“Anak muda jangan hanya menyiapkan diri untuk lari Sprint, tapi harus siap untuk lari Marathon” – Bima Arya
Begitulah kira-kira tulisan yang
ada pada back cover semacam buku
biografi dari seorang pemuda yang kini telah menjadi bupati Bogor. Saya tak
terlalu penasaran untuk membuka segel buku tersebut, oleh karenanya saya hanya
melihat back cover dari biografi
tersebut dan langsung tertarik dengan kutipan tersebut.
Kutipan tersebut selaras dengan
yang saya lakukan tadi sore di kampus tercinta – yang sebentar lagi akan saya
tinggalkan ini. Sore tadi saya memilih menghabiskan waktu untuk menguji
ketahanan fisik saya dengan berlari non-stop
mengelilingi sebagian kampus yang memang biasa digunakan oleh muda-mudi untuk
berlari atau sekedar jalan-jalan sore. Ditempat itu banyak sekali terlihat yang menggunakan segala tenaganya untuk berlari sekencang mungkin, lalu satu putaran
berikutnya mereka hanya bisa berjalan untuk mengembalikan energinya, lalu
putaran berikutnya mereka berlari kembali. Sore tadi saya tak tertarik untuk
melakukan hal serupa. Saya memilih menggunakan energi saya dengan bijak, its
means saya tidak berambisi untuk beradu lari dengan mereka, namun saya hanya
melakukan lari-lari kecil dengan kecepatan konstan, tanpa henti, sembari
mengukur seberapa kuat tenaga bijak yang telah saya miliki dalam tubuh saya.
Frasa sprint dalam kutipan diatas mengacu pada memaksakan fisik untuk
melesat secepat mungkin dalam jangka pendek. Poin penting didalamnya adalah
kecepatan dan jangka pendek. Dalam lari Sprint tidak ada istilah menyimpan
tenaga, yang ada memaksakan tenaga utuk melesat dengan kecepatan maksimal. Konteks
sprint juga hanya diasosiasikan dengan jangka pendek, karena jarak lari sprint
yang diperlombakan juga tak pernah lebih jauh 400 meter, jika lebih dari itu
semua akan mati atau kalau meminjam kata ekonom paling terkenal se-kolong jagad,
John Meynard Keynes: In the long run we
are all dead.
Sedangkan frasa Marathon dalam
kutipan diatas mengacu pada perlombaan lari jarak jauh, untuk menjadi yang
tercepat sampai pada suatu lokasi. Nama marathon berasal dari legenda
Pheidippides, seorang prajurit Yunani, yang dikirim dari kota Marathon, Yunani
ke Athena untuk mengumumkan bahwa bangsa Persia telah dikalahkan pada
Pertempuran Marathon. Marathon tidak meninggalkan hakekatnya sebagai perlombaan
adu cepat, namun penekanan selanjutnya ada pada jangka panjang dan ketahanan
tubuh. Tanpa daya tahan mustahil bisa memenangi lari Marathon, dan bisa saja
berujung seperti pada kisah prajurit marathon Yunani tersebut dimana ia berlari
tanpa berhenti tapi meninggal begitu berhasil menyampaikan pesannya tersebut.
Lalu apa urusanya lomba lari
dengan saya?
Pada bulan September ini semua
tenaga yang telah saya curahkan dan investasikan selama 4 tahun ini menuai
hasil. Saya berhasil mendapatkan dua buah pencapaian yang bisa jadi sangat
signifikan dalam hidup saya. Pada bulan ini saya berhasil menyelesaikan studi
saya tepat pada hari ulang tahun saya 20 September lalu. Sungguh pencapaian
yang luar biasa bagi saya mengingat menjadi mahasiswa Gadjah Mada adalah
sesuatu yang membanggakan, namun menjadi alumni Gadjah Mada adalah kehormatan.
Jika seorang Anies Baswedan berujar “Skripsi yang baik adalah skripsi yang
selesai” maka di tangan saya kalimat itu sedikit mengalami gubahan menjadi “Kuliah
yang baik adalah kuliah yang selesai” ya saya bisa berkata demikian sombongnya
karena saya telah merasakan kesombongan serupa dari orang lain. Kuliah bukan
perkara seberapa tinggi indeks prestasi, atau seberapa banyak pengalaman
organisasi, tapi kuliah yang baik cukup dituntaskan dengan kata kelulusan.
Belum hilang efek kesenangan saya
pada tanggal 20 September lalu, empat hari berselang saya mendapati kabar bahwa
saya lolos seleksi masuk pekerjaaan pada sebuah Bank BUMN dengan asset terbesar
di negeri ini yang proses panjangnya saya ikuti sejak sebulan silam. Sungguh
rezeki yang tak terduga-duga di bulan bahagia ini, karena saya tak perlu
menunggu prosesi wisuda kemudian mencari-cari pekerjaan, namun sudah
dihamparkan jalan rezeki jauh sebelum saya wisuda bulan November nanti.
Keduanya berkombinansi menjadi hadiah ulang tahun saya yang menyenangkan. Sungguh
Tuhan mempunyai rencana-rencana yang dahsyat bagi hambanya yang mempercayaiNya.
Oleh karena anugerah-anugerah
tersebut, saya jadikan bulan ini tak hanya menjadi September Ceria, tapi juga
menjadi momentum awal Marathon kehidupan saya. Saya sebut awal karena kelulusan
bukan sebuah akhir bagi perjalanan seorang pemuda, tapi awal baginya untuk mengarungi
kehidupan yang sebenarnya. Marathon, karena ini perjalanan jangka panjang, saya
harus mengatur energi dengan bijak agar tak kehabisan ditengah jalan.
Beberapa orang diluar sana,
terutama orang-orang ambisius, telah sibuk menciptakan semacam tag-line untuk menyadarkan anak-anak
muda bahwa sukses secepat mungkin adalah sebuah tujuan hidup. Fenomena
pengusaha muda, kaya di umur 30 tahun, Young
on Top, Nikah Muda dan kata-kata tendensius yang lain. Menggantinya dengan
pengusaha seumur hidup, kaya di umur berapapun, Everlasting on Top, Nikah di saat yang tepat (untuk bagian ini saya
agak susah menggantinya karena nikah muda itu konon asik) bagi saya lebih bijak
ketimbang memaksa orang lain untuk menghabiskan energinya di awal untuk
mendapat pencapaian secepat mungkin. Saya tak mengatakan mereka salah, tapi
saya mengatakan tak tertarik untuk mengikuti jalan hidup mereka. Kalo kata bio twitter
teman saya bunyinya kira-kira begini: It
does not matter how slow you go so long as you do not stop.
“Rezeki itu bertebaran dimuka bumi
bagi orang yang kompetitif” ― Denny Puspa Purbasari
Bagaimanapun anak muda adalah
seorang yang ambisius namun tak pandai mengatur nafas. Semoga keyakinan yang
saya percayai benar ini dapat membawa saya ketempat yang lebih tinggi suatu
saat nanti. Namun, jika keyakinan ini salah, semoga Tuhan memberikan pelajaran
dan makna dibalik kesalahan saya ini.
Oh iya jika ditanyakan kepada pasangan suami-istri, perihal pilihan sprint atau marathon, jawabanya mereka saya yakin seperti ini: Marathon lebih asik daripada Sprint.
0 komentar:
Post a Comment