“Apakah
kamu pergi ke stadion di menit-menit terakhir pertandingan, dan melihat papan
skor, lalu pergi? Kamu akan menonton 90 menit, dimana itu bernama proses. Anda
tidak dapat melakukan validasi proses melalui hasil. Manusia cenderung untuk
memuja apa yang selesai dengan baik, bukan apa yang telah dilakukan dengan baik”
– Manajer sepakbola Spanyol, Juanma
Lillo
Saya selalu mengawali dan
mengahiri tulisan dengan kutipan, padahal seluruh batang tubuh tulisan saya
juga merupakan kutipan dari pengetahuan saya di berbagai sumber, tapi kutipan
orang terkenal bisanya akan menjadikan saya terlihat lebih cerdas, lebih tau
dari orang lain, padahal sama sekali tidak. Oh iya, kutipan diatas saya unduh,
dengan sengaja dari penulis jiplakan saya, Pangeran Siahaan, karena saya sering
menjiplak tulisan beliau ― harusnya saya punya jiplakan lain.
Berhubung kemaren saya berkicau “Jika
Bayern dan Barcelona lolos nanti malam saya sudah menyiapkan tulisan: When duo
Germany meets duo Spain” kali ini saya jadi merasa berhutang kepada siapapun
yang sempat membaca kicauan saya itu, meski saya yakin tulisan ini tak akan
dicari oleh pembaca kicauan saya tersebut.
Perempatfinal Liga Champions
Eropa 2013 baru saja berakhir tadi pagi. Bayern Munich dan Barcelona tak mau
ketinggalan rival domestiknya dan akhirnya memutuskan untuk menyusul Real
Madrid dan Dortmund yang lebih dulu lolos sehari sebelumnya. Barcelona yang
merupakan peserta kuis yang selalu berteriak “Pass.. Pass.. Pass...” terlebih malam itu Xavi yang menorehkan 100 Pass Completed ketika dilontarkan
pertanyaan itu kembali menunjukan bahwa dirinya manusia biasa jika sang “Tuhan”
berada di bangku cadangan. Sedangkan para bintang Holywood asal Jerman sekali lagi
membuktikan pada Si Nyonya Tua memiliki satu aktor Holywood seperti Chuck
Norris (baca: Andra Pirlo) saja tidaklah cukup. Hari sebelumnya, neraka buatan
di Ali Samiyen Turki gagal meloloskan tuannya meski berhasil mengalahkan tim
terbaik abad ini, Real Madrid. Drama yang lain terjadi di Malaga, ketika tuan
rumah sudah hampir berpesta ketika pertandingan telah berusia 90 menit, namun
gelontoran 2 gol dari tim tamu sesudah itu memupus kans kerajaan Spanyol di
semifinals.
Jika pada awalnya kejuaraan antar
klub lambang supremasi kekuatan sepakbola eropa ini diikuti oleh 53 negara,
kini tersisa 2 negara saja di babak semifinal. Bagi sebagian orang perhelatan
ini terasa tidak adil tapi bagi saya ini adalah hasil yang paling rasional, potret
dua negara yang sukses dalam pembinaan Sepakbolanya ― sepertinya pada paragraf ini dan
paragraf seterusnya bakal lebih serius daripada skripsi saya, mungkin tertukar.
Saya sebut sukses karena keduanya
memiliki masterplan sepakbola jangka panjang yang hebat. Perjalanan keduanya
menjadi dua negara sepakbola terhebat di eropa saat ini ― bahkan didunia jika saya tak
berlebihan, adalah sebuah perjalanan panjang. Yang menarik, percayakah kalau
keduanya berhubungan?
Jerman menjadi salah satu negara
yang terkenal spesialis turnamen itu dari sejak jerman barat dan jerman timur bersatu,
telah begitu melegenda. Spanyol juga, tapi ditulisan ini saya lebih tertarik
untuk membahas Jerman dan Spanyol di zaman sepakbola modern.
Kalau di suruh menunjuk siapa
tokoh sepakbola Jerman yang bisa membawa ke generasi emas 5 tahun terakhir ini,
saya memilih Jürgen Klinsmann. Pelatih yang gaya nya kini ditiru oleh Nil
Maizar itu, telah membawa sepakbola jerman modern hingga sangat disegani baik
di level klub maupun tim nasional ― tanpa mengesampingkan peran suksesornya
Joachim Loew. Klinsmann, yang melatih Timnas tahun 2004-2006 itu, sukses
bekerjasama dengan federasi sepakbola Jerman untuk menelurkan masterplan
sepakbola jangka panjang. Salah satu point dalam masterplan tersebut adalah
memaksa setiap tim di Bundesliga mengetahui strategi dan dan visi Timnas
Jerman. Jadi saat itu cetak biru pengembangan Timnas Jerman yang dirancang Klinsmann
di copy ke setiap club yang ada di Bundesliga. Hasilnya efektivitas latihan
Timnas Jerman, dan padunya para pemain yang dipanggil ke Timnas. Siapapun yang
dipanggil membela Timnas, sudah pernah tau dan bisa mempraktekkan strategi Jurgen
Klinsmann karena ‘kurikulum’ nya sudah diajarkan di level klub ― tim
boleh berganti-ganti tapi masterplan tak pernah berganti.
Point kedua, sukses nya sepakbola
Jerman sekarang adalah buah dari suksesnya federasi sepakbola Jerman mengelola kurang
lebih 27 level liga yang ada di Jerman dari Bundesliga paling yang kita kenal
sampai liga tarkam yang paling amatir. Bisa dibayangkan federasi Jerman
memiliki 27 level, sedangkan PSSi cuma ada 3-4 level, itupun nyaris berantakan.
Lalu bagaimana dengan Spanyol? Ternyata
usut-punya-usut, terobosan yang dilakukan oleh Klinsmann di Jerman adalah hasil
copy-paste dari akademi La Masia, Spanyol. Akademi yang kini menjelma menjadi
akademi sepakbola paling terkenal di dunia, berkat alumni nya yang bertebaran
di skud Barcelona kini. Klisnmann terinspirasi strategi yang dilakukan oleh
akademi La Mesia tersebut, kemudian ia belajar banyak untuk diterapkan di level
timnas ―Lantas,
apa yang dilakukan Pep Guardiola di Jerman tahun depan? Apakah ingin mencuri
kembali strategi yang dimiliki Jerman?
Untuk sementara ini, kita
kesampingkan persaingan ketat keduanya di level tim nasional, kita nikmati saja
dulu Bagaimana Bayern Munich, Real Madrid, Barcelona, dan Dortmund berjibaku menjadi
yang terbaik di Eropa. Namun yang jadi pertanyaan bagai mana skenario
selanjutnya, mengingat drawing baru akan dilakukan esok?
Sembari menerka-nerka lawan,
sebenarnya skenarionya hanya ada 2 yaitu seperti EURO 2008 atau PD 2010? EURO
2008 dimana Jerman bertemu Spanyol di Ernst-Happel-Stadion, Vienna, saat final kejuaraan
tersebut atau kejadian di Afrika Selatan yang berulang, ketika Jerman bertemu
Spanyol di Semifinal? Yang paling penting jika di dua perhelatan akbar Jerman
jadi pesakitan Spanyol, saya berharap Jerman bisa membalasnya di level klub,
tahun ini. Feeling saya berkata demikian.
Mari kita nantikan saja hidangan penutup ini, akhirnya "What
enriches you is the game, not the result. The result is a piece of
data..."
Selesai
Entah kenapa malam ini terasa
sangat letih sekali, semoga kualitas tulisan juga tak terkorelasi. Dan semoga ini juga bukan pertanda energi saya sudah hampir habis. Maaf.
0 komentar:
Post a Comment