"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, mantan dirut Permina, dan Menteri ESDM RI ke-3.
Saya sedikit tersadar setelah
menyelesaikan tulisan kedua tentang sepakbola, ternyata kecintaan kita terhadap
sesuatu hal membuat inspirasi mengalir dengan deras dipikiran, termasuk dalam
tulisan ―
tapi kadang tidak berlaku pada kecintaan terhadap pasangan atau calon pasangan.
Karena itulah saya memaksakan untuk menulis tulisan populer-ilmiah (komposisi 90%
populer, 10% ilmiah) ini dengan judul yang sedikit dipaksakan, nanti akan saya
beritahu kenapa judul ini sedikit memaksakan.
Beberapa hari yang lalu saya ‘dipaksa’
meski dengan senang hati, dalam 2 hari saya 3 kali diajak berdiskusi mengenai dinamika
migas dan kedaulatannya ― dan yang paling berkesan pada diskusi ketiga, tapi bukan karena rule of third. Saya berani berbicara
mengenai migas bukan karena saya tau segalanya, atau pernah melakukan riset
dkk, saya berani hanya karena saya menyukai bidang ini. Seperti saya yang
menggilai Manchester United, Futsal, dan Fotografi, meski sebenernya saya sadar
tidak akan pernah menjadi pemain Manchester United, pemain futsal profesional,
atau fotografer profesional, tapi keberadaan ketiganya telah memberi keberanian
untuk berbicara mengenai apa yang saya sukai didunia ini.
Kembali ke topik, kali ini saya akan
menulis sedikit mengenai kontrak migas, bahasan yang nyaris menjadi topik
skripsi saya. Kontrak migas kali ini saya beri sedikit bumbu kedaulatan karena
saya selalu tergelitik jika mendengar kata kedaulatan energi, kedaulatan migas,
dan saya selalu mengawali nya dengan pertanyaan balik kepada mereka: kedaulatan
itu definisinya apa menurut kamu? Kalau saya sih lebih suka menganalogikan
kedaulatan dengan perilaku mencuci pakaian dikalangan mahasiswa. Katakanlah
untuk mencuci pakaian, seminggu dua kali, dengan durasi kurang lebih dua jam
(belum termasuk menyetrika), berarti ada waktu dan tentunya tenaga yang kita
korbankan untuk mencuci pakaian tersebut. Maka, jika anda melakukan itu, saya
bisa sebut anda berkedaulatan penuh atas pakaian yang anda pakai. Sementara
saya tak pernah mempunyai kedaulatan atas pakaian saya, karena Jasa Laundry lebih
menarik bagi saya ― dengan berbagai pertimbangan tentunya.
Dalam benak saya arti kedaulatan itu
lebih retoris daripada kata “hidup mahasiswa” yang sering di teriakan para
aktivis mahasiswa di negeri ini. Sedangkan saya lebih tertarik berbicara teknis
daripada berbicara relativitas ideologi yang tak berujung. Namun jika dipaksa untuk
menjelaskan mengenai kedaulatan migas mungkin saya hanya bisa mengutip dua
pertanyaan alm Prof. Widjajono Partowidagdo (mantan Wamen ESDM). “Pertanyaan pertama, Siapa yang memiliki
sumberdaya ketika mereka masih berada di dalam tanah baik atau sesudah
penemuan, tetapi sebelum ekstraksi? Pertanyaan kedua, Siapa yang memilikinya
sesudah ekstraksi dari dalam tanah dan pada titik mana dalam ruang dan waktu,
kepemilikan tersebut berpindah jika keduanya tidak sama?” ― semoga dua
pertanyaan ini menyadarkan kita semua. Amien.
Kemudian bahasan saya terpaksa saya
belokkan sedikit ke desain kontrak migas, karena menurut saya kedaulatan migas
berhubungan dengan desain kontrak migas. Langsung saja, menurut Johnston, dalam
tulisanya How to Evaluate the Fiscal
Terms of Oil Contracts, menyebutkan setidaknya ada dua besar desain kontrak
migas, yaitu Royalty/tax systems (sistem
konsensi) dan Contractual System (sistem
kontrak).
Dalam konsensi, pemegang kontrak (biasanya
disebut perusahaan bukan sebagai kontraktor) dijamin hak penambanganya oleh
negara, yang pada awalnya berbentuk ijin eksplorasi lalu menjadi ijin
eksploitasi jika menemukan hidrokarbon, dalam hal ini negara akan memperoleh
pendapatan melalui pajak. Sedangkan untuk sistem kontrak biasanya menggunakan
sistem bagi hasil ― kenapa ada yang disebut production
sharing contract. Dalam hal ini pemegang kontrak tidak memegang ijin hak
tambang karena kontrak menyatakan negara tidak memberikan izin tersebut
(menurut saya ini lebih ke alasan politis saja), kontraktor sebagai pemasok
jasa tunggal kepada negara dan menanggung resiko teknis dan finansial dari
eksplorasi.
Dua jenis kontak diatas hanyalah
secara garis besar saja, dalam prakteknya ada banyak modifikasi hukum, fiskal
dan regulasi-regulasi lain yang terkadang berbeda dari satu negara ke negara
yang lain. Desain kontrak ini menurut saya layaknya business as usual yang dirancang untuk menciptakan situasi win-win solution bagi perusahaan sebagai
pemilik teknologi dan sumberdaya manusia dan pemerintah sebagai pemilik common property resources. Kemudian roda
bisnis ini bergulir untuk menjawab pertanyaan bagaimana economic rent dibagi ― ini yang saya sebut dengan kedaulatan.
Selanjutnya pembasan selanjutnya
menjadi upaya mencari model kontrak yang pas untuk diterapkan disuatu negara seyogyanya
terus didorong dan dikaji, namun tetap perlu diingat bahwa setiap proyek
mempunyai resiko yang unik, sehingga model kontrak yang diusulkan harus
mencerminkan resiko proyek dari masing-masing karakteristiknya. Apakah ada
model kontrak yang paling baik?
Benny Lubiantara, seorang Fiskal Analis
di OPEC berujar “one size fits all model does not
exist!” Tidak ada model yang cocok untuk semua kondisi. Kenapa? Karena resiko
yang dihadapi berbeda untuk setiap proyek di masing masing negara, bahkan dalam
satu negarapun, resikonya juga bervariasi. Model kontrak yang dipilih
seyogyanya mencerminkan resiko dari proyek tersebut.
Pada akhirnya, jika kedaulatan
diasumsikan sebagai keuntungan bagi negara, maka lebih mengusulkan agar diskusi
dan diskursus mengenai kedaulatan energi atau minyak dan gas lebih di sampaikan
sebagai penjawab pertanyaan bagaimana meningkatkan bagian negara dengan cara yang
elegan? ―
tentunya ini lebih mendidik bagi para pemula seperti saya yang tertarik di
bidang ini dan sepakat untuk mendalami dinamika migas tanpa dibenturkan dengan
masalah ideologi.
Oh iya, saya ingin seperti Benny
Lubiantara, menjadi analis fiskal OPEC di Wina, Austria. Doakan yaa? J
0 komentar:
Post a Comment