23 June 2013

Overview Dua Forum Penyesuaian Harga BBM: Formalitas Vs Prestisius


Satu bisul telah pecah tadi malam, oleh karena itu pada hari ini kita tidak akan membahas kapan pecahnya tapi bagaimana keadaan setelah bisul itu pecah” – Dr. Elan Satriawan, Moderator Forum Diskusi Kebijakan Energi.

Dalam tiga hari terakhir ini saya sengaja menyempatkan untuk menimba ilmu mengenai prosesi kenaikan harga BBM ― sebagian yang lain menyebutnya penyesuaian harga BBM. Bentuk dari usaha saya adalah menghadiri 2 forum diskusi mengenai topik ini dan semoga tulisan ini sebagai laporan informal saya. Yang menarik, forum pertama diadakan pada hari Jum’at (21 Juni 2013) atau sehari sebelum kenaikan harga BBM resmi diumumkan oleh pemerintah, sedangkan forum kedua pada hari berikutnya, setelah harga baru benar-benar ditetapkan. Bagi saya ini semacam analisis pertandingan sepakbola namun yang pertama dilakukan sehari sebelum matchday, dan yang kedua analisis setelah mengetahui hasil pertandingan. Seharusnya analisis yang pertama lebih menarik.

Spesifikasi forum pertama: Berlabel sosialisasi, diadakan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) bekerjasama dengan Direktorat Kemahasiswaan dan Pertamina regional Jogja. Bisa ditebak acara yang diadakan oleh sebuah lembaga pemerintah (BPH Migas) dengan lembaga pemerintah lainnya (Dirmawa UGM) terlebih dilaksanakan satu hari jelang kenaikan harga BBM, pasti acara yang diadakan se-kena-nya saja, tak lebih dari formalitas, dan biasanya bertujuan untuk sekedar penyerapan anggaran. Dugaan saya pun tak meleset.

Spesifikasi forum kedua: Berlabel diskusi, diadakan oleh kerjasama antara GIZ (sebut saja lembaga internasional asal Jerman, karena namanya terlalu panjang untuk dihafal) dengan P2EB (Lembaga Penelitian dan Pelatihan FEB UGM) dan Kementrian Keuangan. Menghadirkan 6 pembicara dengan latar belakang dan keilmuann yang berbeda-beda. Dengan komposisi audience perpaduan antara mahasiswa, dosen, dan beberapa bule ― saya sebut demikian karena saya tak sempat bertanya kenapa mereka mendatangi forum tersebut. Dengan alasan forum yang kedua lebih prestisius, maka yang akan saya ulas di tulisan ini adalah forum yang kedua. Untuk menyingkat saya share per pembicara, jadi minimal ada 6 paragraf (6 pembicara) dibawah kalimat yang sedang anda baca ini.

Pembicara pertama adalah Dr. Arif Budimanta seorang anggota DPR RI dari Fraksi PDI perjuangan. Dalam benak saya, ketika pertamakali mendengar anggota DPR pasti yang terlintas adalah: Seorang yang pandai ber-retorika, jago bersilat lidah, dan memiliki kedalaman yang kurang. Namun kali ini saya kurang tepat, meski judul presentasi beliau “Subsidi BBM dalam Kehidupan Nasional” agak berbau retoris, dalam penyampaian-nya beliau terlihat sangat flesksibel dan lugas. Sebagai partai oposisi sikap belia dalam kasus ini sangat bisa ditebak, namun satu hal yang saya kagumi dari politisi PDI Perjuangan yaitu landasan filosofis-nasionalis begitu kentara  pada setiap argumenya. Tak peduli untuk kasus apa dan siapa yang berbicara, konsistensi partai ini patut untuk menuai pujian ― terlepas benar atau salah sikap tersebut.

Pembicara kedua adalah Dr. Irfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) ― nama jabatan yang cukup panjang. Beliau membawakan presentasi berjudul “Ekonomi Hijau dan Postur APBN”. Meski matri yang ada dalam handout cukup lengkap dan informatif, namun karena penyampaian beliau terlampau kalem, maka saya urung menangkap garis merah yang ingin disampaikan, dan saya pun seakan terbuai oleh sejuknya ruangan auditorium tersebut sampai saya kembali tersadar pada bagian kesimpulan, beliau berujar: Solusi penyesuaian subsidi harga BBM digunakan untuk mendorong daya saing energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi serta menekan tingkat emisi.

Pembicara ketiga adalah Bapak Sayono Hadiwijoyo, komite BPH Migas. Secara sekilas, ibarat pemain sepak bola beliau seperti gelandang semenjana yang keberadaanya nyaris tak diperhitungkan pada forum ini, namun ternyata saya dugaan kembali salah. Beliau membuka presentasinya dengan kalimat sarkasme yang menggelitik: “Saya senang sekali hari ini, biasanya ketika saya berdiskusi dengan para mahasiswa pasti serunya dapet, tapi solusinya tidak”. Meski dalam handout beliau terdapat 57 slide yang berisi data dan sekema industri hilir migas dan road map bauran energi, beliau tidak membahas semuanya, sepertinya beliau hanya ingin menunjukan kompleksitas sektor hilir migas sesuai judul presentasi beliau: Kompleksitas sektor hilir migas. Yang menarik bagi saya, adalah ketika beliau membahas mengenai stockpiling in japan, tidak seperti pejabat pemerintah yang lain yang menahan diri untuk tidak mengkritik pihaknya yang lain, beliau secara tersirat mencibir kebijakan cadangan migas dalam negeri (yang hanya bisa bertahan dalam 21 hari) dengan membandingkanya dengan cadangan minyak Jepang yang bisa bertahan 203 hari. Pertanyaan sindiran yang saya ingat: Apa yang terjadi di Indonesia jika 10 gunung berapi (saja) meletus secara bersamaan? Berapa lama kita bisa bertahan?

Pembicara empat adalah perwakilan dari mahasiswa, Didit Putra Kusuma, mantan ketua komite kedaulatan energi. Bukan nama yang asing bagi saya, saya sudah pernah mendengar namanya dari beberapa teman, mungkin karena ada ungkapan sesama nelayan selalu saling melihat dari kejauhan. Pembawaannya yang lebih mirip seperti comic (stand-up komedian) langsung membawa keceriaan di segenap penjuuru ruangan, sesekali saya pun ikut terbawa. Terlepas dari slide yang bertumpuk-tumpuk dan judul presentasi yang begitu tremendous: Subsidi BBM dari perspektif Science, Teknis, Sosial dan Ekonomi, saya memberikan pujian yang tinggi kepada beliau. Pertama, karena beliau sama sekali tidak merasa inferior di forum bergengsi tersebut. Kedua, pemaparan yang penuh semangat a.k.a. khas mahasiswa banget. Ketiga, karena beliau menggunakan logo KKE yang saya desain di setiap slide-nya.

Pembicara kelima, Prof. Danang Parikesit seorang Guru besar Transportasi UGM dan juga ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Pembicara yang satu ini nampaknya memenangkan hati saya, bahkan sebelum beliau menyampaikan presentasinya. Cara beliau duduk pun bagi saya telah memancarkan kharisma dan kepercayaan diri yang tinggi, namun sama sekali tak terlihat raut kesombongan. Beliau menyampaikan presentasi yang berjudul: “Missing Link” Pengurangan Subsidi BBM, namun dalam pemaparanya beliau lebih menitikberatkan dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor transportasi: “Kebijakan pengurangan subsidi saat ini lebih fokus pada kebijakan fiskal namun tidak diikuti kebijakan progresif investasi dan insentif untuk mendorong moda pemakain transportasi angkutan umum termasuk bis listrik dan elektrifikasi kereta api”. Setidaknya ada tiga poin penting yang saya petik dari beliau. Pertama, ketiadaan pilihan membuat masyarakat tetap bernafsu nembeli BBM, akan lebih elegan jika pemerintah memberikan pilihan dahulu baru menaikan harga. Kedua, kebijakan energi, transportasi, industri otomotif dan fiskal haruslah merupakan paket kebijakan yang konvergen. Ketiga, yang terpenting bukan seberapa tinggi dampak kenaikan harga BBM, namun pemerintah harus meningkatkan pula daya beli masyarakat agar bisa membeli BBM pada harga berapapun. “Yang dilakukan pemerintah bukanlah yang dijanjikan pemerintah, namun apa yang terjadi setelah kenaikan ini”

Pembicara terakhir adalah Dr. Rimawan Pradiptyo, deputi penelitian dan basis data P2EB FEB UGM. Meskipun materi yang disampaikanya sangat menarik, namun bagi saya yang telah mengambil kelas beliau tiga kali dalam 4 tahun ini, semacam ada de javu ketika beliau menyampaikan materi yang berjudul: kompleksitas rumah tangga menghadapi penurunan subsidi BBM. Dalam lembaran highlight saya ada beberapa catatan diantaranya. Pertama, diperlukanya kebijakan yang parsial seperti yang telah diungkapkan oleh Prof Danang, meskipun orang Indonesia pada dasarnya tidak mau bekerjasama. Kedua, diperlukan analisis berbasis bukti (evidance-based policy) dalam membuat kebijakan bukan anecdotal evidence (mitos). Ketiga, Menunda bukanlah kebijakan yang baik. Diluar tiga hal diatas, sebenernya saya menantikan kisah pasukan super jerman yang menyerang rusia namun kalah hanya karena kehabisan bahan bakar, sebuah cerita yang diceritakan dengan detail di tiap kelas beliau.

Pada akhirnya, seperti yang ditutup oleh moderator forum, saya tak akan menyimpulkan banyak dari keenam pembicara yang menggunakan sudut pandangnya masing-masing, meski pada benang merah diperlukan kebijakan yang konvergen, dari berbagai sudut pandang keilmuan. Meminjam penutup dari Didit Putra Kusuma: “Last Warning untuk pemerintah: Yang sekarang mendukung, bukan tidak mungkin berikutnya akan menentang, bahkan lebih keras!


Saya juga penasaran apa yang akan dilakukan pemerintah setelah ini. Terima kasih para panitia diskusi. Danke!

video streaming Forum Diskusi Kebijakan Ekonomi (FDKE) FEB UGM:


0 komentar:

Post a Comment