“Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa
depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup — yang sebentar, tapi
menggugah, mungkin indah” — Goenawan Muhamad.
Malam itu saya berdiri
ditengah-tengah halaman kampus saya. Tak banyak mahasiswa yang hilir mudik,
hanya beberapa terlihat duduk melingkar semacam berdiskusi, dan beberapa yang
lewat hendak menunaikan sholat Maghrib. Tak banyak yang saya lakukan saat itu,
saya hanya berdiri tepat ditengah plasa kampus lalu menyapu pandangan ke segala
penjuru kampus, sembari menangkap semua momen yang masih teringat dalam kepala.
Saya memaksakan potongan-potongan moment yang telah saya kumpulkan selama 4
tahun ini kemudian memaksakanya masuk kedalam kepala. Dalam benak saya saat itu
hanya: Suatu saat saya akan merindukan tempat ini.
Entah kenapa ada orang yang sangat
menikmati nostalgia seperti saya ini, meski ada pula orang yang dengan mudahnya
melupakan darimana ia berasal dan lupa bagaimana bisa menjadi seperti yang
sekarang. Saya tak tahu mana yang lebih baik, seperti saya menganggap Extrovert itu yang terbaik (seperti pada
tulisan-tulisan kepribadian, Extrovert
lebih sering di asosisiakn positif) karena merupakan pribadi yang seru, tak
membosankan, ramah, dan selalu terlihat bersemangat. Namun ternyata Tuhan juga
menciptakan Introvert sosok yang
lebih bijak karena berbagi hanya hal tertentu dan pada orang tertentu pula,
mereka juga lebih sempurna memperhatikan detail. Semua akan benar pada
tempatnya.
Bagi sosok penikmat nostalgia,
saya dapat dengan jelas mengingat kala pertama kali saya menuntut ilmu di kampus
ini, hari itu hari senin akhir Agustus 4 tahun yang lalu, perkuliahan dimualai
jam 7.00 tepat, dan saya sampai dikelas pukul 6.50 dan mendapati dosen sudah
berada diruangan kelas pengantar bisnis tersebut. Tentunya saya ingat kuliah
terakhir di kampus ini — sekitar 3 bulan yang lalu. Saya mengingatnya karena
saya ingin mengingatnya.
Ada yang bilang bahwa apabila
seorang hidup dengan cinta maka dia sudah hidup di surga sebelum mati. Seperti sajak
Dr. Leo Buscalgia dalam bukunya yang berjudul “Love” menceritakan dirinya ketika diilhami membuka “Love Class” di University of Southern
California karena pada musim dingin 1969 salah satu muridnya yang pintar dan
cantik serta berasal dari keluarga berkecukupan bunuh diri di pantai Pasific
Palisades di Los Angeles. Inti buku tersebut dinyatakan dalam kalimat “Love requires one to be strong”, cinta
membutuhkan seseorang untuk menjadi kuat.
Mungkin dalam konteks mahasiswa
kekinian, keputusan bunuh diri dirasa terlalu kejam, namun bukan tidak mungkin
banyak mahasiswa sekarang menjalani masa-masa menjadi mahasiswa dengan hati
yang telah terbunuh, menjadikan hari-hari perkuliahanya hanya sebatas rutinitas
nan kering makna — jika saya tak berlebihan.
Saya mencintai kehidupan 4 tahun
terakhir ini, cinta ini membuat segala sesuatunya menjadi menarik untuk
diceritakan. Namun pada akhirnya saya tak boleh terlena atas cinta yang saya
ciptakan. Jika saya tak salah ingat Goenawan Mohamad pernah berujar: ada sebuah negeri yang ingin sekali anda
tinggalkan, namun entah kenapa anda tak bisa meninggalkanya, saya ingin
menggantinya dengan bisa jadi ada tempat yang sebenernya tidak ingin kau
tinggalkan, tapi bagaimanapun anda harus meninggalkanya.
Terima kasih Tuhan, telah memberikan saya kesempatan untuk
menunaikan mimpi ini dengan baik.
Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir
kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa
depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang kan kita banggakan di
hari tua
Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian
Bersambung... Karena saya harus mengemas barang-barang yang begitu banyak agar muat di koper.
0 komentar:
Post a Comment