09 August 2013
Siaga 1 Fans Manchester United
1:27 AM
1 comment
"It's an honour
United makes two bids, but there have been no talks. I didn't talk with any
club since I joined Barça two years ago. My dream has always been to play at Barça and nothing has changed. I'm
very, very happy here and I never thought about leaving" – Cesc
Fabregas
Seharusnya setelah mendengar
kalimat dari bintang iklan Biskuat itu, perasaan David Moyes hancur seperti
saat dirinya masih muda dan mencoba melamar gadis impianya namun gadis itu
menolaknya. Tentunya Fabregas bukanlah seorang gadis yang hanya ingin menguji
seberapa jauh usaha, perjuangan dari laki-lakinya dalam menggapai dirinya. Kecil
pula kemungkinan Fabregas akan merasa kasihan pada Moyes setelah beberapakali
tawaran dan menyetujui untuk menjalin hubungan bersama. Ini bukan cerita romantisme
percintaan cinta Abelard dan Heloise, namun bagi saya ini bak kisah mitologi
Yunani antara dewa musik Apollo dengan Dafne adalah putri dari dewa sungai
Peneus.
Jawaban dari bidikan utama Moyes
di bursa transfer perdananya bersama Manchester United itu sangatlah jelas, tak
lagi tersirat. Maka akan terlihat bodoh jika Moyes terus ngotot mendapatkan
tanda tangan mantan kapten Arsenal tersebut. Itu artinya bursa tranfer United
era Moyes hanyalah cerita tentang penolakan. Setelah Kevin Strootman lebih
memilih AS Roma ketimbang United, Thiago Alcantara yang melipir ke sekumpulan alien di Jerman, Bayern Munich. Kini United harus
kembali mengalami penolakan oleh Cesc Fabregas, meski kali ini alasan
penolakanya bukan berpindah ke lain hati, namun Fabregas mendadak menyanyikan lagu Fatin Sidqia, “Maafkan
diriku memilih setia... Walaupun ku tahu cintamu lebih besar darinya... ”
Beberapa hari yang lalu, saya
terjebak pada sebuah perdebatan di jejaring sosial mengenai seberapa perlukah
Fabregas bagi kebutuhan tim saat ini. Topik yang sengaja dilontarkan oleh akun
fanbase (non official) United berbahasa Indonesia dalam memperingati saga
tranfer Cesc Fabregas. Saya tak mau terjebak pada debat antara pihak yang tahu
dan yang tidak, karena hal ini bukan semata persoalan kebutuhan dalam tim. Lebih
jauh lagi, prosesi bursa tranfer bagi tim-tim besar (atau yang berambisi jadi
besar) juga bermakna sebagai kebutuhan flagship,
pencitraan, atau sekedar pengukuran seberapa mampu sebuah tim merekrut
pemain.
Masih ingatkah dengan aktivitas
transfer Real Madrid pada era Los Galacticos jilid 1? Jika alasan kebutuhan dan
kekuatan tim, seharusnya Real Madrid tak harus membelanjakan banyak kas-nya
hanya untuk mempertemukan Zenedine Zidan, Ronaldo, Luis Figo, dan David Beckham
dalam satu hamparan rumput yang sama. Bahkan yang terbaru bisa tanyakan pada Sandro
Rosell, kenapa dirinya ngotot mendatangkan Neymar dari Santos, atau jika
menjadi kenyataan, tanyakan urgensi Real Madrid mendatangkan Garreth Bale, saat
mereka masih memiliki C. Ronaldo, Mesut Ozil, dan Angel Di Maria. Benarkah kebutuhan
tim?
Bagi saya ini semacam early warning system bagi seluruh
keluarga besar Manchester United. Saya sebut demikian karena serangkaian
kegagalan di bursa transfer kali ini sejalan dengan pencapaian tim pada tur pra-musim. Meski hanya bertajuk pemanasan, rapor 2 kali kemenangan, 2 kali seri,
dan 2 kali menelan kekalahan, bukanlah hasil yang melegakan. Jika Moyes masih
berdalih skuad yang ia turunkan belumlah yang utama, para pemain belum mencapai
level kebugaran yang optimal, sang lawan juga demikian, lawan united di laga
pramusim kali ini jika mau tega bisa dibilang beberapa level dibawah united, bahkan
ada tim yang baru dibentuk beberapa minggu khusus untuk menghadapi United. Terlalu
kejam jika ini semua ditumpahkan kepada pelatih anyar David Moyes, karena ini
bukan keraguan terhadap kapasitas dirinya, namun lebih besar lagi keraguan pada
Manchester United
Dua hari lagi Manchester United akan
menghadapi Wigan di Community Shield, kemudian tujuh hari berselang dari laga
versus Wigan itu genderang perang Liga Inggris pun di mulai. Artinya tak banyak
waktu lagi untuk berbenah dan berburu pemain ― meski masa transfer window
masih dibuka sampai September mendatang. Kemungkinan besar laga di Community Shield
dua hari lagi ini menjadi penentu harapan para fans untuk musim mendatang,
optimisme atau pesimisme bisa direvisi saat laga itu.
Saya tak menyarankan Fans United
untuk ragu pada tim kesayanganya. Saya hanya ingin para fans merevisi harapanya
pada musim mendatang. Karena layaknya di kehidupan nyata, kebanyakan orang
jatuh karena tak pandai mengelola harapannya. Percaya diri itu penting, tapi
sadar (akan kekuatan) diri sendiri lebih penting.
Rasa-rasanya saya mesti bersyukur
tak banyak pertandingan Liga Inggris yang disiarkan televisi non-berbayar,
karena saya dan pendukung United lainya tak akan sering di ejek oleh para awam
sepakbola kala musim 2013/14 bergulir nanti.
Sir Alex pun berujar: Piye Kabare, Enak Jamanku Toh?
07 August 2013
Tentang Keluarga, Mudik, dan Kerinduan Primordial
10:00 PM
1 comment
“Hikmat kebijaksanaan para pemudik adalah pulang ke haribaan asal usul, tanah kelahiran, puak yang melahirkan dan membesarkannya, juga kenangan masa kecil yang tak ternilai harganya. Dan ini momen yang spesifik, merujuk pada waktu yang khusus, bukan sembarang waktu” ― Zenrs
Kutipan diatas saya ambil dari
sebuah esai karangan Zenrs di Yahoo yang berjudul: Mudik ke Haribaan Mata Air,
dalam karangan bebasnya itu ia mencoba menganalogikan mudik dengan menggunakan
pergerakan air dari mata air di pegunungan menuju laut melalui sungai sebagai
metafora, udik adalah hulu dan rantau adalah muara. Maka perjalanan mudik, atau
meng-udik, adalah gerak dari muara untuk pulang ke pangkuan hulu. Mudik sesungguhnya adalah aktivitas
melawan arus.
Entah sejak kapan saya tumbuh menjadi
penikmat mudik dan kini berujung pada pencarian makna filosofis - artifisial
mengenai momen dimana ada perpindahan penduduk yang sangat besar dalam kurun hanya
waktu satu minggu itu ― bahkan konon perpindahan penduduk terbesar didunia. Sekitar 35
juta orang melakukan perpindahan tempat dan kembali ketempat semula dalam waktu
yang relatif singkat. Sebuah angka yang luar biasa menurut saya, karena jumlah
penduduk negara tetangga kita saja, Malaysia, Singapura, Brunei dan Timor Leste
jika digabungkan hanya sekitar 27 juta. Saking menikmatinya saya bercita-cita
melakukan mudik dengan keluarga suatu saat nanti, tentunya jika saya masih
memiliki tempat berpulang.
Oleh karena itu saya merasa
tertantang untuk menemukan arti mudik bagi saya. Maka sore tadi saya langsung mencoba
melakukan apa yang khalayak lakukan ketika menjelang hari raya itu, yaitu
berkunjung ke tempat saudara, orang tua (baik kandung atau mertua) dan kerabat
yang lain. Dengan menggunakan baju putih dan sarung saya bergegas memacu sepeda
motor matik saya menuju suatu rumah. Rumah yang akan saya kunjungi itu bukanlah
rumah dari orang jauh, melainkan rumah baru Ayah saya. Beberapa menit berselang
sayapun sudah sampai dirumah Ayah saya, kebetulan jika musim lebaran seperti
ini rumah ayah saya ramai dikunjungi orang.
Saya pun langsung duduk diantara
dua nisan yang bertuliskan nama Ayah saya.
Ya mudik saya kali ini merupakan
suatu kontemplasi mendalam terhadap keluarga saya. Sebelum saya berkomunikasi
dengan Ayah saya, saya sempat memandangi sekeliling rumah itu. Nampak banyak
orang yang seperti saya membawa buku doa kecil, kantong kresek hitam yang berisi
bunga, dan beberapa ada yang membawa botol air. Meski ramai pengunjung, saya
sempat merasakan kedamaian di rumah itu ― mungkin karena banyak orang, kalau tak
banyak orang saya tentu tak berani mengatakan demikian. Batinku berbisik jadi ini suasana
rumah setiap orang ketika kembali ke haribaan, tempat kembali yang paling
kembali.
Perjalanan spiritual sore tadi
membawa saya ke kerinduan primodial. Maka sayapun teringat semuanya mengenai
keluarga saya. Dimana keluarga inti saya tak banyak, bahkan bisa dikatakan
sedikit sejak Ayah pindah ke rumah barunya. Kini hanya tinggal ibu, kakak, dan saya.
Bahkan saat saya menulis tulisan ini, saya hanya berdua dengan ibu saya, sedang
kakak saya berada sekitar 195 kilometer jauhnya dari tempat ini.
Pada berbagai kesempatan, saya juga sering menceritakan keluarga saya ―
tentunya bukan dalam rangka menjual penderitaan atau meminta belas
kasihan. Orang-orang yang mendengar cerita saya biasanya kagum (secara
formalitas) dan memuji keberuntungan keluarga saya. Namun bagi saya, keluarga saya bukanlah keluarga
yang sempurna. Premis itulah yang saya pahami, yakini, dan coba saya maknai
pada perjalanan spiritual saya sore tadi.
Setidaknya ada tiga hal dalam ingatan
saya yang dapat digunakan sebagai alasan kenapa saya menyebut demikian. Pertama
keluarga saya tak mengajarkan meminta maaf secara langsung, ini jelas
melahirkan pribadi-pribadi dengan ego yang tinggi jika dilestarikan. Kedua, cukup konservatif, saya tak tau
bagaimana menjelaskan hal ini kedalam kata-kata. Ketiga, yang paling saya resahkan selama ini, keluarga ini tak
terbiasa mengungkapkan perasaan cinta, asmara, atau sejenisnya secara gamblang.
Berbicara cinta di keluarga saya lebih tabu daripada berbicara politik dan
kekinian yang lain. Saya pun lantas berniat belajar dari kekurangan keluarga saya.
Terlepas
beberapa kekurangan. Keluarga bagi saya adalah seperti karet gelang
yang mengikat jari-jari. Karet gelang terdiri dari berbagai macam
ukuran, dari yang besar hingga yang kecil, dari yang tebal hingga yang
tipis, dimana karet gelang tentu memiliki daya lentur yang beragam pula,
ada yang kuat, ada yang daya lenturnya lemah, dan adapula karet gelang
yang kaku dan mudah putus. Sedangkan jari kita bisa saja menyatu
ditengah, bisa saja menyebar ke segala penjuru telapak tangan. Nah,
peran keluarga seperti karet gelang yang mengikat jari-jari,
mengembalikan jari tangan yang bergerak menjauh untuk merapat ke tengah.
Namun ada kalanya benda temuan Stephen Perry itu tak mampu
mengembalikan jari-jari ke tengah atau bahkan bisa putus jika ada jari
yang terlalu jauh meninggalkan titik tengahnya. Tapi ini hanya analogi
tak ada yang mengikat karet gelang di jari-jarinya, kecuali anak kecil.
Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya.
Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya.
Pada akhirnya waktu terus
berjalan. Membawa kepingan usia untuk tak lagi muda. Saya, kakak, dan ibu saya atau
saudara yang lain takkan selalu berdiri di tempat yang sama, di usia yang sama.
Akan ada perubahan dalam diri mereka. Seperti menua, menikah atau meninggal. Saya
harus bersiap untuk perubahan yang tak mengenakkan, seperti tak memiliki tempat
untuk meng-udik.
Saya tak bisa bercanda ketika
membicarakan hal ini, karena gema Takbir menemani saya dalam menulis tulisan pengganti
tidur ini sementara ibu saya sedang mengolesi roti untuk dibawa ke surau
sehabis sholat ied nanti.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434.
Semoga orang-orang yang telah lebih
dulu mudik ke haribaan Tuhan, dapat merasakan kemeriahan hari ini. :)
01 August 2013
Ketika Tuhan Menertawai Saya
11:38 AM
0 comments
“Saat manusia
berpikir, Tuhan justru sedang tertawa” – Milan Kundera
Akhir-akhir ini teman saya yang memiliki
leissure time lebih banyak dalam
proporsi tiap harinya seringkali bergumam: Kalau menganggur begini pikiran jadi
macam-macam, kadang tak terkendalikan. Saya pun begitu.
Sungguh ini bukan merupakan
tulisan penyadaran diri mengenai bahaya pengangguran, namun saya hanya ingin
menyambungkan dengan pernyataan Milan Kundera diatas, yang sebenarnya ia kutip
dari salah satu sastra kaum Yahudi kuno. Kalimatnya sederhana, namun membawa
banyak pesan didalamnya. Beberapa sastrawan lain dalam monolognya mengartikanya
ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya. Sebab, semakin manusia
berpikir, semakin pikiran seseorang terpisah dari lainnya.
Saya pun langsung membayangkan apa yang terjadi jika sastra berhasil
bergabung bersama ilmu psikologi dan rasionalitas ilmu ekonomi.
Saya sebenarnya cukup sebal
dengan para sastrawan, mereka seringkali membuat sesuatu apa yang ada di
kepalanya sendiri, lalu dituankanya sesuka hati, dan kemudian memaksa
pembacanya untuk memahami apa yang ada di dalam kepala sastrawan tersebut. Saya
menyebutnya sebuah-pemaksaan-tersirat-akan-makna-dan-kedalaman. Belum lagi mengenai
puisi, deretan kata yang tak saling terhubung, beberapa diantaranya bersajak, dan
konon memiliki makna itu. Sepanjang hidup saya tak pernah menyukai hal-hal
tersirat seperti itu ― meski saya terkadang masih sering khilaf melakukannya.
Namun dalam proses penolakan saya
tersebut, saya kini justru terjebak dengan tulisan-tulisan lepas yang memadukan
berbagai perspektif, lugas dan ringan seperti bahasa surat kabar, namun dengan
pemilihan diksi yang amat kaya sehingga menambah kadar keindahan seperti karya
sastra. Saya sebut karya seperti itu dengan jurnalis semi sastra ―
ini
hanya sebutan saya saja, istilah yang sengaja saya ciptalan agar tidak
menimbulkan dikotomi sastra modern dan klasik. Entah kenapa tulisan
seperti ini banyak sekali saya temukan setahun belakangan ini. Sedangkan
sesuatu yang sering kita jumpai biasanya menimbulkan daya tarik
tersendiri,
atau hanya saya yang puber intelektual.
Setelah saya tertarik pada tulisan
jurnalis semi sastra itu, kemudian saya menjadi tertarik kepada personaliti
penulisnya. Seakan ada yang menuntun saya untuk membuktikan personaliti dengan
gaya menulis seseorang. Saya ingin melihat bagaimana orang dengan kemampuan
menulis yang luar biasa itu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya secara
lisan. Berhubung dalam benak saya masih terngiang-ngiang mengenai Skripsi maka pertanyaan
penelitian saya adalah apakah kemampuan menulis sama baiknya dengan kemampuan
berbicara?
Kebetulan bebrapa waktu lalu, teman
saya mengritik pembawaan seorang jurnalis semi sastra favorit saya yang
terlihat mengebu-gebu di layar kaca. Beberapa jurnalis semi sastra lain yang pernah
ada di layar kaca juga sering terlihat seperti kehilangan sentuhan magisnya dalam
mengolah kata. Entah persoalan media menuangkan ide atau cara yang berbeda,
mereka terbata-bata didepan layar kaca. Namun pembelaan saya pada mereka jelas
karena faktor kemampuan saja, bukan masalah ideologis.
Akhirnya keingintahuan saya berujung
pada sebuah hipotesis, seorang penulis yang baik, tidak selalu merupakan
pembicara yang baik. Seandainya ada yang memiliki keduanya, bisa jadi ia bukan
pemikir yang baik. Sulit menemukan tiganya dalam satu paket.
Perbedaan dimensi ketiganya membawa
sekat-sekat tersendiri pada persepsi saya. Sebab-musabab dari keahlian tersebut
pun menurut saya berbeda. Saya berani bertaruh seorang penulis yang hebat pasti
adalah seorang pembaca yang hebat juga. Sedangkan para pembicara yang baik,
juga bisa menjadi pendengar yang sama baiknya. Sedangkan para pemikir adalah
yang mampu melihat dengan jeli apa yang tak terlihat oleh orang lain.
Kebenaran hipotesis saya pun
sudah sejatinya diragukan, karena ini hanya pekerjaan pemilik waktu senggang
saja.
Jelas saya bukan seorang penulis
yang baik. Saya juga bermasalah ketika berbicara didepan khalayak. Kebiasaan
saya memikirkan banyak hal kecil juga membuat hidup saya terkadang tak terlalu
nyaman. Memikirkan pikiran orang lain ketika memikirkan sesuatu salah satunya,
akan membawa keruwetan tersendiri dalam kepala saya seperti awal kalimat ini
ketika anda baca. Sebaliknya saya sepakat dengan Daniel Atlas mengenai kegagalan
melihat gambaran besar karena saya melihat terlalu dekat.
Sepertinya saya lebih baik saya
berhenti memikirkan hal ini, daripada saya ditertawai Tuhan terus-menerus.