“Pemerintah memberikan sinyal kenaikan harga BBM subsidi yaitu premium
menjadi Rp 6.500/liter dan solar menjadi Rp 5.500/liter akan berlaku setelah 17
Juni 2013, atau usai pengesahan APBN Perubahan (APBN-P) 2013” ― Detik
Finance, beberapa jam yang lalu.
Tulisan ini bagi saya seperti sesaat
sadar dalam sebuah lamunan panjang disuatu tempat, lalu otak saya sibuk untuk mengingat
apa yang sebenarnya akan saya lakukan saat itu. Disaat saya tersadar bahwasanya
menulis itu butuh kedisiplinan, saya justru melamun panjang memikirkan logika
terbalik yang ingin saya tuliskan di halaman ini sehingga tidak terlihat
melawan arus ― meski sebenarnya begitu. Namun pemikiran anti-mainstream
itu tak kunjung datang, pada akhirnya kali ini saya terpaksa membagikan
pandangan yang sudah banyak dibicarakan khalayak. Sepertinya intro saya sudah
terlalu panjang.
Kutipan diawal tulisan ini
semacam saat melihat hitungan mundur lampu hijau di traffic light, ketika panel lampu menunjukan angka dibawah detik
ke-lima, dan saya masih berjarak sekitar 100 meter biasanya saya ragu mau
menarik gas dalam-dalam atau justru mengendurkan gas dan mulai menekan rem.
Saat yang menegangkan bagi saya, karena dibutuhkan keputusan yang sangat cepat.
Sedangkan pada kutipan tersebut terdapat tanggal 17 Juni 2013, yang berarti
kurang dari 48 jam lagi (sekarang tanggal 15 Juni 2013, pukul 3 pagi), artinya
jika benar tanggal tersebut berlakunya harga baru Bahan Bakar Minyak di
Indonesia maka sekarang saya dan warga Indonesia yang lain harus segera membuat
keputusan yang sebenarnya (tidak terlalu) penting dalam hidup kita, yaitu: mendukung
atau menolak keputusan pemerintah.
Bagi sebagian orang menolak kenaikan
harga bbm adalah sebuah mekanisme ilmiah dalam memberi jawaban yang otomatis
keluar jika ditanya perihal setuju atau tidak kenaikan harga bbm ―
bahkan mereka juga sepertinya membatin tiket konser juga tak boleh naik. Sedangkan
jika saya bawa pembahasan ke tataran logika dan rasionalisme, logika penolakan
kenaikan harga bahan bakar minyak ini sangatlah populer 1-2 tahun yang lalu. Logika
penolakan kenaikan harga BBM waktu itu lebih laku ketimbang logika mendukung
kenaikan harga BBM, kaum intelektual saat itu sibuk memberi perlawanan
argumentasi terhadap rasionalitas kenaikan harga yang dikemukakan oleh
pemerintah dan pendukung-pendukungnya.
Menarik bagi saya, yang terjadi
saat ini justru kebalikan dari 1-2 tahun lalu. Logika yang mendukung kenaikan
harga BBM kini lebih laku dijual ketimbang lawannya beberapa tahun yang lalu
itu. Bahkan bagi sebagian orang, mengerutkan dahi adalah pilihan yang tepat ketika
melihat atau mendengar penolakan kenaikan harga BBM dari sebagian orang yang
lain. Banyak orang kini telah bisa menjawab alasan kenaikan harga BBM dengan
tepat meski dalam hatinya juga mungkin menolak. Entah keadaan yang telah
berubah, keberhasilan pemerintah dalam sosialisasi kebijakan atau pemaksaan rasionalisasi,
yang jelas keadan ini sangat membingungkan bagi para pengikut anti-mainstream
seperti saya. Konsistensi kaum ini sedang diuji.
Namun terlepas persoalan dukung
mendukung, saya tertarik artikel yang baru saja saya baca, yaitu mengenai
pengelolaan energi di Iran. Tulisan dari mantan wamen ESDM Alm. Widjajono
Partowidagdo ini mengungkap bahwasanya pengelolaan energi di Iran termasuk yang
paling kokoh. Kenapa? Negeri pimpinan Mahmoud Ahmadinejad tersebut merupakan
penghuni 3 besar cadangan minyak terbesdar didunia, total sekitar 160 miliar
barel tersimpan dalam perut bumi negara tersebut. Membandingkanya dengan Indonesia
adalah mungkin termasuk suatu pelecehan terhadap negeri sendiri karena negeri
ini memiliki cadangan minyak tak lebih dari 4 miliar barel.
Bagaimana dengan produksinya per
harinya? Iran setidaknya memproduksi sekitar 4,3 juta barrel per hari bpd
(barrel per day) atau mewakili 5 persen produksi minyak mentah dunia, saya tak
bisa tidak kembali membandingkan dengan produksi Indonesia yang ternyata tak
lebih dari 1 juta barrel per hari. Sedangkan untuk gasnya Negara Ayatollah
Khomaeni ini saat ini memiliki cadangan gas kurang lebih sebesar 30 triliun
meter kubik atau sekitar 17 persen dari cadangan gas dunia.
Selain minyak bumi dan gas, Iran
juga gencar mengembangkan energi alternatif. Salah satunya, yang juga menjadi
salah satu andalan adalah pengembangan energi nuklir. Kapasitas produksinya
mencapai 132.000 ton bijih uranium per tahun. Secara total, cadangan uranium di
tambang tersebut diperkirakan mencapai 1,73 juta ton. Kendati mendapat tudingan
miring, Iran tetap kukuh mengembangkan nuklir sebagai sumber energi listrik di
negara tersebut. Jika sesuai rencana, target bauran penggunaan energi di negara itu di tahun 2021 nanti adalah Sebanyak 10 persen akan berasal dari tenaga nuklir, 20 persen dari hidro (tenaga air), 60 persen dari gas, dan sisanya dari sumber energi lain (termasuk minyak bumi), sungguh road map jangka panjang yang menakjubkan bukan?
Kenapa saya bandingkan polemik
dukung mendukung kenaikan harga BBM dengan pengelolaan energi di Iran? Karena belum
lama ini Iran juga sedang memiliki pengalaman yang serupa dengan Indonesia saat
ini. Iran terpaksa harus memotong subsidi BBM nya karena konsumsi BBM negara
tersebut dianggap terlalu berlebihan. Iran melakukan berbagai daya dan upaya
dalam rangka mereduksi pemborosan BBM yang terjadi sejak tahun 2000an, bahkan
sejak tahun 2005 telah melakukan pembatasan konsumsi BBM per mobil per bulan dengan menggunakan semacam smart card yang memiliki pin yang memiliki kecocokan dengan identitas pemilik mobil, nomer mobil dan warna mobil. Namun usaha itu ternyata belum cukup untuk menekan konsumsi BBM, pada akhirnya pemerintah Iran juga terpaksa mengurangi subsidi BBM kepada
warganya.
Cerita kancil (karena otak saya
seringkali melompat-lompat dalam memaparkan sesuatu) pengelolaan energi antara
Indonesia dan Iran diatas jika ditarik benang merahnya, bagi saya seperti dongeng antara dua keluarga.
Keluarga pertama pernah kaya, namun sekarang jadi keluarga yang biasa-biasa saja,
sedangkan keluarga kedua adalah keluarga yang kaya raya yang tengah merencanakan pengelolaan kekayaan jangka panjangnya. Keluarga pertama sibuk
memikirkan mau berhemat sekarang atau nanti, keluarga kedua sudah berhemat
sebelum keluarga pertama memikirkan mau berhemat atau tidak. Susah membedakan mana yang lebih baik dari keduanya.
“Anti-mainstream itu sebenarnya
udah mainstream sob” – Fico Fahreza
0 komentar:
Post a Comment