10 October 2013

Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan (Part 2 - Habis)

Perepuan adalah mahluk gaib urutan satu, urutan kedua baru Tuhan” – Jalaluddin Rumi

Akhirnya saya memiliki kesempatan untuk meneruskan postingan sebelum ini, meski waktu banyak saya miliki, namun kesempatan tak selalu berbanding lurus dengan waktu. Izinkan saya untuk membaca tulisan saya sebelum ini, sembari mengingat ingat apa yang ingin saya ceritakan.

Seingat saya malam itu tak terlalu dingin, matahari baru saja masuk ke peraduan setelah seharian menghangatkan mahluk bumi. Kedamaian pergantian siang dan malam ketika langit sedikit menggelap sehabis magrib adalah kombinasi suasana yang indah. Saya pun masih khidmat memandangi sudut bangunan megah yang menjadi rumah siang saya selama 4 tahun terakhir − karena biasanya saya hanya kembali ke kosan hanya untuk tidur.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, menjelang malam itu tak banyak orang yang hilir mudik seperti layaknya kampus dikala malam. Maka tak banyak yang mengalihkan perhatian saya saat itu. Hanya terlihat seorang gadis berpawakan agak tinggi, berdandan sekenanya sehingga lebih terlihat urakan, namun terlihat nyaman, tengah berjalan bergegas entah kemana. Dengan menenteng beberapa buah buku teksbook dan buku catatan canggih buatan Cupertino, California dengan logo buah yang terkenal itu, gadis tinggi yang terlihat urakan ini berjalan sembari menempelkan telpon genggamnya ke telinganya. Saya tak yakin ia benar-benar menelpon atau hanya kamuflase ditengah keramaian saja.

Saya memutuskan tak terlalu mengamatinya lebih jauh lagi. Namun, tiba-tiba saya dikagetkan oleh gadis berkacamata, berbaju polo biru menenteng tas berwarna biru bergaris putih dipundaknya lewat disebelah saya. Entah dari mana datangnya tiba-tiba gadis itu lewat disamping saya, dia-pun seketika tersenyum melihat saya sedikit terkagetkan. Sempertinya saya mengenali senyumanya gadis itu, senyuman yang khas melengkung indah dan membuat lekukan di ujung bibir dan mengangkat sebagian pipinya. Saya pun menimpali senyumanya meski dengan perasaan yang sedikit masih terkaget-kaget.

Setelah gadis berbaju polo biru lewat, saya mendapati dua mahasiswi sedang mengobrol serius dibawah salah satu pohon besar di kampus saya. Mahasiswi yang pertama terlihat anggun sekali dengan mengunakan baju motif batik terusan sampai sedikit diatas lutut. Baju terusan yang membuat saya teringat pada pramugari Singapore Airlines namun yang ini hadir dengan versi lebih pendek. Mahasiswi yang kedua lebih simpel, hanya memakai kaos berwarna abu-abu dengan lengan berwarna merah maroon serta jilbab tipis berwarna krem. Melihat raut muka keduanya, nampaknya mereka sedang berdiskusi membicarakan organisasinya. Ah saya tak terlalu peduli apa yang sedang mereka bicarakan, bisa jadi sedang membicarakan saya.

Entah kenapa malam itu lebih banyak wanita yang saya temui ketimbang laki-laki. Bisa jadi seperti kutipan diawal tulisan ini benar adanya. 

Aktivitas saya mengamati sekeliling sembari memasukan kepingan memori yang ada dikampus saya untuk dikenang suatu saat ternyata membuat saya tak sadar saya telah diamati dari jauh. Iya saya sedang diamati dari jauh ternyata − atau saya yang terlalu percaya diri. Terlihat ada dua mahasiswa berada dibawah tenda yang berpadu dengan kegelapan. Bahkan saking berpadunya saya tak bisa melihat dengan jelas salah satu mahasiswi tersebut hanya mahasiswi berjilbab merah muda dan atasan merah muda namun lebih tua dari jilbabnya. Dirinya tertangkap membuang pandanganya ketika saya pergoki dirinya mengamati saya dari kejauhan.

Mungkin sebaiknya saya mengakhiri proses perekaman kenangan di kampus saya malam itu, daripada saya mengetahui lebih banyak lagi yang mengamati ku dari jauh, terlebih tak baik rasanya berdiri seorang diri ditengah plasa kampus ketika hari semakin larut malam. Namun sebelum beranjak pulang menyempatkan untuk sholat Magrib terlebih dahulu.

Selepas Sholat Magrib saya bergegas menuju tempat parkir, namun ditengah perjalanan saya melihat gadis yang sepertinya beberapa saat lalu saya melihatnya di bawah pohon besar itu, namun kali ini ia sendirian duduk di sebuah bangku panjang dan mencoba menyibukan diri dengan telepon genggamnya, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Dalam keadaan satu-lawan-satu tersebut keputusan untuk menyapa atau sekedar senyum seperti kasus prisoner’s dilemma pada mata kuliah Game Theory. Teori tersebut menyebutkan bahwa payoff tertinggi hanya didapat ketika dua pihak melakukan hal yang sama. Pada kasus ini saya memutuskan untuk tidak memberikan senyum atau sekedar menyapa karena hal itu pula yang dilakukanya dan berpura-pura tak melihat saya, mungkin demi payoff yang maksimal juga.

Ah.. saya jadi lupa ingin menceritakan apa sebenernya, saya cuman ingat, suatu saat, jika kamu meninggalkan suatu tempat, tapi sama sekali tak dikenang oleh orang-orang ditempat itu, itu salah mu.

Selesai.

Oh iya saya ingin menceritakan pada adik baru saya yang belum ada satu semester aku memanggilnya adik. Biasanya dia tau lanjutan cerita ini akan seperti apa. Biasanya.

0 komentar:

Post a Comment