“Sebagian besar dari kita hanya mau melakukan empat hal: Bayar pajak,
nyoblos, mengkritik, atau memuji. Tapi kalo untuk terlibat? Kalau bisa, tidak
usah” - Anies Baswedan
Mungkin Pak Anies berlebihan,
yang saya tau sebagaian besar orang di negeri ini adalah mereka yang: terpaksa-bayar-pajak,
nyoblos-kalau-ada-amplop, lalu-mengkritik-dan-memuji-dengan-membabi-buta. Padahal
menurut hemat saya orang yang tak membayar pajak tak etis bila mengkritisi
program pemerintah, begitu pula dengan orang yang tidak menggunakan hak nya
dalam pemilu seharusnya juga tak punya hak untuk menghujat pemimpin terpilih. Tapi
di negeri dongeng yang kita cintai ini semuanya ada dan bisa terjadi.
Jika pak Anies saya katakan
berlebihan maka judul tulisan ini justru kurang berlebihan. Saya kesulitan
mencari analogi mengenai sebuah negeri yang nyaris mirip kahyangan, dimana
ide-ide briliant berserakan, mimpi-mimpi luhur bertaburan dan segala bentuk
khayalan yang lain ada di sini, yang terpikirkan saya selama satu jam terakhir
ini hanyalah frase negeri dongeng, seharusnya bisa lebih tendensius.
Tulisan ini lahir sebagai bentuk
ke-geram-an saya ketika saya mendengar ada beberapa pengamat yang berujar “Kalau itu memang direncanakan dengan matang
kan seharusnya dibicarakan kemarin-kemarin dong, bukan menjelang pemilihan
presiden seperti sekarang ini” saat
ditanya isu konsolidasi perbankan yang menyeruak satu bulan terakhir ini. Saya pun
tertenduk lesu.
Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi
saya masih ingat betul ketika mata kuliah ekonomika bisnis, dosen saya saat
Tony Prasetiantono (Chief Economies BNI 46 kala itu) dengan percaya diri
memaparkan data perbankan di ASEAN kala itu (sekitar 2-3 tahun yang lalu) dan
saya juga masih ingat beliau berujar: dalam arsitektur perbankan indonesia
sebenarnya kita diamanatkan hanya memiliki satu-dua state-owened-bank, dan beberapa bank swasta, dan bank daerah (total
jumlah bank ideal menurut API 2004 sekitar 30an) padahal sekarang jumlah bank
yang ada di negeri ini sekitar 130an bank! Saya kira mahasiswa ilmu ekonomi,
manajemen atau akuntansi yang berminat di bidang financial and banking tahu mengenai fakta ini.
Jadi saya tegaskan konsolidasi perbankan itu bukan berita baru, ini cita-cita mulia dari praktisimaupun otoritas perbankan sejak dulu kala, ketika bank di negeri ini mulai tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan. Selama itupula para praktisi perbankan mendambakan sebuah lembaga keuangan yang kuat dan mengakar agar tak mudah tumbang. Entah ini sudah berapa puluh atau ratus orang yang menulis artikel mengenai topik ini, saya tak peduli, anggap saja ini adalah kontribusi saya atas isu ini.
Saya juga ingat sekitar setengah
tahun yang lalu, ketika di kampus saya mengadakan CEO’S Mengajar, kalau saya
tak salah (saya justru lupa nama acaranya) tapi saya ingat kutipan dari Pak
Budi Gunadi Sadikin, Dirut Bank Mandiri yang menjadi keynote speech di acara tersebut,
beliau berujar seperti ini “Kalo
perbankan di Indonesia mau unggul mau jadi leader di nasional atau regional, kita
musti bersatu, ngga bisa kita berjuang sendiri-sendiri, padahal kelemahan kita selama
ini adalah susah bersatu”
Sumber: Statistik Keuangan Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, diolah oleh: srikripik.wordpress.com
Sekedar pemanis tulisan: Data
terbaru dari Bank Mandiri, dari sisi modal, perbankan yang modalnya paling
besar di ASEAN berasal dari Singapura yang masuk 3 besar. Bank itu adalah DBS
dengan jumlah modal US$ 26,5 miliar, diikuti dengan UOB US$ 19,2 miliar, dan
OCBC dengan modal US$ 18 miliar. Sementara dari sisi kapitalisasi pasar, bank
terbesar di ASEAN adalah DBS asal Singapura dengan nilai US$ 33,1 miliar dan
diikuti oleh OCBC dengan nilai US$ 27,7 miliar. Sementara dari sisi aset, 3
bank Singapura juga menempati 3 besar di ASEAN, yaitu DBS dengan aset US$ 318,4
miliar, OCBC dengan aset US$ 268,1 miliar, dan UOB dengan aset US$ 225,2
miliar. Data ini mengingatkan saya pada iklan minuman ringan, apapun
kriterianya (Assets, Market Cap, Capital) yang terbesar tetap bank dari
Singapura.
Lalu bagaimana dengan Indonesia,
ketika beberapa bulan yang lalu menteri BUMN Dahlan Iskan mencetuskan (kembali)
ide konsolidasi perbankan dengan diawali dengan Marger Bank Mandiri dengan Bank
Tabungan Negara, serta Bank Rakyat Indonesia yang akan di merger dengan PT.
Pegadaian, banyak pihak mengkritik membabi-buta. Bahkan berita terbaru,
akuisisi dipastikan gagal, sang mentri bahkan dicap hanya melakukan manuver
politik jelang pemilihan presiden. Saya sedih.
Undzur Ma Qolaa Walaa tandzur man qolaa..
Hadist yang berarti “Lihatlah apa
yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan” diatas setidaknya bisa
mencerminkan ketakutan saya mengenai kasus ini. Saya takut yang ditentang
disini adalah soal personal, pembawa ide, bukan dari ide itu sendiri. Saya akan
paham dan mengerti jika yang terjadi memang pertarungan ide dan gagasan, saya
juga mulai menyadari jika bank besar tidak serta merta dikatakan efisien. Namun
marilah bersama-sama berpendapat tanpa melihat siapa yang memberikan pendapat,
tapi melihat pendapat itu sendiri.
Pada akhirnya, kita harus
meyakini bahwa: manusia hanya bisa berencana, politikus yang menentukan.
(Mungkin belum) Selesai.
0 komentar:
Post a Comment