28 April 2013

Cerita Kancil Harga Bahan-Bakar Minyak (Part 2)


Setiap cobaan dari tuhan selalu ada maksudnya. Cobaan membuat yang berpikir menjadi lebih baik. Cobaan membuat orang yang tidak bisa berpikir, marah dan menyalahkan nasib (Tuhan) dan pihak-pihak lain” Widjajono Partowidagdo. Alm 

Tulisan ini datang dari kegelisahan ditengah kesibukan mengolah data skripsi yang berjumlah 12 kolom kali 2990 baris di spreadsheet yang cukup melelahkan mata, merasa berhutang karena telah memberi judul part 1 pada tulisan saya sebelumnya, dan terinspirasi oleh ucapan Tony Stark di film anyarnya Iron Man 3 “Setiap orang butuh hoby untuk mengisi waktu luang nya” sebut saja ini hobi saya.

Mungkin sebagian teman saya tak tau atau bahkan tak mau tau impian saya kelak ketika menjadi jutawan. Saya ingin memiliki perusahaan bus. Terdengar aneh bukan? Tapi bagi saya, memikirkan konsep perusahaan bus yang akan saya bangun kelak telah menjadi makanan sehari-hari saya ketika waktu lenggang, seperti Tony Stark yang memikirkan bentuk kostum besi terbaiknya. Dalam otak saya bahkan sudah memikirkan nama perusahaan, orang-orang yang mengisi di perusahaan saya, sampai strategi pengembangan perusahaan bus milik saya.

Sedikit bocoran, untuk item terakhir di paragraf diatas, mengenai strategi pengembangan perusahaan bus saya. Saya sudah merencanakan jika kelak saya mempunyai perusahaan bus, saya juga harus membeli  beberapa stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) karena menurut ilmu yang saya pelajari perusahan yang menguasai input dan output akan lebih sejahtera.

Sederhana saja, jika saya memiliki perusahaan bus dengan armada sekitar 100 bus (seperti PO.Nusantara, Sinarjaya, dll). Jika masing-masing tangki bus berkapasitas 150 liter maka tiap hari saya membutuhkan bahan bakar (solar) sebanyak 15.000 liter. Keuntungan saya dari angka tersebut adalah, pertama, jika saya memiliki SPBU, biaya operasional bus tiap harinya tidak keluar ke tempat lain, dan saya juga menikmati laba dari pengusahaan SPBU saya. Kedua, kepastian pasokan bahan input perusahaan saya akan terjamin. Ketiga,  jika pemerintah jadi menetapkan dua harga bbm, saya bisa memetik keuntungan dari chaos sekarang ini ― jangan tanyakan sekarang pada saya, karena ini tidak etis.


Minggu lalu, sewaktu saya pulang ke kampung halaman di Pekalongan,  saya menemukan realitas yang cukup mencengangkan bagi saya. Sepanjang perjalanan Jogjakarta-Pekalongan saya mendapati dua kemungkinan ketika melihat SPBU. Dua kemungkinan itu adalah mendapati tulisan “BBM Bersubsidi Habis” atau antrian yang mengular ke luar SPBU. Dua kemungkinan yang sama seperti ketika saya memutuskan untuk menonton Iron Man 3 di hari pertama penayangan.

Kembali ke harga dan kelangkaan BBM di Indonesia, entah kenapa tiap kali ada isu kenaikan harga BBM menyeruak, seketika itu BBM berangsur-angsur menguap. Saya masih menganalisis fenomena menarik ini. Namun, jika sebagian orang bilang ini masalah penimbunan, hipotesis saya mnenyangkal hal tersebut. Dalam benak saya peristiwa yang terjadi tak sesederhana: harga BBM akan naik, lalu para SPBU menimbun stoknya untuk mengambil untung atas perbedaan harga.  Jika kasusnya seperti ini maka pertama, tidak akan  kekosongan masal. Kedua, tidak akan terjadi jauh-jauh hari. Ketiga, tidak terkonsentrasi disuatu daerah saja seperti yang terjadi di Jawa Tengah dan DIY sekarang ini.

Kemudian dugaan saya menuju ke terbatasnya pasokan terjadi karena kesengajaan dari distributor PSO (dalam hal ini Pertamina) dalam rangka strategi menjaga bill ke pemerintah di akhir periode nanti tidak membengkak. Iya, tugas utama Pertamina sebagai PSO BBM itu dilakukan dengan piutang ke pemerintah, jadi nilai tagihan di akhir periode nanti tidak ada yang bisa mengendalikan selain Pertamina sendiri dan konsumsi masyarakat. Mengingat konsumsi BBM tersebut berkaitan dengan subsidi yang diberikan negara, maka penting bagi pemerintah untuk membatasi agar besaran subsidi tidak menggelembung. Perlu saya tekankan disini Pertamina hanya sebatas pemeran utama, bukan sutradara. Decision maker tetap ada di pemerintah.

Dengan munculnya fenomena ini, nampaknya masyarakat kini ‘dipaksa’ harus memilih mana threat yang lebih menimbulkan ketidaknyamanan. Ancaman tersebut ada dua yaitu: kenaikan harga BBM dan kelangkaan BBM. Masyarakat harus sadar dan menanyakan kepada dirinya sendiri mana yang lebih menyusahkan dari dua cobaan tersebut. Setelah masyarakat menemukan kegelisahan yang sesungguhnya, maka pemerintah kemudian juga harus merumuskan kebijakan berdasar atas kegelisahan masyarakat tersebut.

Hampir sama seperti kasus dikampus saya. Dua tahun ini kampus saya cukup bergejolak mengenai permasalahan Kartu Identitas Kendaraan (KIK). Ketika diberi dualisme constraint kebijakan KIK dengan disinsentifnya atau kelangkaan tempat parkir yang juga membawa ketidaknyamanan, mahasiswa harusnya dapat memilih kekawatiran yang sesungguhnya dari mereka itu apa? Maka pihak pengelola universitas kemudian harus mengelola kekawatiran tersebut dengan kwbijakan yang tepat.

Saya sempat berdebat masalah ini dengan teman lama saya yang sebenernya tidak merasakan kegelisahan ini langsung karena tidak berkuliah ditempat yang sama dengan saya. Teman saya berargumen, pihak universitas seharusnya menyikapi pertambahan jumlah mahasiswa  yang semakin banyak dari tahun ke tahun dengan melakukan penambahan lahan parkir yang sama besarnya dengan pertambahan jumlah mahasiswa. Jadi mahasiswa tidak dihadapkan dengan dua pilihan sulit, dikenakan disinsentif atau dihadapkan dengan kelangkaan tempat parkir. Saat itu saya hanya berujar: not as simple as that bro! Kamu tak bisa menghindari pilihan sulit dengan menghilangkan kedua pilihan tersebut.

Told G Buchholz dalam bukunya “New Ideas From Dead Economists”  mengatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih. Dia bukan memberitahu apa yang kita pilih, tetapi menolong kita mengerti konsekuensi-konsekuensi atas pilihan kita. Dan manusia selalu dihadapkan oleh pilihan-pilihan sulit.

Well, pemerintah nampaknya sudah memilh kebijakan mengenai permasalahan BBM yang akan dijalankan, konon pemerintah sepertinya akan mengupayakan kebijakan tengah, mungkin pemerintah terinspirasi dengan Hadist Nabi yang mengatakan “sebaik-baik tempat adalah ditengah”. Kebijakan tengah yang konon mendamaikan dua belah pihak itu adalah kebijakan dua harga. Jika itu yang dipilih artinya pemerintah juga harus memilih, lebih mending diteriaki tidak pro rakyat kecil, atau diteriaki oleh banyaknya pihak yang mengambil keuntungan dari perbedaan harga.

Seburuk-buruk tempat adalah kebimbangan ― bukan hadist nabi.

0 komentar:

Post a Comment