13 July 2013

Soekarno Le Grand Séducteur (Part 2)



Kalau aku pilek, aku ingin dipijatnya, kalau aku lapar aku ingin makan makanan yang dimasaknya sendiri, manakala bajuku koyak aku ingin istriiku sendiri yang menjahitnya, dengan Oetari keadaanya terbalik. Aku yang menjadi orangtuanya dan dia sebagai anak.

Begitulah kekecewaan Soekarno muda terhadap Oetari, istri pertama yang dinikahinya. Lebih jauh beliau menuturkan ketidakbahagiaannya bersama istri pertamanya tersebut ketika menuturkan sementara ia belajar dan sedikit bekerja untuk menghidupi dirinya dan istrinya di Bandung, Oetari sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dengan kawan-kawanya di pekarangan belakang rumah Haji Sanusi tempat mereka berdua menginap di Bandung. Bahkan selama menikah dengan Oetari, Soekarno tak melakukan hubungan badan layaknya suami-istri kebanyakan. Tak berapa lama berselang, Soekarno mengutarakan niatanya untuk berpisah dengan kepada ayah Oetari, Tjokroaminoto mengenai kisahnya dengan Oetari dan akhirnya keduanya berpisah. 

Pertanyaan saya setelah membaca kisah tersebut adalah, kenapa Soekarno memilih mengakhiri dengan Oetari setelah sederetan ketidaknyamanan melanda hubungan mereka? Kenapa beliau tidak mencoba memperbaiki hubungan mereka, entah dengan cara apapun ― saya bukan seorang konsultan asmara dan tak ada pula niatan menghakimi beliau. Bukankah jika menjalin hubungan itu didasarkan oleh keputusan dan keyakinan bersama, maka jika keyakinan itu masih ada seharusnya ada keinginan untuk keluar dari ketidaknyamaan tersebut. Hal yang berbeda jika sedari awal keputusan menjalin hubungan tidak dilakukan oleh dua pihak dan keyakinan Soekarno terhadap Oetari, ataupun sebaliknya, karena pada sebagian literatur sejarah menyebutkan Soekarno menikahi Oetari hanya karena belas kasihan terhadap keluarga Tjokroaminoto.

Setelah berpisah dari Oetari, Soekarno pun lekas menemukan tambatan hatinya, namanya Inggit Garnasih, yang ternyata bukan orang jauh, melainkan ibu kos dari Soekarno saat tinggal di Bandung. Inggit telah menikah dengan Haji Sanusi. Kata dosen saya sebenarnya hanya dua istri Soekarno yang amat di cintainya, dia adalah Inggit dan Hartini. Hingga pencarian saya mengenai alasan kenapa dosen saya berujar seperti itu, kini membuahkan hasil dengan temuan satu paragraf di buku The Love Story of Bung Karno karangan Ipnu Rinto yang membuat saya takjub.

Setelah menikah dengan Soekarno, Inggit memberi segalanya untuk suami. Kepandaianya menjahit pakaian, menjual kutang, bedak, rokok, meramu jamu dan menjadi agen sabun kecil-kecilan terus dimanfaatkan untuk mencari uang untuk dirinya dan Soekarno. Sementara itu keberhasilan Soekarno menamatkan studinya di THS, membuat inggit senang tak terkira. Bagi Inggit, kesuksesan Soekarno meraih gelar insinyur merupakan salah satu bukti keberhasilanya mendampingi Soekarno.

Saya langsung ingat pada kutipan dari seseorang yang sering saya katakan: Membina hubungan itu seperti layaknya berada di atas prahu berdua. Satu mendayung, satunya lagi menentukan arah. Kalian bisa bertukar posisi kapan saja, tapi tidak akan bisa melakukan keduanya sekaligus.

Sedangkan kekaguman saya pada Hartini berhasil saya temukan pada paragraf ini (dari buku yang sama).
Hartini tau betul bahwa Soekarno adalah seorang pria beristri. Hartini pun meminta waktu untuk berpikir ketika dipinang Soekarno. Dalam penantianya tersebut, Hartini semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Soekarno. Hartini pun tak bisa terlalu lama membohongi perasaanya, hingga akhirnya menerima pinangan Soekarno tapi dengan satu syarat. Hartini berkatakepada Soekarno, “Ibu Fat tetap First lady, saya istri kedua saja. Saya tidak mau ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”

Beberapa sahabat Soekarno menyebutkan bahwa Hartini merupakan pasangan terbaik bagi Soekarno. Hal itu bisa dilihat dari sikap dan tata bahasa Hartini yang sangat santun kepada Soekarno, baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hartini selalu tahu unggah-ungguh baik saat bersantai, resmi, atau saat memadu cinta dengan Soekarno.

“Saya cinta pada orangnya, pada Soekarnonya, bukan pada presidennya.. Saya akan perlihatkan kepada masyarakat bahwa saya bisa setia, dan akan mendampingi Soekarno dalam keadaan apapun juga , juga dalam kedudukanya” – Hartini 

Namun kisah cinta Soekarno tak habis di keduanya (Inggit dan Hartini) masih ada the first lady ibu Fatmawati yang resmi menjadi istri presiden pertama Indonesia itu. Setelah Hartini yang setia itu juga masih ada pramugari cantik bernama Kartini Menoppo yang di Peristri Soekarno ditahun 1959. Pun yang terjadi dengan gadis jepang Naoko Nemato yang kelak dikenal dengan nama Ratna Sari Dewi juga dinikahi tiga tahun berselang . Setahun kemudian giliran penari Istana Haryanti yang di peristri Soekarno, namanya Haryanti, yang tiga tahun kemudian akhirnya diceraikan Soekarno dengan alasan sudah tidak cocok ― dengan mudahnya seperti itu. 

Belum berakhir, kisah cinta Soekarno masih berlanjut ke dua gadis barisan muda Bhineka Tunggal Ika, kedua gadis yang beruntung masuk buku sejarah itu adalah Yurike Sanger dan Heldy Fajar. Saya sebut gadis karena saat dinikahi sang proklamator usia kedua gadis itu adalah 18 tahun sedangkan Soekarno berumur sekitar 65 tahun.

Pada akhirnya cinta tak senantiasa berjalan semudah dan seindah seperti dikisahkan, ketika sebagian besar dari kita menganggap pernikahaan adalah hal yang dilakukan sekali seumur hidup ― yang membedakannya dengan masa pacaran. Kemudian merawat kisah itu sepenuh hati karena memang sekali seumur hidup. Namun ada pula sebagian kecil yang lain menganggap hal yang dilakukan Soekarno ini adalah hal yang wajar, meski wajar juga tak selalu berarti benar.

Sebenarnya saya berbohong mengenai sedikitnya tulisan mengenai kisah cinta Bung Karno, sama seperti motivasi saya dalam menulis essai ini. Namun, setidaknya saya kembali tertarik pada sejarah berkat kisah cinta Soekarno ini.

0 komentar:

Post a Comment