“Banyak orang bisa membedakan pembimbing
dengan bimbingan, pengarah dengan arahan, tapi tak bisa membedakan Pemimpin dan
Pimpinan” – Sudjiwo Tedjo
Saya terbiasa mengawali tulisan dengan kutipan
dan alasan kenapa saya menulis sebuah tulisan. Namun kali
ini saya belum menemukan alasan yang kuat kenapa saya memaksakan untuk menulis.
Jadi saran saya baca saja sampai akhir, atau tidak membacanya sama sekali.
Berbicara mengenai politik pasti
sebagian besar masih ada yang menganggap politik itu kotor, namun tenang saja sebisa
mungkin saya berusaha ketika anda membaca tulisan ini anggota tubuh anda tidak ada
yang belepotan atau baju anda yang ternoda karena kandungan politik di tulisan
ini cukup kentara. Jika anda mengijinkan, saya hanya akan mengotori pikiran anda.
Saya memilih isu walkout karena
sedang memang populer. Sesederhana itu. Bagi saya mengangkat isu yang sedang
populer lebih mudah dalam merangkai antar ide dan gagasan daripada
mengangkat isu yang tak lagi populer. Meski sejujurnya topik populer atau tidak tak mempengaruhi jumlah pembaca blog saya. Saya bukan orang terkenal.
Oke cukup. Seharusnya anda tidak
membaca 3 paragraf diatas, karena tulisan mengenai era baru perpolitikan di
Indonesia sesungguhnya berawal dari paragraf setelah ini. Jika anda sudah
terlanjur membaca, anggap saja sebuah foreplay
yang akan mempengaruhi hasrat membaca anda sampai puncak atau tidak.
Ketika saya ditanya sejak kapan
saya menyukai dunia politik saya akan dengan cepat menjawab tahun 1999 saat sidang
istimewa MPR dengan agenda pemilihan presiden. Sama ketika
saya ditanya sejak kapan menggilai Manchester United, saya akan dengan cepat
menjawab, saat final liga Champions 1999 ketika 2 gol telat menghantarkan Setan Merah mengalahkan Bayern Munich 1-2 di
Camp Nou. Mungkin keluarga saya baru beli televisi tahun itu juga (1999).
Kembali ke topik.
Saya sangat ingat sekali manuver
politik yang dilakukan oleh Poros Tengah kala itu. Ketika sebenarnya ada 3
calon presiden saat itu Abdurahman Wahid, Megawati, dan Yusril Ihza Mahendra. Namun
di detik-detik jelang pemungutan suara, Yusril Ihza Mahendra mendadak interupsi
untuk mengundurkan diri dari calon presiden. Belakangan terkuak bahwa manuver tersebut
adalah settingan oleh Poros Tengah untuk memuluskan jalan Abdurrahman Wahid
menjadi kepala negara.
Setelah itu saya sangat tertarik
pada gimmick-gimmick politik negeri ini seperti: banyak orang yang tidak tau
saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden statusnya belum menjadi ketua Partai
Golkar. Ketika beliau terpilih menjadi wakil presiden tak lama setelah itu
beliau ditunjuk sebagai ketua partai Golkar. Saat itu saya menyebut manuver
Golkar tersebut dengan sebutan membeli golden ticket jadi incumbent.
Gimmick lain yang saya ingat baik
adalak ketika pemilu 2004 juga, saat itu sama seperti sekarang ada debat
capres, namun lebih ramai saat itu karena tidak dilakukan dengan peraturan
seketat sekarang. Dari serangkaian debat
capres yang selalu hadir adalah pasangan Amien Rais – Siswono dan pasangan SBY –
JK. Padahal saat itu ada 5 pasangan capres-cawapres. Yang paling sering tidak
hadir undangan debat capres adalah Megawati, seingat saya hanya sekali itupun
karena kritikan bertubi-tubi tak berani menghadiri acara debat, jadi mungkin beliau lelah.
Saya juga ingat betul prosentase suara
yang diperoleh Amien Rais – Siswono di tahun 2004, hampir sama dengan prosentase
suara yang diperoleh pasangan Jusuf kalla – Wiranto di tahun 2009, yaitu
sebesar 14 persen. Ironisnya basis pemilih dua pasang itu sama yaitu mahasiswa,
keduanya menang telak di Yogyakarta dan Depok serta daerah kampus lainnya. Sampai
akhirnya saya berhipotesis kaum intelektual yang melek politik di negeri ini
hanya 14 persen. Semoga hipotesis saya salah.
Akhirnya tiba saat gimmick politik terbaru yang lagi hangat. Aksi walkout Partai Demokrat.
Saya sengaja menulis tulisan ini
dengan tidak didahului oleh menonton televisi sejak 2 hari yang lalu. Karena pasca
pilpres kemarin menonton televisi itu merupakan sebuah ketakutan tersendiri. Ketakutan
atas independensi cara pandang dan keberpihakan argumen. Seharusnya sih saya
sadar dari dulu jika keberpihakan media itu sudah ada lewat keberpihakan
individu jurnalis dan pimpinan media. Karena manusia tak ada yang bisa
benar-benar independen.
Setidaknya ada beberapa poin
penting sorotan saya mengenai kisah walkout dan sidang paripurna MPR mengenai
penetapan UU Pilkada dimana telah dicapai kesepakatan melalui voting bahwa
Pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
Pertama, aksi walkout Fraksi Partai
Demokrat (FPD) dua hari yang lalu merupakan pertunjukan politik yang cantik − saya
tak pernah memuji Partai Demokrat sebelum ini. Terlepas dari benar atau salah,
sikap FPD tersebut telah memukul telak Fraksi lawan mereka selam 10 tahun ini
(FPDIP). Berulangkali FPD sebagai incumbent ‘dikadali’ oleh fraksi oposisi,
masih ingatkah pansus century atau sidang paripurna kenaikan harga BBM? Siapa dalang
penggagas keduanya kalau bukan dari oposisi. Kali ini FPD giliran memukul balik
calon incumbent. Atau mungkin sudah tradisi oposisi menggertak incumbent di
Senayan?
Kedua, terlepas dari poin
pertama, sebenarnya saat ini FPD tengah terbelah karena menjalankan perannya
sebagai partai penyelenggara pemerintahan dengan peran sebagai calon oposisi. Jadi
satu kaki mereka sudah diluar, namun satu kaki lagi masih ada didalam. Apapun yang
diambil FPD bisa menjadi bahan serangan bagi lawan politik.
Ketiga, Entah kenapa yang beredar
luas di media sosial 2 hari ini adalah keputusan ini adalah kemunduran demokrasi.
Memang, saya sebenarnya cenderung mendukung pemilihan langsung kepala daerah,
namun faktanya undang-undang kita menganut sistem demokrasi kepartaian sejak
dahulu kala. Jadi setahu saya (mohon dikoreksi jika saya salah di bagian ini,
khususnya orang hukum silahkan beri pencerahan), harusnya yang salah itu yang
mencetuskan pemilihan secara langsung karena itu sesungguhnya melanggar hakekat
sila ke-empat, yang berbunyi Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Cukup baca
kata terakhir sila ke-empat saja.
Keempat, penelitian oleh dosen
saya yang menyebutkan partai politik adalah dalang dari sebagaian besar kasus
korupsi di negeri ini itu benar adanya. Saya menyakini hal ini. Karena partai
politik adalah mesin demokrasi, layaknya mesin kebanyakan, butuh energi untuk
menjalankanya dan menghidupi anggotanya. Padahal partai politik bukanlah badan
usaha yang bebas mencari energi itu dimana saja, maka muncul lah dana-dana yang
tak seharusnya ada. Namun, ketika anda mendebat pilkada langsung atau lewat
DPRD dengan alasan ini, kita tidak sedang membicarakan jika naik bus itu tidak aman
maka kita jangan naik bus. Kepala daerah buruk bukan soal cara pemilihannya. Ada pemilihan proksi (jika dalam penelitian) yang
salah jika anda menggunakan alasan tersebut.
“Parpol busuk? Karena terlalu banyak orang baik yang ingin meraih surga
sendirian” − Dzulfian Syafrian
Kelima, jika disuruh menuliskan
hal positif mengenai pilkada melalui DPRD, saya dengan gampang menyebut setidaknya
partai politik kini ada gunanya lagi (baca: penguatan partai politik sebagai
fondasi demokrasi). Oleh karena itu kita harus lebih aware terhadap pilihan
partai politik dan yang mewakili kita. Membela pendapat dengan membela orang yang
berpendapat itu berbeda.
Terakhir, bagi saya logika sangat keliru adalah ketika menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah Wakil Rakyat. Ini hampir sama dengan poin kedua diatas. Kalau Saya tidak ingin hanya orang-orang yang populer saja di mata masyarakat yang berhak berada di tampuk pimpinan, saat dimana tak ada lagi filter dan manuver-manuver politik cantik seperti saat tahun Sidang Istimewa 1999.
Lagian jika semuanya dipilih oleh rakyat apa bedanya pemimpin negeri ini dengan Indonesian Idol? Tidak selamanya menang secara jumlah itu menang secara kualitas.
Pada akhirnya, kelak jika
keputusan sidang paripurna Kamis malam lalu bakal diimplemetasikan, setidaknya
ada tiga pihak yang pasti akan dirugikan, yaitu lembaga survei (quick qount)
bayaran, percetakan kertas suara dan tukang sablon kaos, sticker, baliho.
Heuheuheu....
0 komentar:
Post a Comment