15 January 2012

Kenyamanan versus Produktivitas : Temuan Kebenaran Stephen Robbins.

Beberapa hari yang lalu saya sempat diskusi dengan seorang calon pemimpin masa depan, seorang mahasiswa tingkat 1 namun mempunyai pemikiran one step ahead dengan kebanyakan, kepada saya dia menanyakan bagaimana cara mensinergiskan profesionalisme dan kekeluargaan.  Sebuah isu yang sebenarnya teramat biasa dan bahkan terkesan menjadi special issue atau perdebatan yang telah membudaya dan mengakar. Jadi jika belum bisa memilah atau mengkritisi kedua topik bahasan tersebut dengan sistematis dianggap belum memiliki kedalaman dalam organisasi pergerakan. Apapun itu, saya tidak akan membahasnya detail secara langsung tentang dua pilihan itu disini, tetapi saya akan mencoba memutar cara pandang dengan membahas issue yang saya anggap representatif mewakili issue tersebut yaitu mengenai kenyamanan versus produktivitas. Dari sudut pandang saya, kenyamanan bisa disejajarkan dengan konsep kekeluargaan, sedangkan produktifitas mewakili dari sisi profesionalisme. Atau boleh jadi disebut seperti ini, kenyamanan adalah hasil dari kekeluargaan dan produktifitas merupakan buah dari profesionalisme.


Kebanyakan dari kita akan selalu berfikir seperti ini : Bukankah secara intuitif terlihat logis jika seseorang yang bahagia akan bisa lebih produktif daripada yang tidak?  Namun yang terjadi menurut Stephen Robbin dengan bukunya The Truth about Managing People adalah banyak sekali perusahaan yang menghabiskan uangnya dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Mereka memperkenalkan jam kerja yang fleksibel menyediakan fasilitas-fasilitas menarik di tempat kerja, mendesain ruang kerja semenarik mungkin, dan usaha-usaha lainya yang dimaksudkan agar meningkatkan kepuasan karyawan. Menariknya usaha-usaha tersebut menurut temuan Stephen Robbin tersebut ternyata tidak serta-merta meningkatkat produktivitas karyawan, jumlah turn-over ratio masih tetap tinggi. Adakah yang salah dengan kenyamanan tersebut?

Lebih lanjut Stephen Robbin memberikan temuan kebenaran tentang kasus ini, menurutnya meskipun mungkin terdapat korelasi positif yang tinggi antara kepuasan dengan produktifitas, kecenderunganya bersifat moderat, bahkan yang mungkin terjadi adalah sebaliknya, produktivitas mendatangkan kepuasan. Bukti menyebutkan bahwa karyawan yang produktif lebih mungkin merupakan karyawan yang bahagia daripada sebaliknya . Faktanya, produktivitasmembawa kepuasan. Jika anda melakukan pekerjaan dengan baik, anda secara instriksik akan merasakan hal positif mengenai hal tersebut, terlebih jika perusahaan atau organisasi melakukan sistem reward and punishment dengan sangat adil maka hal itu akan menjadi aspek ekstrinsik (baca: adanya motivasi dari luar) dari produktifitas itu sendiri, yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kepuasan terhadap pekerjaan.

Sama halnya dengan tulisan ini, saya sudah merancang menulis sebuah tulisan non-personal untuk mengisi blog saya ini, ide tersebut tercetus sejak awal tahun beberapa hari yang lalu. Sejak saat itu saya ‘sibuk mencari kenyamanan’ untuk sekedar menuangkan goretan tulisan yang ada dihadapan kamu sekarang ini. Namun apa yang terjadi, berhari-hari saya tidak menemukan kenyamanan untuk menuliskan ide tulisan saya, hari demi hari lebih saya sibukan untuk mempercantik tampilan blog ini tanpa memikirkan konten.  Ketika saya teringat tentang fakta ini beberapa jam yang lalu, saya langsung tanpa banyak pikir mencoba menuliskan apapun yang ada dalam pikiran saya, apa yang terjadi? Belum genap 2 jam dari aku mengetikan kalimat judul diatas ide demi ide, kata demi kata berdatangan dengan sendirinya. Kalau boleh meminjam istilah dari Stephen Robbins lagi “Sebagian besar apa yang saya tuliskan adalah sampah, namun ada kalimat yang lumayan, kemudian berangsur angsur saya buang sampah itu dan saya kerjakan yang lumayan, hasilnya kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf mengalir dengan deras” . hampir serupa dengan kutipan tersebut, senior saya pernah berujar “Tuliskanlah apa yang ada dalam pikiran kamu, sekalipun itu sampah , itu lebih baik daripada membusuk di kepalamu

Kesalahan yang sering kita lalkukan adalah mengasumsikan bahwa produktivitas akan datang ketika kita merasa nyaman atau enak. Padahal seharusnya yang perlu dilakukan adalah menghasilkan sejumlah output yang berkualitas (dan hukum reward and punishment diberkakukan) maka itu akan membawa kepada kepada kepuasan. Berhentilah memuasatkan perhatian bagaimaimana untuk meningkatkan kepuasan. Namun curahkanlah usaha anda untuk menjadi lebih produktif. Karena menurut saya keduanya seperti debat klasik waktu kecil dulu “Ayam dulu apa Telor dulu?”, memang ayam berasal dari telor namun tidak ada yang menjamin telor tak akan menjadi Ayam, yang lebih mungkin terjadi adalah Ayam dulu lalu bertelur dan menghasilkan ayam-ayam yang lainya.

Itulah yang terjadi, sebuah spiral dinamic (kalo boleh saya menyebutnya demikian) yang berawal dari produktivitas membuahkan kenyamanan, lalu memacu untuk terus produktif lalu mendapatkan kepuasan yang lebih besar, dan begitulah seterusnya tak berujung dan semakin keatas. Semoga tulisan singkat ini dapat memberi inspirasi mengenai debat antara Profesionalisme atau kekeluargaan yang saya akui (untuk sementara ini, sebelum ada teori yang lebih rasional) kebenaranya. wallahua'lam bishowab. 

0 komentar:

Post a Comment