“Perepuan adalah mahluk
gaib urutan satu, urutan kedua baru Tuhan” – Jalaluddin Rumi
Akhirnya saya memiliki kesempatan
untuk meneruskan postingan sebelum ini, meski waktu banyak saya miliki, namun
kesempatan tak selalu berbanding lurus dengan waktu. Izinkan saya untuk membaca
tulisan saya sebelum ini, sembari mengingat ingat apa yang ingin saya ceritakan.
Seingat saya malam itu tak
terlalu dingin, matahari baru saja masuk ke peraduan setelah seharian
menghangatkan mahluk bumi. Kedamaian pergantian siang dan malam ketika langit
sedikit menggelap sehabis magrib adalah kombinasi suasana yang indah. Saya pun masih khidmat memandangi sudut
bangunan megah yang menjadi rumah siang saya selama 4 tahun terakhir − karena biasanya
saya hanya kembali ke kosan hanya untuk tidur.
Seperti yang saya ceritakan
sebelumnya, menjelang malam itu tak banyak orang yang hilir mudik seperti
layaknya kampus dikala malam. Maka tak banyak yang mengalihkan perhatian saya
saat itu. Hanya terlihat seorang gadis berpawakan agak tinggi, berdandan
sekenanya sehingga lebih terlihat urakan, namun terlihat nyaman, tengah
berjalan bergegas entah kemana. Dengan menenteng beberapa buah buku teksbook dan buku
catatan canggih buatan Cupertino,
California dengan logo buah yang
terkenal itu, gadis tinggi yang terlihat urakan ini berjalan sembari
menempelkan telpon genggamnya ke telinganya. Saya tak yakin ia benar-benar
menelpon atau hanya kamuflase ditengah keramaian saja.
Saya memutuskan tak terlalu
mengamatinya lebih jauh lagi. Namun, tiba-tiba saya dikagetkan oleh gadis berkacamata,
berbaju polo biru menenteng tas berwarna biru bergaris putih dipundaknya lewat
disebelah saya. Entah dari mana datangnya tiba-tiba gadis itu lewat disamping
saya, dia-pun seketika tersenyum melihat saya sedikit terkagetkan. Sempertinya
saya mengenali senyumanya gadis itu, senyuman yang khas melengkung indah dan membuat
lekukan di ujung bibir dan mengangkat sebagian pipinya. Saya pun menimpali senyumanya meski dengan perasaan yang sedikit masih terkaget-kaget.
Setelah gadis berbaju polo biru lewat,
saya mendapati dua mahasiswi sedang mengobrol serius dibawah salah satu pohon
besar di kampus saya. Mahasiswi yang pertama terlihat anggun sekali dengan
mengunakan baju motif batik terusan sampai sedikit diatas lutut. Baju terusan yang
membuat saya teringat pada pramugari Singapore Airlines namun yang ini hadir
dengan versi lebih pendek. Mahasiswi yang kedua lebih simpel, hanya memakai
kaos berwarna abu-abu dengan lengan berwarna merah maroon serta jilbab tipis
berwarna krem. Melihat raut muka keduanya, nampaknya mereka sedang berdiskusi
membicarakan organisasinya. Ah saya tak terlalu peduli apa yang sedang mereka
bicarakan, bisa jadi sedang membicarakan saya.
Entah kenapa malam itu lebih banyak wanita yang saya temui
ketimbang laki-laki. Bisa jadi seperti kutipan diawal tulisan ini benar adanya.
Aktivitas saya mengamati
sekeliling sembari memasukan kepingan memori yang ada dikampus saya untuk
dikenang suatu saat ternyata membuat saya tak sadar saya telah diamati dari
jauh. Iya saya sedang diamati dari jauh ternyata − atau saya yang terlalu percaya
diri. Terlihat ada dua mahasiswa berada dibawah tenda yang berpadu dengan
kegelapan. Bahkan saking berpadunya saya tak bisa melihat dengan jelas salah
satu mahasiswi tersebut hanya mahasiswi berjilbab merah muda dan atasan merah
muda namun lebih tua dari jilbabnya. Dirinya tertangkap membuang pandanganya
ketika saya pergoki dirinya mengamati saya dari kejauhan.
Mungkin sebaiknya saya mengakhiri
proses perekaman kenangan di kampus saya malam itu, daripada saya mengetahui lebih banyak lagi yang mengamati ku dari jauh, terlebih tak baik rasanya berdiri
seorang diri ditengah plasa kampus ketika hari semakin larut malam. Namun
sebelum beranjak pulang menyempatkan untuk sholat Magrib terlebih dahulu.
Selepas Sholat Magrib saya
bergegas menuju tempat parkir, namun ditengah perjalanan saya melihat gadis
yang sepertinya beberapa saat lalu saya melihatnya di bawah pohon besar itu,
namun kali ini ia sendirian duduk di sebuah bangku panjang dan mencoba
menyibukan diri dengan telepon genggamnya, sepertinya ia sedang menunggu
seseorang. Dalam keadaan satu-lawan-satu tersebut keputusan untuk menyapa atau
sekedar senyum seperti kasus prisoner’s
dilemma pada mata kuliah Game Theory.
Teori tersebut menyebutkan bahwa payoff tertinggi
hanya didapat ketika dua pihak melakukan hal yang sama. Pada kasus ini saya
memutuskan untuk tidak memberikan senyum atau sekedar menyapa karena hal itu
pula yang dilakukanya dan berpura-pura tak melihat saya, mungkin demi payoff
yang maksimal juga.
Ah.. saya jadi lupa ingin menceritakan apa sebenernya, saya cuman
ingat, suatu saat, jika kamu meninggalkan suatu tempat, tapi sama sekali tak
dikenang oleh orang-orang ditempat itu, itu salah mu.
Selesai.
Oh iya saya ingin menceritakan pada adik baru saya yang
belum ada satu semester aku memanggilnya adik. Biasanya dia tau lanjutan cerita
ini akan seperti apa. Biasanya.
0 komentar:
Post a Comment