“Kerjasama yang seharusnya kita jalin itu semestinya untuk hal
yang kita butuhkan dimasa depan bukan yang kita butuhkan sekarang” – Karen Agustiawan,
Rabu 20 Maret 2013
Kutipan diatas secara tidak langsung menggambarkan betapa
visionernya direktur yang telah berhasil membukukan Rp25,89 triliun pada 2012
untuk Pertamina itu.
Pagi itu saya cukup tergesa-gesa berangkat ke kampus. Bukan karena
kuliah moneter jam 10 yang tak boleh telat, tapi karena sebuah kuliah singkat, dari
CEO dari salah perusahaan yang kelak beberapa tahun kedepan saya berharap bisa
bergabung didalamnya. Dengan berpakaian batik coklat dan celana krem favorit
saya sekarang, saya beranikan diri masuk ―karena sebenarnya saya bukan
tamu undangan― kedalam auditorium yang ternyata hanya tersisa beberapa
kursi kosong saja. Atmosfer auditorium itu sangat berbeda pagi itu, beberapa
dosen dan tamu undangan yang sengaja melihat dari dekat sosok Karen Agustiawan,
dirut Pertamina yang baru saja diperpanjang masa jabatanya belum lama ini.
Nah, tulisan saya kali ini seperti semacam oleh-oleh saya
dari hasil menyusup kedalam forum yang bertajuk Energizing Asia: Menjadi Pemimpin Bisnis Energi pada 2025 itu. Tak kurang dari tujuh poin bahasan
yang menurut saya menarik ―karena saat itu saya lebih menikmati untuk mengambil gambar
atmosfer forum, ketimbang mencatat materi pembahasan, yang akan saya sampaikan
kembali pada tulisan ini, angka tujuh saya pilih bukan karena nomor punggung
pemain idola saya Cristiano Ronaldo, apalagi karena saat menulis tulisan ini
saya menggunakan jersey bernomor punggung 17 (mengandung unsur 7, sedikit
memaksakan), atau jumlah lantai di gedung tempat acara itu berlangsung. Sungguh
bukan karena itu semua.
Pertama, kesan pertama saya setelah melihat dan mendengar cara
beliau berbicara, saya langsung sepakat kalo wanita ini sanggat tangguh. Gaya bahasanya
yang lugas, terstruktur dan bijaksana, membuat dirinya sama sekali tak tampak
canggung didepan para akademisi di kampus saya. Ketangguhan nya sekilas nampak
juga dari busana terusan nya berwarna kuning agak besar namun tanpa ikat
pinggang. Sama sekali tak terlihat anggun memang, karena lebih terlihat seperti
ibu-ibu yang sedang memakai daster, namun beliau tetep terlihat berwibawa, karakternya
yang tak melulu soal bungkus ini lah yang mungkin menjadikanya menjadi professional
top level.
Kedua, “Sesuai visi misi Kami, Pertamina bukan lagi perusahaan
migas, tapi perusahan energi kelas dunia” penegasan tersebut penting baginya
dan perusahaanya mengingat konstalasi hulu migas ―beliau juga mengungkapkan
jika bicara perusahaan energi maka ujung tombaknya adalah bagian hulu bukan
hilir― tanah air memang masih didominasi International Oil Company (IOC). Fakta
menunjukan proporsi pertamina sebagai National Oil Company (NOC) terhadap
kontribusi produksi migas nasional relatif kecil dibandingkan Mengubah
proposrsi dan fakta tersebut membutuhkan investasi, kerja keras, dan waktu yang
tak sedikit, bahkan hampir mustahil jika saya tak berlebihan.
Sadar akan itu, Pertamina kini membidik potensi-potensi baru
dibidang energi dimana comparative
advantage masih dapat didapatkan. Karen menyebutkan setidaknya kini
Pertamina bisa lebih menggenjot lini-lini bisnis yang berpotensi dan sangat
menguntungkan, diantaranya seperti Geotermal dan Petrokimia. Untuk Geotermal,
sebagai negara yang konon memiliki 40% cadangan panas bumi di dunia, Indonesia
perlu menghidupkan kembali perusahaan geothermal yang sebenernya sudah ada
sejak lama namun tengah mati suri (sekarang diakuisisi dan menjadi PT.
Pertamina Geotermal, anak perusahaan Pertamina). Untuk petrokimia, sudah cukup
lama divisi ini menjadi salah satu penyumbang keuntungan terbesar bagi
perusahaan. Kebutuhan bahan baku industri sangat dibutuhkan dewasa ini. Intinya
saya ingin berbicara Pertamina mengembangkan energi-energi baru pada poin ke
dua ini.
Ketiga, “Ada tiga faktor yang berperan sangat penting bagi
perusahaan dan industri energi saat ini yaitu: Sumber Daya Manusia, Sumber Daya
Manusia, dan Sumber Daya Manusia,” Karen Agustiawan, dalam pidato sambutannya.
Keempat, produksi dari sumur-sumur minyak milik pertamina di luar
negeri merupakan dapat dimasukan sebagai produksi minyak dalam negeri. Jujur saja
ini merupakan salah satu pengetahuan baru bagi saya, sebelumnya saya tak
menyangka kalau blok-blok minyak di luar negeri bisa diklaim sebagai produksi
dalam negeri jika itu dimiliki oleh National Oil Company, seperti Pertamina. Sampai
saat ini, Pertamina telah memiliki kontrak pengerjaan lapangan produksi hulu tak
kurang di delapan negara. Daerah operasi hulu itu ada di Malaysia, Vietnam,
Australia, Qatar, Algeria, Sudan, Iraq, Libia, dan Venezuela. Berita bagus buat
meng-counter statement saya di
paragraf ke-6 kalimat terakhir.
Kelima, adanya concern yang
berbeda antara International Oil Company
(IOC) dan National Oil Company (NOC).
Sebenernya ini pertanyaan saya yang akan saya ajukan di sesi tanya jawab di
forum tersebut, namun berhubung saya sedikit inferior maka saya hanya mencoba
meramu jawaban tersirat yang untungnya bisa memuaskan saya. Kurang lebih
simpulan saya seperti ini, perbedaan antara keduanya adalah IOC mempunyai
concern utama profitability, sementara hal itu bukan menjadi yang utama bagi
NOC, tapi government strategy ― nanti
saya bahas di poin keenam.
Keenam, Pertamina sangat terbebani oleh peran sebagai PSO (public service obligation). Poin ini
menurut saya paling menarik dan paling debateble
― harusnya para aktivis kampus lebih mengkaji permasalahan ini ketimbang
selalu de javu pada frasa kedaulatan
energi. Karen Agustiawan secara implisit menunjukan kerisauan dirinya pada
peran pertamina yang satu ini. Beliau menuturkan lebih dari 70 persen sumber
daya manusia yang ada di pertamina telah dikerahkan untuk menjamin fungsi/peran
ini.
“Tenaga saya juga cukup tersita untuk memastikan pos ini tidak
defisit, dan selama Pertamina masih memiliki peran sebagai PSO, selama itu pula
Pertamina tak akan bisa listing di bursa saham, namun untuk mendepak peran ini
saya yakin butuh 2 kali periode 5 tahun proses di DPR” Statement akhir, dengan
sedikit gubahan dan penggabungan.
Ketujuh, sekaligus sebagai penutup tulisan ini, setelah forum itu,
saya menjadi sadar ternyata ada lack of
knowledge antara academic dengan professional environment. Hal ini
terlihat jelas saat ibu Karen Agustiawan menanggapi presentasi dari Prof.Indra
Bastian. “Nampaknya bapak musti mencoba short
intership selama 2 minggu di kantor Pertamina” seloroh nya sambil tertawa. Saya
semakin yakin bahwasanya yang kita pelajari saat ini (bagi yang mempelajari),
tak lebih sebagai upaya untuk mendekatkan dan memahami analisis fundamental
saja, karena analisis teknikal lebih sering digunakan dalam dunia profesional
yang sarat akan efisiensi ― saya sering menganalogikan perbedaan antara analisa
fundamental dan teknikal itu seperti pertanyaan “hari ini makan apa?” dan “hari
ini makan sama siapa?” mana yang lebih penting menurut anda?
Selesai.
Oh iya, saya mendengar 4-5 kali semprotan dari Matic Air Fresher milik saya, sepertinya
ini dengan tulisan terlama so far. Padahal saya juga masih mengingat-ingat apa yang belum dan musti saya tulis sampai anda membaca tulisan ini.
2 komentar:
Nice writing.. Mudah-mudahan nanti ketemu kamu udah jadi pegawai pertamina ya :)
haha.. iyaa sha, kamu pulang dari jepang aku udah gantiin bu Karen Agustiawan jadi CEO Pertamina sha.. :D
Post a Comment