18 March 2013

Mendesain Kontrak Migas yang Berkedaulatan

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, mantan dirut Permina, dan Menteri ESDM RI ke-3.

Saya sedikit tersadar setelah menyelesaikan tulisan kedua tentang sepakbola, ternyata kecintaan kita terhadap sesuatu hal membuat inspirasi mengalir dengan deras dipikiran, termasuk dalam tulisan ― tapi kadang tidak berlaku pada kecintaan terhadap pasangan atau calon pasangan. Karena itulah saya memaksakan untuk menulis tulisan populer-ilmiah (komposisi 90% populer, 10% ilmiah) ini dengan judul yang sedikit dipaksakan, nanti akan saya beritahu kenapa judul ini sedikit memaksakan.

Beberapa hari yang lalu saya ‘dipaksa’ meski dengan senang hati, dalam 2 hari saya 3 kali diajak berdiskusi mengenai dinamika migas dan kedaulatannya ― dan yang paling berkesan pada diskusi ketiga, tapi bukan karena rule of third. Saya berani berbicara mengenai migas bukan karena saya tau segalanya, atau pernah melakukan riset dkk, saya berani hanya karena saya menyukai bidang ini. Seperti saya yang menggilai Manchester United, Futsal, dan Fotografi, meski sebenernya saya sadar tidak akan pernah menjadi pemain Manchester United, pemain futsal profesional, atau fotografer profesional, tapi keberadaan ketiganya telah memberi keberanian untuk berbicara mengenai apa yang saya sukai didunia ini.

Kembali ke topik, kali ini saya akan menulis sedikit mengenai kontrak migas, bahasan yang nyaris menjadi topik skripsi saya. Kontrak migas kali ini saya beri sedikit bumbu kedaulatan karena saya selalu tergelitik jika mendengar kata kedaulatan energi, kedaulatan migas, dan saya selalu mengawali nya dengan pertanyaan balik kepada mereka: kedaulatan itu definisinya apa menurut kamu? Kalau saya sih lebih suka menganalogikan kedaulatan dengan perilaku mencuci pakaian dikalangan mahasiswa. Katakanlah untuk mencuci pakaian, seminggu dua kali, dengan durasi kurang lebih dua jam (belum termasuk menyetrika), berarti ada waktu dan tentunya tenaga yang kita korbankan untuk mencuci pakaian tersebut. Maka, jika anda melakukan itu, saya bisa sebut anda berkedaulatan penuh atas pakaian yang anda pakai. Sementara saya tak pernah mempunyai kedaulatan atas pakaian saya, karena Jasa Laundry lebih menarik bagi saya ― dengan berbagai pertimbangan tentunya.

Dalam benak saya arti kedaulatan itu lebih retoris daripada kata “hidup mahasiswa” yang sering di teriakan para aktivis mahasiswa di negeri ini. Sedangkan saya lebih tertarik berbicara teknis daripada berbicara relativitas ideologi yang tak berujung. Namun jika dipaksa untuk menjelaskan mengenai kedaulatan migas mungkin saya hanya bisa mengutip dua pertanyaan alm Prof. Widjajono Partowidagdo (mantan Wamen ESDM). “Pertanyaan pertama, Siapa yang memiliki sumberdaya ketika mereka masih berada di dalam tanah baik atau sesudah penemuan, tetapi sebelum ekstraksi? Pertanyaan kedua, Siapa yang memilikinya sesudah ekstraksi dari dalam tanah dan pada titik mana dalam ruang dan waktu, kepemilikan tersebut berpindah jika keduanya tidak sama?” ― semoga dua pertanyaan ini menyadarkan kita semua. Amien.

Kemudian bahasan saya terpaksa saya belokkan sedikit ke desain kontrak migas, karena menurut saya kedaulatan migas berhubungan dengan desain kontrak migas. Langsung saja, menurut Johnston, dalam tulisanya How to Evaluate the Fiscal Terms of Oil Contracts, menyebutkan setidaknya ada dua besar desain kontrak migas, yaitu Royalty/tax systems (sistem konsensi) dan Contractual System (sistem kontrak).


Dalam konsensi, pemegang kontrak (biasanya disebut perusahaan bukan sebagai kontraktor) dijamin hak penambanganya oleh negara, yang pada awalnya berbentuk ijin eksplorasi lalu menjadi ijin eksploitasi jika menemukan hidrokarbon, dalam hal ini negara akan memperoleh pendapatan melalui pajak. Sedangkan untuk sistem kontrak biasanya menggunakan sistem bagi hasil ― kenapa ada yang disebut production sharing contract. Dalam hal ini pemegang kontrak tidak memegang ijin hak tambang karena kontrak menyatakan negara tidak memberikan izin tersebut (menurut saya ini lebih ke alasan politis saja), kontraktor sebagai pemasok jasa tunggal kepada negara dan menanggung resiko teknis dan finansial dari eksplorasi.

Dua jenis kontak diatas hanyalah secara garis besar saja, dalam prakteknya ada banyak modifikasi hukum, fiskal dan regulasi-regulasi lain yang terkadang berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Desain kontrak ini menurut saya layaknya business as usual yang dirancang untuk menciptakan situasi win-win solution bagi perusahaan sebagai pemilik teknologi dan sumberdaya manusia dan pemerintah sebagai pemilik common property resources. Kemudian roda bisnis ini bergulir untuk menjawab pertanyaan bagaimana economic rent dibagi ― ini yang saya sebut dengan kedaulatan.

Selanjutnya pembasan selanjutnya menjadi upaya mencari model kontrak yang pas untuk diterapkan disuatu negara seyogyanya terus didorong dan dikaji, namun tetap perlu diingat bahwa setiap proyek mempunyai resiko yang unik, sehingga model kontrak yang diusulkan harus mencerminkan resiko proyek dari masing-masing karakteristiknya. Apakah ada model kontrak yang paling baik?

Benny Lubiantara, seorang Fiskal Analis di OPEC  berujar “one size fits all model does not exist!” Tidak ada model yang cocok untuk semua kondisi. Kenapa? Karena resiko yang dihadapi berbeda untuk setiap proyek di masing masing negara, bahkan dalam satu negarapun, resikonya juga bervariasi. Model kontrak yang dipilih seyogyanya mencerminkan resiko dari proyek tersebut.

Pada akhirnya, jika kedaulatan diasumsikan sebagai keuntungan bagi negara, maka lebih mengusulkan agar diskusi dan diskursus mengenai kedaulatan energi atau minyak dan gas lebih di sampaikan sebagai penjawab pertanyaan bagaimana meningkatkan bagian negara dengan cara yang elegan? ― tentunya ini lebih mendidik bagi para pemula seperti saya yang tertarik di bidang ini dan sepakat untuk mendalami dinamika migas tanpa dibenturkan dengan masalah ideologi.

Oh iya, saya ingin seperti Benny Lubiantara, menjadi analis fiskal OPEC di Wina, Austria. Doakan yaa? J

0 komentar:

Post a Comment