ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

01 October 2015

United's Impossible Triangle, Choose Two!

Pada tahun 1950an, seorang matematikawan bernama Rogers Penrose menciptakan sebuah grafis yang kini populer dengan sebutan impossible triangle. Grafis tersebut merupakan sebuah bangun ruang, yang terbuat dari tiga balok lurus dengan penampang silang berbentuk segi empat, dimana ujung-ujungnya saling bertemu membentuk segitiga (sangat mirip dengan logo salah satu antivirus komputer buatan dalam negeri). Panrose mendeskripsikanya sebagai: Kemustahilan dalam bentuk termurni.

Kemustahilan grafis yang dipopulerkan oleh Panrose tersebut dikarenakan visualisasi tipuan 2 dimensi yang coba dibentuk menggunakan visualisasi 3 dimensi. Dalam kata lain hanya dua sisi yang merupakan grafis asli, sedangkan sisi lainnya adalah tipuan.

Jika memahami kegalauan Panrose terasa begitu ‘njlimet’, mungkin memahami pilihan fundamental yang sering muncul saat jaman perkuliahan/sekolah ini lebih sering ditemui, ada 3 pilihan anda hanya bisa memilih dua: Good Grade, Enough sleep, Social Life.

Dalam bentuk lebih sederhana lagi ada 3 pilihan yang cukup membingungkan (dalam berberapa kasus) Good, Fast, Cheap. Atau saya juga sering menanyakan kepada beberapa gadis mengenai pasangan idamannya kelak dengan 3 kriteria namun hanya bisa memilih 2 saja: Tampan, Mapan, Baik Hati. Kebanyakan dari mereka membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum menjawab pertanyaan saya, karena  pada dasarnya mereka ingin 3 kriteria tersebut ada pada pasangan hidupnya kelak.

Ada banyak pilihan sempurna atau ideal dalam hidup yang tak bisa kita ambil semuanya, karena kita harus mengorbankan satu pilihan. Termasuk dalam lapangan hijau. Coba saja tanyakan ke pelatih Manchester United, Luis Van Gaal seperti ini: Dari 3 nama berikut ini siapa yang akan anda pilih jika hanya bisa memasang 2 saja, Michael Carrick, Bastian Schweinsteiger, atau Morgan Schneiderlin? 

Ya, mungkin saya tidak bisa mendapat jawaban langsung dari Meneer Van Gaal. Namun, jika dilihat dari pertandingan yang sudah dijalani Manchester United musim ini, Van Gaal terlihat kebingungan dalam pemilihan double pivot untuk formasi 4-2-3-1 andalannya musim ini. Minimal dari 7 pekan Liga Premier yang sudah dijalani, Van Gaal selalu merotasi kombinasi 2 dari 3 jangkar di lapangan tengah United. 

Mari bedah satu persatu kombinasinya.

Kombinasi pertama: Carrick-Schneiderlin. Merupakan kombinasi andalan Van Gaal sejauh ini di Premier League. Tercatat 4 kali (lawan Spurs, Villa, Southamton, dan Sunderland) keduanya tampil mengawal lini tengah United sejak peluit babak pertama dimulai. Meski terlihat padu di lini tengah United, kombinasi keduanya sebenarnya tak rukun-rukun amat. Karena jumlah umpan antar keduanya tak pernah menonjol dalam satu pertandingan. Hal ini bisa jadi pembagian tugas keduanya sangatlah jelas, Carrick sebagai jangkar pelindung back-four United, sedangkan ‘Air France’ Schneiderlin sebagai Box-to-box. Kabar baiknya, kombinasi Carrick-Schneiderlin di liga Premier selalu menghasilkan 3 poin bagi Luis Van Gaal.

Meskipun kombinasi Carrick-Schneiderlin membawa rasa aman bagi Meneer Belanda, namun sekali lagi seperti disebutkan diawal tulisan ini, Van Gaal terlihat ‘gatal’ jika tak memainkan dirijen United yang lain, Bastian Schweinsteiger. Terbukti duet Carrick-Schneiderlin tak pernah penuh 90 menit. Schweni selalu masuk jadi orang ketiga mengganggu kemesraan pasangan Carrick-Schneiderlin. Yang menarik adalah pihak yang dikorbankan selalu Michael Carrick.

Kombinasi kedua: Schweinsteiger-Schneiderlin. Kombinasi rekrutan anyar Manutd untuk mengarungi musim ini merupakan opsi Van Gaal yang paling sering digunakan setelah duet Carrick-Schneiderlin. Meski nama mereka terlihat indah ketikan dibuatkan sebutan untuk mereka, Schmidfield (baca: Membayangkan Solidnya Lini Tengah Man United Bersama Schweinsteiger) nyatanya United selalu sial jika keduanya diturunkan sejak awal pertandingan. Dua kali kombinasi Schmidfield diturunkan manutd hanya berhasil membawa satu poin (imbang melawan Newcastle, serta kalah melawan Swansea). 

Kombinasi terakhir: Carrick-Schweinsteiger adalah duet yang saya bayangkan sebagai pasangan ideal bak dongeng sejak sebelum dimulainya musim ini. Melihat karakter permainan keduanya yang saling melengkapi satu-sama lain, Carrick yang selama ini dengan anggun-nya melindungi 2 bek tengah united, kini kedatangan jenderal lapangan tengah timnas juara dunia Jerman, Schweinsteiger. Carrick akan legowo sedikit kebelakang, dan menyerahkan inisiatif serangan kepada Bastian.

Kombinasi pemain gaek ini nyatanya memang sangat superior, dengan sangat harmonisnya menjadi top passing combination (17 passing) kala menghempaskan musuh bebuyutannya Liverpool 3-1 pada 12 September lalu. Satu-satunya alasan yang saya coba pahami kenapa duet Carrick-Schweinsteir hanya satu kali digunakan oleh Van Gaal sejak awal pertandingan adalah soal Chants. Van Gaal takut pendukung United terbelah saat mengumandangkan chant-chant. Karena chant "It's Carrick, you know, it's hard to believe it's not Scholes" akan sama lantangnya dengan "Deutsche fussball meister... Bastiaaan"

Adapun pertandingan Manchester United musim ini yang tanpa kombinasi ketiganya terjadi diluar kompetisi Liga Premier, yaitu pada pertandingan away Manchester United di Liga Champions melawan PSV Eindhoven dan pertandingan Capital One Cup melawan Ipswich Town. Skema kombinasi double-pivot pada 2 pertandingan tersebut  hampir sama. Meneer Van Gaal lebih tertarik memainkan kombinasi Schweni dengan Herrera. Dalam pertandingan versus PSV Eindhoven yang digelar di Phillips Stadion itu keduanya sebenarnya tak buruk-buruk amat, bahkan bisa dibilang cukup baik karena bisa menguasai lapangan tengah (ball possesion 38 berbanding 62 untuk united). Hererra pun pada akhirnya diganti, dan apesnya bukan Schneiderlin atau Carrick yang masuk tapi pemain-yang-dianggap-sebagai-juru-selamat-saat-united-terjepit, Fellaini. 

Luis Van Gaal, pun menerima 'hukuman' dengan tak membawa satu poin pun dari pertandingan perdana fase grup liga champions akibat mengingkari kombinasi impossible triangle-nya. Sedangkan ketika melawan Ipswich Town, duet Schweinsteiger-Herrera tak diganti Fellaini – mungkin ini alasan Manutd tak juga dihukum seperti saat menghadapi PSV Eindhoven.

Pada akhirnya, LVG bisa saja tutup mata, atau bahkan hitung kancing siapa yang akan mengisi double pivot united setiap pertandinganya. Karena memilih 2 dari 3 jenderal lini tengah Manchester United musim ini tak sepelik segitiga Penrose yang sangat membingungkan. Ketiganya adalah sosok ideal diposisinya masing-masing. Masalah hanya akan muncul jika ada satu atau dua dari ketiganya yang Cidera atau terkena larangan bermain. Karena nama yang akan muncul adalah Hererra dan lebih apes lagi jika sampai nama Fellaini yang keluar.

Jadi adakah kombinasi yang lebih indah dari segitiga Carrick-Schweinsteiger-Schneiderlin?

Yang lebih mahal banyak.



Disclaimer: 
Tulisan ini sudah rilis di rubik Pandit Sharing tanggal 16 Oktober 2015 https://www.panditfootball.com/pandit-sharing/186826/PSH/151016/sulitnya-memilih-dua-dari-tiga-gelandang-mu sejak saat itu saya belum menulis artikel kembali.

27 December 2014

Stand By Me

Adalah cinta yang mengubah jalanya waktu, karena cinta waktu terbagi dua, denganmu dan rindu kembali ke masa itu” – Rangga, Ada Apa Dengan Cinta, 2014

Malam ini saya ditinggal dua teman kos saya yang pulang lebih awal karena libur natal. Entah kenapa malam ini terjadi kegamangan yang amat sangat dalam diri saya. Bukan karena kesendirian saya malam ini, tetapi lebih karena saya tidak pernah ditinggalkan mereka berdua sebelumnya, biasanya saya yang lebih dahulu meninggalkan mereka. Ternyata ditinggal dan meninggal itu punya efek psikologis yang berbeda. Meskipun sekiranya sama-sama sendiri, efek ditinggalkan ternyata jauh lebih dalam ketimbang meninggalkan.

Hukum Newton 3: Syarat untuk mencapai sesuatu adalah meninggalkan sesuatu” – Interstellar.

Beberapa hari yang lalu, ketika saya baru saja pulang dari kampung halaman, saat itu menunjukan pukul sepuluh malam (mungkin lebih), saya hendak keluar membeli makan malam, namun uang di saku saya ternyata tak sampai sepuluh ribu, kebetulan saat itu berjarak 3-4 hari jelang gajian. Seketika saya mencari dompet untuk mengambil kartu ATM saya, saat itu saya cukup terkejut mendapati ada uang lebih dari dua ratus ribu dalam dompet saya. Sayapun langsung ingat ibu saya yang sedari sebelum berangkat memegang uang itu, namun karena saya selalu menolak ketika dikasih uang oleh ibu – lebih karena malu sudah bekerja namun dikasih uang dari seseorang yang tak lagi bekerja.

Ternyata usut punya usut, uang itu merupakan hasil penjualan mangga depan rumah saya, saya ingat sekali ibu saya bercerita dengan bahagianya menjual  4 pohon mangga dengan total 600 ribu rupiah. Bagi sebagian orang mungkin itu hal yang biasa. Namun bagi saya – terlepas ibu atau bukan yang memberi uang tersebut – memberikan  hampir separuh hasil bumi yang hanya satu tahun sekali panen kepada orang yang tak pernah meminta bagian itu luar biasa. Pesan singkat yang menambah haru malam itu dari ibu adalah: Lik, ibu naruh uang di dompet kamu, sekiranya tak usah ke ATM sampai hari gajian nanti, ibu cuma ingin berbagi bahagia ibu ketika dapet rezeki.

Parent are the future ‘ghost’ of their children” – Cooper, Interstellar.

Beberapa minggu yang lalu saya mendapat wejangan yang amat sentimentil dari area manager saya mengenai waktu dan relativitas. Beliau bercerita hal yang paling berharga saat ini bisa jadi adalah waktu. Beliau pun bercerita mengenai awal karirnya dulu beliau bekerja tidak sekeras sekarang dan dengan gaji yang bisa jadi lebih besar jika dilihat dari term off trade nya. Sekarang kita bekerja lebih keras, dari jam 7 pagi sampai kadang jam 7 malam bahkan lebih, namun mendapat imbalan/gaji yang (bisa jadi) lebih sedikit. Jangan-jangan kita mengalami penurunan kualitas hidup. Apa yang membuat kita melakukan hal seperti ini?

Pada akhirnya kita akan sadar bahwa waktu telah begitu dahsyat merubah way of life dan way of thinking kita.

We’ve always defined ourselves by ability to overcome the impossible, and we count these moments. The moments when we dare to aim higher, to break barriers, to reach for the star, to make unknown known. We count these moments as our proundest achievement. But we lost all that. Our perhaps we’ve just forgotten that we are still pioneers. And we’ve barely begun. And our greatest accomplishments cannot be behind of us, because our destiny lies above us” – Cooper, Interstellar, 2014.

Tapi sejujurnya meski dipenuhi kutipan film, tulisan pendek ini bukan soal film, tapi soal kehadiran orang-orang yang terdekat dan waktu yang akan merubahnya.

Time can be extended and flexes, but obviosly it can’t go back


Selesai.

17 November 2014

Satu Hal yang Masih Mengganjal pada Kenaikan Harga BBM Bersubsidi.

"Syarat mutlak sebuah benda mencapai tujuan/tempat tertentu adalah meninggalkan sesuatu (Hukum Newton) - Interstellar

Sejak saya masuk industri perbankan tepat satu tahun yang lalu, saya ingat pesan dari Paman saya yang sudah saya anggap sebagai Ayah saya sendiri, beliau berpesan: “Ketika kamu sudah masuk dunia tertentu (industri perbankan), tinggalkanlah bacaan-bacaan kamu yang lain, mulailah mengalihkan fokus kamu ke dunia barumu, agar kamu merasa benar-benar ada didalamnya” Saat itu Paman saya tahu betul saya sangat menggilai industri energi, terutama oil and gas. Beliau melarang saya untuk kembali membuka bacaan migas saya. Tapi kali ini saya ingin melanggarnya.

Kali ini saya ingin bernostalgia, kembali ke masa dimana saya bebas menikmati menulis dan berdiskusi mengenai industri energi nasional. Sekarang saya sudah tak lagi punya banyak waktu untuk memikirkan banyak hal diluar pekerjaan saya. Karena mau tak mau, pekerjaan membuat pandangan saya dan banyak pekerja lainnya laksana memakai kaca mata kuda, kita dipaksa hanya bisa melihat kedepan (itupun kalau bisa) dan tidak diperbolehkan menengok ke kiri-kanan – selama belum ditemukan kaca mata kuda transparan.

Sabtu kemarin saya pulang menggunakan kereta menuju kampung halaman. Saat melewati sebuah stasiun, saya melihat kereta pengangkut bahan bakar minyak yang sangat panjang, saya sesaat terpaku melihat rangkaian kereta itu. Ada lebih dari 15 gerbong tanki minyak bertuliskan Pertamina, dalam benak saya saat itu adalah: kelak ketika harga BBM Bersubsidi naik dan mendekati harga keekonomianya (istilah populer yang sebenarnya dipaksakan), apakah Pertamina masih akan “besar” seperti ini?

Tulisan pendek ini, sebenarnya soal ke gusaran saya mengenai industri migas tanah air. Saya tak akan membahas mengenai 300 Triliun rupiah yang negara habiskan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) dalam satu tahun. Atau membahas kenapa Presiden justru menaikan harga BBM justru saat harga minyak dunia turun ke level 80 dollar perbarrel. Atau bahkan bahasan sepele soal pemerintah tak bisa lagi menggunakan bahasa “Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” karena kata “penyesuaian” itu lebih tepat jika harga minyak dunia tinggi sedangkan harga BBM kita rendah, yang akan saya bahas adalah soal monopoli alamiah Pertamina.

Sebenernya cukup terusik dengan hal sepele, jika nanti harga BBM Bersubsidi naik, lalu yang terjadi kemudian adalah spread (perbedaan/selisih) yang tak terlalu lebar antara harga BBM dari SPBU Lokal (Pertamina) dengan SPBU Asing yang ada di Indonesia (Shell, Petronas, Total). Bisa ditebak akhir dari cerita ini adalah runtuhnya monopoli alamiah oleh Pertamina atas Bahan Bakar Minyak.

Memang benar Pertamina tak dapat untung melimpah atas jualan premiumnya, namun patut di ingat Pertamina besar karena jualan premium-nya. Jika kini Pertamina sudah kalah telak di pertarungan industri hulu minyak, dimana hasil lifting minyak harian pertamina (23 persen produksi minyak nasional) kalah dengan Chevron (42 persen) dan Conoco Philips (25 persen). Akankah beberapa tahun kemudian perusahaan ini juga harus kalah di pertarungan industri hilir minyak?

Setidaknya ada 2 industri yang masih belum bisa banyak di-explore oleh investor asing di negeri ini. Keduanya kebetulan adalah sama-sama bidang energi. Industri pertama adalah minyak dan gas, sedangkan industri kedua adalah listrik. Kedua industri tersebut kurang menarik bagi investor asing karena ada perbedaan harga yang ditentukan oleh pemerintah – untuk industri kelistrikan lebih tertutup lagi, karena investasi untuk instalasi listrik bukan perkara yang mudah.  Namun, kini satu barrier to entry industri minyak di negeri ini sudah dipastikan terbuka besok pagi, bukan tidak mungkin industri kelistrikan juga akan menyusul kemudian. Pada akhirnya industri energi tanah air cepat atau lambat akan seperti industri perbankan saat ini, yang liberalisasinya sudah ada jauh sebelum didengung-dengungkanya liberalisasi ekonomi.

Saya tidak kecewa atau khawatir harga BBM bersubsidi dinaikkan, karena dana 300 Triliun untuk pos subsidi sangat luar biasa besar, bisa untuk membangun 30 stadion sepakbola termahal di dunia seperti Wembley. Saya hanya khawatir suatu saat nanti tak ada yang benar-benar bisa dikuasai oleh negeri ini. Tebakan saya ini akan terjadi jika setelah ini pemerintah juga akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDK).

Atau jangan-jangan kenaikan harga BBM ini hasil jualan presiden baru kita di 3 forum internasional minggu lalu: KTT APEC, ASEAN Summit, dan G-20. Saat itu presiden kita berulang kali menyebut: it's your opportunity? - undangan tersirat untuk masuk ke Indonesia.

Pada akhirnya anda tak harus sepakat atau percaya pada tulisan mengenai industri energi yang ditulis oleh seorang bankir, terlebih jika tulisan ini hanyalah sebuah nostalgia belaka.

It's your opportunity, but our warning, right?

15 November 2014

Balada Tukang Tagih (Part 1)




Saya meminta cinta, dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk dibantu” – Adib Suryawan.

Setidaknya ada dua hal yang membuat saya tergerak untuk menuliskan ini. Hal yang pertama adalah gambar di jejaring sosial mengenai dua ekor kelinci dimana salah satu kelinci mencibir kelinci yang lain karena dianggap tak seberuntung dirinya yang memperoleh daun wortel  yang ditanamnya lebih besar. Padahal buah wortel yang ada didalam tanah berbanding terbalik dengan daun diatasnya. Success is not always what you see. Hal kedua adalah karena saya dianggap tak mensyukuri pekerjaan saya sekarang.

Bagi para perintis karir baru, membandingkan antar pekerjaan adalah sudah bukan hal yang asing. Mungkin sudah menjadi hal yang lumrah, terutama bagi sesama pekerja baru saling menanyakan pekerjaan dan job desk, bahkan lebih ekstrim lagi menanyakan perihal insentif atau gaji. Ada yang sangat percaya diri menjelaskan job desk atau bahkan gaji, namu tak sedikit pula yang memendam kekecewaan, atau memendam rasa: kenapa saya tak seperti dia?

Mungkin anda pernah mengalami apa yang saya alami. Entah karena kerendahan hati, tingkat kejujuran yang cukup tinggi, saya jarang mendengar orang yang mencetuskan kalimat: I Love My Job! Ketika ditanya mengenai pekerjaan pertama mereka. Jawaban yang lebih sering saya dengar atas kesan dari pekerjaan mereka adalah: Ya begitulah, namanya kerja mana ada yang enak. Yang penting ngga menganggur dan gaji lumayan. Atau bagi yang pernah bekerja mereka biasanya menjawab: Dibandingkan dengan yang kemarin sih lebih enak yang ini. Meski diucapkan tanpa nada antusias.

“Jauh lebih mudah untuk berdecak kagum atas apa yang dimiliki orang lain, atas daerah asing yang bukan tempat tinggal kita, untuk menganggap sesuatu yang beda dan baru itu lebih bagus” – Margaretha Astaman.

Hegemoni para  perintis karir baru itu pun melanda saya.

Sekitar 6 bulan yang lalu, saya dan teman-teman sekelas saya yang tergabung dalam Officer Development Program sebuah Bank BUMN yang terdepan, terpercaya, tumbuh bersama Anda, harus (mau-tak-mau) memulai fase hidup baru. Moment yang paling menegangkan setelah lulus kuliah itu bernama: Penempatan. Singkat cerita waktu itu saya harus menerima bahwa hidup saya untuk beberapa tahun kedepan tak akan jauh-jauh dari label: Micro Collection Unit.

Setidaknya ada 3 alasan bagi saya untuk kaget pada awal pengumuman penempatan saya dan hari-hari awal saya menjalani peran baru saya. Alasan pertama, saya tak pernah mendengar sekalipun divisi/departement tersebut sebelumnya. Entah tak mendengar atau memilih untuk tak mendengar, minimal dalam rentang waktu 4 bulan saya mempelajari dunia perbankan - konon otak manusia hanya mengingat apa yang ingin ia ingat. Oleh karena saya tak ingin menginggat tentang divisi/unit Collection maka saya pun berkilah tak pernah mempelajari unit tersebut sebelumnya. Jangankan tau, ingat saja tidak.

Alasan kedua, bagi seorang knowledge worker (pembahasanya ada di 2 artikel sebelum ini) saya selalu mencintai hal-hal strategis, sedangkan Collection lebih banyak pekerjaan yang Clerical, dalam benak saya ini ngga jauh jauh dari white-collar worker, general office task, atau keeping record. Tanyakan pada teman sekelas saya atau teman kampus saya dulu. Betapa saya mencintai hal-hal yang bersifat data dan strategis. Bahkan sampai sekarang saya masih sering kepikiran kenapa struktur organisasi perusahaan saya berubah awal tahun nanti menjadi sedemikian rupa, padahal itu sama sekali bukan tugas saya.

Alasan yang terakhir, saya tak menyukai mikro. Didunia ini jika mau disederhanakan hanya ada dua jenis karakter orang, pertama yang menyukai mikro (detail, aplikatif, dan hal-hal kecil lainya) dan yang menyukai makro (konsep besar dan general theory). Sebagai lulusan ilmu ekonomi, karakter saya dapat dikenali dengan mudah, tengok saja transkrip lalu bandingkan nilai matakuliah Ekonomi Makro dan Mikro saya lebih bagus mana? Saya masih ingat nilai mikro saya tak pernah lebih tinggi dari B - (minus).

But, time changes.


Mungkin ini pekerjaan paling menantang bagi perintis karier baru di dunia perbankan. Tak ada tekanan yang lebih menantang dari pekerjaan ini. Saya tak mengatakan pekerjaan lain tak menantang, saya yakin setiap orang diberi batasan-batasan oleh Tuhan untuk diperjuangkan bahkan dilewati. Semua punya tantanganya sendiri. Namun, setidaknya saya merasa beruntung, diawal pekerjaan saya, saya mendapati tekanan dari empat sisi sekaligus, saya menyebutnya tekanan dari atas, bawah, kiri, dan kanan. Tekanan dari atas (atasan) jelas semua pekerja merasakanya. Tekanan dari bawah, tak semua pekerja memilikinya, apalagi memiliki 12 orang bawahan langsung di awal karier seperti saya. Dari kiri saya menyebutnya tekanan dari rekan kerja, dalam hal ini business unit (karena saya hanyalah seorang supporting unit).  Dan tekanan terakhir tekanan dari kanan adalah tekanan dari debitur-debitur bermasalah, karena selalu ada masalah disetiap debitur bermasalah. Tak ada perintis karir seberuntung saya.

Tak hanya itu. Pekerjaan saya sekarang sangat membutuh strategi dan managing people. Sesuatu yang saya dambakan sejak dulu. Saya menyukai hal yang berbau strategic planing, dan saya juga menikmati managing people. Sedari awal saya masuk perusahaan ini saya mendambakan posisi di bagian Strategic Performance and Management, namun pekerjaan saya sekarang juga tak kalah menantangnya untuk menyusun strategi terbaik dalam penagihan, meskipun strategi yang saya pikirkan bukan strategi bank-wide.

Saya pun menyadari ternyata pekerjaan ini juga sangat makro. Benar pekerjaan saya mengenai tukang tagih mikro, namun analisis yang saya gunakan sangat makro. Karena tiap hari saya menganalisis portofolio yang bersifat mass product, saya dapat melihat behavior debitur dalam level makro.

Saya mulai menikmati pekerjaan ini karena saya bisa menjadi motivator tiap harinya. Profesi sebagai motivator belakangan menjadi tenar karena banyak orang membutuhkan stimulus dari pihak luar (eksternal) atas permasalahan hidup yang semakin komplek. Namun bagi seorang motivator, kita takk dituntut untuk dapat mengatasi semua kompleksitas hidup, yang dituntut oleh motivator adalah membaca dan menyelami kehidupan dengan baik. Kita tidak bisa melakukan semuanya dengan benar namun setidaknya kita dapat membaca dan melihat orang lain melakukan sesuatu dengan benar. Saya menikmati proses itu.

Pada akhirnya saya tak perlu meminjam mata orang lain untuk melihat begitu beruntungnya kehidupan dan pekerjaan saya sekarang.


Bisa jadi frasa: Tuhan tak selalu memberi apa yang kita inginkan namun tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan, itu memang benar adanya. Bukan sekedar pembenaran oleh seorang yang telah putus asa.