ENERGY ECONOMICS

"Dan mengenai minyak ini, terserah pada diri kita sendiri apakah mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkanya, unuk kita" - Ibnu Sutowo, Mantan Dirut Pertamina

PHOTOGRAPHY

"There is only you and your camera. The limitations in your photography are in yourself, for what we see is what we are" - Ernst Haas

TRAVELLING

"Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life " - 500 days of summer

FOOTBALL

"The game of life is a lot like football. You have to tackle your problems, block your fears, and score your points when you get the opportunity" - Lewis Grizzard

ECONOMICS

"Banyak intelektual menganggap bahwa merupakan suatu kejahatan tingkat tinggi, apabila seorang ilmuan menulis terlalu indah bagaikan seniman" - Paul Samuelson

09 August 2013

Siaga 1 Fans Manchester United


"It's an honour United makes two bids, but there have been no talks. I didn't talk with any club since I joined Barça two years ago. My dream has always been to play at Barça and nothing has changed. I'm very, very happy here and I never thought about leaving" – Cesc Fabregas

Seharusnya setelah mendengar kalimat dari bintang iklan Biskuat itu, perasaan David Moyes hancur seperti saat dirinya masih muda dan mencoba melamar gadis impianya namun gadis itu menolaknya. Tentunya Fabregas bukanlah seorang gadis yang hanya ingin menguji seberapa jauh usaha, perjuangan dari laki-lakinya dalam menggapai dirinya. Kecil pula kemungkinan Fabregas akan merasa kasihan pada Moyes setelah beberapakali tawaran dan menyetujui untuk menjalin hubungan bersama. Ini bukan cerita romantisme percintaan cinta Abelard dan Heloise, namun bagi saya ini bak kisah mitologi Yunani antara dewa musik Apollo dengan Dafne adalah putri dari dewa sungai Peneus.

Jawaban dari bidikan utama Moyes di bursa transfer perdananya bersama Manchester United itu sangatlah jelas, tak lagi tersirat. Maka akan terlihat bodoh jika Moyes terus ngotot mendapatkan tanda tangan mantan kapten Arsenal tersebut. Itu artinya bursa tranfer United era Moyes hanyalah cerita tentang penolakan. Setelah Kevin Strootman lebih memilih AS Roma ketimbang United, Thiago Alcantara yang melipir ke sekumpulan alien di Jerman, Bayern Munich. Kini United harus kembali mengalami penolakan oleh Cesc Fabregas, meski kali ini alasan penolakanya bukan berpindah ke lain hati, namun Fabregas mendadak menyanyikan lagu Fatin Sidqia, “Maafkan diriku memilih setia... Walaupun ku tahu cintamu lebih besar darinya...

Beberapa hari yang lalu, saya terjebak pada sebuah perdebatan di jejaring sosial mengenai seberapa perlukah Fabregas bagi kebutuhan tim saat ini. Topik yang sengaja dilontarkan oleh akun fanbase (non official) United berbahasa Indonesia dalam memperingati saga tranfer Cesc Fabregas. Saya tak mau terjebak pada debat antara pihak yang tahu dan yang tidak, karena hal ini bukan semata persoalan kebutuhan dalam tim. Lebih jauh lagi, prosesi bursa tranfer bagi tim-tim besar (atau yang berambisi jadi besar) juga bermakna sebagai kebutuhan flagship, pencitraan, atau sekedar pengukuran seberapa mampu sebuah tim merekrut pemain.

Masih ingatkah dengan aktivitas transfer Real Madrid pada era Los Galacticos jilid 1? Jika alasan kebutuhan dan kekuatan tim, seharusnya Real Madrid tak harus membelanjakan banyak kas-nya hanya untuk mempertemukan Zenedine Zidan, Ronaldo, Luis Figo, dan David Beckham dalam satu hamparan rumput yang sama. Bahkan yang terbaru bisa tanyakan pada Sandro Rosell, kenapa dirinya ngotot mendatangkan Neymar dari Santos, atau jika menjadi kenyataan, tanyakan urgensi Real Madrid mendatangkan Garreth Bale, saat mereka masih memiliki C. Ronaldo, Mesut Ozil, dan Angel Di Maria. Benarkah kebutuhan tim?

Bagi saya ini semacam early warning system bagi seluruh keluarga besar Manchester United. Saya sebut demikian karena serangkaian kegagalan di bursa transfer kali ini sejalan dengan pencapaian tim pada tur pra-musim. Meski hanya bertajuk pemanasan, rapor 2 kali kemenangan, 2 kali seri, dan 2 kali menelan kekalahan, bukanlah hasil yang melegakan. Jika Moyes masih berdalih skuad yang ia turunkan belumlah yang utama, para pemain belum mencapai level kebugaran yang optimal, sang lawan juga demikian, lawan united di laga pramusim kali ini jika mau tega bisa dibilang beberapa level dibawah united, bahkan ada tim yang baru dibentuk beberapa minggu khusus untuk menghadapi United. Terlalu kejam jika ini semua ditumpahkan kepada pelatih anyar David Moyes, karena ini bukan keraguan terhadap kapasitas dirinya, namun lebih besar lagi keraguan pada Manchester United

Dua hari lagi Manchester United akan menghadapi Wigan di Community Shield, kemudian tujuh hari berselang dari laga versus Wigan itu genderang perang Liga Inggris pun di mulai. Artinya tak banyak waktu lagi untuk berbenah dan berburu pemain meski masa transfer window masih dibuka sampai September mendatang. Kemungkinan besar laga di Community Shield dua hari lagi ini menjadi penentu harapan para fans untuk musim mendatang, optimisme atau pesimisme bisa direvisi saat laga itu.

Saya tak menyarankan Fans United untuk ragu pada tim kesayanganya. Saya hanya ingin para fans merevisi harapanya pada musim mendatang. Karena layaknya di kehidupan nyata, kebanyakan orang jatuh karena tak pandai mengelola harapannya. Percaya diri itu penting, tapi sadar (akan kekuatan) diri sendiri lebih penting. 

Rasa-rasanya saya mesti bersyukur tak banyak pertandingan Liga Inggris yang disiarkan televisi non-berbayar, karena saya dan pendukung United lainya tak akan sering di ejek oleh para awam sepakbola kala musim 2013/14 bergulir nanti.

Sir Alex pun berujar: Piye Kabare, Enak Jamanku Toh?

07 August 2013

Tentang Keluarga, Mudik, dan Kerinduan Primordial


Hikmat kebijaksanaan para pemudik adalah pulang ke haribaan asal usul, tanah kelahiran, puak yang melahirkan dan membesarkannya, juga kenangan masa kecil yang tak ternilai harganya. Dan ini momen yang spesifik, merujuk pada waktu yang khusus, bukan sembarang waktu Zenrs

Kutipan diatas saya ambil dari sebuah esai karangan Zenrs di Yahoo yang berjudul: Mudik ke Haribaan Mata Air, dalam karangan bebasnya itu ia mencoba menganalogikan mudik dengan menggunakan pergerakan air dari mata air di pegunungan menuju laut melalui sungai sebagai metafora, udik adalah hulu dan rantau adalah muara. Maka perjalanan mudik, atau meng-udik, adalah gerak dari muara untuk pulang ke pangkuan hulu. Mudik sesungguhnya adalah aktivitas melawan arus.

Entah sejak kapan saya tumbuh menjadi penikmat mudik dan kini berujung pada pencarian makna filosofis - artifisial mengenai momen dimana ada perpindahan penduduk yang sangat besar dalam kurun hanya waktu satu minggu itu ― bahkan konon perpindahan penduduk terbesar didunia. Sekitar 35 juta orang melakukan perpindahan tempat dan kembali ketempat semula dalam waktu yang relatif singkat. Sebuah angka yang luar biasa menurut saya, karena jumlah penduduk negara tetangga kita saja, Malaysia, Singapura, Brunei dan Timor Leste jika digabungkan hanya sekitar 27 juta. Saking menikmatinya saya bercita-cita melakukan mudik dengan keluarga suatu saat nanti, tentunya jika saya masih memiliki tempat berpulang.

Oleh karena itu saya merasa tertantang untuk menemukan arti mudik bagi saya. Maka sore tadi saya langsung mencoba melakukan apa yang khalayak lakukan ketika menjelang hari raya itu, yaitu berkunjung ke tempat saudara, orang tua (baik kandung atau mertua) dan kerabat yang lain. Dengan menggunakan baju putih dan sarung saya bergegas memacu sepeda motor matik saya menuju suatu rumah. Rumah yang akan saya kunjungi itu bukanlah rumah dari orang jauh, melainkan rumah baru Ayah saya. Beberapa menit berselang sayapun sudah sampai dirumah Ayah saya, kebetulan jika musim lebaran seperti ini rumah ayah saya ramai dikunjungi orang.

Saya pun langsung duduk diantara dua nisan yang bertuliskan nama Ayah saya.

Ya mudik saya kali ini merupakan suatu kontemplasi mendalam terhadap keluarga saya. Sebelum saya berkomunikasi dengan Ayah saya, saya sempat memandangi sekeliling rumah itu. Nampak banyak orang yang seperti saya membawa buku doa kecil, kantong kresek hitam yang berisi bunga, dan beberapa ada yang membawa botol air. Meski ramai pengunjung, saya sempat merasakan kedamaian di rumah itu mungkin karena banyak orang, kalau tak banyak orang saya tentu tak berani mengatakan demikian. Batinku berbisik jadi ini suasana rumah setiap orang ketika kembali ke haribaan, tempat kembali yang paling kembali.

Perjalanan spiritual sore tadi membawa saya ke kerinduan primodial. Maka sayapun teringat semuanya mengenai keluarga saya. Dimana keluarga inti saya tak banyak, bahkan bisa dikatakan sedikit sejak Ayah pindah ke rumah barunya. Kini hanya tinggal ibu, kakak, dan saya. Bahkan saat saya menulis tulisan ini, saya hanya berdua dengan ibu saya, sedang kakak saya berada sekitar 195 kilometer jauhnya dari tempat ini. 

Pada berbagai kesempatan, saya juga sering menceritakan keluarga saya ― tentunya bukan dalam rangka menjual penderitaan atau meminta belas kasihan. Orang-orang yang mendengar cerita saya biasanya kagum (secara formalitas) dan memuji keberuntungan keluarga saya. Namun bagi saya, keluarga saya bukanlah keluarga yang sempurna. Premis itulah yang saya pahami, yakini, dan coba saya maknai pada perjalanan spiritual saya sore tadi. 

Setidaknya ada tiga hal dalam ingatan saya yang dapat digunakan sebagai alasan kenapa saya menyebut demikian. Pertama keluarga saya tak mengajarkan meminta maaf secara langsung, ini jelas melahirkan pribadi-pribadi dengan ego yang tinggi jika dilestarikan. Kedua, cukup konservatif, saya tak tau bagaimana menjelaskan hal ini kedalam kata-kata. Ketiga, yang paling saya resahkan selama ini, keluarga ini tak terbiasa mengungkapkan perasaan cinta, asmara, atau sejenisnya secara gamblang. Berbicara cinta di keluarga saya lebih tabu daripada berbicara politik dan kekinian yang lain. Saya pun lantas berniat belajar dari kekurangan keluarga saya.

Terlepas beberapa kekurangan. Keluarga bagi saya adalah seperti karet gelang yang mengikat jari-jari. Karet gelang terdiri dari berbagai macam ukuran, dari yang besar hingga yang kecil, dari yang tebal hingga yang tipis, dimana karet gelang tentu memiliki daya lentur yang beragam pula, ada yang kuat, ada yang daya lenturnya lemah, dan adapula karet gelang yang kaku dan mudah putus. Sedangkan jari kita bisa saja menyatu ditengah, bisa saja menyebar ke segala penjuru telapak tangan. Nah, peran keluarga seperti karet gelang yang mengikat jari-jari, mengembalikan jari tangan yang bergerak menjauh untuk merapat ke tengah. Namun ada kalanya benda temuan Stephen Perry itu tak mampu mengembalikan jari-jari ke tengah atau bahkan bisa putus jika ada jari yang terlalu jauh meninggalkan titik tengahnya. Tapi ini hanya analogi tak ada yang mengikat karet gelang di jari-jarinya, kecuali anak kecil.

Saya tak tahu seberapa besar saya mencintai keluarga saya, tapi yang pasti saya membutuhkan mereka. Karena bagi saya ada saatnya kebutuhan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar cinta. Karena hanya keluargalah yang bisa mengembalikan hakekat individu ke primodialnya. 

Pada akhirnya waktu terus berjalan. Membawa kepingan usia untuk tak lagi muda. Saya, kakak, dan ibu saya atau saudara yang lain takkan selalu berdiri di tempat yang sama, di usia yang sama. Akan ada perubahan dalam diri mereka. Seperti menua, menikah atau meninggal. Saya harus bersiap untuk perubahan yang tak mengenakkan, seperti tak memiliki tempat untuk meng-udik.

Saya tak bisa bercanda ketika membicarakan hal ini, karena gema Takbir menemani saya dalam menulis tulisan pengganti tidur ini sementara ibu saya sedang mengolesi roti untuk dibawa ke surau sehabis sholat ied nanti.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434. 

Semoga orang-orang yang telah lebih dulu mudik ke haribaan Tuhan, dapat merasakan kemeriahan hari ini. :)

01 August 2013

Ketika Tuhan Menertawai Saya


Saat manusia berpikir, Tuhan justru sedang tertawa” – Milan Kundera

Akhir-akhir ini teman saya yang memiliki leissure time lebih banyak dalam proporsi tiap harinya seringkali bergumam: Kalau menganggur begini pikiran jadi macam-macam, kadang tak terkendalikan. Saya pun begitu.

Sungguh ini bukan merupakan tulisan penyadaran diri mengenai bahaya pengangguran, namun saya hanya ingin menyambungkan dengan pernyataan Milan Kundera diatas, yang sebenarnya ia kutip dari salah satu sastra kaum Yahudi kuno. Kalimatnya sederhana, namun membawa banyak pesan didalamnya. Beberapa sastrawan lain dalam monolognya mengartikanya ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya. Sebab, semakin manusia berpikir, semakin pikiran seseorang terpisah dari lainnya. 

Saya pun langsung membayangkan apa yang terjadi jika sastra berhasil bergabung bersama ilmu psikologi dan rasionalitas ilmu ekonomi.

Saya sebenarnya cukup sebal dengan para sastrawan, mereka seringkali membuat sesuatu apa yang ada di kepalanya sendiri, lalu dituankanya sesuka hati, dan kemudian memaksa pembacanya untuk memahami apa yang ada di dalam kepala sastrawan tersebut. Saya menyebutnya sebuah-pemaksaan-tersirat-akan-makna-dan-kedalaman. Belum lagi mengenai puisi, deretan kata yang tak saling terhubung, beberapa diantaranya bersajak, dan konon memiliki makna itu. Sepanjang hidup saya tak pernah menyukai hal-hal tersirat seperti itu meski saya terkadang masih sering khilaf melakukannya.

Namun dalam proses penolakan saya tersebut, saya kini justru terjebak dengan tulisan-tulisan lepas yang memadukan berbagai perspektif, lugas dan ringan seperti bahasa surat kabar, namun dengan pemilihan diksi yang amat kaya sehingga menambah kadar keindahan seperti karya sastra. Saya sebut karya seperti itu dengan jurnalis semi sastra ― ini hanya sebutan saya saja, istilah yang sengaja saya ciptalan agar tidak menimbulkan dikotomi sastra modern dan klasik. Entah kenapa tulisan seperti ini banyak sekali saya temukan setahun belakangan ini. Sedangkan sesuatu yang sering kita jumpai biasanya menimbulkan daya tarik tersendiri, atau hanya saya yang puber intelektual.

Setelah saya tertarik pada tulisan jurnalis semi sastra itu, kemudian saya menjadi tertarik kepada personaliti penulisnya. Seakan ada yang menuntun saya untuk membuktikan personaliti dengan gaya menulis seseorang. Saya ingin melihat bagaimana orang dengan kemampuan menulis yang luar biasa itu mengungkapkan apa yang ada di kepalanya secara lisan. Berhubung dalam benak saya masih terngiang-ngiang mengenai Skripsi maka pertanyaan penelitian saya adalah apakah kemampuan menulis sama baiknya dengan kemampuan berbicara? 

Kebetulan bebrapa waktu lalu, teman saya mengritik pembawaan seorang jurnalis semi sastra favorit saya yang terlihat mengebu-gebu di layar kaca. Beberapa jurnalis semi sastra lain yang pernah ada di layar kaca juga sering terlihat seperti kehilangan sentuhan magisnya dalam mengolah kata. Entah persoalan media menuangkan ide atau cara yang berbeda, mereka terbata-bata didepan layar kaca. Namun pembelaan saya pada mereka jelas karena faktor kemampuan saja, bukan masalah ideologis.
Akhirnya keingintahuan saya berujung pada sebuah hipotesis, seorang penulis yang baik, tidak selalu merupakan pembicara yang baik. Seandainya ada yang memiliki keduanya, bisa jadi ia bukan pemikir yang baik. Sulit menemukan tiganya dalam satu paket.

Perbedaan dimensi ketiganya membawa sekat-sekat tersendiri pada persepsi saya. Sebab-musabab dari keahlian tersebut pun menurut saya berbeda. Saya berani bertaruh seorang penulis yang hebat pasti adalah seorang pembaca yang hebat juga. Sedangkan para pembicara yang baik, juga bisa menjadi pendengar yang sama baiknya. Sedangkan para pemikir adalah yang mampu melihat dengan jeli apa yang tak terlihat oleh orang lain.

Kebenaran hipotesis saya pun sudah sejatinya diragukan, karena ini hanya pekerjaan pemilik waktu senggang saja.

Jelas saya bukan seorang penulis yang baik. Saya juga bermasalah ketika berbicara didepan khalayak. Kebiasaan saya memikirkan banyak hal kecil juga membuat hidup saya terkadang tak terlalu nyaman. Memikirkan pikiran orang lain ketika memikirkan sesuatu salah satunya, akan membawa keruwetan tersendiri dalam kepala saya seperti awal kalimat ini ketika anda baca. Sebaliknya saya sepakat dengan Daniel Atlas mengenai kegagalan melihat gambaran besar karena saya melihat terlalu dekat.

Sepertinya saya lebih baik saya berhenti memikirkan hal ini, daripada saya ditertawai Tuhan terus-menerus.