Kalau aku pilek, aku ingin dipijatnya, kalau aku lapar aku ingin makan
makanan yang dimasaknya sendiri, manakala bajuku koyak aku ingin istriiku
sendiri yang menjahitnya, dengan Oetari keadaanya terbalik. Aku yang menjadi
orangtuanya dan dia sebagai anak.
Begitulah kekecewaan Soekarno
muda terhadap Oetari, istri pertama yang dinikahinya. Lebih jauh beliau
menuturkan ketidakbahagiaannya bersama istri pertamanya tersebut ketika
menuturkan sementara ia belajar dan sedikit bekerja untuk menghidupi dirinya
dan istrinya di Bandung, Oetari sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk bermain dengan kawan-kawanya di pekarangan belakang rumah Haji Sanusi
tempat mereka berdua menginap di Bandung. Bahkan selama menikah dengan Oetari,
Soekarno tak melakukan hubungan badan layaknya suami-istri kebanyakan. Tak
berapa lama berselang, Soekarno mengutarakan niatanya untuk berpisah dengan
kepada ayah Oetari, Tjokroaminoto mengenai kisahnya dengan Oetari dan akhirnya
keduanya berpisah.
Pertanyaan saya setelah membaca
kisah tersebut adalah, kenapa Soekarno memilih mengakhiri dengan Oetari setelah
sederetan ketidaknyamanan melanda hubungan mereka? Kenapa beliau tidak mencoba
memperbaiki hubungan mereka, entah dengan cara apapun ― saya bukan seorang konsultan
asmara dan tak ada pula niatan menghakimi beliau. Bukankah jika menjalin
hubungan itu didasarkan oleh keputusan dan keyakinan bersama, maka jika
keyakinan itu masih ada seharusnya ada keinginan untuk keluar dari ketidaknyamaan
tersebut. Hal yang berbeda jika sedari awal keputusan menjalin hubungan tidak
dilakukan oleh dua pihak dan keyakinan Soekarno terhadap Oetari, ataupun
sebaliknya, karena pada sebagian literatur sejarah menyebutkan Soekarno
menikahi Oetari hanya karena belas kasihan terhadap keluarga Tjokroaminoto.
Setelah berpisah dari Oetari,
Soekarno pun lekas menemukan tambatan hatinya, namanya Inggit Garnasih, yang
ternyata bukan orang jauh, melainkan ibu kos dari Soekarno saat tinggal di
Bandung. Inggit telah menikah dengan Haji Sanusi. Kata dosen saya sebenarnya
hanya dua istri Soekarno yang amat di cintainya, dia adalah Inggit dan Hartini.
Hingga pencarian saya mengenai alasan kenapa dosen saya berujar seperti itu,
kini membuahkan hasil dengan temuan satu paragraf di buku The Love Story of
Bung Karno karangan Ipnu Rinto yang membuat saya takjub.
Setelah menikah dengan Soekarno, Inggit memberi segalanya untuk suami.
Kepandaianya menjahit pakaian, menjual kutang, bedak, rokok, meramu jamu dan
menjadi agen sabun kecil-kecilan terus dimanfaatkan untuk mencari uang untuk
dirinya dan Soekarno. Sementara itu keberhasilan Soekarno menamatkan studinya
di THS, membuat inggit senang tak terkira. Bagi Inggit, kesuksesan Soekarno
meraih gelar insinyur merupakan salah satu bukti keberhasilanya mendampingi
Soekarno.
Saya langsung ingat pada kutipan
dari seseorang yang sering saya katakan: Membina hubungan itu seperti layaknya
berada di atas prahu berdua. Satu mendayung, satunya lagi menentukan arah.
Kalian bisa bertukar posisi kapan saja, tapi tidak akan bisa melakukan keduanya
sekaligus.
Sedangkan kekaguman saya pada
Hartini berhasil saya temukan pada paragraf ini (dari buku yang sama).
Hartini tau betul bahwa Soekarno adalah seorang pria beristri. Hartini
pun meminta waktu untuk berpikir ketika dipinang Soekarno. Dalam penantianya
tersebut, Hartini semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Soekarno.
Hartini pun tak bisa terlalu lama membohongi perasaanya, hingga akhirnya
menerima pinangan Soekarno tapi dengan satu syarat. Hartini berkatakepada
Soekarno, “Ibu Fat tetap First lady, saya istri kedua saja. Saya tidak mau ibu
Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Beberapa sahabat Soekarno
menyebutkan bahwa Hartini merupakan pasangan terbaik bagi Soekarno. Hal itu
bisa dilihat dari sikap dan tata bahasa Hartini yang sangat santun kepada
Soekarno, baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hartini selalu tahu
unggah-ungguh baik saat bersantai, resmi, atau saat memadu cinta dengan
Soekarno.
“Saya cinta pada orangnya, pada Soekarnonya, bukan pada presidennya..
Saya akan perlihatkan kepada masyarakat bahwa saya bisa setia, dan akan
mendampingi Soekarno dalam keadaan apapun juga , juga dalam kedudukanya” – Hartini
Namun kisah cinta Soekarno tak
habis di keduanya (Inggit dan Hartini) masih ada the first lady ibu Fatmawati
yang resmi menjadi istri presiden pertama Indonesia itu. Setelah Hartini yang
setia itu juga masih ada pramugari cantik bernama Kartini Menoppo yang di
Peristri Soekarno ditahun 1959. Pun yang terjadi dengan gadis jepang Naoko
Nemato yang kelak dikenal dengan nama Ratna Sari Dewi juga dinikahi tiga tahun
berselang . Setahun kemudian giliran penari Istana Haryanti yang di peristri
Soekarno, namanya Haryanti, yang tiga tahun kemudian akhirnya diceraikan
Soekarno dengan alasan sudah tidak cocok ― dengan mudahnya seperti itu.
Belum berakhir, kisah cinta
Soekarno masih berlanjut ke dua gadis barisan muda Bhineka Tunggal Ika, kedua
gadis yang beruntung masuk buku sejarah itu adalah Yurike Sanger dan Heldy
Fajar. Saya sebut gadis karena saat dinikahi sang proklamator usia kedua gadis
itu adalah 18 tahun sedangkan Soekarno berumur sekitar 65 tahun.
Pada akhirnya cinta tak senantiasa berjalan semudah dan seindah seperti dikisahkan, ketika sebagian
besar dari kita menganggap pernikahaan adalah hal yang dilakukan sekali seumur
hidup ―
yang membedakannya dengan masa pacaran. Kemudian merawat kisah itu sepenuh hati
karena memang sekali seumur hidup. Namun ada pula sebagian kecil yang lain
menganggap hal yang dilakukan Soekarno ini adalah hal yang wajar, meski wajar juga
tak selalu berarti benar.
Sebenarnya saya berbohong
mengenai sedikitnya tulisan mengenai kisah cinta Bung Karno, sama seperti
motivasi saya dalam menulis essai ini. Namun, setidaknya saya kembali tertarik pada sejarah berkat kisah cinta Soekarno ini.
0 komentar:
Post a Comment