06 May 2014

Sebuah Cerita dari Negeri Dongeng Bertajuk Konsolidasi Perbankan (Part 1)

“Sebagian besar dari kita hanya mau melakukan empat hal: Bayar pajak, nyoblos, mengkritik, atau memuji. Tapi kalo untuk terlibat? Kalau bisa, tidak usah”  - Anies Baswedan

Mungkin Pak Anies berlebihan, yang saya tau sebagaian besar orang di negeri ini adalah mereka yang: terpaksa-bayar-pajak, nyoblos-kalau-ada-amplop, lalu-mengkritik-dan-memuji-dengan-membabi-buta. Padahal menurut hemat saya orang yang tak membayar pajak tak etis bila mengkritisi program pemerintah, begitu pula dengan orang yang tidak menggunakan hak nya dalam pemilu seharusnya juga tak punya hak untuk menghujat pemimpin terpilih. Tapi di negeri dongeng yang kita cintai ini semuanya ada dan bisa terjadi.
Jika pak Anies saya katakan berlebihan maka judul tulisan ini justru kurang berlebihan. Saya kesulitan mencari analogi mengenai sebuah negeri yang nyaris mirip kahyangan, dimana ide-ide briliant berserakan, mimpi-mimpi luhur bertaburan dan segala bentuk khayalan yang lain ada di sini, yang terpikirkan saya selama satu jam terakhir ini hanyalah frase negeri dongeng, seharusnya bisa lebih tendensius.

Tulisan ini lahir sebagai bentuk ke-geram-an saya ketika saya mendengar ada beberapa pengamat yang berujar “Kalau itu memang direncanakan dengan matang kan seharusnya dibicarakan kemarin-kemarin dong, bukan menjelang pemilihan presiden seperti sekarang ini”  saat ditanya isu konsolidasi perbankan yang menyeruak satu bulan terakhir ini. Saya pun tertenduk lesu.

Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi saya masih ingat betul ketika mata kuliah ekonomika bisnis, dosen saya saat Tony Prasetiantono (Chief Economies BNI 46 kala itu) dengan percaya diri memaparkan data perbankan di ASEAN kala itu (sekitar 2-3 tahun yang lalu) dan saya juga masih ingat beliau berujar: dalam arsitektur perbankan indonesia sebenarnya kita diamanatkan hanya memiliki satu-dua state-owened-bank, dan beberapa bank swasta, dan bank daerah (total jumlah bank ideal menurut API 2004 sekitar 30an) padahal sekarang jumlah bank yang ada di negeri ini sekitar 130an bank! Saya kira mahasiswa ilmu ekonomi, manajemen atau akuntansi yang berminat di bidang financial and banking tahu mengenai fakta ini.

Jadi saya tegaskan konsolidasi perbankan itu bukan berita baru, ini cita-cita mulia dari praktisimaupun otoritas perbankan sejak dulu kala, ketika bank di negeri ini mulai tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan. Selama itupula para praktisi perbankan mendambakan sebuah lembaga keuangan yang kuat dan mengakar agar tak mudah tumbang. Entah ini sudah berapa puluh atau ratus orang yang menulis artikel mengenai topik ini, saya tak peduli, anggap saja ini adalah kontribusi saya atas isu ini.

Saya juga ingat sekitar setengah tahun yang lalu, ketika di kampus saya mengadakan CEO’S Mengajar, kalau saya tak salah (saya justru lupa nama acaranya) tapi saya ingat kutipan dari Pak Budi Gunadi Sadikin, Dirut Bank Mandiri yang menjadi keynote speech di  acara tersebut, beliau berujar seperti ini “Kalo perbankan di Indonesia mau unggul mau jadi leader di nasional atau regional, kita musti bersatu, ngga bisa kita berjuang sendiri-sendiri, padahal kelemahan kita selama ini adalah susah bersatu

Sumber: Statistik Keuangan Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, diolah oleh: srikripik.wordpress.com

Sekedar pemanis tulisan: Data terbaru dari Bank Mandiri, dari sisi modal, perbankan yang modalnya paling besar di ASEAN berasal dari Singapura yang masuk 3 besar. Bank itu adalah DBS dengan jumlah modal US$ 26,5 miliar, diikuti dengan UOB US$ 19,2 miliar, dan OCBC dengan modal US$ 18 miliar. Sementara dari sisi kapitalisasi pasar, bank terbesar di ASEAN adalah DBS asal Singapura dengan nilai US$ 33,1 miliar dan diikuti oleh OCBC dengan nilai US$ 27,7 miliar. Sementara dari sisi aset, 3 bank Singapura juga menempati 3 besar di ASEAN, yaitu DBS dengan aset US$ 318,4 miliar, OCBC dengan aset US$ 268,1 miliar, dan UOB dengan aset US$ 225,2 miliar. Data ini mengingatkan saya pada iklan minuman ringan, apapun kriterianya (Assets, Market Cap, Capital) yang terbesar tetap bank dari Singapura.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, ketika beberapa bulan yang lalu menteri BUMN Dahlan Iskan mencetuskan (kembali) ide konsolidasi perbankan dengan diawali dengan Marger Bank Mandiri dengan Bank Tabungan Negara, serta Bank Rakyat Indonesia yang akan di merger dengan PT. Pegadaian, banyak pihak mengkritik membabi-buta. Bahkan berita terbaru, akuisisi dipastikan gagal, sang mentri bahkan dicap hanya melakukan manuver politik jelang pemilihan presiden. Saya sedih.

Undzur Ma Qolaa Walaa tandzur man qolaa..

Hadist yang berarti “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan” diatas setidaknya bisa mencerminkan ketakutan saya mengenai kasus ini. Saya takut yang ditentang disini adalah soal personal, pembawa ide, bukan dari ide itu sendiri. Saya akan paham dan mengerti jika yang terjadi memang pertarungan ide dan gagasan, saya juga mulai menyadari jika bank besar tidak serta merta dikatakan efisien. Namun marilah bersama-sama berpendapat tanpa melihat siapa yang memberikan pendapat, tapi melihat pendapat itu sendiri.

Pada akhirnya, kita harus meyakini bahwa: manusia hanya bisa berencana, politikus yang menentukan.

(Mungkin belum) Selesai.


0 komentar:

Post a Comment