“Satu bisul telah
pecah tadi malam, oleh karena itu pada hari ini kita tidak akan membahas kapan
pecahnya tapi bagaimana keadaan setelah bisul itu pecah” – Dr. Elan
Satriawan, Moderator Forum Diskusi Kebijakan Energi.
Dalam tiga hari terakhir ini saya
sengaja menyempatkan untuk menimba ilmu mengenai prosesi kenaikan harga BBM ―
sebagian yang lain menyebutnya penyesuaian harga BBM. Bentuk dari usaha saya
adalah menghadiri 2 forum diskusi mengenai topik ini dan semoga
tulisan ini sebagai laporan informal saya. Yang menarik, forum pertama diadakan
pada hari Jum’at (21 Juni 2013) atau sehari sebelum kenaikan harga BBM resmi
diumumkan oleh pemerintah, sedangkan forum kedua pada hari berikutnya, setelah
harga baru benar-benar ditetapkan. Bagi saya ini semacam analisis pertandingan
sepakbola namun yang pertama dilakukan sehari sebelum matchday, dan yang kedua analisis setelah mengetahui hasil
pertandingan. Seharusnya analisis yang pertama lebih menarik.
Spesifikasi forum pertama: Berlabel
sosialisasi, diadakan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas)
bekerjasama dengan Direktorat Kemahasiswaan dan Pertamina regional Jogja. Bisa
ditebak acara yang diadakan oleh sebuah lembaga pemerintah (BPH Migas) dengan
lembaga pemerintah lainnya (Dirmawa UGM) terlebih dilaksanakan satu hari jelang
kenaikan harga BBM, pasti acara yang diadakan se-kena-nya saja, tak lebih dari
formalitas, dan biasanya bertujuan untuk sekedar penyerapan anggaran. Dugaan
saya pun tak meleset.
Spesifikasi forum kedua: Berlabel
diskusi, diadakan oleh kerjasama antara GIZ (sebut saja lembaga internasional asal
Jerman, karena namanya terlalu panjang untuk dihafal) dengan P2EB (Lembaga Penelitian
dan Pelatihan FEB UGM) dan Kementrian Keuangan. Menghadirkan 6 pembicara dengan
latar belakang dan keilmuann yang berbeda-beda. Dengan komposisi audience
perpaduan antara mahasiswa, dosen, dan beberapa bule ― saya sebut demikian karena
saya tak sempat bertanya kenapa mereka mendatangi forum tersebut. Dengan alasan
forum yang kedua lebih prestisius, maka yang akan saya ulas di tulisan ini
adalah forum yang kedua. Untuk menyingkat saya share per pembicara, jadi
minimal ada 6 paragraf (6 pembicara) dibawah kalimat yang sedang anda baca ini.
Pembicara pertama adalah Dr. Arif
Budimanta seorang anggota DPR RI dari Fraksi PDI perjuangan. Dalam benak saya,
ketika pertamakali mendengar anggota DPR pasti yang terlintas adalah: Seorang
yang pandai ber-retorika, jago bersilat lidah, dan memiliki kedalaman yang
kurang. Namun kali ini saya kurang tepat, meski judul presentasi beliau “Subsidi
BBM dalam Kehidupan Nasional” agak berbau retoris, dalam penyampaian-nya beliau
terlihat sangat flesksibel dan lugas. Sebagai partai oposisi sikap belia dalam
kasus ini sangat bisa ditebak, namun satu hal yang saya kagumi dari politisi
PDI Perjuangan yaitu landasan filosofis-nasionalis begitu kentara pada setiap argumenya. Tak peduli untuk kasus
apa dan siapa yang berbicara, konsistensi partai ini patut untuk menuai pujian ― terlepas
benar atau salah sikap tersebut.
Pembicara kedua adalah Dr. Irfa Ampri,
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan
Fiskal (BKF) ― nama jabatan yang cukup panjang. Beliau membawakan presentasi
berjudul “Ekonomi Hijau dan Postur APBN”. Meski matri yang ada dalam handout
cukup lengkap dan informatif, namun karena penyampaian beliau terlampau kalem,
maka saya urung menangkap garis merah yang ingin disampaikan, dan saya pun seakan
terbuai oleh sejuknya ruangan auditorium tersebut sampai saya kembali tersadar
pada bagian kesimpulan, beliau berujar: Solusi penyesuaian subsidi harga BBM digunakan
untuk mendorong daya saing energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi
penggunaan energi serta menekan tingkat emisi.
Pembicara ketiga adalah Bapak Sayono
Hadiwijoyo, komite BPH Migas. Secara sekilas, ibarat pemain sepak bola beliau
seperti gelandang semenjana yang keberadaanya nyaris tak diperhitungkan pada
forum ini, namun ternyata saya dugaan kembali salah. Beliau membuka
presentasinya dengan kalimat sarkasme yang menggelitik: “Saya senang sekali hari ini, biasanya ketika saya berdiskusi dengan
para mahasiswa pasti serunya dapet, tapi solusinya tidak”. Meski dalam
handout beliau terdapat 57 slide yang berisi data dan sekema industri hilir
migas dan road map bauran energi, beliau tidak membahas semuanya, sepertinya beliau
hanya ingin menunjukan kompleksitas sektor hilir migas sesuai judul presentasi
beliau: Kompleksitas sektor hilir migas. Yang menarik bagi saya, adalah ketika
beliau membahas mengenai stockpiling in
japan, tidak seperti pejabat pemerintah yang lain yang menahan diri untuk
tidak mengkritik pihaknya yang lain, beliau secara tersirat mencibir kebijakan
cadangan migas dalam negeri (yang hanya bisa bertahan dalam 21 hari) dengan
membandingkanya dengan cadangan minyak Jepang yang bisa bertahan 203 hari. Pertanyaan
sindiran yang saya ingat: Apa yang
terjadi di Indonesia jika 10 gunung berapi (saja) meletus secara bersamaan? Berapa
lama kita bisa bertahan?
Pembicara empat adalah perwakilan dari
mahasiswa, Didit Putra Kusuma, mantan ketua komite kedaulatan energi. Bukan
nama yang asing bagi saya, saya sudah pernah mendengar namanya dari beberapa
teman, mungkin karena ada ungkapan sesama nelayan selalu saling melihat dari kejauhan.
Pembawaannya yang lebih mirip seperti comic (stand-up komedian) langsung
membawa keceriaan di segenap penjuuru ruangan, sesekali saya pun ikut terbawa.
Terlepas dari slide yang bertumpuk-tumpuk dan judul presentasi yang begitu tremendous: Subsidi BBM dari perspektif
Science, Teknis, Sosial dan Ekonomi, saya memberikan pujian yang tinggi kepada
beliau. Pertama, karena beliau sama sekali tidak merasa inferior di forum
bergengsi tersebut. Kedua, pemaparan yang penuh semangat a.k.a. khas mahasiswa
banget. Ketiga, karena beliau menggunakan logo KKE yang saya desain di setiap
slide-nya.
Pembicara kelima, Prof. Danang
Parikesit seorang Guru besar Transportasi UGM dan juga ketua Masyarakat
Transportasi Indonesia (MTI). Pembicara yang satu ini nampaknya memenangkan
hati saya, bahkan sebelum beliau menyampaikan presentasinya. Cara beliau duduk
pun bagi saya telah memancarkan kharisma dan kepercayaan diri yang tinggi,
namun sama sekali tak terlihat raut kesombongan. Beliau menyampaikan presentasi
yang berjudul: “Missing Link” Pengurangan Subsidi BBM, namun dalam pemaparanya
beliau lebih menitikberatkan dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor
transportasi: “Kebijakan pengurangan
subsidi saat ini lebih fokus pada kebijakan fiskal namun tidak diikuti
kebijakan progresif investasi dan insentif untuk mendorong moda pemakain
transportasi angkutan umum termasuk bis listrik dan elektrifikasi kereta api”. Setidaknya
ada tiga poin penting yang saya petik dari beliau. Pertama, ketiadaan pilihan
membuat masyarakat tetap bernafsu nembeli BBM, akan lebih elegan jika
pemerintah memberikan pilihan dahulu baru menaikan harga. Kedua, kebijakan
energi, transportasi, industri otomotif dan fiskal haruslah merupakan paket
kebijakan yang konvergen. Ketiga, yang terpenting bukan seberapa tinggi dampak
kenaikan harga BBM, namun pemerintah harus meningkatkan pula daya beli masyarakat
agar bisa membeli BBM pada harga berapapun. “Yang dilakukan pemerintah bukanlah
yang dijanjikan pemerintah, namun apa yang terjadi setelah kenaikan ini”
Pembicara terakhir adalah Dr. Rimawan
Pradiptyo, deputi penelitian dan basis data P2EB FEB UGM. Meskipun materi yang
disampaikanya sangat menarik, namun bagi saya yang telah mengambil kelas beliau
tiga kali dalam 4 tahun ini, semacam ada de javu ketika beliau menyampaikan
materi yang berjudul: kompleksitas rumah tangga menghadapi penurunan subsidi
BBM. Dalam lembaran highlight saya ada beberapa catatan diantaranya. Pertama, diperlukanya kebijakan yang
parsial seperti yang telah diungkapkan oleh Prof Danang, meskipun orang
Indonesia pada dasarnya tidak mau bekerjasama. Kedua, diperlukan analisis berbasis
bukti (evidance-based policy) dalam
membuat kebijakan bukan anecdotal
evidence (mitos). Ketiga, Menunda bukanlah kebijakan yang baik. Diluar tiga
hal diatas, sebenernya saya menantikan kisah pasukan super jerman yang
menyerang rusia namun kalah hanya karena kehabisan bahan bakar, sebuah cerita
yang diceritakan dengan detail di tiap kelas beliau.
Pada akhirnya, seperti yang ditutup
oleh moderator forum, saya tak akan menyimpulkan banyak dari keenam pembicara
yang menggunakan sudut pandangnya masing-masing, meski pada benang merah
diperlukan kebijakan yang konvergen, dari berbagai sudut pandang keilmuan. Meminjam
penutup dari Didit Putra Kusuma: “Last Warning untuk pemerintah: Yang sekarang mendukung, bukan
tidak mungkin berikutnya akan menentang, bahkan lebih keras!”
Saya juga penasaran apa yang akan
dilakukan pemerintah setelah ini. Terima kasih para panitia diskusi. Danke!
video streaming Forum Diskusi Kebijakan Ekonomi (FDKE) FEB UGM:
video streaming Forum Diskusi Kebijakan Ekonomi (FDKE) FEB UGM:
0 komentar:
Post a Comment