film tersebut menceritakan betapa pentingnya statistik dan ekonomi dalam olahraga ― saya mendewakan ketiganya.

Film bergulir dengan alur yang naik turun, sebagai manajer utama, Billy Beane dihadapkan dengan kenyataan bahwa pemilik club tidak punya banyak uang untuk membangun tim, seluruh staf kepelatihan, Scout, dan Billy memikirkan bagaimana cara mengarungi musim depan. Namun, dengan bantuan ahli statistik ekonomi Billy akhirnya menemukan komposisi tim yang efisien. Meski terdapat konflik seiring berjalanya waktu Oakland Athletics (tim yang di manajeri oleh Billy) memetik hasil positif atas kerja kerasnya. Oakland Athletics bahkan menjelma menjadi tim yang tak terkalahkan selama 20 pertandingan, merupakan rentetan kemenangan terbesar sepanjang sejarah Baseball Amerika Serikat. Meski akhirnya kalah di babak Play-off strategi yang dilakukan oleh Billy Beane dalam membangun tim dengan dana yang terbatas sangat mengaggumkan.

Bagian yang paling menarik dan menyentuh bagi saya adalah di akhir film, ketika akhirnya Billy Beane mendapat tawaran dari pemilik Boston Red Sox, klub Baseball kaya raya saat itu, bahkan konon nilai kontrak yang diajukan oleh pemilik Boston Red Sox merupakan nilai kontrak manajer terbesar sepanjang sejarah olahraga di dunia! Kebimbangan yang luarbiasa melanda Billy Beane, karena menurutnya hidup itu tak semata tentang uang. Sampai pada akhirnya keputusan dibuat Billy Beane mendengar lagu dari putrinya, lagu The Show dari Lenka, yang liriknya sedikit dirubah – tonton saja filmnya bagian ini paling emosional.

Billy Beane menolak tawaran Red Sox senilai $ 12.500.000, Dan memilih tetap di Oakland sebagai Manajer Umum ― mohon maaf buat yang belum menonton saya membocorkan ending film, tapi percayalah yang belum saya bocorkan lebih emosional.

Saya mendadak teringat ayah saya. Seorang pria yang sangat saya kagumi lengkap kelebihan dan kekuranganya. Sampai akhirnya saya melupakan berapa banyak saya  biberi hukuman oleh ayah, seberapa sering ayah memaraki saya. Bahkan saya masih ingat saat ayah memarahi teman saya yang tak bersalah ketika menjemput saya. Ayah bukan pria yang sempurna. Tapi ayah saya mengajarkan kehidupan tanpa kesempurnaan. Bahkan sampai hari terakhir beliau menatapku, saya masih melihat ketidaksempurnaanya ketika beliau membanting gelas di pagi hari sesaat sebelum beliau dibawa ke rumah sakit. Betapa emosionalnya beliau.

"Lembutlah terhadap orang tua, karena mereka hidup bukan pada zaman nya. Sabarlah terhadap saran dan kritiknya karena anda tak tahu perasaan mereka" ― Dr. Karim Bakkar.

Lalu apa hubunganya semua ini, apa yang terjadi dengan Saya, Billy Beane, dan Ayah saya? Hubungan yang pertama adalah kami manusia biasa. Hubungan yang kedua, kami emosional, kami masih menembakan peluru kemana saja, bahkan bagi saya hari ini banyak sekali kekonyolan yang telah saya perbuat. Diawali ledekan saya pada bapak presiden yang akhirnya membuat account twitter ― semoga bukan karena salah satu staff kepresidenannya memberitahukan bahwa twitter media yang paling ampuh untuk curhat colongan. Entah kenapa apa yang presiden saya lakukan saya lebih cenderung melihatnya suatu kekonyalan, mungkin saya kecewa, tapi lebih tepatnya saya overreach. Padahal beliau orang baik, ayah saya juga orang baik.

Pada akhirnya saya menyadari, seperti saat saya mengucapkan “sorry” dilapangan, terkadang dalam hidup kebanyakan dari kita lebih sering kehilangan momentum, yang oleh teman saya bahasanya dirubah menjadi miss opportunity agar lebih terlihat menggunakan pemikiran yang dalam. Ketika saya harus bertahan, saya justru menyerang. Ketika saya harus menyerang saya justru beristirahat. Ketika Billy Beane harusnya menerima tawaran Red Sox, Billy malah memilih menikmati pertunjukan dan bernostalgia.

Kami ini manusia biasa, lengkap dengan ketidaksempurnaan dan kekonyolan kami.

Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go, can't do it alone

I'm just a little girl lost in the moment
I'm so scared but I don't show it
I can't figure it out, it's bringing me down
I know I've got to let it go and just enjoy the show
Just enjoy the show
Lenka – The Show

Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa ayah saya. Saya merindukan beliau hampir selama 4 tahun ini.

0 komentar:

Post a Comment