“Sulit dipercaya berapa banyak hal yang tidak kau ketahui tentang permainan
yang pernah kau mainkan seumur hidupmu” – Moneyball
Bagi para patner futsal saya
pasti tau betul banyaknya kata “sorry”
yang terlontar dari mulut saya sepanjang permainan. Mungkin sebanyak tumpukan
buku dan kertas yang berserakan di kamar saya ini. Mereka juga pasti sadar
telah berulangkali mengingatkan saya agar tetap menjaga tempo permainan, karena
saya sering terburu-buru dalam menyusun permainan. Sepertinya patner saya paham
betul karakter saya di lapangan dan di luar lapangan.
Saya tak ingin menjadi orang yang
menembakkan pelurunya kemana-mana, seperti para figuran di film action ketika
hilang kontrol atas senjata yang dipegangnya. Saya juga tak mengerti kenapa
saya begitu sering mengucapkan kata “sorry”
di lapangan, bahkan untuk kesalahan yang tidak saya perbuat sekalipun. Bagi seorang
yang sangat mengagung-agungkan menjadi deep
lying playmaker bisa ditebak seperti apa permainan yang saya tampilkan,
banyak melakukan passing, banyak juga
salah passing ― saya bukan Xavi Hernandez yang bisa
melalukan 100% pass completed dari 96
kali percobaan.
Padahal jika saya mau main aman, bisa
saja saya melakukan 5 kali passing namun
tepat sasaran, maka statistik saya juga sama dengan kapten Barcelona itu, 100 pass completed. Tapi apa yang dilakukan
saya dan Xavi Hernandez adalah mencoba membuktikan kalau kualitas tidak
berbanding terbalik dengan kuantitas, artinya keduanya tidak dalam keadaan
bertarung. Bedanya, Xavi telah berhasil membuktikanya, sedangkan saya masih
terus mencoba untuk survive.
Kemaren malam saya menonton film
yang telah lama ada di hardisk saya namun baru kali ini saya baru sempat
menontonya, judulnya: Moneyball. Film yang awalnya saya sempat underestimate
karena diawali dengan scene sebuah pertandingan
baseball, dan memang film tersebut menceritakan tentang seseorang yang menjadi
manajer di sebuat tim baseball, namanya Billy Beane diperankan oleh aktor
tampan Hollywood, Brad Pitt. Namun seiring bergantinya scene demi scene, saya
juga menikmati film tersebut, terlebih ternyata film tersebut menceritakan
betapa pentingnya statistik dan ekonomi dalam olahraga ― saya mendewakan ketiganya.
Film bergulir dengan alur yang
naik turun, sebagai manajer utama, Billy Beane dihadapkan dengan kenyataan
bahwa pemilik club tidak punya banyak uang untuk membangun tim, seluruh staf
kepelatihan, Scout, dan Billy memikirkan bagaimana cara mengarungi musim depan.
Namun, dengan bantuan ahli statistik ekonomi Billy akhirnya menemukan komposisi
tim yang efisien. Meski terdapat konflik seiring berjalanya waktu Oakland
Athletics (tim yang di manajeri oleh Billy) memetik hasil positif atas kerja
kerasnya. Oakland Athletics bahkan menjelma menjadi tim yang tak terkalahkan
selama 20 pertandingan, merupakan rentetan kemenangan terbesar sepanjang
sejarah Baseball Amerika Serikat. Meski akhirnya kalah di babak Play-off
strategi yang dilakukan oleh Billy Beane dalam membangun tim dengan dana yang
terbatas sangat mengaggumkan.
Bagian yang paling menarik dan
menyentuh bagi saya adalah di akhir film, ketika akhirnya Billy Beane mendapat
tawaran dari pemilik Boston Red Sox, klub Baseball kaya raya saat itu, bahkan
konon nilai kontrak yang diajukan oleh pemilik Boston Red Sox merupakan nilai kontrak
manajer terbesar sepanjang sejarah olahraga di dunia! Kebimbangan yang
luarbiasa melanda Billy Beane, karena menurutnya hidup itu tak semata tentang
uang. Sampai pada akhirnya keputusan dibuat Billy Beane mendengar lagu dari
putrinya, lagu The Show dari Lenka, yang liriknya sedikit dirubah – tonton saja
filmnya bagian ini paling emosional.
Billy Beane menolak tawaran Red
Sox senilai $ 12.500.000, Dan memilih tetap di Oakland sebagai Manajer Umum ― mohon maaf
buat yang belum menonton saya membocorkan ending film, tapi percayalah yang
belum saya bocorkan lebih emosional.
Saya mendadak teringat ayah saya.
Seorang pria yang sangat saya kagumi lengkap kelebihan dan kekuranganya. Sampai
akhirnya saya melupakan berapa banyak saya biberi hukuman oleh ayah, seberapa sering ayah
memaraki saya. Bahkan saya masih ingat saat ayah memarahi teman saya yang tak
bersalah ketika menjemput saya. Ayah bukan pria yang sempurna. Tapi ayah saya
mengajarkan kehidupan tanpa kesempurnaan. Bahkan sampai hari terakhir beliau
menatapku, saya masih melihat ketidaksempurnaanya ketika beliau membanting
gelas di pagi hari sesaat sebelum beliau dibawa ke rumah sakit. Betapa emosionalnya
beliau.
"Lembutlah terhadap orang tua, karena mereka hidup bukan pada zaman nya.
Sabarlah terhadap saran dan kritiknya karena anda tak tahu perasaan mereka"
―
Dr. Karim Bakkar.
Lalu apa hubunganya semua ini, apa
yang terjadi dengan Saya, Billy Beane, dan Ayah saya? Hubungan yang pertama adalah
kami manusia biasa. Hubungan yang kedua, kami emosional, kami masih menembakan
peluru kemana saja, bahkan bagi saya hari ini banyak sekali kekonyolan yang
telah saya perbuat. Diawali ledekan saya pada bapak presiden yang akhirnya
membuat account twitter ― semoga bukan karena salah satu staff kepresidenannya
memberitahukan bahwa twitter media yang paling ampuh untuk curhat colongan. Entah
kenapa apa yang presiden saya lakukan saya lebih cenderung melihatnya suatu
kekonyalan, mungkin saya kecewa, tapi lebih tepatnya saya overreach. Padahal beliau orang baik, ayah saya juga orang baik.
Pada akhirnya saya menyadari, seperti
saat saya mengucapkan “sorry”
dilapangan, terkadang dalam hidup kebanyakan dari kita lebih sering kehilangan
momentum, yang oleh teman saya bahasanya dirubah menjadi miss opportunity agar lebih terlihat menggunakan pemikiran yang
dalam. Ketika saya harus bertahan, saya justru menyerang. Ketika saya harus
menyerang saya justru beristirahat. Ketika Billy Beane harusnya menerima
tawaran Red Sox, Billy malah memilih menikmati pertunjukan dan bernostalgia.
Kami ini manusia biasa, lengkap dengan
ketidaksempurnaan dan kekonyolan kami.
Life is a maze and love is a
riddle
I don't know where to go, can't
do it alone
I'm just a little girl lost in
the moment
I'm so scared but I don't show
it
I can't figure it out, it's
bringing me down
I know I've got to let it go and
just enjoy the show
Just enjoy the show
Lenka – The Show
Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa
ayah saya. Saya merindukan beliau hampir selama 4 tahun ini.
0 komentar:
Post a Comment