Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja...
Judul tulisan ini memang sengaja dibuat berbeda dengan lirik lagu dibawahnya. Bukan karena saya yang masih terpesona dengan suara seseorang wanita yang mengunggah lagu yang dipopulerkan oleh Raisa tersebut ke situs Cloud Coumputing berbasis suara. Namun jika saya boleh ber-alasan, hal ini hanya untuk kepentingan me-match-kan dengan postingan sebelum ini saja.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya selalu sedih tiap kali memutuskan untuk kembali ke Jogjakarta dari kota kelahiran saya Pekalongan. Hati saya selalu tak tega melihat ibu saya yang harus pura-pura kuat melepas saya kembali menuntut ilmu di kota pelajar ini. Sangat tergambar jelas raut muka ibu saya yang melambaikan tangan di depan pintu rumah, kemudian berjalan sampai pagar hanya untuk melihat saya sampai menghilang di perempatan. Saya malah terkadang sering menitikkan air mata dalam perjalanan menuju Jogja ketika membayangkan kesepian dan kehampaan ibu saya menghabiskan waktu sendirian sepanjang hari dirumah tua kami. Sesampainya di Jogja pun saya pasti lekas menyibukkan diri sebagai ritual untuk melupakan apa yang dirasakan ibu saya, kesibukan yang membungkus perasaan rasa bersalah terhadap orang tua.
Namun yang terjadi dua hari yang lalu sedikit berbeda. Kali itu saya berjalan mondar-mandir di dalam rumah tua saya, dengan fokus yang berganti-ganti seperti bergantinya pandangan mata saya menyapu beberapa sudut ruangan di rumah saya. Malam itu saya sedang menunggu teman saya yang meminta saya untuk menjadi tour guide dalam lawatanya ke kota Jogja. Rupanya aktivitas mondar-mandir dan mudahnya berganti fokus kala itu adalah manifestasi perasan saya antara perasaan yang saya alami sekitar dua tahun lalu itu dengan perasaan antusias saya kembali ke kota pelajar setelah 5 hari saya berada dirumah. Sebenarnya 5 hari bukanlah waktu yang lama, perasaan rindu yang membuatnya terasa lama.
Malam ini pun seakan menjadi puncak dari cerita panjang ini, katika saya memilih mengabadikan perasan saya ini secepatnya, ketimbang untuk berbaring dan menyimpan tenaga karena besok musti harus kembali ke kota kelahiran saya, Pekalongan lagi. Meski saya belum akan meninggalkan kota ini (menyelesaikan pendidikan sarjana saya dan berpindah ke kota lain) dalam waktu singkat ― saya bahkan belum tau kapan, tapi nampaknya saya membenarkan kata-kata dosen pembimbing skripsi saya saat memberikan wejangan kepada mahasiswanya “Manfaatkan waktu sebaik mungkin saat kalian jadi mahasiswa, kelak ketika kelulusan sudah didepan mata, kalian akan merasakan kegalauan yang amat sangat, karena semuanya akan berubah seketika”
Orang-orang yang saya temui dua hari ini pun mendadak menjadi seperti
malaikat yang meperlihatkan raut wajah seraya mengingatkanku atas pencapaian
selama ini. Bagaimana orang-orang di pelayanan kuliah menggoda saya dengan
gurauan-gurauan yang sebenarnya biasa saja tapi entah kenapa terasa begitu
akrab. Para penjual Burjo langganan saya yang tersenyum penuh
makna beberapa jam yang lalu, seperti mengingatkanku pada berapa puluh Nasi Ayam,
Nasi Telor dan Gorengan yang saya pesan selama kurang lebih empat tahun ini. Bahkan Masjid Kampus saya berdiri
diap tanpa raut ekspresi ataupun berusaha menguraui saya pun jum’at lalu
mengingatkan saya pada moment 6 tahun yang lalu ketika saya berdoa agar bisa
diberi kesempatan kembali beribadah di masjid ini lagi, yang pada akhirnya saya
akan mengenang doa itu sebagai alasan kenapa saya berada di masjid itu.
Ah, semoga saja ini semua hanya karena tanda tangan saya yang
menyerupai tiga huruf awal nama saya. Padahal kata seorang ahli pembaca tulisan
tangan, tanda tangan yang diawali dengan huruf awal dari nama adalah tanda
bahwa orang tersebut selalu meletakkan aktivitas nostalgia di tempat yang
tinggi ―sedangkan
tanda tangan saya tak hanya menyerupai satu huruf awal nama saya, tetapi tiga
huruf awal sekaligus. Mungkin bisa dibayangkan hidup saya yang selalu
melompat-lompat dari nostalgia yang satu ke nostalgia yang lain, seakan hidup
adalah rangkaian mengoreskan hidup baru dan mengenangnya, begitu seterusnya,
berulang-ulang. Saya harus mengganti tanda tangan saya.
Pada akhirnya, malam ini saya sangat mengerti kenapa lirik lagu Kla
Project di awal tulisan ini menggunakan kata ‘pulang ke kotamu’ karena setiap
orang yang datang ke jogja akan disambut layaknya seseorang yang pulang ke
tanah kelahiranya, kota ini menyapa dengan tangan terbuka sembari mengingatkan
darimana kita berasal, karena Jogja terbuat dari rindu, angkringan dan
keramah-tamahan.
Semoga saya tak berlebihan jika saya mengucapkan: saya mencintai kota
ini seperti cinta saya pada kota kelahiran saya.
0 komentar:
Post a Comment