“Setiap cobaan dari
tuhan selalu ada maksudnya. Cobaan membuat yang berpikir menjadi lebih baik.
Cobaan membuat orang yang tidak bisa berpikir, marah dan menyalahkan nasib
(Tuhan) dan pihak-pihak lain” Widjajono Partowidagdo. Alm
Tulisan ini datang dari kegelisahan
ditengah kesibukan mengolah data skripsi yang berjumlah 12 kolom kali 2990
baris di spreadsheet yang cukup
melelahkan mata, merasa berhutang karena telah memberi judul part 1 pada
tulisan saya sebelumnya, dan terinspirasi oleh ucapan Tony Stark di film
anyarnya Iron Man 3 “Setiap orang butuh
hoby untuk mengisi waktu luang nya” sebut saja ini hobi saya.
Mungkin sebagian teman saya tak
tau atau bahkan tak mau tau impian saya kelak ketika menjadi jutawan. Saya
ingin memiliki perusahaan bus. Terdengar aneh bukan? Tapi bagi saya, memikirkan
konsep perusahaan bus yang akan saya bangun kelak telah menjadi makanan
sehari-hari saya ketika waktu lenggang, seperti Tony Stark yang memikirkan
bentuk kostum besi terbaiknya. Dalam otak saya bahkan sudah memikirkan nama
perusahaan, orang-orang yang mengisi di perusahaan saya, sampai strategi
pengembangan perusahaan bus milik saya.
Sedikit bocoran, untuk item
terakhir di paragraf diatas, mengenai strategi pengembangan perusahaan bus
saya. Saya sudah merencanakan jika kelak saya mempunyai perusahaan bus, saya
juga harus membeli beberapa stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) karena menurut ilmu yang saya pelajari perusahan
yang menguasai input dan output akan lebih sejahtera.
Sederhana saja, jika saya
memiliki perusahaan bus dengan armada sekitar 100 bus (seperti PO.Nusantara,
Sinarjaya, dll). Jika masing-masing tangki bus berkapasitas 150 liter maka tiap
hari saya membutuhkan bahan bakar (solar) sebanyak 15.000 liter. Keuntungan
saya dari angka tersebut adalah, pertama,
jika saya memiliki SPBU, biaya operasional bus tiap harinya tidak keluar ke
tempat lain, dan saya juga menikmati laba dari pengusahaan SPBU saya. Kedua, kepastian pasokan bahan input
perusahaan saya akan terjamin. Ketiga,
jika pemerintah jadi menetapkan dua
harga bbm, saya bisa memetik keuntungan dari chaos sekarang ini ― jangan tanyakan sekarang pada saya,
karena ini tidak etis.
Minggu lalu, sewaktu saya pulang
ke kampung halaman di Pekalongan, saya
menemukan realitas yang cukup mencengangkan bagi saya. Sepanjang perjalanan
Jogjakarta-Pekalongan saya mendapati dua kemungkinan ketika melihat SPBU. Dua
kemungkinan itu adalah mendapati tulisan “BBM Bersubsidi Habis” atau antrian
yang mengular ke luar SPBU. Dua kemungkinan yang sama seperti ketika saya
memutuskan untuk menonton Iron Man 3 di hari pertama penayangan.
Kembali ke harga dan kelangkaan BBM
di Indonesia, entah kenapa tiap kali ada isu kenaikan harga BBM menyeruak,
seketika itu BBM berangsur-angsur menguap. Saya masih menganalisis fenomena
menarik ini. Namun, jika sebagian orang bilang ini masalah penimbunan,
hipotesis saya mnenyangkal hal tersebut. Dalam benak saya peristiwa yang
terjadi tak sesederhana: harga BBM akan naik, lalu para SPBU menimbun stoknya
untuk mengambil untung atas perbedaan harga. Jika kasusnya seperti ini maka pertama, tidak akan kekosongan masal. Kedua, tidak akan terjadi jauh-jauh hari. Ketiga, tidak terkonsentrasi disuatu daerah saja seperti yang
terjadi di Jawa Tengah dan DIY sekarang ini.
Kemudian dugaan saya menuju ke
terbatasnya pasokan terjadi karena kesengajaan dari distributor PSO (dalam hal
ini Pertamina) dalam rangka strategi menjaga bill ke pemerintah di akhir periode nanti tidak membengkak. Iya,
tugas utama Pertamina sebagai PSO BBM itu dilakukan dengan piutang ke
pemerintah, jadi nilai tagihan di akhir periode nanti tidak ada yang bisa
mengendalikan selain Pertamina sendiri dan konsumsi masyarakat. Mengingat konsumsi
BBM tersebut berkaitan dengan subsidi yang diberikan negara, maka penting bagi
pemerintah untuk membatasi agar besaran subsidi tidak menggelembung. Perlu saya
tekankan disini Pertamina hanya sebatas pemeran utama, bukan sutradara. Decision maker tetap ada di pemerintah.
Dengan munculnya fenomena ini, nampaknya
masyarakat kini ‘dipaksa’ harus memilih mana threat yang lebih menimbulkan ketidaknyamanan. Ancaman tersebut ada
dua yaitu: kenaikan harga BBM dan kelangkaan BBM. Masyarakat harus sadar dan
menanyakan kepada dirinya sendiri mana yang lebih menyusahkan dari dua cobaan
tersebut. Setelah masyarakat menemukan kegelisahan yang sesungguhnya, maka
pemerintah kemudian juga harus merumuskan kebijakan berdasar atas kegelisahan
masyarakat tersebut.
Hampir sama seperti kasus dikampus
saya. Dua tahun ini kampus saya cukup bergejolak mengenai permasalahan Kartu
Identitas Kendaraan (KIK). Ketika diberi dualisme constraint kebijakan KIK dengan disinsentifnya atau kelangkaan tempat
parkir yang juga membawa ketidaknyamanan, mahasiswa harusnya dapat memilih
kekawatiran yang sesungguhnya dari mereka itu apa? Maka pihak pengelola
universitas kemudian harus mengelola kekawatiran tersebut dengan kwbijakan yang
tepat.
Saya sempat berdebat masalah ini
dengan teman lama saya yang sebenernya tidak merasakan kegelisahan ini langsung
karena tidak berkuliah ditempat yang sama dengan saya. Teman saya berargumen, pihak
universitas seharusnya menyikapi pertambahan jumlah mahasiswa yang semakin banyak dari tahun ke tahun dengan
melakukan penambahan lahan parkir yang sama besarnya dengan pertambahan jumlah
mahasiswa. Jadi mahasiswa tidak dihadapkan dengan dua pilihan sulit, dikenakan
disinsentif atau dihadapkan dengan kelangkaan tempat parkir. Saat itu saya
hanya berujar: not as simple as that bro!
Kamu tak bisa menghindari pilihan sulit dengan menghilangkan kedua pilihan tersebut.
Told G Buchholz dalam bukunya “New Ideas From Dead Economists” mengatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih.
Dia bukan memberitahu apa yang kita pilih, tetapi menolong kita mengerti
konsekuensi-konsekuensi atas pilihan kita. Dan manusia selalu dihadapkan oleh
pilihan-pilihan sulit.
Well, pemerintah nampaknya sudah
memilh kebijakan mengenai permasalahan BBM yang akan dijalankan, konon
pemerintah sepertinya akan mengupayakan kebijakan tengah, mungkin pemerintah
terinspirasi dengan Hadist Nabi yang mengatakan “sebaik-baik tempat adalah ditengah”. Kebijakan tengah yang konon mendamaikan
dua belah pihak itu adalah kebijakan dua harga. Jika itu yang dipilih artinya
pemerintah juga harus memilih, lebih mending diteriaki tidak pro rakyat kecil,
atau diteriaki oleh banyaknya pihak yang mengambil keuntungan dari perbedaan
harga.
Seburuk-buruk tempat adalah
kebimbangan ―
bukan hadist nabi.
0 komentar:
Post a Comment